![Kepala Departemen POR KPA, Syamsudin Wahid memimpin salah satu sesi pendidikan kader reforma agraria melalui ARAS, Sulawesi. ;Foto: KPA]](https://www.ekuatorial.com/wp-content/uploads/2025/04/sulawesi-DSC_6754_Kolaka_ARAS-1-1536x1017-1-1024x678.avif)
Konflik agraria di Sulawesi Tenggara terus menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Ketimpangan kepemilikan tanah, perampasan lahan oleh perusahaan tambang, serta lemahnya perlindungan hukum bagi petani menjadi tantangan utama dalam perjuangan hak atas tanah.
Pengetahuan masyarakat mengenai hak atas tanah, pendidikan hukum kritis dan pendidikan ideologi menjadi kebutuhan mendesak bagi masayarakat. Berangkat dari kebutuhan tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama ForSDa Kolaka menggelar pendidikan melalui Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).
Pendidikan ini berlangsung selama tiga hari dari Rabu (12/3) hingga Jum’at (14/3) di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pendidikan ini diikuti oleh 32 peserta yang merupakan kader muda organisasi rakyat anggota dan jaringan KPA. Seperti Serikat Tani Mekongga, Serikat Tani Mekongga Timur, Lembaga Adat Adati Totongano Wonua Kampo Hukaea-laea dan ForSDa.
Pendidikan ARAS bertujuan membekali kader dengan pemahaman mendalam tentang pengorganisasian dan advokasi, serta memperkuat organisasi rakyat dalam memperjuangkan reforma agraria.
Syamsudin Wahid, Kadep POR KPA yang menjadi salah satu narasumber pada kesempatan tersebut menekankan bahwa pendidikan ini menjadi wadah bertukar pikiran dan berbagi pengalaman dalam perjuangan hak atas tanah. “Pendidikan ini tidak hanya soal teori, tetapi juga menjadi upaya ideologisasi bagi para kader,” ujarnya, dalam keterangan resmi.
Dalam kegiatan ini, para peserta tidak hanya mendapatkan materi tentang strategi advokasi, tetapi juga berbagi pengalaman mengenai konflik agraria yang mereka hadapi di daerah masing-masing. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah sengketa lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang nikel di Kolaka dan Bombana.
Di berbagai wilayah di Sulawesi Tenggara, termasuk Kolaka dan Bombana, masyarakat telah bertahun-tahun menggarap tanah secara turun-temurun. Namun, dengan adanya konsesi yang diberikan kepada perusahaan tambang, tanah mereka diklaim sebagai bagian dari wilayah eksploitasi. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan hak atas tanah mereka dan mengalami intimidasi. Bahkan, beberapa kasus berujung pada kriminalisasi terhadap petani yang mempertahankan hak mereka.
Jabir Lahukui, Direktur ForSDa sekaligus pemateri dalam ARAS tersebut mengungkapkan bahwa banyak perusahaan tambang memperoleh izin eksploitasi tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat.
“Selama ini, masyarakat sering kali tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, ini memperparah konflik agraria yang terjadi,” katanya.
Jabir juga menyoroti pentingnya strategi dalam pengorganisasian. “Memahami siapa kawan dan siapa lawan, itu krusial agar kita tidak melangkah tanpa arah,” tambahnya.
Dari teori dan sejarah yang didapatkan selama pendidikan, ke depannya kader para kader tersebut dapat menghadapi keterbatasan dalam menerapkan strategi pengorganisasian, menghadapi tekanan dari perusahaan dan aparat negara, juga kurangnya perlindungan hukum bagi petani dan aktivis agraria, menjadi salah satu upaya dalam pendidikan ini agar kader-kader mendapatkan pendidikan advokasi dan risiko kriminalisasi.
Dalam materinya, Iwa Kartiwa juga menjelaskan bahwa dalam advokasi, pengumpulan data dan strategi kampanye menjadi hal yang sangat penting. “Data adalah kekuatan dalam advokasi, Karena tanpa data yang kuat, perjuangan kita bisa lemah,” tegasnya.
Selain itu, pendidikan ini kedepannya dapat diikuti dengan langkah konkret, seperti pendampingan hukum bagi korban konflik agraria, strategi pengorganisasian yang lebih sistematis, serta peningkatan tekanan politik terhadap kebijakan yang merugikan petani.
Sinergi antara organisasi rakyat, akademisi, dan media juga perlu diperkuat agar isu agraria semakin mendapat perhatian publik dan politik.
“Reforma agraria sejati bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga bagaimana pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam aksi nyata untuk mengubah ketimpangan struktural yang masih mengakar,” kata Syamsudin.
Pendidikan ARAS yang pertama kali diadakan di Sulawesi Tenggara ini diharapkan menjadi langkah awal bagi diskusi dan pendidikan lebih lanjut mengenai reforma agraria. Para peserta berharap kegiatan serupa dapat terus dilakukan untuk memperkuat perjuangan hak atas tanah di masa depan.
“Harapan kita, hasil dari pendidikan ARAS ini akan melahirkan peningkatan kesadaran politik, pemahaman yang lebih kuat tentang hak-hak agraria, serta strategi advokasi yang lebih efektif,” tutup Syamsudin.
Dengan berakhirnya pendidikan ini, perjuangan hak atas tanah di Sulawesi Tenggara terus berlanjut. Para kader ARAS kini diharapkan dapat membawa pengetahuan dan strategi yang mereka pelajari untuk memperjuangkan keadilan agraria di daerah masing-masing.
- Pencemaran mikroplastik semakin luas mengancam kesehatan masyarakat
Pencemaran mikroplastik mengancam kesehatan masyarakat. Dikhawatirkan berdampak besar pada manusia dan lingkungan. - Belém Mutirão dan paradoks diplomasi Indonesia di Amazon
Kesepakatan akhir COP 30 Brasil yang diberi nama Belém Mutirão gagal menyertakan komitmen terikat waktu untuk menghapus bahan bakar fosil. - Aksi hijau pelajar Sukabumi di Hari Guru Nasional 2025
Hari Guru Nasional 2025 dirayakan pelajar Sukabumi dengan cara yang paling bermakna dan visioner: menanam pohon. - Ketika iman menggugat keadilan iklim di tengah kepungan lobi fosil
Merespons dinamika di Belem, GreenFaith Indonesia merilis kertas posisi bertajuk ‘Iman untuk Keadilan Iklim’ - Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu
Lima petani terkapar setelah timah panas yang diduga ditembakkan keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS) di Pino Raya, Bengkulu - Masa depan karbon biru dan peran Indonesia dalam peta iklim global
Karbon biru menawarkan peluang luar biasa untuk melindungi pesisir, mendukung masyarakat, dan solusi krisis iklim global






