Kriminalisasi pembela lingkungan di Jantung Jawa

Aspal di Jalan Pahlawan, Semarang, Jawa Tengah terasa membara di bawah terik matahari Senin (17/11/2025). Panas itu seolah beresonansi dengan amarah yang tertahan dalam orasi-orasi yang membahana. Di seberang jalan, bayang-bayang megah kantor Gubernur Jawa Tengah jatuh menimpa kerumunan massa yang menamakan diri Persatuan Pergerakan Petani Indonesia, atau PAGAR TANI.

Wajah-wajah mereka lelah, sebagian besar tertutup caping dan topi, namun suaranya nyaring. Mereka tidak datang untuk bernegosiasi. Mereka datang untuk menuntut.

Di antara poster-poster yang menuntut keadilan agraria dan penghentian perampasan lahan, satu tuntutan utama menggema berulang kali: “Hentikan Kriminalisasi Petani!”.

Ini bukan sekadar slogan. Di balik spanduk itu, ada sembilan nama. Sembilan orang yang, menurut rekan-rekannya, kini sedang dalam proses hukum bukan karena mereka berbuat jahat, tetapi karena mereka berani melawan. Mereka adalah para pembela lahan, air, dan udara yang tersisa di pesisir Jawa Tengah.

Di tengah kerumunan itu, seorang pria dengan map di tangan memberikan keterangan kepada pers. Ia adalah Abdul, Pendamping Hukum PAGAR TANI. Ia tidak tampil seperti pengacara korporat di gedung tinggi; ia adalah pengacara rakyat yang terbiasa berdebu di lapangan. Wajahnya serius, suaranya lugas, memetakan krisis yang membawa mereka turun ke jalan hari itu.

Bagi Abdul dan ratusan petani yang hadir, perjuangan ini telah bergeser. Front pertempuran mereka bukan lagi hanya di sawah, ladang, atau pesisir. Front baru yang dipaksakan kepada mereka adalah ruang sidang, kantor polisi, dan sel penjara.

Tiga titik luka di Pantura
Sembilan nama yang disuarakan di Semarang itu berasal dari tiga kabupaten berbeda. Bagi telinga awam, ini mungkin terdengar seperti daftar kasus yang acak. Namun, bagi pengamat isu agraria dan lingkungan, tiga lokasi ini adalah episentrum dari tiga model konflik sumber daya alam paling kronis di Jawa.

Kutipan Abdul di sela aksi hari itu berfungsi sebagai peta jalan untuk memahami luka yang sedang menganga di Jawa Tengah.

“Dua petani dilaporkan dari Dayunan, Kendal, empat petani Pundenrejo Pati, lalu tiga pejuang lingkungan Sumberejo, Jepara,” ungkap Abdul.

Ini adalah triptik—lukisan tiga panel—tentang perlawanan. Panel pertama adalah tentang tanah yang diubah paksa menjadi pabrik. Panel kedua tentang air yang terancam kering oleh tambang. Panel ketiga tentang pesisir yang diracuni limbah.

Dayunan di Kabupaten Kendal adalah cerita klasik tentang sawah subur yang bertetangga dengan raksasa industri. Dua petani yang dilaporkan dari wilayah ini adalah simbol dari pertarungan yang tidak seimbang. Kendal adalah rumah bagi Kawasan Industri Kendal (KIK), salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang didorong masif oleh pemerintah.

Ekspansi industri yang agresif tak pelak membutuhkan lahan. Seringkali, lahan yang “tersedia” adalah lahan pertanian produktif yang telah digarap petani selama beberapa generasi. Konflik meletus ketika klaim korporasi atau negara berbenturan dengan klaim hak garap petani.

Dua petani dari Dayunan ini adalah mereka yang menolak untuk menyerahkan sejengkal tanah terakhir mereka. Perlawanan mereka—apakah itu berupa pendudukan lahan, penanaman di lahan sengketa, atau aksi protes—kini dibingkai oleh aparat sebagai tindak pidana. Mereka yang memberi makan negeri kini dituduh sebagai “penyerobot”.

Nama “Pati” segera membangkitkan citra Pegunungan Kendeng. Empat petani dari Pundenrejo adalah generasi terbaru dari perjuangan ikonik “Sedulur Sikep” dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Jika di Kendal perjuangannya adalah tentang lahan, di Pati perjuangannya adalah tentang air. Pundenrejo berada di lingkar ekosistem karst Kendeng, sebuah bentang alam unik yang berfungsi sebagai menara air alami raksasa bagi separuh Jawa Tengah. Ekosistem ini terancam oleh industri ekstraktif, terutama pabrik semen dan tambang batu gamping (karst) yang menjadi bahan bakunya.

Empat petani ini adalah penjaga mata air. Perjuangan mereka adalah perjuangan ekologis untuk memastikan anak cucu mereka tetap bisa minum dan mengairi sawah. Kriminalisasi terhadap mereka kemungkinan besar berasal dari aksi-aksi mereka mempertahankan “omah” (rumah) dan “banyu” (air). Aksi damai seperti memblokir alat berat atau menduduki tapak pabrik dengan mudah dipelintir menjadi tuduhan “pengrusakan,” “provokasi,” atau “mengganggu ketertiban umum.”

Secara signifikan, Abdul menyebut tiga orang dari Sumberejo, Jepara, sebagai “pejuang lingkungan”, membedakan mereka dari “petani” di dua kasus lainnya. Ini adalah petunjuk penting. Konflik di Sumberejo adalah pertarungan untuk napas terakhir ekosistem pesisir.

Jepara, seperti banyak wilayah pesisir Pantura, menghadapi ancaman ganda: dari darat dan laut. Tiga pejuang ini berhadapan dengan salah satu dari dua monster perusak: industri tambak udang intensif ilegal atau tambang pasir besi.

Industri tambak udang yang tak terkendali seringkali membabat habis hutan mangrove—benteng alami terakhir melawan abrasi—dan membuang limbah beracun langsung ke laut, membunuh biota dan mata pencaharian nelayan kecil. Sementara itu, tambang pasir besi merusak garis pantai secara permanen.

Tiga pejuang lingkungan ini adalah mereka yang berani bersuara. Mereka yang memotret pipa limbah, mengorganisir protes warga, atau vokal mengkritik di media sosial. Dan karena itu, mereka menjadi sasaran empuk pasal-pasal karet, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan tuduhan “pencemaran nama baik” perusahaan yang mereka lawan.

Data yang dipaparkan oleh PAGAR TANI memvisualisasikan sebuah pola yang tidak terbantahkan. Sembilan orang ini bukanlah kasus kriminal biasa, melainkan korban dari sebuah sistem yang memprioritaskan investasi di atas kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia.

Lokasi KonflikJumlah TerlaporStatus Korban Konteks Konflik 
Dayunan, Kendal2 orangPetaniSengketa lahan agraria vs. Ekspansi Kawasan Industri (KIK) / Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pundenrejo, Pati4 orangPetaniPerjuangan ekologi Pegunungan Kendeng. Melawan aktivitas tambang (semen/gamping) yang mengancam mata air.
Sumberejo, Jepara3 orangPejuang LingkunganKonflik sumber daya pesisir. Melawan perusakan mangrove oleh tambak udang ilegal atau aktivitas tambang pasir besi.

Membela dianggap melawan hukum
Aksi di Semarang adalah puncak gunung es dari frustrasi yang menumpuk. Abdul, sang pendamping hukum, menjelaskan bahwa apa yang dilakukan sembilan warga itu adalah murni untuk keadilan. Dia menuturkan, tindakan para petani dan pejuang lingkungan itu adalah “untuk mempertahankan lingkungan”.

Lalu, ia menyampaikan inti dari ironi tragis yang mereka hadapi. Sebuah kalimat pendek yang menelanjangi seluruh sistem peradilan yang timpang. “Dikriminalisasi,” tegasnya. 

Inilah “Buku Panduan Kriminalisasi” (The Criminalization Playbook) yang dimainkan berulang kali terhadap para pembela lingkungan dan agraria di seluruh Indonesia. Ini adalah strategi yang disengaja, bukan kecelakaan hukum.

Pertama, strategi ini bekerja dengan menggeser narasi. Isu yang tadinya adalah konflik kepentingan publik (melindungi mata air, mempertahankan lahan pangan, menjaga pesisir) diubah secara paksa menjadi kasus kejahatan individu (penyerobotan, pencurian, pencemaran nama baik).

Kedua, tujuannya adalah menguras sumber daya. Perjuangan petani yang seharusnya fokus di lapangan, dipaksa pindah ke ruang sidang yang steril, mahal, dan berbelit. Energi, waktu, dan dana komunitas yang terbatas habis terkuras untuk biaya hukum, transportasi ke kantor polisi, dan menjenguk rekan yang ditahan. Solidaritas komunitas diuji dan dilemahkan.

Ketiga, dan yang paling berbahaya, adalah untuk menciptakan chilling effect atau efek jera. Ketika dua petani Kendal diproses hukum, ratusan petani lain yang lahannya terancam akan berpikir dua kali untuk melawan. Ketika tiga pejuang Jepara diseret ke pengadilan, ribuan warga pesisir lainnya akan takut untuk memotret pipa limbah. Kriminalisasi sembilan orang adalah cara efektif untuk membungkam sembilan ribu orang lainnya.

Inilah pelanggaran hak asasi manusia yang nyata. Hak untuk hidup di lingkungan yang sehat dan hak untuk berpendapat di muka umum kini dihadapkan pada ancaman penjara.

Fakta bahwa PAGAR TANI kini berdemo di Semarang, ibu kota provinsi, adalah sebuah eskalasi penting. Ini menandakan bahwa upaya advokasi di tingkat lokal, di Polres Kendal, Polres Pati, dan Polres Jepara telah menemui jalan buntu.

Laporan atas sembilan orang ini sudah bergulir berbulan-bulan di tingkat kabupaten. Aksi di Semarang adalah sinyal bahwa para petani ini menolak untuk bertarung sendirian di kegelapan. Mereka membawa kasus ini ke tempat yang lebih terang, menekan otoritas yang lebih tinggi—Polda Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi, dan Gubernur—untuk turun tangan.

Aksi ini adalah perwujudan solidaritas. PAGAR TANI, sebagai serikat petani yang berakar di basis, menunjukkan bahwa petani Dayunan tidak sendirian. Pejuang Sumberejo tidak sendirian. Mereka adalah bagian dari gerakan yang lebih besar. Ketika hukum formal berbalik melawan mereka, solidaritas lintas-kabupaten inilah yang menjadi jaring pengaman terakhir mereka.

Demo di Semarang akhirnya bubar menjelang senja. Namun, perjuangan sembilan orang yang namanya mereka teriakkan masih jauh dari selesai. Mereka kini berdiri di garis depan, mempertaruhkan kebebasan pribadi mereka untuk sesuatu yang jauh lebih besar.

Apa yang akan terjadi jika mereka kalah di meja hijau?

Jika dua petani Kendal dipenjara, yang kalah bukan hanya mereka. Yang kalah adalah ribuan hektar lahan pangan produktif yang akan berganti menjadi beton dan baja.

Jika empat petani Pati divonis bersalah, yang kalah bukan hanya keluarga mereka. Yang kalah adalah mata air Pegunungan Kendeng, yang akan mengering seiring hancurnya ekosistem karst, memicu krisis air bersih bagi jutaan orang.

Dan jika tiga pejuang lingkungan Jepara terbukti “mencemarkan nama baik”, yang kalah adalah seluruh pesisir Pantura. Mangrove akan terus dibabat, limbah akan terus mengalir, dan abrasi akan semakin menenggelamkan daratan.

Demo di Jalan Pahlawan hari itu adalah pengingat yang getir. Di negeri yang pembangunannya seringkali mengabaikan ekologi, sembilan orang ini dikriminalisasi karena melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh negara: mempertahankan lingkungan. Dalam pertarungan menjaga bumi, seringkali yang dipenjara bukanlah perusak, melainkan pelindungnya.

Home Maps Network Search