Di panggung global Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brazil, Indonesia tidak datang sebagai pengikut, melainkan memproyeksikan diri sebagai pemimpin yang siap memandu aksi iklim global.
Dengan delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Indonesia membawa pesan kuat: sebuah komitmen aksi iklim yang diklaim nyata, terukur, inklusif, dan berkeadilan.
Pemerintah Indonesia memaparkan cetak biru ambisius yang didukung oleh klaim capaian di lapangan. Pilar utamanya adalah komitmen teguh untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, yang didukung oleh target transisi energi untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2030.
Namun, strategi yang paling diandalkan Indonesia bertumpu pada bursa karbon dan kekayaan hutannya. Program Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 dipresentasikan sebagai pilar utama. Pemerintah mengklaim telah berhasil menekan laju deforestasi secara signifikan hingga 75% sejak 2019, sebuah pencapaian yang menjadi fondasi target iklim dari sektor kehutanan.
“Melalui program FOLU Net Sink 2030, Indonesia menargetkan penurunan 92–118 juta ton CO₂ hingga tahun 2030 melalui pencegahan deforestasi, rehabilitasi hutan, konservasi keanekaragaman hayati, serta perlindungan ekosistem gambut dan mangrove,” terang pemerintah dalam paparannya.
Untuk mendanai ambisi kehutanan ini, Indonesia juga menyoroti dukungannya terhadap Tropical Forest Financing Facility (TFFF). Skema ini dirancang untuk memastikan ada aliran dana yang berkelanjutan untuk program-program restorasi dan konservasi, bergerak melampaui janji-janji donor tradisional.
Di sisi lain, Indonesia menegaskan keseriusannya dalam membangun ekonomi hijau melalui skema pasar karbon yang baru diluncurkan. Ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah strategi ekonomi yang menargetkan mobilisasi investasi karbon lintas sektor yang diperkirakan mencapai USD 7,7 miliar per tahun. Untuk memperkuat posisi pasarnya, Indonesia secara aktif membangun Mutual Recognition Agreements (MRA) dengan mitra internasional strategis, termasuk Jepang, Gold Standard, dan Verra.
Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa momentum COP30 di Belém digunakan untuk bergeser dari retorika ke realitas. Indonesia ingin menunjukkan bukti, bukan sekadar janji yang tertuang di atas kertas negosiasi.
“COP30 menjadi momentum untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau tidak hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan. Indonesia membangun kepemimpinan dari aksi nyata, bukan sekadar janji,” ujar Hanif di Belém.
Di tengah semua target teknis dan angka investasi, delegasi Indonesia berulang kali menekankan aspek keadilan. Transformasi ini, menurut pemerintah, tidak boleh mengorbankan rakyat. Alokasi hutan adat disebut sebagai salah satu langkah konkret untuk memastikan pembangunan hijau yang berkeadilan.
Hashim Djojohadikusumo menegaskan bahwa seluruh kebijakan harus berpusat pada manusia dan memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses transisi.
“Aksi iklim harus adil, inklusif, dan berpusat pada manusia. Indonesia menegaskan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal dalam transformasi menuju masa depan hijau,” ucap Hashim.
Dengan serangkaian komitmen ini—mulai dari perlindungan hutan, transisi energi, hingga pasar karbon yang inklusif—Indonesia memposisikan diri di Belém sebagai negara yang siap memimpin transisi global. Pesan yang ingin disampaikan jelas: era negosiasi panjang telah berakhir, dan kini adalah waktunya untuk implementasi di lapangan.
“Masa negosiasi panjang telah usai, kini saatnya aksi nyata dimulai,” tutup Hashim.
- Pencemaran mikroplastik semakin luas mengancam kesehatan masyarakat
- Belém Mutirão dan paradoks diplomasi Indonesia di Amazon
- Aksi hijau pelajar Sukabumi di Hari Guru Nasional 2025
- Ketika iman menggugat keadilan iklim di tengah kepungan lobi fosil
- Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu
- Masa depan karbon biru dan peran Indonesia dalam peta iklim global
