Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu

Siang itu, Senin (24/11/2025), langit di atas lahan perkebunan Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, tidak lagi menaungi aktivitas tani yang damai. Suara gesekan daun sawit dan deru alat berat seketika berganti dengan letusan senjata api yang memecah ketegangan. Di tengah hamparan tanah yang disengketakan selama lebih dari satu dekade itu, darah petani kembali tumpah.

Lima orang petani—Buyung, Linsurman, Edi Hermanto, Santo, dan Suhardin—terkapar setelah timah panas diduga ditembakkan oleh aparat keamanan perusahaan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS). Peristiwa ini menjadi puncak dari konflik agraria berkepanjangan yang tak kunjung menemukan titik terang, mengubah ladang penghidupan menjadi arena pertaruhan nyawa.

Detik-detik mencekam

Ketegangan bermula sekitar pukul 10.00 WIB. Para petani mendapati alat berat milik PT ABS tengah meratakan tanaman di lahan yang mereka klaim dan garap. Upaya mempertahankan hak memicu adu mulut antara warga dan pihak keamanan perusahaan. Namun, situasi memanas dengan cepat.

Puncaknya terjadi pada pukul 12.45 WIB. Buyung, salah satu petani, ditembak tepat di bagian dada. Menurut laporan yang dihimpun, pelaku yang diduga berinisial R, seorang anggota keamanan perusahaan, tidak berhenti di situ. Ia berlari sambil melepaskan tembakan secara membabi buta. Peluru-peluru itu menemukan sasarannya: Linsurman terluka di lutut, Edi Hermanto di paha, Santo di rusuk bawah ketiak, dan Suhardin di betis.

Warga yang marah sempat mengejar dan menangkap terduga pelaku, sementara kelima korban yang bersimbah darah segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.

Konflik panjang yang diabaikan

Insiden ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan letusan dari bara api yang telah lama tersimpan. Konflik antara warga Pino Raya dan PT ABS telah berlangsung sejak terbitnya Izin Lokasi perkebunan seluas 2.950 hektare pada tahun 2012. Selama bertahun-tahun, petani hidup dalam bayang-bayang intimidasi, perusakan pondok, hingga kriminalisasi, namun mereka tetap bertahan demi sejengkal tanah leluhur.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang mendampingi warga, mengecam keras tindakan brutal ini. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa kekerasan ini adalah akumulasi dari pembiaran negara terhadap sengketa lahan.

“Hari ini lima orang petani Pino Raya ditembak oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan. Akibat penembakan tersebut lima orang petani mengalami luka berat,” ujar Uli dalam keterangannya.

Reaksi keras juga datang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bengkulu. Mereka menilai insiden ini telah melampaui batas konflik lahan biasa dan masuk dalam kategori pelanggaran kemanusiaan serius.

Luthfi, dari Bidang HAM dan Lingkungan Hidup HMI Cabang Bengkulu, menyoroti kegagalan negara dalam melindungi warganya.

“Kejadian seperti ini sudah terlalu sering menimpa masyarakat kita. Ini bukan lagi sekadar konflik agraria, tetapi sudah menjadi tragedi kemanusiaan. Sudah selayaknya negara hadir secara tegas dalam penyelesaian konflik tersebut agar tidak ada lagi darah masyarakat yang tertumpah di tanah kelahirannya sendiri,” tegas Luthfi.

Senada dengan itu, Ridho dari HMI UINFAS Bengkulu menambahkan seruan moral agar hukum tidak tumpul di hadapan korporasi.

“Darah petani tidak boleh tumpah sia-sia. Kemanusiaan harus lebih tinggi daripada kepentingan perusahaan mana pun. Dan negara harus hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung hak-hak rakyatnya,” ungkap Ridho.

Kini, desakan mengalir deras kepada Kapolda Bengkulu untuk mengusut tuntas kepemilikan senjata api oleh pihak keamanan perusahaan dan memproses hukum pelaku penembakan. Lebih jauh, koalisi masyarakat sipil menuntut pemerintah pusat mencabut izin PT ABS yang dinilai menjadi sumber malapetaka di Pino Raya.

Bagi para petani Pino Raya, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas dan ruang hidup. Namun hari ini, harga yang harus mereka bayar untuk mempertahankan ruang hidup itu adalah darah dan nyawa yang terancam melayang.

Warga di Kepulauan Riau terancam relokasi karena proyek ‘berkelanjutan’

Rempang Eco City, proyek pembangunan skala besar di Kepulauan Riau bagian barat Indonesia, telah disebut-sebut oleh pemerintah provinsi sebagai ” mesin ekonomi baru bagi Indonesia “. Proyek ini akan mencakup kawasan industri, perumahan, pariwisata, dan suaka margasatwa, semuanya dengan fokus pada keberlanjutan lingkungan, dan bertujuan untuk menciptakan 35.000 lapangan kerja .

Bagi ribuan penduduk Pulau Rempang, lokasi proyek, proyek ambisius ini menjadi sumber kekhawatiran. Proyek ini akan melibatkan penggusuran permukiman yang ada di pulau tersebut, termasuk desa-desa tradisional yang sebagian besar telah dihuni oleh keluarga-keluarga dari beberapa kelompok pelaut Pribumi selama beberapa generasi. Mereka khawatir hal ini akan mengakibatkan hilangnya warisan dan mata pencaharian mereka.

Pemerintah Indonesia mengumumkan Rempang Eco City pada bulan Agustus 2023 dan mewajibkan 7.500 orang yang tinggal di 16 Kampung Tua (desa tua) di pulau itu untuk meninggalkan rumah mereka pada akhir bulan berikutnya. Banyak di antara mereka yang menolak dipindahkan, bentrok dengan pihak berwenang Indonesia saat mereka datang untuk melakukan survei tanah untuk proyek tersebut.

Menyusul kritik terhadap respons polisi selama bentrokan tersebut, pemerintah mencabut batas waktu penggusuran. Pihak berwenang akhirnya meluncurkan program “transmigrasi lokal” untuk memindahkan penduduk ke perumahan baru di Tanjung Banon, di bagian selatan Pulau Rempang, alih-alih memaksa penduduk desa keluar dari pulau sepenuhnya.

Dasar pemerintah untuk relokasi ini adalah karena penduduk desa tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah resmi, mereka bukanlah pemilik sah atas tanah tersebut, meskipun beberapa keluarga telah tinggal di sana sejak abad ke-19. Kritikus seperti Rina Mardiana, pakar sosial-agraria di Universitas IPB, menyebut istilah “transmigrasi lokal” sebagai eufemisme untuk “pemindahan paksa yang menghilangkan hak-hak masyarakat adat”.

Mereka menyebutnya kota ramah lingkungan, tapi hal pertama yang mereka lakukan adalah mengambil tanah yang diwariskan oleh nenek moyang kita, mengambil ruang di mana anak-anak kita seharusnya tumbuh dan berkembang.

Ishaka, resident of Pasir Panjang and coordinator of the Rempang Galang United Community Alliance

Hingga Juni, 106 dari 961 rumah tangga terdampak dilaporkan telah dipindahkan. Namun, perlawanan lokal tetap kuat. Pada pertengahan Agustus, penduduk desa mengintensifkan perlawanan mereka, termasuk menggelar protes terhadap program transmigrasi.

“Mereka menyebutnya kota ramah lingkungan, tetapi hal pertama yang mereka lakukan adalah merampas tanah warisan leluhur kami, merampas ruang tempat anak-anak kami seharusnya tumbuh dan berkembang,” kata Ishaka. Ia adalah warga Pasir Panjang, salah satu desa terdampak, dan koordinator Aliansi Masyarakat Bersatu Rempang Galang (AMAR-GB), sebuah koalisi yang dibentuk oleh warga desa untuk menentang relokasi tersebut.

Awal yang goyah

Dalam kunjungannya ke Tiongkok pada Juli 2023, Menteri Investasi Indonesia saat itu, Bahlil Lahadia, mengumumkan bahwa Indonesia telah mendapatkan komitmen sebesar USD 11,5 miliar dari Xinyi Group Tiongkok untuk pembangunan fasilitas manufaktur panel surya di Pulau Rempang. Ia mengklaim bahwa fasilitas tersebut akan menjadi yang terbesar kedua di dunia.

Papan nama Otoritas Zona Bebas Batam Indonesia di depan lokasi relokasi yang mencantumkan “manfaat relokasi bagi warga Rempang” (Gambar: Bagus Pradana / Transparansi Internasional Indonesia)

Namun, pada Februari tahun ini, Xinyi membantah terlibat dalam Rempang Eco City. Dalam pernyataan kepada Pusat Sumber Daya Bisnis & Hak Asasi Manusia, perusahaan menyatakan bahwa “perusahaan belum memulai proyek eco-city apa pun dan belum mencapai kesepakatan atau kontrak apa pun”. Perusahaan juga menyatakan bahwa otoritas terkait “hanya memberikan informasi awal tentang harga dan ketentuan proyek pembangunan kepada perusahaan kami”.

Bulan berikutnya, proyek tersebut mengalami kemunduran lebih lanjut setelah terungkapnya bahwa proyek tersebut dikeluarkan dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia, yang menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan kelayakannya. Namun, para pejabat dari Badan Pengelola Kawasan Bebas Batam (BPKB), badan pemerintah yang mengawasi proyek tersebut, secara terbuka menepati komitmen mereka.

Kepala BPKB sekaligus Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, menyatakan pada bulan Maret bahwa dikeluarkannya BPKB dari daftar PSN “tidak berarti proyek tersebut tidak berlaku lagi atau telah dibatalkan”. Upaya relokasi masih berlangsung hingga bulan Juli. Warga Tanjung Banon digusur , dan perkebunan mereka diratakan untuk pembangunan rumah bagi program transmigrasi setempat.

Sementara pemerintah melihat peluang ekonomi, warga melihat proyek tersebut sebagai ancaman terhadap keberadaan mereka.

“Masyarakat Rempang memiliki ikatan emosional dan spiritual yang kuat dengan tanah air mereka,” ujar Suraya A. Afiff, seorang ahli ekologi politik di Universitas Indonesia.

Ia mencatat bahwa bagi kelompok-kelompok seperti masyarakat adat Melayu Rempang di pulau tersebut, misalnya, “memaksa mereka meninggalkan [desa mereka] berarti menghapus keberadaan mereka”.

Hilangnya 16 desa adat mereka berarti penduduk, yang keluarganya telah tinggal di sana selama beberapa generasi, akan kehilangan aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka. Ini termasuk tanah leluhur yang memiliki nilai spiritual dan budaya yang signifikan, serta tanah pemakaman leluhur .

Hilangnya lahan pertanian dan perkebunan di pulau ini juga dapat berdampak buruk bagi daerah sekitarnya. Sektor pertaniannya merupakan kontributor penting bagi ketahanan pangan dan ekonomi kawasan ini. Pertanian di Pulau Rempang dapat memenuhi sekitar 40-50% permintaan pasar di Batam dan pulau-pulau sekitarnya, ujar Gunawan Satary, Ketua Gabungan Petani Indonesia Kota Batam, kepada The IDN Times .

Gabungan tersebut menekankan bahwa para petani di pulau ini memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan lokal dan membantu pemerintah daerah Batam mengendalikan inflasi.

Pulau Rempang juga merupakan surga bagi kehidupan laut dan keanekaragaman hayati. Para peneliti dari Universitas Riau Kepulauan menemukan keberadaan tiga spesies bintang laut dan lima spesies teripang di dua pantai pulau tersebut. Kedua hewan ini sangat berharga karena peran ekologisnya dalam menjaga kesehatan ekosistem laut setempat.

Hutan bakau di pulau ini juga sama pentingnya. Membentang lebih dari 2.800 hektar, hutan bakau menghasilkan nilai Rp75 miliar (USD 4,5 juta) per tahun, menurut studi Universitas Maritim Raja Ali Haji . Sebagian besar nilai ini berasal dari perannya sebagai pelindung pantai melalui pemecah gelombang dan pencegahan intrusi air laut, serta jasa ekologis seperti tempat pembibitan dan tempat mencari makan serta bertelur bagi biota laut.

Kerusakan apa pun pada ekosistem ini akan berdampak langsung pada masyarakat. Pada bulan September, Susan Herawati, sekretaris jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), mempresentasikan penelitian yang belum dipublikasikan yang menunjukkan bahwa potensi kerugian lingkungan akibat proyek Rempang Eco City yang dipaksakan akan mencapai Rp1,3 miliar (USD 78.000) per rumah tangga per tahun bagi penduduk yang tetap tinggal di pulau tersebut, angka yang tiga kali lebih besar dari pendapatan mereka.

Di Tanjung Banon, sejak pembangunan perumahan relokasi dimulai, warga setempat dikabarkan mengeluhkan kerusakan hutan bakau dan kematian ikan di keramba akibat lumpur yang dihasilkan pembangunan, menurut laporan RiauPos.

Miswadi, seorang warga desa Sembulang Hulu di Pulau Rempang dan juru bicara AMAR-GB, mendefinisikan “kota ramah lingkungan” sebagai tempat di mana manusia dan alam hidup berdampingan secara simbiosis. “Namun, yang kita lihat dan dengar justru sebaliknya. Bagaimana ini bisa disebut kota ramah lingkungan jika awalnya justru menghilangkan komunitas yang telah hidup seimbang dengan lingkungan ini selama beberapa generasi?”

Banyak warga tetap bertahan di desa mereka dengan tuntutan sederhana. Mereka menuntut pemerintah untuk mengakui legalitas permukiman yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi ini, dan mengupayakan keberlanjutan kehidupan yang damai serta pelestarian budaya mereka.

“Jangan hanya membangun ‘kota ramah lingkungan’,” pinta Ishaka. “Bangunlah masa depan di mana anak-anak kita masih bisa memancing di perairan ini, bercocok tanam di tanah ini, dan menjadikan [ Kampung Tua ] Rempang sebagai rumah mereka. Jika masa depan itu hilang, investasi sebesar apa pun tidak akan bisa mengembalikannya.” [Mohammad Yunus]

Artikel ini terbit pertama kali dengan judul “Indonesian island’s traditional residents face relocation for ‘sustainable’ project” di Dialogue.Earth

Reforma agraria bisa terwujud: Belajar dari Gunung Anten, Langensari, dan Kasepuhan Jamrut

Siang itu, Desa Gunung Anten lebih ramai dari biasanya. Wajah-wajah asing datang mengunjungi desa yang terletak di Lebak, Banten, tersebut. Para pengunjung yang berasal dari beberapa negara di Asia itu bukan datang untuk berwisata. Mereka ingin melihat langsung dan belajar dari para petani yang telah teguh memperjuangkan tanah mereka yang diklaim perusahaan swasta. Setelah puluhan tahun berjuang, akhirnya tanah mereka mendapatkan pengakuan hak atas tanah dari pemerintah. “Pembelajaran terpentingnya adalah kerja-kerja atas inisiatif rakyat dalam gerakan sosial,” kata Aneesh Kumar, perwakilan dari organisasi Ekta Parishad, India, yang ikut hadir dalam kunjungan itu.

Aneesh dan ratusan orang lainnya datang mengunjungi organisasi rakyat di Gunung Anten sebagai bagian dari rangkaian acara Asia Land Forum 2025 yang digelar pada 17-21 Februari 2025 di Jakarta. Tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan tersebut karena adanya pemerintahan baru, sehingga memunculkan peluang baru untuk berkolaborasi kritis antara organisasi masyarakat sipil dengan Pemerintah. Selain itu, ini merupakan bentuk kepercayaan masyarakat di Asia terhadap konsistensi dan pencapaian gerakan reforma agraria di Indonesia.

“Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berharap Indonesia menjadi pusat best practice dalam mendorong percepatan reforma agraria, pembangunan desa, dan koperasi rakyat sebagai jalan mewujudkan kedaulatan pangan dan pengentasan kemiskinan,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika.

Ada 500 lebih peserta dari 14 negara di Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil hadir pada forum ini. Di hari pertama para peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan kunjungan komunitas ke tiga tempat, yakni Kasepuhan Jamrut di Lebak, Desa Gunung Anten di Lebak, dan Desa Langensari di Sukabumi, ketiganya di Provinsi Jawa Barat. Masing-masing organisasi rakyat tersebut menyimpan kisah perjuangan mempertahankan hak atas tanah.

Di Gunung Anten, anggota organisasi rakyat yang sebagian berasal dari Baduy luar itu berkisah, mereka mulai mengolah tanah untuk pertanian dan mendirikan pemukiman di desa tersebut sejak tahun 1989. Namun, pada tahun 1994, Badan Pertanahan Nasional (BPN) secara sepihak mengeluarkan izin pengelolaan tanah untuk PT. Bantam Preanger dan Rubber (PT. Bantam) berupa Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.100 hektare, termasuk di dalamnya lahan pertanian dan pemukiman warga. Masyarakat yang kukuh tidak mau melepaskan tanah mereka mendapat ancaman dari PT. Bantam, pemerintah setempat, serta dari warga desa sekitar.

Pada tahun 2002, izin HGU PT. Bantam berakhir. Namun, pada tahun 2008 sampai tahun 2010, perusahaan tersebut tetap berusaha mengusir masyarakat dengan intimidasi. Selama waktu ini pun PT. Bantam rupanya diam-diam merencanakan untuk menanam ulang karet di tanah petani tanpa memperbarui HGU terlebih dahulu. Masyarakat yang menggarap tidak tinggal diam, menyatukan kekuatan dalam Pergerakan Petani Banten (P2B).

Penyelesaian konflik agraria mulai menunjukkan kemajuan pada tahun 2016, ketika kawasan tersebut diajukan sebagai LPRA (lokasi prioritas reforma agraria). LPRA adalah tanah yang dikuasai untuk pertanian, pemukiman, desa, dusun, dan wilayah petani, nelayan, serta masyarakat adat yang telah memenuhi prasyarat untuk penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah dalam kerangka reforma agraria. Sejak saat itu, P2B yang terdiri dari 195 keluarga, bersama KPA secara konsisten memberikan tekanan kepada pemerintah, termasuk proses advokasi kepada Presiden, berbagai kementerian/lembaga, dan otoritas setempat.

Setelah perjuangan panjang, akhirnya konflik antara masyarakat dengan perusahaan tersebut berhasil diselesaikan. Tanah seluas 135 hektare yang diakui sebagai milik P2B bisa diredistribusi dengan skema kepemilikan bersama, tepatnya pada 27 Oktober 2023. Para anggota mengalokasikan 33 persen tanah untuk perempuan dan 25 persen untuk pemuda yang menjadi penerus perjuangan.

Semua tanah yang diredistribusikan itu diorganisir dengan baik: enam hektar telah ditetapkan untuk tujuan pemukiman, 100 hektar diperuntukkan bagi praktik pertanian, dan lima hektar disediakan untuk penggunaan kolektif. Tanah sisanya memiliki peran penting, berfungsi sebagai jalan desa, ruang pertanian, sekretariat yang berfungsi sebagai balai pertemuan, pusat pendidikan, dan berbagai fasilitas umum dan sosial yang memperkaya pengalaman bersama komunitas.

Di lahan kolektif tersebut, mereka menyediakan pusat pembibitan beragam tanaman varietas lokal untuk memastikan pangan dan pengetahuan lokal tetap terjaga. Mereka juga membangun Balai ARAS sebagai pusat pendidikan, terutama bagi anak-anak. “Bagaimana serikat tani mendirikan fasilitas pendidikan untuk anak-anak di Balai ARAS ini adalah sesuatu yang luar biasa,” kata Atlantuya Tsedenish dari organisasi NAMAC, Asia Tengah.

Sementara itu, di Desa Langensari, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, perjuangan belum berhenti. Dulu, kampung mereka merupakan perkebunan kolonial. Usai Indonesia merdeka, wilayah tersebut kemudian digarap oleh para petani sejak tahun 1948. Namun, alih-alih mendistribusikan tanah tersebut kepada masyarakat, Pemerintah justru mengalihkannya kepada perusahaan PTPN VIII yang mengakibatkan konflik agraria dengan masyarakat. PTPN VIII menguasai lebih dari 2.023 hektar lahan pertanian, termasuk lahan yang aktif digarap oleh masyarakat Desa Langensari.

Sebagian dari mereka mengorganisir diri dan bergabung dalam Persatuan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS). Di organisasi tani lokal (OTL) Langensari, mereka menguasai lahan seluas 183 hektare ini berfungsi sebagai pusat pertanian yang mampu menghasilkan lebih dari 50 ton sayuran setiap hari. Para petani tidak hanya memasok bahan pangan di daerahnya tapi juga ke daerah sekitarnya, termasuk Jakarta.

Petani OTL Langensari juga dikenal dengan kerajinan tanaman hias bambu suji, dan menjadi pemasok untuk diekspor ke Korea Selatan dan China. Laki-laki biasanya mengatur penanaman di kebun bambu, dan perempuan merangkai bambu pasca panen. Namun begitu, meski memiliki tanah yang subur dan menjadi penopang perekonomian, para petani tersebut belum mendapatkan pengakuan hak atas atas tanah mereka.

Sebagai bagian dari LPRA, tanah petani telah diidentifikasi sebagai titik fokus penyelesaian konflik agraria oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tantangan yang dihadapi petani dalam mendapatkan pengakuan atas tanah mereka sangat besar. Namun ini tidak menghalangi mereka untuk menempuh jalan penyelesaian konflik dan pemenuhan hak atas tanah melalui reforma agraria (agrarian reform by leverage).

Kurun setahun terakhir, tidak terhitung intimidasi dan teror yang didapatkan petani PPSS dari kepolisian dan militer, suruhan PTPN VIII. Bersama senjatanya, mereka meyakinkan petani untuk menerima skema Pemberdayaan Masyarakat Desa sekitar Kebun (PMDK). Petani menolak, karena PMDK mengamini bahwa tanah adalah milik PTPN. Aparat gabungan kembali mendatangi petani PPSS, menyebut bahwa lahan mereka akan diambil alih untuk program ketahanan pangan.

Melalui kemandirian dan berbagai inisiatif, petani berhasil memaksimalkan produksi lahan pertanian, membangun pemukiman, sekretariat organisasi, dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa melalui pengorganisasian yang efektif petani dapat mencapai apa yang secara tradisional menjadi tanggung jawab pemerintah.

Di Kasepuhan Jamrut, nyala api perjuangan juga masih panas. Wilayah tempat tinggal mereka berada di Desa Wangunjaya dan Desa Citorek Barat dengan luas 2.642 hektare. Namun, pada 1979, sebagian wilayah mereka ditetapkan sebagai Kawasan Hutan di bawah Kementerian Kehutanan dan dikelola oleh Perum Perhutani yang bergerak di bidang penebangan hutan serta Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.  Padahal, tanah tersebut adalah sumber penghidupan yang telah dikelola secara turun-temurun. Terlebih, oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, sebagian wilayah lain juga ditetapkan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL) yang kemudian diberikan konsesi perkebunan swasta. Wilayah penghidupan masyarakat Kasepuhan Jamrut pun makin tumpang tindih.

Untuk mendapatkan hak mereka kembali, masyarakat Kasepuhan telah melakukan pemetaan partisipatif sejak 2015. Anak-anak muda, baik perempuan maupun laki-laki, aktif terlibat memimpin proses pemetaan partisipatif tersebut. Cerita-cerita mereka menjadi bahan pembelajaran bagi peserta Asian Land Forum yang datang berkunjung.

 “Saya banyak belajar dari Kasepuhan Jamrut, terutama perjuangan dan proses yang mereka lalui untuk mengklaim tanah mereka sebagai masyarakat adat. Karena di Laos, kami juga memiliki masalah yang sangat mirip, di mana komunitas kami tinggal di kawasan hutan dan mereka berjuang untuk mengklaim hak-hak mereka di dalam hutan. Saya sangat ingin menggunakan pengalaman ini dan menerapkannya di negara saya,” ujar Vanida Khouangvicait, dari Land Information Working Group Laos.*****
Junarcia Molisna Naibaho, Konsorsium Pembaruan Agraria

Pisau bermata dua penertiban kawasan hutan

Kawasan hutan Indonesia. (Kementerian Kehutanan)
Kawasan hutan Indonesia. (Kementerian Kehutanan)

Kebijakan penertiban kawasan hutan melalui Peraturan Presiden 5/2023 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH) adalah langkah strategis penindakan usaha ilegal para pengusaha. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) Perpres tersebut berbunyi “Untuk penanganan dan perbaikan tata kelola kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain dalam Kawasan Hutan serta optimalisasi Penerimaan Negara, Pemerintah Pusat melakukan tindakan pemerintah berupa penertiban Kawasan Hutan”.

Ayat berikutnya menyebutkan, ”Penertiban Kawasan Hutan dilakukan terhadap Setiap Orang yang melakukan penguasaan Kawasan Hutan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Kami menilai frasa “Setiap Orang” dalam pasal tersebut menyimpan bara api konflik agraria, sebab operasi penertiban ini bisa saja menyasar kelompok petani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan yang selama ini mengalami konflik akibat “klaim” kawasan hutan Negara.

Pada Januari 2025 Presiden Prabowo membentuk Satgas PKH, hanya berselang satu bulan setelah Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No: 36/2025 yang memuat daftar subjek yang tanahnya ditertibkan sebanyak 436 dengan luasan mencapai 790.474 hektar.

Kini lima bulan berselang Satgas PKH mengklaim sudah menertibkan 2 (dua) juta hektar usaha ilegal milik pengusaha terutama sawit, kayu dan tambang yang tentu saja tidak diketahui dimana saja lokasinya.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam siaran pers, diakses Sabtu (26/7/2025) berpandangan kebijakan ini berpotensi menjadi pisau bermata dua, jika keliru menentukan objek dan peruntukan penertibannya di lapangan.

Pertama, jika tanah yang ditertibkan adalah untuk diselesaikan konfliknya dan didistribusikan kepada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan maka akan selaras dengan tujuan Reforma Agraria.

Kedua, sebaliknya apabila Pemerintah melalui Satgas PKH memberikannya kembali ke perusahaan lain, maka akan memperparah konflik agraria. Karenanya kebijakan ini perlu memenuhi prinsip kehati-hatian, transparansi dan skala prioritas dalam pelaksanaannya.

Kekhawatiran ini tentu memiliki dasar, misalnya jika mengacu pada data BPS tentang identifikasi desa dalam kawasan hutan tahun 2019, terdapat 42.471 desa di dalam dan di sekitar klaim kawasan hutan.

Sebagaimana kita ketahui jika satu desa diklaim sebagai kawasan hutan maka akan memunculkan konflik agraria berikutnya sebab Kementerian Kehutanan dengan leluasa menerbitkan izin berusaha bagi pengusaha tambang, sawit dan kayu.

Tentu hal ini berdampak pada semakin tingginya ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat kelompok kecil dengan badan usaha skala besar. Hal ini dibuktikan dengan temuan BPS berikutnya melalui Sensus Pertanian tahun 2023, dimana terdapat 2,19 juta petani gurem yang berada di wilayah klaim kehutanan.

Belum lagi masalah diskriminasi hak atas pembangunan yang terganjal sebab tidak dibenarkan suatu pembangunan pemerintah di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Hal lain yang menjadi mengkhawatirkan adalah pendekatan Satgas PKH yang sangat militeristik, di mana Ketua dan Wakil Satgas didominasi oleh Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri.

KPA memandang, pertama, ketiga institusi tersebut tidak memahami secara historis, sosiologis dan yuridis mengenai persoalan konflik agraria di Indonesia;

Kedua, pendekatan militeristik yang identik dengan ketiga lembaga tersebut justru kerap menyebabkan teror bagi masyarakat, sebab memilih pendekatan yang represif dan diskriminatif di lapangan.

KPA juga telah melihat adanya kerancuan pelaksanaan kebijakan ini contohnya di Provinsi Jambi. Di sana terjadi penggusuran tanah petani milik Anggota Serikat Tani Tebo (STT). Tanah pertanian dan perkampungan ini dianggap sebagai penguasaan ilegal.

Padahal Desa Lubuk Mandarsah, tempat milik Anggota Serikat Tani Tebo, sudah ditempati masyarakat sejak 1813 silam. Dengan menggunakan klaim kewenangan Satgas PKH para petani terancam.

Padahal tanah dan perkampungan yang diklaim sebagai kawasan hutan dan objek penertiban Satgas PKH merupakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang juga hendak diselesaikan konfliknya oleh Pemerintah Pusat dan Daerah itu sendiri.
KPA menyatakan, meski Presiden silih berganti namun semuanya belum berhasil memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan melalui program Reforma Agraria. Sejak tahun 2016 KPA bersama organisasi rakyat telah menyerahkan 1,7 juta hektar LPRA kepada kementerian bahkan Presiden demi mempercepat identifikasi objek dan subjek Reforma Agraria. Sayangnya yang diusulkan KPA menemui jalan buntu, tanpa proses penyelesaian apapun.

Kesalahan kebijakan

Menurut KPA, masalah agraria di kehutanan hari ini adalah dampak dari kesalahan kebijakan pemerintah puluhan tahun lalu, ketika pemerintah menetapkan kawasan hutan, tanpa memeriksa dan mendaftar penguasaan tanah masyarakat yang jauh lebih dulu ada, sesuai mandat UUPA 1960.

Pasca disahkannya UU Cipta Kerja penetapan hutan negara tidak lagi harus melalui 4 tahap seperti penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan, namun bisa ditentukan sepihak oleh Kementerian Kehutanan. Akibatnya bermunculan konflik dan perampasan tanah baru yang disebabkan masalah penetapan dan pemberian izin kehutanan. Seharusnya pemerintah atau Satgas PKH menyadari hal tersebut dan mengurai masalah dari titik semula yaitu proses penetapan hutan yang keliru.

Penertiban bisnis ilegal kawasan hutan telah dijalankan dengan serampangan oleh Satgas PKH, tidak hanya menjadi langkah mundur penyelesaian konflik agraria namun dapat menjadi aktor baru perampasan tanah.

Alasan keterlanjuran, penertiban bisnis ilegal dan pengampunan adalah kekeliruan selanjutnya tanpa dapat mengatasi krisis sosial dan ekonomi sudah terlampau parah. Hanya dengan mengoreksi tata batas kehutanan, pendaftaran dan redistribusi tanah saja warisan masalah ini dapat diselesaikan.

Atas situasi di atas, KPA bersama Serikat Tani di Provinsi Jambi mendesak agar Presiden Prabowo Subianto segera:

Mengevaluasi pelaksanaan Penertiban Kawasan Hutan oleh Satgas PKH secara nasional terutama di Provinsi Jambi;

Mengembalikan tanah dan perkampungan yang diklaim sebagai kawasan hutan kepada Petani, Buruh Tani, Masyarakat Adat, Nelayan dan Perempuan agar selaras dengan tujuan Reforma Agraria;

Memastikan dipenuhinya prinsip kehati-hatian, skala prioritas, transparansi, partisipasi masyarakat secara utuh dalam penentuan objek penertiban oleh Satgas PKH;

Memastikan kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) tidak bertentangan dengan proses penyelesaian konflik agraria dari “klaim” kawasan hutan;

Membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) yang dipimpin langsung oleh Presiden untuk percepatan Reforma Agraria, Kedaulatan Pangan dan Penguatan Ekonomi Kerakyatan; dan

Mengoreksi batas klaim kawasan hutan negara dan izin kehutanan demi memberikan keadilan dan kepastian hukum atas tanah serta perkampungan masyarakat.

Arti tanah bagi Wati, petani dari Ciamis

Wati, petani Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat. (KPA)
Wati, petani Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat. (KPA)

Bagi masyarakat Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, bertani adalah kehidupan. Bisa dibilang, mayoritas warga di sana bertani sebagai mata pencaharian. Bahkan, warga desa yang punya usaha toko pun bertani.

“Kami bertani untuk makan sehari-hari dan menambah penghasilan. Misalnya, sebagian singkong dimakan, sebagian dijual. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,” kata Wati, dilansir dari laman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), diakses Sabtu, 12 Juli 2025.

Apakah itu berarti bertani saja bisa membantu menyejahterakan ekonomi keluarga? “Betul. Kalau tidak ada tempat pertanian, kami mau makan apa? Bagaimana kami mau membangun rumah? Semua bisa dilakukan dari hasil pertanian,” katanya.

Sayangnya, belum semua warga Banjaranyar mendapatkan hak tanah yang digarapnya. Sebagian sudah mendapatkan sertifikat, sebagian lagi masih terus berjuang. “Sudah 24 tahun kami berjuang. Prosesnya memang sangat lama. Memperjuangkan hak tanah tidak bisa sebentar. Tidak seperti main hompimpa, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dan, perjuangan itu tidak pernah berhenti. Jika berhenti, tanah akan disergap oleh ‘musuh,” kata Wati, berapi-api.

Dalam perjalanannya berjuang atas hak tanah, Wati didampingi oleh manusia-manusia cerdas, yang umumnya adalah mahasiswa. Aktif di berbagai organisasi membuat Wati belajar banyak hal tentang hak perempuan atas tanah. Kehadiran KPA sebagai pendamping yang terus melakukan edukasi juga menambah ilmunya.

Ia menegaskan, perjuangan tersebut membutuhkan keberanian besar. Rumah Wati pernah didatangi aparat yang mencari-cari suaminya, yang memang seorang aktivis tentang hak tanah. Wati tidak gentar. Dengan suara lantang ia menantang balik para aparat tersebut.

“Sejujurnya saya lebih takut, kalau mereka menemukan suami saya. Dia bisa dipenjara dengan tuduhan penjarahan tanah,” kisahnya.

Melihat keberanian Wati, perempuan di kampungnya seperti tertular. Wati pun mulai mengumpulkan mereka setiap kali ada kesempatan. Berbekal pengetahuan yang ia miliki, ia memberi pemahaman soal hak tanah bagi perempuan, selalu mengingatkan tentang pentingnya memperjuangkan hak tanah.

“Supaya mudah mengumpulkan mereka, saya membuat pengajian, seperti yasinan keliling. Jadi, sebelum yasinan, saya bicara dahulu dengan ibu-ibu. Bahwa perjuangan ini bukan perjuangan laki-laki, perempuan harus terlibat. Tapi, ketika mengadakan aksi di bawah terik matahari, perempuan, mah, di rumah saja. Kasihan, kan, kalau ada anak yang ikut,” cerita Wati.

Tak hanya diberi pemahaman, ibu-ibu tersebut juga belajar berpikir, berpidato, berbicara di depan umum, belajar tentang ilmu-ilmu tanah, tentang kenapa harus memohon tanah. Wati sendiri belajar tentang hak dasar atas tanah dari suami, yang kerap mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari pendamping seperti KPA.

Wati berjuang bersama dalam wadah bernama SPP (Serikat Petani Pasundan). Menariknya, sejak awal berdiri, SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Wati mencontohkan, ketika proses reclaiming tanah, sudah langsung tertera nama suami dan istri. Dalam reclaiming itu diatur batasan bidang tanahnya.

“Semisal, ada seorang istri mendaftar dan memohon dua persil (sebidang tanah dengan batasan tertentu). Nama istri dan nama suami sama-sama terdaftar. Ada juga ibu-ibu yang mendaftar dua persil dengan namanya sendiri, sementara suaminya tidak mau terdaftar, karena takut didatangi polisi.”

Sejauh ini, wilayah Banjaranyar 2 dan area persawahan 2 sudah mendapatkan sertifikat tanah, karena musuhnya sudah tidak ada. Sementara itu, Banjaranyar 1 dan persawahan 1 masih berjuang untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Di Banjaranyar 2, SPP sudah membangun sekolah tingkat PAUD, SMP, SMK, dan pesantren.

“Karena ada sekolah, pemerintah jadi ikut membantu, misalnya dalam hal bangunan. Awalnya dana pembangunan sekolah didapat dari iuran warga,” kata Wati, yang bercita-cita membangun perguruan tinggi di sana.

Bagi yang masih berjuang untuk mendapatkan hak tanah, Wati berpesan, “Jangan takut akan kebenaran. Walaupun perjuangannya memang tidak segampang itu, hasilnya indah,” tegasnya.

Tiomerli Sitinjak mengadang ekskavator demi tanah

Tiomerli, warga Pematangsiantar, Sumatra Utara. (KPA)
Tiomerli, warga Pematangsiantar, Sumatra Utara. (KPA)

Tiomerli lahir di tengah keluarga petani. Bertani telah menjadi bagian dari kehidupannya sejak kecil. Baginya, kegiatan bertani sungguh menyenangkan, karena ada harapan tanaman itu akan tumbuh dengan baik.

Itulah kenapa hatinya begitu hancur, ketika tanah yang selama lebih dari 20 tahun menjadi tempatnya bergantung terancam diambil untuk area perkebunan.

Lebih dari 700 orang datang menyerbu. Mereka membawa 16 ekskavator, siap menghancurkan tanaman dan merobohkan rumah-rumah. Tanpa gentar, Tiomerli dan warga berlari mengadang. Beberapa dari warga nekat memanjat ke atas ekskavator, berusaha sekuat tenaga menghentikan penggusuran itu.

“Tanah ini adalah hidup kami,” ujar Tiomerli, suaranya bergetar, diakses dari KPA yang tayang 14 Mei 2025.

“Hasil tani dari sini kami pakai untuk menyekolahkan anak-anak,” lanjut Tiomerli.

Ia bercerita, Pematangsiantar, Sumatra Utara, dulunya merupakan perkampungan orang tuanya. Pada 1969 lahan mereka diambil dan dijadikan perkebunan, hingga kemudian pada 2004 HGU perkebunan tersebut habis masa berlakunya.

“Karena HGU perkebunan tidak diperpanjang, masyarakat bersama-sama mengklaim lahan ini untuk menjadi tempat tinggal dan lahan pertanian. Jalan sudah dibangun, begitu juga dengan masjid dan gereja.”

Kehidupan mereka aman dan tenteram, hingga pada 2022 perusahaan perkebunan yang sama kembali mendapatkan HGU. Tanpa bertanya pada rakyat, perusahaan tersebut mengerahkan orang untuk merusak semua. Padahal, tidak semua keluarga yang rumah dan tanamannya dirusak tersebut menerima tali asih (semacam penggantian dalam bentuk uang).

Dua setengah tahun terakhir ini Tiomerli dan teman-teman sekampungnya hidup dengan sangat tidak nyaman. “Bahkan, bertani di pekarangan rumah saja tidak aman. Malam hari bisa dirusak orang. Begitu juga kalau kami pergi meninggalkan rumah. Ketika pulang, tanaman sudah dirusak juga.

Masyarakat di sana kini hanya berstatus petani, tapi tak bisa bertani lagi, hanya bekerja serabutan. Apa pun pekerjaan yang ada, akan dikerjakan, termasuk bongkar muat bahan bangunan dan menenun. Padahal, sebelumnya masyarakat di sana hidup dengan guyub dalam bertani. Ketika Tiomerli menanam jagung, ia mengajak teman-temannya untuk bantu menanam. Begitu juga ketika temannya menanam, Tiomerli ikut membantu.

Perjuangan untuk mendapatkan hak tanah masih terus berlanjut. Tiomerli masih dipercaya menjadi Ketua Sepasi (Serikat Petani Sejahtera Indonesia). Tugasnya sebagai Ketua Sepasi adalah merangkul teman-temannya supaya kuat berjuang.

“Tanah ini memang tanah negara. Tetapi, kami masyarakat Indonesia juga berhak atas tanah negara. Itulah semangat yang selalu saya berikan kepada kawan-kawan untuk bertahan hidup di sini. Hidup kami memang agak sulit. Tapi, kalau pindah, akan pindah ke mana? Kalau diberi tali asih 30 juta rupiah, bisa pindah ke mana, mau bekerja apa?” kisahnya, tak bisa menahan air mata.

Berbagai jalan telah ditempuh oleh Sepasi. Mereka mendatangi berbagai pihak, mulai dari Walikota Pematangsiantar, Polres, Kanwil Medan, Komisi II DPR RI, juga Komnas HAM. Komnas HAM turun ke lapangan, mengevaluasi situasi, dan sudah mengeluarkan surat agar perusahaan perkebunan itu menghentikan dahulu kegiatannya, karena dinilai telah melakukan pelanggaran HAM.

Namun, surat tersebut diabaikan oleh mereka. Sepasi juga sempat mengadakan pertemuan di Jakarta, tapi hasil yang dimusyawarahkan di sana tidak dilaksanakan. Ditambah lagi, ketika keluar peraturan menteri pada 2024 yang menyatakan bahwa tidak ada peruntukan perkebunan di wilayah Pemantangsiantar.

“Kami sungguh berharap kehidupan kami tidak diganggu, kami tidak diusir dari tanah yang sudah kami tempati lebih dari 20 tahun. Jangan miskinkan kami. Dengan hidup selama 21 tahun di sini, kami sudah berhak memohon kepada negara untuk mengakui kami menempati tanah ini,” kata Tiomerli, yang siap untuk terus berjuang.

Kriminalisasi petani, potret suram penyelesaian konflik agraria

Petani menuntut implementas UU Reforma Agraria. (KPA)
Petani menuntut implementas UU Reforma Agraria. (KPA)

Yola Nifta Rompas, petani anggota Serikat Petani Minahasa Selatan (SPMS), ditetapkan sebagai tersangka, Selasa, 20 Mei 2025. Ia dituduh melakukan pencurian di atas lahan yang telah digarap masyarakat selama puluhan tahun. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), penetapan tersangka ini menandai kriminalisasi lanjutan terkait konflik agraria di Pakuweru yang telah berulang sejak 2022.

Kriminalisasi terhadap petani di Desa Pakuweru, Kecamatan Tengah, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi, telah berlangsung sejak 23 Juni 2022. Saat itu, Yola Nifta Rompas bersama 13 petani lainnya dilaporkan oleh perusahaan. Mereka dituduh mencuri hasil dari tanah yang telah dikuasai dan digarap masyarakat sejak 1970-an, meskipun tidak disertai bukti yang jelas.

Tanah seluas 94 hektar yang disengketakan merupakan bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang masa berlakunya telah berakhir pada tahun 2008. Setelah ditelantarkan perusahaan sejak dekade 1970-an, masyarakat mulai menggarap lahan tersebut secara lebih luas sejak 1990-an. Tanah ini menjadi sumber penghidupan bagi petani SPMS selama tiga generasi.

Data kriminalisasi terkait konflik agraria

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, tindakan kriminalisasi terhadap petani semakin menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menyelesaikan konflik agraria. KPA mencatat selama periode 2018–2024, terdapat 531 kasus kriminalisasi, 89 penganiayaan, 5 penembakan, dan 9 korban tewas di wilayah konflik agraria, khususnya sektor perkebunan.

KPA menyoroti bahwa kasus HGU di Minahasa Selatan telah berakhir sejak 2008, sehingga tidak ada dasar hukum bagi klaim perusahaan atau pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Selain itu, masyarakat telah menetap dan mengelola lahan tersebut sejak 1970-an, dan lokasi ini telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

Penetapan tersangka dinilai sebagai bentuk intimidasi, tanpa memeriksa latar belakang konflik secara menyeluruh dan tanpa bukti yang sah. KPA menyebut tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi yang berulang terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah.

KPA juga menyampaikan bahwa konflik seperti ini dapat dicegah jika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan lahan bekas HGU sebagai tanah terlantar untuk kemudian diredistribusikan kepada petani. Saat ini, terdapat 7,14 juta hektar tanah terlantar yang belum ditertibkan oleh pemerintah, memberi ruang bagi mantan pemilik HGU untuk terus melakukan intimidasi.

Pernyataan dan tuntutan KPA

Konsorsium Pembaruan Agraria menyampaikan pernyataan sikap tertanggal 3 Juni 2025 yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Dewi Kartika. KPA mendesak: bebaskan petani Minahasa dari riminalisasi; menuntut Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan Gubernur Sulawesi Utara mengawal proses penyelesaian konflik agraria di LPRA Pakuweru, dan mendesak Kementerian ATR/BPN segera mempercepat redistribusi tanah dan pengakuan hak atas tanah masyarakat Pakuweru.

Food Estate, jalan lama yang mengkhawatirkan bagi para petani

Kriminalisasi terhadap Pembela Masyarakat Adat dan Petani sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban.
Massa tani dalam peringatan Hari Tani Nasional 2024. [FOTO: KPA]

Pemerintah menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas utama dalam strategi pembangunan nasional. Indonesia ditargetkan mampu mencapai swasembada pangan dalam empat hingga lima tahun ke depan. Namun, langkah ambisius ini kembali menempatkan kebijakan food estate sebagai andalan utama, kebijakan yang justru menyimpan rekam jejak penuh masalah di masa lalu.

Kebijakan food estate sejatinya bukan hal baru. Program ini telah dijalankan sejak era Orde Baru dan kembali dihidupkan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam berbagai pelaksanaannya, pendekatan ini lebih sering membawa dampak berbeda ketimbang hasil yang dijanjikan.

Berdasarkan laman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), food estate menggantikan peran petani dan nelayan sebagai produsen pangan utama, dan menyerahkannya kepada korporasi besar.

Pengalaman masa lalu menunjukkan bagaimana proyek food estate di berbagai daerah justru menciptakan masalah serius. Di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah; serta Merauke di Papua Selatan, program ini menimbulkan perampasan tanah, kerusakan lingkungan, dan kegagalan panen.

Sebagian besar lahan untuk food estate berasal dari kawasan hutan yang dibuka melalui penebangan skala besar. Ini tidak hanya menghancurkan ekosistem lokal, tetapi juga menggusur wilayah dan sumber pangan masyarakat adat. Di banyak tempat, tanah adat diklaim sepihak sebagai “kawasan hutan negara”.

Alih-alih memperkuat posisi petani, kebijakan ini membuka jalan bagi dominasi korporasi besar—baik milik negara maupun swasta—untuk menguasai sektor pangan nasional. Jika arah ini tetap diambil, maka kedaulatan pangan hanya akan menjadi slogan kosong.

Kekhawatiran akan dikuasainya sistem pangan oleh korporasi makin terasa ketika melihat meningkatnya konflik agraria. Dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, tercatat 63 konflik agraria yang berdampak pada lebih dari 10 ribu keluarga. Sebagian besar konflik tersebut berkaitan langsung dengan proyek swasembada pangan dan ekspansi korporasi.

Sepanjang 2024, KPA mencatat 295 konflik agraria dengan luas wilayah terdampak mencapai 1,1 juta hektare, melibatkan lebih dari 67 ribu keluarga. Sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi penyumbang konflik terbesar. Petani dan masyarakat adat menjadi kelompok yang paling terdampak.

Kekerasan terhadap warga pun kian marak. Sepanjang tahun lalu, 556 orang menjadi korban kekerasan akibat konflik agraria. Dari jumlah tersebut, 399 dikriminalisasi, dan empat orang tewas akibat tindakan represif aparat.

Padahal sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada 1984 tanpa mengandalkan food estate. Saat itu, Presiden Soeharto menggerakkan gotong royong dan memperkuat sentra-sentra produksi padi di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Kunci keberhasilan waktu itu terletak pada intensifikasi pertanian, pembangunan infrastruktur irigasi, serta ekstensifikasi melalui perluasan sawah, bukan korporatisasi.

Jika pemerintah serius ingin mewujudkan swasembada pangan, maka ia perlu kembali pada fondasi yang kokoh: pertanian rakyat. Sayangnya, hingga kini, jutaan petani masih menghadapi ketimpangan akses atas tanah.

Data BPS 2023 mencatat sebanyak 17,24 juta petani hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare. Sementara itu, 61,99 juta hektare lahan subur dikuasai oleh perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan tambang.

Reforma agraria sejatinya telah dicantumkan dalam visi-misi Prabowo sebagai bagian dari Asta Cita. Namun implementasinya masih sangat terbatas. Reforma agraria lebih banyak diartikan sebagai program sertifikasi tanah, tanpa upaya redistribusi yang menyeluruh kepada petani dan masyarakat adat.

Tanpa reforma agraria yang sejati, target swasembada pangan hanya akan menjadi ilusi. Padahal penataan ulang penguasaan tanah, penyelesaian konflik agraria, dan perlindungan terhadap petani dan masyarakat adat sebagai fondasi utama kedaulatan pangan.

Masalah lain yang menghambat adalah kebijakan pasar yang tidak berpihak kepada petani. Tanpa pembatasan impor, harga produk pertanian lokal sering anjlok, menyebabkan kerugian besar bagi petani. Banyak dari mereka akhirnya menjual lahannya atau beralih profesi karena tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah.

UU Cipta Kerja juga menjadi penghalang serius bagi reforma agraria. Undang-undang ini mempermudah alih fungsi lahan dan memperkuat peran Badan Bank Tanah untuk kepentingan investasi, bukan redistribusi tanah.

Tanpa keberpihakan nyata terhadap petani dan masyarakat adat, pemerintahan Prabowo berisiko mengulang kegagalan masa lalu. Proyek food estate bukan hanya gagal dalam hal produktivitas, tetapi juga telah meninggalkan jejak konflik dan ketimpangan.

Jika tidak disertai reforma agraria yang menyeluruh, proyek pangan berskala besar hanya akan memperkuat dominasi korporasi dan menjauhkan petani dari tanah dan penghidupan mereka. Maka, pilihannya, apakah ingin mengulang kegagalan masa lalu, atau menempuh jalan baru yang berpihak pada rakyat.

AMMK desak penyelesaian sengketa identitas desa adat di Aceh Timur

Masyarakat petani penggarap lahan di Aceh Timur. (KPA)
Masyarakat desa adat petani penggarap lahan di Aceh Timur. (KPA)

Aliansi Masyarakat Menggugat Keadilan (AMMK), di bawah komando Tgk. Muda Wali, menyerukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera mengambil tindakan atas persoalan identitas desa-desa adat di Aceh Timur. Sengketa antara pemukiman masyarakat adat dan wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan dinilai terus mengabaikan hak historis masyarakat lokal.

Dalam pernyataan sikapnya, Tgk. Muda Wali menyoroti fakta bahwa banyak desa di Aceh Timur telah berdiri sejak abad ke-18. Meski memiliki sejarah dan struktur sosial yang kuat sebagai komunitas adat adat, hingga kini desa-desa tersebut belum mendapatkan pengakuan administratif yang jelas.

“Contohnya Gampong Jambo Rehat, Seuneubok Bayu di Kecamatan Banda Alam, Seuneubok Buya, Alue Lhok di Kecamatan Idi Tunong, serta Lhok Lemak di Kecamatan Darul Ihsan,” ujar Tgk. Muda Wali saat memberikan keterangan di sebuah kafe di ibukota Aceh Timur, Minggu (4/5/2025).

Selain itu, ia juga menyebutkan beberapa desa adat lain seperti Seuneubok Kuyun di Kecamatan Idi Timur, Alue I Udep dan Seumanah Jaya di Kecamatan Rantau Peureulak, yang kini bersengketa dengan PT Angkasana Kompeni. Sementara itu, Teupin Raya sebelumnya terlibat konflik dengan PT Brata Maju, dan Gampong Gajah Mentah di Kecamatan Sungai Raya juga mengalami hal serupa dengan PT Patria Kamo. Beberapa dari desa-desa ini bahkan telah ada sejak masa kolonial Belanda.

Kondisi infrastruktur di wilayah-wilayah tersebut juga sangat memprihatinkan. Tgk. Muda Wali mencontohkan Jambo Rehat, yang hingga kini belum memiliki akses jalan yang layak. “Pembangunan dasar pun belum menyentuh wilayah tersebut,” katanya.

AMMK mempertanyakan dasar hukum pemberian HGU kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka menilai pemberian HGU tidak seharusnya dilakukan di atas lahan yang telah lama dihuni masyarakat adat. Menurut Tgk. Muda Wali, HGU idealnya diberikan di atas tanah kosong atau kawasan hutan, bukan pada pemukiman yang memiliki sejarah sosial dan budaya yang kuat.

“Ini bentuk ketidakadilan. HGU hadir di atas kampung-kampung di Aceh Timur yang sudah eksis secara sosial dan historis. Kami minta pemerintah segera menjelaskan status identitas desa-desa tersebut,” tegasnya.

Lebih lanjut, AMMK juga menyoroti lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat, khususnya komunitas desa adat, dalam konflik agraria yang terus berlarut. Mereka mendesak pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Timur untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan persoalan ini, termasuk dengan menetapkan desa-desa tersebut sebagai entitas yang sah dan mandiri, lepas dari klaim HGU perusahaan.

“Jangan sampai desa menjadi alat kepentingan politik dan ekonomi,” tegas Tgk. Muda Wali. Ia juga mengingatkan agar dinas terkait, khususnya Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), tidak memanipulasi data identitas masyarakat demi kepentingan pihak tertentu.

Menurutnya, perjuangan AMMK bukan didorong oleh ambisi politik, tetapi dilandasi keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang telah lama termarjinalkan. Ia menegaskan bahwa penyelesaian konflik ini menyangkut keadilan dan hak asasi masyarakat adat untuk diakui secara sah oleh negara.

Menguatkan pemenuhan hak atas tanah warga Sulawesi Tenggara melalui pendidikan

Pendidikan tentang agraria oleh KPA di Kolaka, Sulawesi Utara. (KPA)
Pendidikan tentang agraria oleh KPA di Kolaka, Sulawesi Tenggara. (KPA)

Konflik agraria di Sulawesi Tenggara (Sultra) terus menjadi masalah yang belum tuntas. Ketimpangan kepemilikan tanah, perampasan lahan oleh perusahaan tambang, serta lemahnya perlindungan hukum bagi petani, menjadi tantangan besar dalam perjuangan hak atas tanah di daerah ini.

Dalam upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Forum Solidaritas Daerah (ForSDa) Kolaka menggelar pendidikan kader melalui Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).

Pendidikan yang berlangsung selama tiga hari, mulai Rabu (12/3) hingga Jumat (14/3) di Kolaka, Sultra, diikuti oleh 32 peserta dari berbagai organisasi rakyat yang tergabung dalam jaringan KPA. Di antaranya adalah Serikat Tani Mekongga, Serikat Tani Mekongga Timur, Lembaga Adat Adati Totongano Wonua Kampo Hukaea-laea, dan ForSDa.

Tujuan utama dari pendidikan ARAS adalah untuk membekali para kader dengan pemahaman yang mendalam tentang pengorganisasian dan advokasi, serta memperkuat organisasi rakyat dalam perjuangan reforma agraria.

Menurut Syamsudin Wahid, Kepala Departemen POR KPA dan salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut, pendidikan ini bukan hanya soal teori. “Pendidikan ini juga menjadi upaya ideologisasi bagi para kader,” ujarnya. Syamsudin menekankan pentingnya pertukaran pikiran dan pengalaman dalam perjuangan hak atas tanah.

Selain materi tentang strategi advokasi, para peserta juga berbagi pengalaman tentang konflik agraria yang terjadi di daerah mereka. Salah satu kasus yang mencuat adalah sengketa lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang nikel di Kolaka dan Bombana.

Di beberapa wilayah Sultra, termasuk Kolaka dan Bombana, masyarakat telah menggarap tanah secara turun-temurun. Namun, ketika konsesi tambang diberikan kepada perusahaan, tanah mereka diklaim sebagai bagian dari wilayah eksploitasi. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan hak atas tanah dan menghadapi intimidasi. Beberapa bahkan dijerat dengan kasus hukum karena berusaha mempertahankan hak atas tanah mereka.

Jabir Lahukui, Direktur ForSDa yang juga menjadi pemateri dalam ARAS, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan tambang yang memperoleh izin eksploitasi tanpa melalui konsultasi yang memadai dengan masyarakat.

“Selama ini, masyarakat sering kali tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, ini memperparah konflik agraria yang terjadi,” kata Jabir, dalam keterangan resmi. Ia juga menekankan pentingnya memahami siapa kawan dan siapa lawan dalam perjuangan ini, agar langkah-langkah yang diambil bisa lebih terarah.

Pendidikan ARAS juga memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi para kader dalam menerapkan strategi pengorganisasian, terutama menghadapi tekanan dari perusahaan dan aparat negara, serta minimnya perlindungan hukum bagi petani dan aktivis agraria. Keterbatasan ini menjadi salah satu fokus dalam pendidikan untuk memberikan pemahaman tentang advokasi dan risiko kriminalisasi yang mungkin dihadapi oleh para pembela hak tanah.

Iwa Kartiwa, salah satu narasumber, menjelaskan bahwa dalam melakukan advokasi, pengumpulan data dan strategi kampanye adalah hal yang sangat penting.

“Data adalah kekuatan dalam advokasi. Tanpa data yang kuat, perjuangan kita bisa lemah,” tegasnya. Data yang akurat dan terkini menjadi salah satu kunci untuk memperkuat posisi masyarakat dalam berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah.

Lebih lanjut, pendidikan ini juga berpotensi untuk diikuti dengan langkah-langkah konkret, seperti pendampingan hukum bagi korban konflik agraria, strategi pengorganisasian yang lebih sistematis, serta peningkatan tekanan politik terhadap kebijakan yang merugikan petani. Untuk itu, sinergi antara organisasi rakyat, akademisi, dan media perlu diperkuat agar isu agraria semakin mendapat perhatian publik dan kebijakan politik yang lebih berpihak kepada rakyat.

Syamsudin Wahid menegaskan, “Reforma agraria sejati bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga bagaimana pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam aksi nyata untuk mengubah ketimpangan struktural yang masih mengakar.” Dalam konteks ini, pendidikan kader tidak hanya menjadi ruang untuk menambah wawasan, tetapi juga sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat gerakan sosial dalam mewujudkan keadilan agraria.

Pendidikan ARAS yang pertama kali diadakan di Sulawesi Tenggara ini diharapkan menjadi titik awal untuk diskusi dan pendidikan lebih lanjut mengenai reforma agraria. Syamsudin berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan untuk memperkuat perjuangan hak atas tanah di masa depan. “Harapan kita, hasil dari pendidikan ARAS ini akan melahirkan peningkatan kesadaran politik, pemahaman yang lebih kuat tentang hak-hak agraria, serta strategi advokasi yang lebih efektif,” tutupnya.

Dengan berakhirnya pendidikan ini, perjuangan hak atas tanah di Sulawesi Tenggara terus berlanjut. Para kader ARAS kini diharapkan dapat membawa pengetahuan dan strategi yang mereka peroleh untuk memperjuangkan keadilan agraria di daerah masing-masing.

Home Maps Network Search