Dari Kalimantan hingga Mindanao, dari Sarawak hingga pegunungan Laos, masyarakat adat di Asia Tenggara menghadapi pola ketidakadilan yang sama: tanah dirampas, suara dibungkam, dan hidup mereka dipertaruhkan atas nama pembangunan.
Tanah, bagi masyarakat adat, bukan sekadar sebidang lahan dengan batas dan sertifikat. Tanah adalah ibu, guru, rumah, dan altar. Tanah ini menyimpan identitas, tradisi, ingatan, dan masa depan mereka. Namun di banyak wilayah Asia Tenggara hari ini, tanah itu dipetakan ulang. Diganti dengan garis-garis konsesi, logo perusahaan, dan papan proyek bertuliskan “pembangunan untuk kemajuan.”
Di seluruh Asia Tenggara, terdapat satu kesamaan mencolok: wilayah masyarakat adat sering dianggap sebagai tanah negara, hutan produksi, atau kawasan yang “belum dimanfaatkan”. Definisi ini membuka jalan bagi proyek-proyek besar: perkebunan kelapa sawit, tambang batu bara dan nikel, bendungan, jalan lintas, kawasan industri hingga destinasi wisata eksklusif.
Akibatnya, akses terhadap hutan, sungai, lahan pertanian atau perburuan yang selama ini menopang ketahanan pangan dan identitas komunitas rusak atau hilang. Bagi masyarakat adat, kehilangan tanah adalah kehilangan hidup.
Dalam banyak kasus, masyarakat adat tidak diajak bicara secara setara. Jika pun ada konsultasi, kerap bersifat formalitas. Dokumen ditandatangani tanpa pemahaman penuh, pertemuan dilakukan secara singkat, dalam bahasa yang tidak akrab bagi komunitas, atau di bawah tekanan aparat.
Konflik tak pernah benar-benar usai
Indonesia adalah rumah bagi ratusan komunitas adat yang tersebar dari Sumatera hingga Papua. Namun selama puluhan tahun, wilayah adat mereka terkunci dalam status “kawasan hutan negara” atau lahan konsesi.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2024 terjadi 295 letusan konflik agraria di Indonesia, dengan total lahan sekitar 1,1 juta hektar yang terdampak.
Dari konflik-konflik ini, 53 kasus melibatkan masyarakat adat — menunjukkan bahwa konflik agraria dan isu lingkungan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan hak adat.
Sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi penyumbang konflik terbesar. Infrastruktur juga bukan pihak netral: proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) menyumbang 79 kasus konflik agraria di 2024, menurut KPA.
Konflik antara masyarakat adat dan perusahaan memang bukan cerita baru. Kasus di Rempang (Kepulauan Riau), Seko (Sulawesi), hingga Lembata (NTT) memperlihatkan pola yang sama: perusahaan datang dengan izin dari negara, warga menolak karena tanah itu wilayah adat, kemudian aparat turun tangan. Akhirnya bisa ditebak, sebagian warga ditangkap, dilabeli perusuh.
Meski konstitusi Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat, sampai hari ini belum ada payung hukum nasional yang benar-benar kuat dan konsisten mengakui hak kolektif atas wilayah adat secara menyeluruh. RUU Masyarakat Adat masih berjalan di tempat, sementara di lapangan, alat berat terus bergerak. Ironisnya, justru di banyak wilayah adat inilah, tutupan hutan paling terjaga.
Di Semenanjung Malaysia, Orang Asli telah lama hidup berdampingan dengan hutan. Namun pembangunan jalan raya, bendungan, dan perluasan kota secara bertahap memaksa mereka berpindah. Mereka memang kerap diberi rumah, tetapi bukan tanah leluhur. Mereka kehilangan sistem hidup mandiri dan menjadi bergantung.
Di Sabah dan Sarawak, komunitas seperti Penan, Iban, dan Orang Ulu mengalami tekanan serupa. Tanah adat diubah menjadi perkebunan kayu dan sawit. Sungai yang dulu jernih kini tercemar limbah. Upaya hukum telah dilakukan, sebagian dimenangkan, tetapi realitas di lapangan jauh lebih lambat daripada putusan di atas kertas.
Filipina sebenarnya memiliki undang-undang progresif untuk masyarakat adat: Indigenous Peoples’ Rights Act (IPRA). Namun realitasnya tidak seindah teks undang-undang. Di Mindanao dan wilayah pegunungan Luzon, komunitas adat masih menghadapi masuknya perusahaan tambang dan perkebunan, militerisasi wilayah serta tuduhan sebagai penghambat pembangunan atau pemberontak. Banyak pembela tanah adat dibunuh atau dihilangkan. Nama mereka jarang masuk berita dunia. Mereka pergi tanpa headline besar.
Di Laos dan Kamboja, bendungan raksasa dan konsesi agrikultur telah menggusur ribuan warga adat dari desa-desa tradisional mereka. Di Kamboja, economic land concession (ELC) masih menjadi instrumen utama perampasan tanah adat. Perusahaan swasta mendapat konsesi lahan yang luas tanpa keterlibatan penuh masyarakat adat melalui mekanisme FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Aktivis lokal melaporkan intimidasi militer, kriminalisasi, hingga penggusuran paksa.
Kekerasan tak selalu berupa pukulan
Kekerasan yang dialami masyarakat adat tidak selalu berupa tongkat dan senjata. Tapi, sering menjelma dalam bentuk yang lebih menakutkan seperti: surat penggusuran dan penutupan mengakses hutan. Belum lagi stigma sebagai “perambah liar” yang didukung dengan berita sepihak yang menyudutkan.
Banyak pemerintah dan korporasi membingkai masyarakat adat sebagai “tidak mau maju”, “menghambat pembangunan”, atau “tidak legal”. Narasi ini dibangun berulang-ulang, hingga dianggap sebagai kebenaran oleh publik.
Di sinilah disinformasi dan misinformasi bekerja paling efektif: menghapus sejarah, meredam simpati, dan membenarkan perampasan.
Banyak pemerintah atau korporasi tidak mengakui adanya masyarakat adat secara resmi atau memilih menyebut mereka “suku minoritas”, “suku terpencil”, “orang pinggiran”, atau istilah lain yang menyiratkan keterbelakangan.
Label semacam ini sering disertai stigma: dianggap tidak modern, tidak produktif, atau “menghambat kemajuan”. Karenanya, saat wilayah adat “dikonversi” menjadi lahan komersial atau proyek negara, narasi disinformasi/misinformasi mudah dibangun bahwa masyarakat adat hanyalah “hambatan” pembangunan bukan pemilik sah atas tanah itu.
Disinformasi ini juga melemahkan posisi tawar masyarakat, mereka sulit membuktikan hak, sulit memperoleh dukungan publik, dan mudah diabaikan dalam proses izin atau konsultasi proyek.
Dari analisis sejumlah laporan dan fenomena di atas, akar permasalahan dapat ditelusuri pada beberapa hal yaitu: kerangka hukum nasional yang belum berpihak. Banyak negara belum menyelaraskan regulasi agraria dan kehutanan mereka dengan hak-hak kolektif masyarakat adat sebagaimana diatur dalam instrumen internasional (misalnya United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples UNDRIP, atau ILO Convention 169).
Pembangunan berbasis ekstraksi dan pertumbuhan ekonomi cepat. Pemerintah maupun korporasi sering mengutamakan investasi, infrastruktur, perkebunan, dan tambang tanpa pertimbangan serius atas adat, lingkungan, dan kelangsungan hidup masyarakat. Keputusan sering dibuat top-down, dengan konsultasi minimal dan kontrol hukum lemah.
Adanya ketimpangan kekuatan dan informasi. Komunitas adat cenderung terisolasi secara geografis, linguistik, dan sosial. Mereka tidak memiliki akses ke data, informasi hukum, sumber daya advokasi dibanding pemerintah atau korporasi yang punya kekuatan finansial dan politik.
Stigma, diskriminasi, dan narasi negatif: Penolakan terhadap pengakuan masyarakat adat kadang disertai upaya melabeli mereka sebagai “ketinggalan”, “kurang modern”, “menghambat pembangunan”. Hal ini mempermudah legitimasi perampasan lahan di mata publik.
Keadaan ini diperparah dengan ketiadaan kontrol, transparansi, dan penegakan hukum yang adil. Bahkan ketika regulasi ada, penerapannya sering setengah hati, dilakukan hanya formalitas, atau dilakukan di bawah tekanan keamanan, dan tanpa pemahaman yang benar dari masyarakat adat.
Peran media
Di tengah gelombang konflik agraria yang terus berulang di Asia Tenggara, media tak lagi cukup hanya menjadi pencatat peristiwa tapi dituntut hadir sebagai penghubung suara, pemantik kesadaran, sekaligus penjaga ingatan kolektif. Bagi masyarakat adat, diliput media berarti mereka diakui ada dan keberadaan mereka itu penting.
Media hadir sebagai pengeras suara mengangkat cerita yang selama ini terkubur bersama arsip kolonial dan peta-peta negara yang menghapus keberadaan masyarakat adat.
Liputan mendalam tentang konflik tanah harusnya tidak hanya menyajikan peristiwa hari ini, tetapi juga menggali sejarah wilayah adat dan hubungan spiritual dan ekonomi masyarakat dengan tanah. Selain pola perampasan dan ketimpangan kekuasaan serta celah kebijakan yang merugikan komunitas
Peran media bukan tanpa tantangan. Konflik agraria rawan disederhanakan atau dieksploitasi menjadi sensasi: “warga vs perusahaan”, “pembangunan vs penghambat kemajuan”. Narasi seperti ini menghapus konteks, sejarah, dan luka yang lebih dalam. Media dituntut bekerja lebih dari sekadar mencatat benturan. Ia harus memilih untuk berpihak pada fakta, bukan kuasa.
Pendekatan jurnalisme lingkungan dan konstruktif memungkinkan media untuk tidak meromantisasi penderitaan dan tidak memosisikan masyarakat sebagai korban pasif. Menunjukkan akar struktural masalah dan menghadirkan solusi yang digagas warga, bukan hanya janji investor.
Di banyak tempat, peran jurnalis berubah menjadi fasilitator dialog, penenun jaringan solidaritas, dan penjaga data yang sering kali sengaja dihilangkan.
Di Indonesia, beberapa konflik akhirnya mendapat titik terang setelah diliput berulang kali oleh media independen. Di Filipina, reportase konflik lahan adat bahkan menjadi dasar pengaduan resmi ke lembaga internasional. Di Malaysia dan Thailand, liputan jurnalisme warga mendukung tuntutan hukum komunitas terhadap proyek-proyek yang melanggar hak.
Meski tidak selalu menghasilkan keadilan instan, setidaknya media mencegah satu hal: kejahatan yang dilakukan dalam diam.
Kini, peran media tidak hanya dimonopoli oleh redaksi besar. Banyak masyarakat adat mulai memiliki kamera, mikrofon, dan jaringan sendiri. Mereka membuat bulletin komunitas, kanal YouTube, podcast, hingga peta digital wilayah adat.
Jurnalisme warga ini memperkaya perspektif karena cerita datang langsung dari yang terdampak, tidak terikat kepentingan komersial dan lebih berani mengangkat realitas yang dihindari media arus utama.
Di sinilah peluang kolaborasi muncul: ketika media profesional dan media komunitas bertemu di titik yang sama yaitu kebenaran dan keadilan ekologis.
Dalam konflik agraria masyarakat adat, media tidak bisa netral dalam pengertian lama. Netralitas tanpa konteks justru memperpanjang ketidakadilan. Media harus memilih berdiri di sisi keberlanjutan ekologis, hak asasi manusia, keadilan antar generasi serta pengetahuan lokal yang selama ini diremehkan.
Dengan merawat ingatan kolektif, menyusun arsip publik, dan menjaga agar kisah masyarakat adat tak hilang ditelan ekskavator dan beton, media memainkan peran yang lebih besar dari yang sering disadari.
- Suara masyarakat adat Asia Tenggara yang terus tersisih
- Pencemaran mikroplastik semakin luas mengancam kesehatan masyarakat
- Belém Mutirão dan paradoks diplomasi Indonesia di Amazon
- Aksi hijau pelajar Sukabumi di Hari Guru Nasional 2025
- Ketika iman menggugat keadilan iklim di tengah kepungan lobi fosil
- Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu


Tinggalkan Balasan