Ngaseuk, cara Sarongge mengamalkan apa yang dinegosiasikan di Belém

Jauh dari ruang-ruang negosiasi berpendingin udara di Belém, Brazil, tempat para pemimpin dunia berkumpul untuk COP30, sebuah aksi iklim yang berbeda tengah berlangsung. Di kaki Gunung Gede Pangrango, dalam udara sejuk Desa Sarongge di Cianjur, sebuah jawaban kuno untuk krisis modern kembali dihidupkan.

Tempat ini, yang lama dikenal sebagai “pelarian sejuk” dari hiruk pikuk kota, baru-baru ini menjadi saksi bangkitnya kembali sebuah tradisi agraris yang sarat makna ekologis.

Pada Sabtu (8/11/2025), halaman Kopi Sarongge di Kampung Sarongge, Desa Ciputri, dipenuhi warga, seniman, dan petani. Mereka tidak sedang mendiskusikan Net Zero Emission atau pasar karbon, melainkan berkumpul untuk merayakan Ngaseuk—sebuah prosesi adat Sunda sebagai ungkapan syukur dan doa untuk menyambut datangnya musim tanam.

Bagi masyarakat Sarongge, Ngaseuk bukanlah sekadar aktivitas bercocok tanam biasa. Ia adalah wujud harmoni mendalam antara manusia, alam, dan spiritualitas. Prosesi ini, yang secara tradisional menggunakan alat tanam bernama aseuk, juga menjadi simbol untuk memperkuat nilai gotong royong dalam masyarakat agraris Sunda.

Sementara di Belém para diplomat berdebat tentang pendanaan iklim, di Sarongge kearifan ekologis ini nyaris lenyap. Tradisi Ngaseuk sempat mengalami “mati suri” selama puluhan tahun. Gempuran modernisasi dan Revolusi Hijau di era 1970-an, yang memprioritaskan pertanian kimiawi dan pragmatisme, perlahan menggeser praktik-praktik adat yang dianggap kuno.

Namun, semangat komunitas di Sarongge tak ikut padam. Di sinilah letak aksi iklim yang sesungguhnya: aksi berbasis komunitas yang bangkit dari kesadaran kolektif.

Upaya membangkitkan kembali tradisi ini kini mendapat napas baru melalui kolaborasi lintas sektor. Acara perayaan Ngaseuk di Kopi Sarongge digagas bersama antara Kopi Sarongge, Sanggar Seni Utami, dan Green Initiative Foundation (GIF). Suasana desa dihidupkan dengan ragam pertunjukan budaya seperti ibingan nayub, tembang Sunda, serta kliningan.

Para penampil seni tersebut, sebagian berasal dari warga setempat yang berlatih di Sanggar Sarongge. Di situ mereka dilatih para seniman dari Sanggar Seni Utami, Cianjur, yang juga turut unjuk kebolehan pada “Ngaseuk Sarongge”. Antusiasme ini dirasakan betul oleh warga. “Warga gembira dan pada seneng,” kata Ai Nenden, salah seorang warga yang bekerja di Kopi Sarongge.

Tasyha Arifiani, salah satu penggerak kegiatan, menyebut Ngaseuk bukan sekadar tradisi menanam, tetapi juga menanamkan kesadaran akan pentingnya menjaga bumi. Filosofinya adalah inti dari apa yang coba dirumuskan oleh konferensi iklim global.

“Melalui Ngaseuk, kita diingatkan kembali pada filosofi dasar budaya Sunda: silih asih, silih asah, silih asuh, yang menuntun manusia hidup selaras dengan alam dan sesama,” ujar Tasyha.

Filosofi luhur ini tidak berhenti pada ritual. Ia diterjemahkan ke dalam aksi ekologi yang nyata. Sebagai bagian dari kegiatan, Green Initiative Foundation turut menghadirkan kelompok tani hutan binaannya. Mereka juga membagikan bibit tanaman yang telah disesuaikan dengan kondisi topografi masing-masing wilayah di Sarongge. Ini adalah wujud nyata kolaborasi antara pelestarian budaya dan gerakan ekologi berkelanjutan—sebuah solusi berbasis alam yang sering didengungkan di forum COP.

Kini, Ngaseuk tidak lagi hanya milik para petani. Tradisi yang bangkit dari tidurnya ini telah menjadi bagian integral dari daya tarik Desa Wisata Sarongge, yang terletak di ketinggian 1.700 mdpl. Awalnya desa agraris biasa, potensi alam dan budayanya dikembangkan oleh komunitas lokal melalui Saung Sarongge, yang menawarkan paket wisata edukasi pertanian organik.

Pengunjung tidak hanya menikmati pemandangan, tetapi juga bisa belajar langsung tentang kehidupan desa, memetik sayur, atau mengolah hasil kebun. Kebangkitan Ngaseuk, yang kini berpadu dengan kuliner lokal, adalah bukti bahwa pariwisata berbasis komunitas dapat berjalan selaras dengan pelestarian alam.

Saat dunia menanti komitmen dan kesepakatan tertulis dari Belém, di Sarongge, doa dan tembang telah bergema di antara hamparan hijau. Semangat menanam pun tumbuh tak hanya di tanah, tetapi juga di hati. Sarongge mengingatkan kita bahwa solusi iklim yang paling tangguh seringkali tidak datang dari ruang konferensi global, melainkan dari kearifan lokal yang dihidupkan kembali dan diamalkan oleh komunitasnya sendiri.

Home Maps Network Search