
Forest healing menjadi satu terapi yang saat ini mulai banyak digunakan dalam bidang psikologi. Hal ini pun menjadi peluang bagi Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) untuk mulai mengenalkan metode terapi forest healing, tidak hanya untuk mahasiswa internal, tetapi juga mahasiswa dari luar Fapsi Unpad.
Aktivitas forest healing mulai dikenalkan kepada peserta program International Internship Program 2024 yang digelar di kawasan hutan lereng Gunung Mandalawangi, perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut, Jawa Barat, Rabu 11 September 2024. Dalam kegiatan itu, sebanyak sembilan mahasiswa Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, dan lima mahasiswa Fapsi Unpad mengikuti kegiatan tersebut.
Koordinator program Forest Healing Fapsi Unpad Hammad Zahid Muharram menjelaskan, kegiatan tersebut bertujuan untuk mengenalkan peserta program bahwa ada satu jenis terapi psikologi yang bisa digunakan untuk meredakan berbagai jenis simtom psikologi, di antaranya stres.
“Forest healing tidak bisa menyembuhkan, karena penyembuhan stres perlu terapi CBT. Akan tetapi, sifatnya meredakan, lebih tidak separah sebelumnya,” kata Zahid, dikutip dari laman Unpad.
Lebih lanjut Zahid menjelaskan, seyogianya manusia memiliki ikatan kuat dengan alam. Ketika manusia berada di hutan, ia akan merasakan iklim mikro yang berbeda dengan di kota ataupun di luar alam. Iklim mikro tersebut banyak dihasilkan dari zat phytoncide yang dikeluarkan tumbuhan secara alami. Zat ini dinilai mampu meningkatkan kadar kesehatan manusia selama berada di alam bebas.
Selama mengikuti forest healing, peserta IIP Fapsi Unpad diajak untuk berada lebih lama di alam bebas. Kegiatan dimulai dengan berjalan kaki memasuki kawasan perladangan di lereng yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung. Uniknya, seluruh peserta menggunakan sandal jepit selama berjalan dan berada di hutan.
Dipandu Dosen Fapsi Unpad Noer Fauzi Rachman, peserta menyusuri trek kebun menuju kawasan perbatasan dengan hutan. Sesampainya di area ladang tanaman tembakau, peserta didorong sejenak bercengkerama dengan alam. Setiap peserta diminta untuk hening sejenak mendengar desir angin dan suara-suara yang terdengar di alam. Setelahnya, peserta diajak untuk menyentuh pohon, berbicara dengan pohon, memeluk pohon, memetik bunga liar, hingga masuk ke kebun kopi sembari mencicipi buah kopi.
Tidak selesai di situ, peserta diajak masuk lebih dalam ke semak belukar dan kembali memeluk dan berbicara dengan pohon Kembali. Di akhir kegiatan peserta diajak untuk turun ke sungai, bermain dengan air, dan mencoba menangkap ikan dengan menggunakan jala.
Menurut Zahid, aktivitas tersebut bukan tanpa alasan. Secara marwah, manusia merupakan bagian dari alam, sehingga ketika terkoneksi dengan alam, secara otomatis manusia telah kembali ke satu lingkup ekologi alami manusia. Layaknya empat elemen dalam film Avatar, forest healing juga membuat peserta makin terkoneksi dengan empat elemen tersebut.
Zahid menjelaskan, ketika peserta berjalan dengan metode bertelanjang kaki (barefoot), aktivitas tersebut merepresentasikan koneksi dengan tanah.
“Kemudian ketika diam, duduk rileks sambil liat awan, pemandangan, dan menghirup napas itu elemen udara. Elemen api itu ketika mereka berbicara dan memeluk dengan pohon, karena api itu simbol kehangatan,” paparnya.
Elemen air terepresentasikan ketika peserta terjun ke sungai selepas berjalan di hutan. Zahid menjelaskan, air merupakan pelengkap dari semua elemen yang sudah terkoneksi. Secapek apa pun fisik peserta setelah berjalan jauh di hutan, air bisa kembali menyegarkan tubuh peserta.
“Ketika kita kembali ke air, kita pun terkoneksi ke sumber kehidupan,” jelasnya.
Pilot Project
Zahid mengatakan, forest healing merupakan pendekatan baru dan mulai banyak digunakan. Sebagian besar masih digunakan oleh orang-orang non-psikologi dengan tujuan komersial. Berbeda jika pendekatan ini digunakan oleh orang psikologi. Seluruh aktivitas selama di alam ada proses evaluasi yang dilakukan.
“Bedanya, ada processing yang dilakukan, apakah terapinya efektif (untuk meredakan stres) atau tidak,” ujarnya.
Di Fapsi Unpad sendiri, kegiatan ini menjadi proyek perdana yang dikenalkan. Rencananya, aktivitas ini akan menjadi salah satu layanan yang akan dikembangkan oleh fakultas. “Harapannya, ini bisa jadi produk fakultas,” pungkasnya.
- Suara masyarakat adat Asia Tenggara yang terus tersisih
Dari Kalimantan hingga Mindanao, dari Sarawak hingga pegunungan Laos, masyarakat adat di Asia Tenggara menghadapi pola ketidakadilan yang sama: tanah dirampas, suara dibungkam, dan hidup mereka dipertaruhkan atas nama pembangunan. Tanah, bagi masyarakat adat, bukan sekadar sebidang lahan dengan batas dan sertifikat. Tanah adalah ibu, guru, rumah, dan altar. Tanah ini menyimpan identitas, tradisi, ingatan,… Baca Selengkapnya: Suara masyarakat adat Asia Tenggara yang terus tersisih - Pencemaran mikroplastik semakin luas mengancam kesehatan masyarakat
Pencemaran mikroplastik mengancam kesehatan masyarakat. Dikhawatirkan berdampak besar pada manusia dan lingkungan. - Belém Mutirão dan paradoks diplomasi Indonesia di Amazon
Kesepakatan akhir COP 30 Brasil yang diberi nama Belém Mutirão gagal menyertakan komitmen terikat waktu untuk menghapus bahan bakar fosil. - Aksi hijau pelajar Sukabumi di Hari Guru Nasional 2025
Hari Guru Nasional 2025 dirayakan pelajar Sukabumi dengan cara yang paling bermakna dan visioner: menanam pohon. - Ketika iman menggugat keadilan iklim di tengah kepungan lobi fosil
Merespons dinamika di Belem, GreenFaith Indonesia merilis kertas posisi bertajuk ‘Iman untuk Keadilan Iklim’ - Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu
Lima petani terkapar setelah timah panas yang diduga ditembakkan keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS) di Pino Raya, Bengkulu








Tinggalkan Balasan