Komite negosiasi antarpemerintah (Intergovernmental Negotiating Comittee/ INC) yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sedang merumuskan kebijakan penanganan sampah plastik global, terutama di lingkungan laut.
Upaya itu dilakukan melalui penyusunan International Legally Binding Instrument (ILBI) on Plastic Pollution, Including in the Marine Environment atau instrumen hukum internasional yang mengikat tentang polusi plastik, termasuk di lingkungan laut.
Pemerintah Indonesia juga terlibat aktif dalam INC yang sudah diadakan sebanyak tiga kali. Pada bulan April mendatang, INC-4 akan diselenggarakan di Kanada. Kemudian, ILBI on Plastic Pollution ditargetkan rampung pada INC-5 di Korea Selatan, akhir tahun ini.
Novrizal Tahar, Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, ILBI on Plastic Pollution mengusung konsep penanganan sampah di hulu (upstream) maupun di hilir (downstream).
“Mulai dari produksi plastik sampai paling hilir pengelolaan sampah. Jadi bicara plastik sekali pakai, mikro plastik, nano plastik, bicara semua di situ,” ujarnya dalam seminar bertajuk “Towards International Legally Binding Instrument on Plastic Pollution Including in the Marine Environment” di Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Menurut dia, Pemerintah Indonesia sangat mendukung pembahasan tersebut menjadi berkekuatan hukum yang mengikat. Sebab, ILBI on Plastic Pollution dianggap sejalan dengan kebijakan-kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia.
Bahkan, Novrizal menyebut pembahasan itu sebagai revolusi besar kedua di sektor lingkungan hidup, setelah konvensi perubahan iklim yang menghasilkan Perjanjian Paris. Karenanya, dia meminta berbagai pihak mulai dari dunia usaha, organisasi non pemerintah hingga akademisi untuk mengikuti proses perubahan itu.
“Jadi dunia usaha mari ikuti isu ini mulai dari isu Extended Producer Responsibility (EPR), recycling dan sebagainya. Organisasi non pemerintah, mari kita dorong perubahan perilaku di masyarakat, memberikan advokasi yang maksimal. Kemudian di hilirnya Pemerintah Daerah, mari kita maksimalkan industrialisasi pengolahan sampah,” terangnya.
H.E. Jess Dutton, Duta Besar Kanada untuk Republik Indonesia yang turut hadir dalam seminar itu menyatakan, komitmen negaranya untuk mengakhiri pencemaran plastik. Langkah itu dilakukan melalui upaya domestik dan bekerjasama dengan berbagai mitra internasional untuk mendukung pencapaian ambisi global.
“Kami memahami pentingnya memperkuat kerjasama global dalam menangani isu yang menjadi tantangan bersama. Sebagai tuan rumah INC-4 kami mendukung tercapainya konsensus internasional untuk menangani pencemaran plastik dengan lebih baik,” ujar Dutton.
Aretha Aprilia, Kepala Unit Lingkungan Hidup United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia menyatakan, dedikasi UNDP dalam mendukung penyelesaian pencemaran plastik, khususnya di laut.
Sebab, jumlah sampah plastik di laut saat ini, disebutnya bisa mengisi satu juta lapangan sepak bola. “Karena itu realisasi ILBI on Plastic Pollution adalah suatu titik penting untuk mengatasi pencemaran sampah plastik,” kata Aretha.
Problem sampah plastik di laut Indonesia
Pencemaran sampah di laut tidak hanya berdampak estetika. Tetapi juga telah merusak ekosistem laut dan merugikan ekonomi Indonesia hingga ratusan triliun.
Muhammad Reza Cordova, Peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, pada tahun 2018 pernah ditemukan paus terdampar yang di dalam perutnya terdapat 6 kg sampah plastik. Kemudian di Nabire, Senin (19/2/2024), ditemukan hiu paus terdampar yang diduga mati setelah mengkonsumsi sampah plastik.
Sampah plastik yang masuk ke laut juga disebutnya akan menjadi sumber mikro plastik, yang tidak hanya ditemukan di laut, tetapi juga di sumber daya perikanan yang kita konsumsi. Selain itu, mikroplastik disebutnya terdapat di udara yang kita hirup.
“Hasil riset kami menyatakan dari tahun kemarin, ketika terjadi kebakaran dari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), itu terjadi peningkatan mikroplastik yang ada di udara,” ujar Reza.
Kemudian, dari sisi ekonomi, berdasarkan data yang dihimpun BRIN, kerugian Indonesia yang timbul akibat sampah plastik di laut berkisar Rp250 triliun. “Lebih besar dari anggaran kesehatan Indonesia. Itu sangat mengganggu sistem ekonomi Indonesia,” lanjutnya.
Reza menerangkan, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berhasil menurunkan 41% sampah plastik di laut dibandingkan tahun 2018, yang menurut BRIN jumlahnya mencapai 615 ribu ton. Dari angka tersebut, lebih dari 60% sampah plastik yang ditemukan di pantai Indonesia adalah jenis plastik sekali pakai.
Meski demikian, menurut dia, untuk mencapai target pengurangan 70% sampah plastik di laut pada tahun 2025, pemerintah perlu mengoptimalkan penguatan infrastruktur dan tingkat pengumpulan sampah. Sebab seturut basis data dari sejumlah instansi, termasuk BRIN, jumlah sampah di laut Indonesia berkisar di angka 250 ribu sampai 650 ribu ton.
“Kalau kita lihat tingkat pengumpulan (collection rate) dari sumber sampah itu harus ditingkatkan. Daripada kita kehilangan Rp250 triliun, lebih baik kita bangun infrastruktur yang lebih baik untuk penanganan sampah,” Reza menambahkan.
Masih dikatakannya, keberhasilan pengurangan sampah plastik di laut juga akan ditentukan perubahan pola pikir masyarakat. Yakni, dengan melakukan pemilahan demi memutus pergerakan sampah plastik agar tidak berakhir di TPA.







Tinggalkan Balasan