PLN dan Uni Eropa pacu pembangunan “Baterai Air” raksasa target NZE 2060

Langkah Indonesia menuju transisi energi bersih kembali mendapatkan momentum signifikan. PT PLN (Persero) memperkuat kolaborasi strategis internasionalnya dengan Uni Eropa, KfW Development Bank, dan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI untuk mempercepat pembangunan infrastruktur listrik hijau.

Fokus utama kerja sama ini adalah pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pumped Storage berskala besar—teknologi yang sering disebut sebagai “baterai air” raksasa—di dua lokasi strategis, yakni Sumatera Utara dan Jawa Timur. Langkah ini ditegaskan sebagai upaya konkret mendukung pencapaian Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060.

Kerja sama ini merupakan kelanjutan dari komitmen global yang sebelumnya telah dibangun, termasuk kesepakatan yang ditandatangani pada COP28 di Dubai tahun 2023 lalu.

Investasi hijau dan inovasi pendanaan

Direktur Keuangan PLN, Sinthya Roesly, menjelaskan bahwa pengembangan energi baru terbarukan (EBT) seperti PLTA Pumped Storage membutuhkan pendekatan yang tidak biasa, terutama dalam aspek pendanaan. Proyek ini dinilai krusial untuk menjamin stabilitas pasokan energi bersih di masa depan.

“Proyek energi terbarukan sangat penting untuk mempercepat transisi energi dan membutuhkan skema pembiayaan yang inovatif serta kolaborasi yang luas,” ujar Sinthya Roesly.

Untuk mendukung tahap awal proyek ini, Uni Eropa bersama KfW telah mengucurkan bantuan teknis (technical assistance) senilai EUR 6 juta. Dana ini dialokasikan khusus untuk penyusunan studi kelayakan (feasibility study) di dua lokasi proyek. Di Sumatra Pumped Storage di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, dan Grindulu Pumped Storage di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Proyek di Sumatera Utara memiliki keunikan tersendiri karena akan memanfaatkan Danau Toba sebagai kolam penampung bawah (lower reservoir), sementara kolam atas (upper reservoir) akan dibangun menggunakan sistem ring dam. Proyek ini diperkirakan menelan investasi sekitar USD 582 juta.

Sementara itu, proyek Grindulu di Pacitan direncanakan memiliki kapasitas total 1.000 Megawatt (MW) dengan estimasi kebutuhan investasi mencapai USD 1,08 hingga 1,3 miliar.

Dukungan global gateway Uni Eropa

Perwakilan Uni Eropa, Jerome Pons, menyoroti bahwa keterlibatan Eropa dalam proyek ini berada di bawah payung inisiatif Global Gateway. Ia menekankan pentingnya membangun sistem kelistrikan yang tidak hanya rendah emisi, tetapi juga tangguh.

“Inisiatif Global Gateway berperan dalam membangun sistem tenaga listrik yang tangguh dan rendah emisi,” kata Jerome Pons.

Senada dengan hal tersebut, Direktur PT SMI, Faris Pranawa, menegaskan bahwa sinergi antara lembaga domestik dan mitra internasional adalah kunci untuk memobilisasi pembiayaan hijau di Indonesia.

“Sinergi antara mitra domestik dan internasional merupakan katalisator bagi pembiayaan hijau,” ungkap Faris.

Tonggak penting menuju 2060

Executive Vice President Keuangan Korporat PLN, Maya Rani Puspita, menambahkan bahwa realisasi kerja sama ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan sebuah pembuktian komitmen terhadap mitigasi perubahan iklim.

“Kerja sama ini menjadi tonggak penting untuk mencapai target Net Zero Emissions tahun 2060,” tegas Maya Rani Puspita.

Kolaborasi ini diharapkan menjadi model bagi proyek-proyek transisi energi lainnya di Indonesia, membuktikan bahwa pergeseran dari energi fosil menuju energi bersih dapat dilakukan melalui kemitraan global yang solid dan pendanaan yang berkelanjutan.

Tata kelola geothermal Indonesia, pusat merencanakan daerah menderita

Energi panas bumi (geothermal) digadang-gadang menjadi tulang punggung rencana Indonesia memangkas emisi gas rumah kaca hingga nol bersih (net zero) pada tahun 2060.

Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas terpasang sebesar 5,2 gigawatt (GW) pada periode 2025-2034, naik signifikan dari kapasitas saat ini yang hanya 2,7 GW, menurut data dari kantor berita negara Antara. Pada 2060, targetnya melonjak menjadi 22,7 GW kapasitas panas bumi non-variabel. Tujuannya jelas: menarik investasi untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga batu bara, menyediakan pasokan beban dasar (baseload) yang stabil, dan menjamin keandalan jaringan listrik.

Namun, di balik ambisi besar ini, terdapat masalah struktural yang mendalam. Keputusan strategis mengenai lokasi eksploitasi panas bumi sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Sentralisasi ini memicu konflik berkepanjangan antara Jakarta dan pemangku kepentingan di daerah, yang sering kali berujung pada penolakan keras masyarakat terhadap proyek energi.

Pola tata kelola ini dapat diringkas dalam satu kalimat pahit: direncanakan di pusat, diderita di daerah (planned centrally, suffered locally).

Ketimpangan wewenang

Berdasarkan regulasi tahun 2018, pemerintah pusat memiliki wewenang penuh menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Kekuasaan ini semakin diperkuat melalui regulasi tahun 2023 yang secara eksplisit memberikan otoritas kepada pusat untuk mengeluarkan rekomendasi proyek pembangkit listrik.

Akibatnya, peran pemerintah daerah menjadi sangat kerdil, terbatas hanya pada pengelolaan proyek setelah mendapat “lampu hijau” dari pusat. Pembagian wewenang ini menciptakan ketegangan nyata. Pusat berfokus pada target bauran energi nasional dan investasi strategis, sementara daerah harus menanggung dampak langsung terhadap tata ruang, mata pencaharian warga, dan kerusakan lingkungan.

Contoh nyata ketimpangan ini terjadi di Kabupaten Bandung. Pada tahun 2023, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengungkapkan fakta ironis dalam pertemuan dengan perwakilan perusahaan geothermal.

“Sebanyak 3.000 kepala keluarga masih belum menikmati aliran listrik,” ungkap Dadang Supriatna. Ia menegaskan bahwa, “Mayoritas dari mereka tinggal tidak jauh dari lokasi operasional perusahaan panas bumi.”

Dadang kemudian mendesak perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) agar warga desa dapat mengakses listrik.

Risiko di daerah, manfaat di pusat

Ketimpangan kekuasaan juga merembet ke masalah fiskal. Pemerintah daerah sangat bergantung pada transfer dari pusat karena wewenang perpajakan mereka terbatas (seperti pajak air dan kendaraan), sementara pajak utama (PPh, PPN) dikuasai pusat.

Situasi ini terlihat jelas di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang ditetapkan pusat sebagai salah satu wilayah prioritas pengembangan geothermal. Struktur pendapatan NTT sangat bergantung pada transfer pusat. Ketika pusat melakukan efisiensi anggaran demi program nasional lain—seperti program prioritas Presiden Prabowo Subianto—daerah seperti NTT menjadi sangat rentan.

Per Februari lalu, transfer fiskal ke NTT dipangkas sebesar Rp184 miliar (sekitar 4,2% dari anggaran belanja daerah 2024). Padahal di saat yang sama, proyek panas bumi justru berpotensi menggerus pendapatan lokal.

Menurut pemodelan ekonomi dalam studi tahun 2024 oleh WALHI dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS), petani di tiga lokasi di Pulau Flores berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp470 miliar pada tahun pertama konstruksi pembangkit listrik panas bumi. Selain kerugian ekonomi, pembangkit ini juga akan bersaing dengan masyarakat lokal dalam memperebutkan sumber air.

Ancaman penggusuran di Flores

Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang ditandatangani April lalu menempatkan proyek perluasan pembangkit panas bumi Ulumbu di Poco Leok, Flores, sebagai kunci. Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melaporkan dampak sosial yang serius.

Menurut data AMAN, proyek ini “mengancam akan menggusur 4.506 jiwa di 14 komunitas adat dari 3.778 hektare tanah leluhur mereka.”

Warga menolak proyek tersebut karena khawatir akan ancaman terhadap tanah leluhur, sumber air, dan warisan budaya. Penolakan ini bahkan berujung pada dugaan intimidasi terhadap protes warga di Kecamatan Maranggai pada perayaan Hari Lingkungan Hidup bulan September lalu.

WKP di Flores ditetapkan secara sepihak oleh pusat tanpa mekanisme konsultasi yang bermakna. Hal ini meminggirkan suara masyarakat sipil dan mengabaikan hak tanah adat, sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip transisi energi yang berkeadilan.

Desentralisasi asimetris

Untuk mengatasi konflik ini, kami mengusulkan penerapan desentralisasi asimetris. Model ini memberikan otonomi yang berbeda-beda kepada pemerintah daerah dalam mengelola transisi energi, disesuaikan dengan kesiapan masing-masing wilayah.

Kesiapan ini dapat diukur menggunakan indikator pembangunan seperti Indeks Kesiapan Transisi Energi Daerah yang dikembangkan oleh CELIOS. Pendekatan bottom-up ini memungkinkan daerah merancang rencana energi lokal dan melibatkan pemangku kepentingan setempat dalam pengambilan keputusan.

Bagi daerah seperti NTT yang menurut indeks CELIOS masih “menunjukkan peluang perbaikan” (skor inisiatif energi bersih dan ketahanan ekonominya masih rendah hingga sedang), pelimpahan wewenang harus disertai dengan peningkatan kapasitas dan dukungan ekonomi.

Perubahan tata kelola ini mendesak dilakukan, mengingat investor asing kini semakin memprioritaskan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan. Sebuah laporan dari UN-supported Principles for Responsible Investment menyoroti bahwa uji tuntas (due diligence) terhadap HAM dan rantai pasok lingkungan sangat penting untuk investasi yang hati-hati.

Dengan merangkul desentralisasi asimetris, Indonesia dapat mengubah proyek panas bumi dari sumber konflik menjadi jalan menuju pembangunan inklusif dan pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan cara inilah transisi energi yang berkeadilan benar-benar dapat terwujud dan menarik bagi investor global.


Artikel inipertama kali terbit di Dialogue Earth berjudul Indonesia’s geothermal governance must empower local people

Transisi hijau untuk keadilan iklim, alam dan manusia

Indonesia kini berdiri di sebuah persimpangan krusial. Di satu sisi, terbentang jalan yang sudah begitu akrab dilalui: sebuah model pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam. Jalan ini memang telah membawa kemajuan, namun di belakangnya tertinggal jejak kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial yang dalam. Di sisi lain, sebuah jalan baru yang menjanjikan mulai terbuka: transisi menuju ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon.

Namun, jalan baru ini pun menyimpan jebakannya sendiri. Tanpa arah yang jelas dan keberanian untuk mengubah cara berpikir, “transisi hijau” berisiko menjadi pengulangan model lama dengan kemasan baru—tetap mengorbankan alam dan meminggirkan mereka yang paling rentan.

Di tengah pilihan fundamental ini, sebuah pertanyaan inti mengemuka: transisi ini sebenarnya untuk siapa? Apakah ini sekadar pergantian dari mesin diesel ke panel surya, dari tambang batu bara ke tambang nikel, tanpa pernah menyentuh struktur ketidakadilan yang mendasarinya? Ataukah, Indonesia mampu merumuskan sebuah jalan ketiga—sebuah transisi yang tidak hanya hijau, tetapi juga adil bagi alam, iklim, dan seluruh lapisan masyarakatnya?

WRI Indonesia, dalam sebuah diskusi strategis, menegaskan bahwa Indonesia harus berani menentukan arahnya sendiri. Bukan sekadar mengikuti tren global, tetapi merancang sebuah “Transisi Berkeadilan” yang berakar pada realitas sosial dan ekologis nusantara. Ini adalah panggilan untuk sebuah kontrak sosial baru, di mana pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi panglima tunggal yang menundukkan kelestarian alam dan kesejahteraan manusia.

Selama ini, narasi pembangunan Indonesia sering kali terjebak dalam dilema antara pertumbuhan dan pelestarian. Kini, dengan desakan global untuk transisi energi, dilema itu kembali muncul dalam bentuk baru. Ada kekhawatiran bahwa fokus pada pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan industri kendaraan listrik akan mengabaikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya.

Nirarta Samadhi, Country Director WRI Indonesia, menyoroti bahaya dari pendekatan yang sempit ini. Menurutnya, tanpa kerangka keadilan, transisi hijau bisa melahirkan masalah baru yang sama peliknya.

“Transisi berkeadilan bukan hanya soal mengganti sumber energi, tetapi juga memastikan prosesnya inklusif dan hasilnya merata. Tanpa itu, kita hanya akan memindahkan ketidakadilan dari satu sektor ke sektor lain,” tegas Nirarta pada Stories to Watch 2025 & Beyond yang digelar WRI Indonesia Selasa (21/10/2025).

Kekhawatiran ini sangat beralasan. Proyek-proyek energi terbarukan skala besar sering kali membutuhkan lahan yang luas dan dapat memicu konflik dengan masyarakat adat dan lokal. Begitu pula dengan rantai pasok kendaraan listrik yang bergantung pada industri pertambangan nikel—sektor yang rekam jejak lingkungan dan sosialnya kerap menjadi sorotan. Jika proses ini tidak dikelola dengan prinsip keadilan, maka yang terjadi bukanlah solusi, melainkan hanya pergeseran masalah.

Untuk menghindari jebakan tersebut, sebuah visi transisi yang utuh harus bertumpu pada fondasi keadilan yang kokoh. Pilar pertamanya adalah keadilan prosedural, sebuah prinsip mendasar bahwa setiap suara harus didengar. Artinya, setiap kebijakan dan proyek terkait transisi harus melibatkan partisipasi bermakna dari semua kelompok yang terdampak, terutama masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, dan kaum muda. Keputusan tidak bisa lagi dibuat secara sepihak di ruang-ruang tertutup di Jakarta. 

“Partisipasi publik bukan sekadar formalitas konsultasi, melainkan proses dialog yang setara di mana suara masyarakat didengar dan benar-benar memengaruhi hasil akhir,” jelas Arief Wijaya, Program Director WRI Indonesia.

Di atas fondasi partisipasi itu, berdiri pilar kedua: keadilan distributif. Ini adalah tentang pembagian manfaat dan beban secara adil. Manfaat dari transisi—seperti akses terhadap energi bersih yang terjangkau, lapangan kerja hijau, dan udara yang lebih sehat—harus dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite. Sebaliknya, beban transisi harus dikelola dengan program perlindungan sosial yang kuat. 

“Pekerja di industri batu bara, misalnya, tidak boleh ditinggalkan. Harus ada program pelatihan ulang (reskilling) dan penciptaan lapangan kerja alternatif yang layak sehingga mereka tidak menjadi korban dari transisi ini,” tambah Arief.

Namun, keadilan tidak hanya melihat ke depan, tetapi juga harus menyembuhkan luka masa lalu. Inilah pilar ketiga yang sering terlupakan: keadilan restoratif. Ini adalah pengakuan bahwa pembangunan di masa lalu telah menimbulkan banyak ketidakadilan, terutama terhadap masyarakat adat yang kehilangan hutan dan tanah leluhur mereka.

Transisi berkeadilan harus menjadi momentum untuk memperbaiki dan memulihkan hak-hak tersebut, entah melalui pengakuan resmi atas wilayah adat, rehabilitasi ekosistem yang rusak, atau pemberian kompensasi atas kerugian yang telah terjadi.

Merumuskan kerangka ini adalah satu hal; melaksanakannya adalah tantangan yang jauh lebih besar. Ini menuntut keberanian politik untuk keluar dari zona nyaman model pembangunan ekstraktif yang telah mengakar selama puluhan tahun. Pemerintah memang telah menunjukkan niat melalui berbagai komitmen iklim, namun komitmen di atas kertas harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang koheren dan tindakan yang konsisten di lapangan.

Langkah-langkah seperti reformasi tata kelola, perencanaan spasial yang inklusif, investasi pada sumber daya manusia, dan pengembangan mekanisme pendanaan yang inovatif harus menjadi prioritas.

Pada akhirnya, transisi berkeadilan adalah sebuah pilihan sadar. Indonesia bisa memilih untuk melanjutkan jalan lama yang terbukti tidak berkelanjutan, atau berani merintis jalan baru yang menempatkan keadilan sebagai fondasinya. Ini bukan pilihan yang mudah, tetapi ini adalah satu-satunya pilihan jika Indonesia ingin membangun masa depan yang benar-benar sejahtera, tangguh, dan lestari untuk semua warganya.

“Saatnya Indonesia tidak hanya menjadi pengikut, tetapi menjadi pemimpin dalam mendefinisikan seperti apa transisi berkeadilan itu. Kita punya kearifan lokal, kita punya modal sosial. Yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan politik untuk benar-benar menempatkan manusia dan alam di jantung pembangunan,” pungkas Nirarta Samadhi.

Menjemput fajar digital dan keadilan energi di jantung 3T

Di sebuah desa terpencil di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, aktivitas belajar mengajar di Sekolah Dasar Sokbok 014 seringkali terhenti seiring tenggelamnya matahari. Selama bertahun-tahun, ketiadaan akses listrik membatasi materi pengajaran pada papan tulis dan buku konvensional. Namun, tahun 2025 menjadi penanda perubahan fundamental. Dengan pemasangan SuperSUN—sebuah inovasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)—sekolah itu kini bersinar terang, membawa serta janji pendidikan yang lebih inklusif dan modern.

Bagi Musa, seorang guru di SD Sokbok 014, kedatangan listrik bukan sekadar penerangan, melainkan sebuah lompatan kuantum. “Terima kasih kepada PLN atas bantuan pemasangan SuperSUN, yang sangat bermanfaat bagi proses belajar mengajar,” ungkap Musa dengan nada haru. Ia menambahkan bahwa kini, tenaga pengajar dapat menggunakan media elektronik, membuat proses belajar menjadi “lebih interaktif dan menyenangkan”. Inilah yang disebutnya sebagai “titik balik” bagi pendidikan di Mamasa.

Kisah Mamasa merefleksikan pergeseran fokus dalam pembangunan infrastruktur nasional. Elektrifikasi di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) pada tahun 2025 tidak lagi sekadar menancapkan tiang, melainkan mengintegrasikan teknologi bersih dan digital. Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) seperti SuperSUN di lokasi terpencil menunjukkan bahwa wilayah 3T mampu melompati era infrastruktur lama langsung menuju era digital, secara langsung mengatasi ketimpangan pendidikan struktural yang selama ini menghambat kemajuan lokal.

Keberhasilan di Mamasa adalah bagian dari implementasi program Astacita, yang berlandaskan pada filosofi energi berkeadilan. Program ini semakin diperkuat setelah Darmawan Prasodjo kembali ditunjuk sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) pada pertengahan 2025. Sebagai arsitek transformasi digital dan pendorong Green Transformation, Darmawan memastikan bahwa fokus perusahaan tidak hanya pada modernisasi sistem, tetapi juga pada keadilan akses.

Darmawan menegaskan bahwa upaya ini adalah manifestasi dari mandat mulia yang diterima PLN, terutama dalam menyediakan listrik bagi rakyat di daerah 3T. Konsep “energi berkeadilan” yang dijalankan PLN adalah intervensi sosial yang cermat.

“Seringkali, infrastruktur kelistrikan seperti tiang dan jaringan kabel sudah tersedia di depan rumah warga 3T. Namun, hambatan sebenarnya adalah keterbatasan dana masyarakat prasejahtera untuk membayar biaya penyambungan awal. Melalui inisiatif ini, PLN menjembatani kesenjangan antara ketersediaan infrastruktur dengan keterjangkauan biaya, memastikan bahwa tidak ada satu pun rumah tangga yang tertinggal dari manfaat cahaya,” katanya.

Komitmen ini ditekankan Darmawan Prasodjo dengan nuansa spiritual dan kemanusiaan yang mendalam. “Ini bukan sekadar investasi untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat,” tegasnya. Darmawan. “Dari hati yang terdalam, kami bekerja siang malam agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat listrik”. Pernyataan ini menunjukkan pergeseran fokus PLN dari sekadar penyedia jasa energi menjadi agen pembangunan sosial dan etika.

Tiga pilar kesejahteraan
Akses listrik di wilayah 3T, yang didukung oleh program Astacita 2025, secara langsung berfungsi sebagai fondasi bagi pertumbuhan tiga pilar utama kesejahteraan: pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Data menunjukkan bahwa capaian elektrifikasi terbarukan dan konvensional terus digenjot di berbagai pelosok nusantara.

Di sektor Pendidikan, inovasi SuperSUN memungkinkan 503 sekolah di wilayah operasi UID Sulselrabar memperoleh akses listrik hingga September 2025, dari target 1.500 unit SuperSUN. Listrik memfasilitasi program revitalisasi sekolah dan mempercepat pembelajaran digital. Keberadaan akses digital ini sangat krusial, mengingat riset telah menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan di 3T adalah salah satu faktor utama yang menahan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Listrik adalah katalis untuk memecahkan siklus ketimpangan ini.

Pada pilar Ekonomi dan Sosial, dampak elektrifikasi terlihat jelas di Papua. Melalui Program Listrik Desa (Lisdes) pada semester I 2025, sebanyak 1.606 rumah tangga di 36 desa telah menikmati akses listrik. Kepala Daerah Kepulauan Yapen, misalnya, menyoroti bahwa program ini tidak hanya membawa cahaya, tetapi juga “membuka peluang pembangunan ekonomi dan sosial di daerah pedesaan”. Dengan listrik, UMKM dapat beroperasi lebih lama, biaya operasional rumah tangga yang sebelumnya bergantung pada generator berbahan bakar fosil berkurang, dan produktivitas masyarakat meningkat.

Sementara di sektor Kesehatan, meskipun data kuantitatif spesifik 2025 belum tersedia, dampak implisitnya sangat vital. Pasokan listrik yang berkualitas adalah prasyarat dasar bagi layanan kesehatan modern di 3T. Listrik memastikan pendinginan yang stabil untuk penyimpanan vaksin, obat-obatan esensial, dan memungkinkan pengoperasian alat medis diagnostik. Dengan demikian, elektrifikasi secara kausalitas berkontribusi pada penurunan tingkat morbiditas (penyakit) dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di wilayah-wilayah yang rentan.

Menata ulang transisi energi berkeadilan
Meskipun program Astacita 2025 layak mendapat apresiasi atas komitmen sosialnya, para akademisi mengingatkan bahwa keberhasilan di tingkat mikro (desa 3T) harus dilihat dalam konteks sistem energi nasional yang lebih besar.

Riset yang dilakukan The Habibie Center (THC) menyoroti bahwa transisi energi berkeadilan merupakan wicked problem—masalah yang kompleks, dinamis, dan struktural, yang memerlukan komitmen semua pihak. THC mengkritik bahwa praktik tata kelola energi nasional sering memicu “fenomena zero-sum game.” 

Dalam konteks ini, meskipun PLN berhasil melistriki 3T dengan EBT, kebijakan energi yang lebih luas yang masih berfokus pada sumber energi fosil, terutama batu bara, dapat memicu masalah sosio-ekologis. Dampak negatif dari polusi, seperti tingginya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di dekat pembangkit listrik fosil atau gagal panen akibat perubahan iklim, tetap menjadi ancaman serius bagi keadilan lingkungan secara keseluruhan.

Listrik yang dibawa oleh Astacita 2025 ke wilayah 3T merupakan langkah awal yang krusial, namun keberlanjutan program ini sangat bergantung pada kerangka hukum yang kuat.

Para peneliti dari THC menekankan urgensi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan kemauan politik yang solid. Tanpa payung hukum yang memadai, program yang berfokus pada keadilan energi dan EBT, seperti SuperSUN, berisiko terhenti ketika terjadi perubahan kepemimpinan atau prioritas pendanaan. Kerangka hukum yang pasti diperlukan untuk menjamin kepastian investasi, kemanfaatan, dan keadilan energi jangka panjang bagi masyarakat.

Secara fundamental, elektrifikasi Astacita adalah pengungkit untuk pembangunan yang lebih merata. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh riset mengenai ketimpangan di 3T, listrik saja tidak cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Program ini harus dipadukan dengan kebijakan lain yang secara simultan mengatasi masalah kualitas guru, konektivitas digital yang memadai, dan integrasi rantai pasok ekonomi lokal.

Dengan dukungan pemerintah daerah dan komitmen PLN, keadilan energi yang dimanifestasikan dalam Astacita 2025 telah membawa Mamasa dan ribuan desa 3T lainnya ke “titik balik.” Kolaborasi antara PLN dan Pemerintah Daerah adalah kunci utama untuk memperluas akses listrik dan meningkatkan kesejahteraan di seluruh nusantara. Cahaya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar adalah pengakuan bahwa keadilan energi adalah hak asasi, bukan sekadar komoditas.

    Dari kilau surya dan jantung bumi ke jalan raya

    Di atas permukaan Waduk Cirata yang tenang, ribuan panel surya berkilauan di bawah terik matahari, mengubah cahaya menjadi arus listrik. Di tempat lain, di lembah-lembah sungai yang deras, turbin raksasa berputar oleh kekuatan air. Dan jauh di bawah permukaan tanah vulkanik Priangan, di Kamojang, uap panas dari jantung bumi memutar turbin dengan dengungan yang konstan.

    Dari mozaik sumber energi bersih inilah—surya, air, dan panas bumi—sebuah elektron memulai perjalanannya. Ia melesat melalui jaringan transmisi tegangan tinggi, melintasi pilar-pilar baja yang menjulang di atas sawah dan perkampungan. Tujuannya adalah labirin beton dan aspal Jakarta.

    Di sebuah sudut jalan yang riuh oleh deru knalpot, elektron itu tiba di tujuannya: sebuah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) berwarna biru-putih. Dengan senyap, ia mengalir melalui kabel pengisi daya, memasuki baterai sebuah mobil listrik yang terparkir. Beberapa saat kemudian, mobil itu meluncur tanpa suara ke tengah lalu lintas, sebuah anomali sunyi di tengah hiruk pikuk kota. Ia tidak meninggalkan jejak emisi.

    Perjalanan elektron ini adalah manifestasi fisik dari sebuah cetak biru ambisius yang dirancang oleh PT PLN (Persero). Ini adalah narasi tentang swasembada energi dari hulu ke hilir: energi bersih yang dipanen dari sumber daya domestik, disalurkan melalui infrastruktur modern, dan digunakan untuk menggerakkan transportasi tanpa emisi. Sebuah visi besar yang menurut Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, adalah mandat langsung untuk masa depan bangsa.

    “PLN siap menjadi pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik ini. PLN telah melakukan berbagai inovasi dan pengembangan produk untuk menunjang ekosistem kendaraan listrik mulai dari hulu ke hilir,” ujar Darmawan Prasodjo.

    Namun, di balik narasi yang rapi ini, terbentang serangkaian pertanyaan fundamental. Apakah ini sebuah revolusi hijau yang sesungguhnya, atau sekadar ilusi di tengah ketergantungan grid yang masih besar pada batu bara? Mampukah sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip “Energi Berkeadilan” benar-benar merata, ataukah manfaatnya hanya akan dinikmati segelintir masyarakat di perkotaan?

    Di jantung strategi transisi energi PLN terletak pilihan strategis untuk membangun fondasi dari beragam sumber Energi Baru Terbarukan (EBT). Tidak hanya mengandalkan panas bumi sebagai sumber energi baseload yang stabil 24 jam, PLN juga secara agresif mengembangkan potensi tenaga surya dan air yang melimpah di nusantara.

    PLN, melalui sub-holdingnya, PT PLN Indonesia Power, kini mengelola pembangkit EBT dengan total kapasitas lebih dari 2.300 Megawatt (MW). Portofolio ini mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) historis seperti Kamojang, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang memanfaatkan kekuatan sungai, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung inovatif seperti yang ada di Tambak Lorok dan Waduk Karangkates.

    Bagi PLN Indonesia Power, ini bukan sekadar membangun pembangkit, melainkan membangun fondasi untuk kemajuan bangsa.

    “PLN Indonesia Power tidak hanya membangun pembangkit, kami membangun masa depan. Energi yang kami hasilkan hari ini adalah fondasi bagi kemajuan Indonesia esok hari, di usia kemerdekaan yang ke-80 ini, kami mengambil peran lebih besar: memastikan energi menjadi enabler utama bagi Indonesia menjadi negara maju,” ujar Direktur Utama PLN Indonesia Power, Benardus Sudarmanta.

    Komitmen ini diwujudkan melalui berbagai inisiatif konkret, mulai dari cofiring biomassa di PLTU, pengembangan masif PLTS dan PLTA, hingga membangun industri panel surya dari hulu ke hilir untuk memastikan kemandirian teknologi. Energi bersih yang dihasilkan dari mozaik pembangkit inilah yang secara teoretis akan menyediakan pasokan listrik hijau untuk mengisi daya jutaan kendaraan listrik di masa depan, menciptakan siklus energi yang benar-benar bebas emisi dari sumber hingga penggunaan akhir.

    Membangun arteri mobilitas listrik
    Jika energi terbarukan adalah jantungnya, maka jaringan SPKLU adalah sistem arterinya. Pembangunan infrastruktur hilir ini menjadi penentu utama keberhasilan adopsi kendaraan listrik secara massal. Skala ambisinya sangat besar: dari 1.370 unit di awal 2024, ditargetkan menjadi 31.859 unit pada tahun 2030 untuk melayani proyeksi 2,19 juta mobil listrik.

    Di balik angka-angka tersebut, terdapat realitas yang dihadapi para pengguna. Bagi mereka, transisi ini adalah pengalaman dua sisi. Di satu sisi, ada antusiasme yang tumbuh dari komunitas-komunitas pengguna. Hadi Tho, Ketua Umum komunitas AIONERS.ID, menyebut faktor keramahan lingkungan, hemat biaya, dan teknologi canggih sebagai alasan utama peralihan. Komunitas menjadi ruang vital untuk saling belajar di tengah ekosistem yang masih baru.

    “Mobil listrik itu ekosistemnya masih baru, dan kami ingin belajar bersama. Lewat AIONERS.ID, kita bisa saling bantu memahami teknologi EV, saling berbagi tips, dan tentunya bertemu teman-teman baru yang satu frekuensi,” ujar Hadi Tho.

    Namun di sisi lain, pengalaman di lapangan sering kali jauh dari mulus. Keluhan utama adalah infrastruktur pengisi daya yang lambat dan distribusinya yang sangat tidak merata. Data per Maret 2025 menunjukkan gambaran kesenjangan yang tajam: dari total SPKLU nasional, 2.448 unit berada di Jawa, sementara seluruh Pulau Sumatra hanya memiliki 431 unit, Kalimantan 215 unit, dan Sulawesi 145 unit. Kesenjangan ini secara efektif membatasi penggunaan praktis kendaraan listrik hanya di pusat-pusat kota besar di Jawa, menimbulkan pertanyaan serius tentang prinsip “Energi Berkeadilan” yang digaungkan.

    Terlepas dari tantangannya, strategi ini secara langsung menjawab salah satu masalah paling mendesak di kota-kota besar Indonesia: polusi udara. Sektor transportasi adalah kontributor utama emisi polutan di wilayah seperti Jabodetabek. Inilah mengapa Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi pendukung vokal.

    KLH terus mendorong penggunaan kendaraan listrik secara masif sebagai langkah strategis demi menekan tingkat polusi udara, terutama di wilayah perkotaan seperti DKI Jakarta. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik merupakan solusi paling efektif dalam pengendalian pencemaran udara.

    “Transformasi fundamental dapat dijalankan melalui elektrifikasi alat transportasi masyarakat, sehingga mampu menekan emisi gas buang, khususnya di Jakarta,” ujar Hanif.

    Ia menyebutkan KLH mencatat sekitar 35% polusi udara di Jakarta bersumber dari emisi kendaraan bermotor konvensional. Hanif juga menekankan pentingnya kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mengurangi polusi.

    Namun, di sinilah kritik paling fundamental muncul. Para pengamat menyoroti paradoks besar dalam narasi hijau PLN. “Agar kendaraan listrik dapat menjadi solusi dekarbonisasi yang efektif, ia harus didukung oleh sistem kelistrikan yang juga rendah karbon,” demikian penekanan dari lembaga pemikir Institute for Essential Services Reform (IESR). 

    Kenyataannya, jaringan listrik nasional masih sangat bergantung pada batu bara. RUPTL PLN 2021-2030 sendiri mengakui bahwa PLTU akan tetap mendominasi pasokan energi hingga beberapa tahun ke depan. Ini menciptakan paradoks: emisi karbon tidak dihilangkan, melainkan hanya dipindahkan dari knalpot mobil di kota ke cerobong asap PLTU di pesisir.

    Prinsip “Energi Berkeadilan” juga diuji. Dengan harga kendaraan yang masih tinggi dan infrastruktur yang terpusat di Jawa, manfaat transisi saat ini dinikmati secara tidak proporsional oleh kelompok masyarakat yang sudah mapan. 

    Analisis dari IESR juga menyoroti potensi ketidaksesuaian infrastruktur. Jika mengikuti peta jalan yang ada, rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU di Indonesia bisa mencapai 70 banding 1, jauh dari rasio ideal seperti di Tiongkok yang sekitar 6,5 banding 1. Angka ini, menurut IESR, berpotensi menciptakan kemacetan pengisian daya yang parah dan menghambat minat masyarakat.

    PLN, dengan dukungan pemerintah, sedang berupaya membangun sebuah ekosistem energi bersih yang terintegrasi secara vertikal, mulai dari kilau panel surya, deras aliran air, dan panas dari kedalaman bumi hingga roda kendaraan listrik yang melaju di jalanan kota. Visi ini, jika terwujud, berpotensi mengubah lanskap energi dan transportasi Indonesia secara fundamental.

    Namun, perjalanan ini penuh dengan kontradiksi. Ada narasi kuat tentang rantai energi hijau dari berbagai sumber terbarukan, namun ada realitas jaringan yang masih sarat karbon. Ada janji luhur tentang “Energi Berkeadilan”, namun ada pula kenyataan di lapangan tentang transisi yang pada fase awalnya terasa eksklusif.

    Jalan di depan adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Keberhasilan pertaruhan besar ini akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menavigasi kontradiksi-kontradiksi ini secara bijaksana. Kesuksesan sejati akan diukur bukan hanya dari jumlah SPKLU yang dibangun, tetapi dari sejauh mana transisi ini mampu memberikan manfaat yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Mobil listrik yang melaju sunyi di jalanan tetap menjadi simbol masa depan yang penuh harapan, sebuah masa depan yang naskahnya masih terus ditulis di tengah persimpangan antara ambisi dan kenyataan.

    Akankah China jadi sekutu nuklir Indonesia?

    Indonesia tengah memacu rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama pada 2032, sebagai bagian dari upaya menekan emisi sektor energi. Namun, di balik ambisi tersebut, terdapat tantangan teknis dan geopolitik. Dengan tenggat waktu ketat dan tuntutan teknis tinggi, pemilihan mitra internasional yang tepat menjadi kunci kesuksesan ambisi ini.

    Pada April lalu, pemerintah mengesahkan kebijakan baru yang menargetkan pembangunan PLTN berkapasitas 250 megawatt dalam dua tahun ke depan, agar bisa beroperasi pada 2032. Lebih jauh lagi, Indonesia membidik 45–54 gigawatt kapasitas nuklir pada 2060 untuk menopang transisi energi.

    “Energi nuklir dan energi baru ditempatkan setara dengan pilihan energi terbarukan lainnya, yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi,” ujar Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam rapat dengan anggota DPR awal Mei lalu.

    Langkah ini akan menjadikan Indonesia pemimpin energi nuklir di Asia Tenggara. Vietnam berencana membangun dua reaktor dengan dukungan Rusia pada 2030. Filipina menghidupkan kembali pembangkit Bataan dan bermitra dengan NuScale asal AS untuk proyek reaktor moduler kecil (SMR) senilai USD 7,5 miliar yang ditargetkan beroperasi pada 2032. Sementara Malaysia memilih berhati-hati dan menunggu hingga 2035 untuk mempertimbangkan opsi nuklir.

    Perburuan Mitra Strategis

    Untuk mengejar target, Indonesia harus memilih mitra internasional dengan tepat. Syaiful Bakhri, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN, menyebut ada tujuh kriteria utama: kesesuaian teknologi dengan kebutuhan energi nasional, kepatuhan terhadap standar keselamatan internasional, rantai pasok yang terjamin, rekam jejak dalam rekayasa, pengadaan dan konstruksi (EPC), peluang alih teknologi dan keterlibatan tenaga kerja lokal, solusi pengelolaan limbah yang efisien, serta kondisi finansial yang sehat dan kemampuan beradaptasi.

    Syaiful menambahkan bahwa saat ini, desain reaktor modern seperti Generation III+ dan SMR  (Small Modular Reactor) lebih menjanjikan. Keunggulannya, SMR bisa dibangun dalam waktu kurang dari lima tahun, jauh lebih cepat dibanding reaktor skala besar. Namun, hanya sedikit negara yang benar-benar berhasil mengembangkannya, di antaranya China dan Rusia. China National Nuclear Corporation (CNNC) telah membangun ACP100, sebuah SMR berkapasitas 125 MW yang menjadi jenis pertama yang lulus penilaian keselamatan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) pada 2016. Rusia telah menggunakan SMR di kapal pemecah es dan mengekspor teknologi reaktor skala besar secara global.

    Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Prabowo untuk Iklim dan Energi, mengatakan pada Mei lalu bahwa Rosatom (Rusia), CNNC (China), Rolls-Royce (Inggris), EDF (Prancis), dan NuScale (AS) telah menunjukkan minat pada program Indonesia.

    Mengapa China Unggul?

    Syaiful, mengutip penelitian Aidan Morrison dari Centre for Independent Studies (2024), menyatakan bahwa China memiliki keunggulan kompetitif dalam kesiapan rantai pasok dan EPC. Hal ini berkat industri yang terintegrasi, dukungan pemerintah, desain yang terstandarisasi, dan konstruksi multi-unit, dibandingkan dengan AS, Inggris, Jepang, Kanada, Rusia, Prancis, dan Korea Selatan.

    Biaya juga menjadi faktor signifikan. Biaya konstruksi reaktor di China sekitar USD 3.828 per kilowatt. Meski sedikit lebih mahal dari Prancis (USD 3.519) dan Korea Selatan (USD 3.401), angkanya jauh lebih rendah dibandingkan banyak negara lain. “Negara-negara yang beroperasi di kisaran USD 3.000 kemungkinan besar adalah China, Prancis, dan Korea Selatan,” kata Syaiful.

    Lebih lanjut, Indonesia dan China memiliki sejarah kerja sama teknologi nuklir, khususnya antara BRIN (National Research and Innovation Agency) dan CNNC sejak 2016. Kolaborasi ini berfokus pada jenis reaktor, termasuk high-temperature gas-cooled reactor (HTGR), pressurised water reactor (PWR), reaktor apung, serta penelitian bahan bakar.

    Sejak 2017, Indonesia bermitra dengan Institute of Nuclear and New Energy Technology (INET) Universitas Tsinghua melalui laboratorium bersama untuk pengembangan HTGR dan pelatihan peneliti. “Selama teknologinya belum mencapai penerapan komersial penuh, ada ruang untuk bereksplorasi,” kata Syaiful. “Tujuannya adalah untuk berada pada posisi yang setara dengan mereka.”

    Kementerian Sains dan Teknologi China mengakui lab bersama ini di bawah Belt and Road Initiative, meningkatkan statusnya menjadi kemitraan strategis. Pengakuan ini memfasilitasi penyempurnaan HTGR dan potensi pemanfaatannya di Indonesia.

    Pada pertengahan 2024, dalam diskusi dengan BRIN, Su Jun, peneliti senior di INET, menekankan bahwa upaya kolaboratif ini telah berkembang selama lebih dari sepuluh tahun. “Ini bukan lagi sekadar rencana teknis di atas kertas. Di China, teknologi HTGR sudah diwujudkan. Jika kita tetap berkomitmen dan terus memperkuat kolaborasi ini, teknologi ini dapat segera menjadi kenyataan di Indonesia dan lebih luas,” ujar Su Jun.

    Transparansi di Tengah Geopolitik

    Meski China tampak menjanjikan, Dewan Energi Nasional (DEN) menegaskan bahwa pemilihan mitra harus mempertimbangkan keamanan jangka panjang dan politik global. Rivalitas AS – China yang makin meningkat ditambah dengan kebijakan perdagangan AS “friendshoring”, di mana AS membangun rantai pasok hanya dengan negara sekutu yang memiliki nilai-nilai yang sama. Ketergantungan berlebihan pada satu negara untuk teknologi nuklir dianggap terlalu berisiko.

    Untuk mengurangi risiko ini, pemerintah berencana menggelar semacam “beauty contest” – proses seleksi yang terbuka dan transparan dengan kriteria yang jelas – untuk memilih mitra terbaik untuk proyek PLTN perdananya. Strategi ini bertujuan membatasi kerentanan geopolitik sekaligus mengoptimalkan keuntungan ekonomi, teknis, dan politik.

    “Kita tidak bisa melakukan transaksi di belakang layar dengan hanya satu pihak,” kata Agus Puji Prasetyono, anggota DEN. “Semuanya harus transparan. Dengan sistem evaluasi yang adil, tidak ada yang bisa protes sekali keputusan sudah dibuat.”

    Pemerintah Indonesia, melalui Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO) yang bersifat sementara dan melibatkan banyak kementerian/lembaga, akan mengundang berbagai penyedia teknologi nuklir, termasuk CNNC (China), NuScale dan Torch (AS), Rosatom (Rusia), KHNP (Korea Selatan), serta perusahaan dari Kanada dan Prancis. NEPIO akan mengawasi pemilihan mitra, membuat garis waktu proyek, dan memastikan pengembangan PLTN berjalan sesuai rencana.

    “Jika NEPIO berfungsi dengan baik, kita dapat menghindari penundaan, menepati jadwal konstruksi, dan melindungi proyek dari campur tangan geopolitik,” kata Agus.

    Menentukan Lokasi dan Masa Depan Energi

    Indonesia telah memprioritaskan tiga dari 28 situs potensial pengembangan nuklir, dengan Muria (Jawa Tengah) dan Bangka Belitung sebagai calon terdepan karena stabilitas geoteknik dan aktivitas manusia yang rendah. Muria dapat menampung reaktor besar untuk memenuhi permintaan listrik tinggi di Jawa dan Sumatera, meskipun SMR berpotensi menyebabkan fluktuasi atau ketidakseimbangan dalam sistem grid yang dirancang untuk pasokan daya besar. Bangka Belitung menawarkan fleksibilitas lebih besar untuk pengembangan bertahap menggunakan reaktor besar dan kecil, dengan Pulau Gelasa sebagai lokasi yang sangat mungkin untuk PLTN pertama Indonesia. Studi kelayakan oleh ThorCon (AS) dan CNNC (China) sedang berlangsung.

    Namun, keputusan akhir akan bergantung pada siapa yang dapat memberikan solusi yang aman, ekonomis, dan berkelanjutan. Pemerintah menegaskan proyek imi tidak boleh menjadi beban fiskal. Tarif listrik yang dihasilkan harus lebih rendah dari biaya produksi dasar PLN. “Idealnya sekitar 7 sen dolar per kWh. Kalau lebih mahal, proyek ini akan membebani negara,” tegas Agus.

    Jika ambisi ini tercapai, Indonesia bukan sekadar membangun PLTN, tapi juga mengukir posisi strategis di tengah pertarungan energi global. Pertanyaannya: apakah China akan keluar sebagai pemenang, atau justru Indonesia yang akan diuji oleh kepentingan besar di balik energi nuklir? [Hendra Friana]

    Artikel ini pertama kali terbit di Dialogue.Earth dengan judul Could China win ‘beauty contest’ to be Indonesia’s nuclear energy ally?

    Daun kaliandra, sumber energi bersih dan ramah lingkungan dari kekayaan lokal

    Daun kaliandra. (Perhutani)
    Daun kaliandra. (Perhutani)

    Siapa sangka tanaman liar seperti daun kaliandra merah, yang sering dijumpai di pinggir jalan, berpotensi besar menjadi solusi energi bersih di Indonesia? Potensi ini diungkap oleh Indah Kurniawaty, seorang peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI). Pada hari Rabu, 23 Juli, Indah Kurniawaty resmi meraih gelar Doktor Ilmu Kimia dengan predikat sangat memuaskan dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,96 di Aula Prof. Dr. G.A. Siwabessy, FMIPA UI, Depok.

    Dalam disertasinya yang berjudul “Peningkatan Kinerja Bahan Bakar Campuran Bensin-Etanol Menggunakan Aditif MgAl₂O₄ yang Disintesis Melalui Metode Sintesis Hijau dari Ekstrak Daun Calliandra Calothyrsus”, Indah mengembangkan aditif berbasis nanopartikel logam. Aditif ini disintesis menggunakan ekstrak daun kaliandra merah, yang bahan bakunya didapatkan dari Kebun Biofarmaka IPB, Bogor.

    Penelitian ini dilakukan secara intensif di Laboratorium Nano and Interfacial Chemistry (NIC), Departemen Kimia FMIPA UI, dan juga di Laboratorium Pertamina.

    Aditif logam oksida yang dihasilkan kemudian ditambahkan ke dalam campuran bensin dan etanol (PE10). Penambahan aditif ini bertujuan untuk meningkatkan stabilitas oksidasi, daya tahan terhadap korosi, dan performa pembakaran bahan bakar ramah lingkungan tersebut.

    “Campuran etanol dan bensin memang lebih ramah lingkungan, namun masih menghadapi kendala seperti lebih mudah teroksidasi dan menyebabkan korosi pada mesin. Lewat pendekatan sintesis hijau, kami memanfaatkan kandungan alami daun kaliandra seperti flavonoid dan alkaloid untuk menciptakan aditif logam seperti MgO, Al₂O₃, dan MgAl₂O₄,” jelas Indah, diakses dari keterangan resmi, diakses Senin (18/8/2025).

    Hasil pengujian menunjukkan bahwa PE10 yang telah diberi aditif logam oksida dari ekstrak daun kaliandra memiliki kestabilan yang jauh lebih baik dan tidak cepat rusak selama penyimpanan selain juga memberikan perlindungan terhadap karat. Berkat aditif ini, pembakaran menjadi lebih sempurna, hak ini ditandai dengan peningkatan emisi karbon dioksida (CO₂) serta penurunan emisi polutan nitrogen dioksida (NO₂) dan sulfur dioksida (SO₂).

    “Saya ingin membuktikan bahwa solusi energi masa depan bisa berasal dari tanaman lokal. Tidak harus mahal atau berdampak buruk pada lingkungan,” ujar Indah.

    Sidang promosi doktor ini dipimpin oleh Prof. Dede Djuhana, M.Si., Ph.D., yang menjabat sebagai ketua pelaksana sekaligus Dekan FMIPA UI. Hadir pula Prof. Dr. Yoki Yulizar, S.Si., M.Sc. sebagai promotor, dan Dr. Eng. Haryo Satriya Oktaviano dari PT Pertamina (Persero) sebagai ko-promotor.

    Yoki menyatakan, hasil penelitian ini sangat mendukung target nasional untuk meningkatkan kontribusi Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga 31% pada tahun 2050, khususnya di sektor transportasi.

    “Ini adalah langkah nyata menuju kemandirian teknologi energi bersih. Lebih hebat lagi, bahan bakunya berasal dari sumber daya lokal yang melimpah,” ungkap Prof. Yoki.

    Penelitian ini tidak hanya mengantarkannya meraih gelar doktor, tetapi juga membuka peluang baru dalam pemanfaatan tanaman lokal untuk mendukung transisi energi bersih di Indonesia.

    Mengolah limbah organik ampas kopi menjadi biogas

    Instalasi biogas ampas kopi di Sumedang. (G2G)
    Instalasi biogas ampas kopi di Sumedang. (G2G)

    Di tengah tantangan krisis iklim dan timpangnya akses energi di perdesaan, sekelompok orang muda membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal yang sering diabaikan: ampas kopi yang menjadi bahan baku biogas sebagai sumber energi alternatif.

    Inisiatif ini datang dari program Ground to Gas (G2G), sebuah gerakan yang digagas oleh komunitas muda bersama dengan Enter Nusantara untuk mengolah limbah organik khususnya ampas kopi dari kedai-kedai kopi di Sumedang menjadi biogas sebagai sumber energi alternatif. Program ini dirancang sebagai bentuk keterlibatan langsung orang muda dalam transisi energi bersih, bukan hanya dalam tataran advokasi, tapi juga implementasi nyata di lapangan.

    Minggu (29/6/2025), Ground to Gas resmi menyerahkan instalasi biogas kepada warga Desa Haurngombong, Kabupaten Sumedang. Acara ini dirangkai dengan pelatihan teknis pengelolaan biogas, serta diskusi terbuka bersama warga dan perangkat desa mengenai pentingnya pengelolaan limbah berbasis masyarakat.

    Berbeda dari teknologi biogas konvensional yang umumnya hanya menggunakan kotoran ternak sebagai bahan utama, G2G memperkenalkan pendekatan inovatif dengan menambahkan limbah ampas kopi sebagai bahan pendamping. Kombinasi ini terbukti dapat meningkatkan kualitas gas sekaligus mengurangi limbah yang terbuang dari industri kecil kopi yang berkembang di daerah perkotaan dan perdesaan.

    G2G bukan proyek biasa. Ia lahir dari keresahan generasi muda terhadap melimpahnya limbah yang tidak termanfaatkan dan ketergantungan desa pada energi fosil. Ratusan kedai kopi berdiri di Sumedang, menghasilkan ampas yang biasanya dibuang begitu saja. Di sisi lain, banyak rumah tangga di desa yang masih bergantung pada LPG bersubsidi atau kayu bakar. Melalui pendekatan kolaboratif, G2G menjembatani dua realitas ini—mengubah limbah menjadi energi, dan harapan menjadi tindakan.

    “Ini bukan hanya soal teknologi. Ini soal keberanian anak muda untuk terjun langsung ke lapangan, mendengarkan kebutuhan warga, lalu bekerja bersama mereka. Selama ini kita terlalu sering bilang ‘anak muda adalah masa depan’, tapi G2G membuktikan bahwa anak muda adalah masa kini yang bisa bekerja untuk masa depan,” kata Naba, Enter Nusantara, dalam keterangan resmi.

    Pelatihan yang diberikan mencakup proses fermentasi, pemeliharaan instalasi, serta cara-cara aman dan berkelanjutan dalam menggunakan biogas untuk kebutuhan rumah tangga. Warga juga diajak memahami bagaimana pengelolaan limbah yang baik tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga membawa manfaat langsung bagi kehidupan sehari-hari.

    Hal ini turut dirasakan oleh Abad (40), warga yang menjadi salah satu penerima manfaat instalasi biogas. “Alhamdulillah sejak ada biogas ini, pengeluaran keluarga jadi lebih hemat karena kita ga perlu beli gas LPG lagi. Selain itu, senang juga limbah kotoran ternak yang biasanya cuma kita timbun dan buang ke kebun sekarang bisa dikelola dan dimanfaatkan dengan lebih baik.”

    G2G membuktikan bahwa orang muda bukan hanya bagian dari seminar atau festival ide. Mereka bisa jadi pelaku langsung dari transisi energi, dengan keberanian untuk mendobrak ketimpangan, mengubah narasi, dan menciptakan solusi dari bawah.

    Di tengah wacana besar tentang energi bersih, G2G hadir sebagai contoh konkret: bahwa desentralisasi energi tak harus dimulai dari kebijakan pusat, melainkan dari gotong royong, pengetahuan lokal, dan keberanian untuk mencoba. Bahwa pengelolaan limbah bukan beban, tapi potensi. Dan bahwa anak muda bukan hanya simbol, tapi pelaku.

    Masjid Al Muharram Brajan gunakan panel surya, teladan transisi energi bersih

    Ilustrasi. Masjid menggunakan panel surya sebagai sumber listrik. (AI)
    Ilustrasi. Masjid menggunakan panel surya sebagai sumber listrik. (AI)

    Masjid Al Muharram yang berada di Kampung Brajan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dikenal sebagai salah satu masjid yang mengusung konsep ramah lingkungan atau eco masjid. Sejak tahun 2023, masjid ini telah menggunakan panel surya sebagai sumber listrik utama. Dalam waktu dekat, masjid ini akan genap dua tahun memanfaatkan energi terbarukan berbasis tenaga matahari tersebut.

    Ketua Takmir Masjid Al Muharram, Ananto Isworo (47), mengungkapkan bahwa penggunaan panel surya merupakan buah dari mimpi panjang yang ia simpan sejak satu dekade lalu. Ia mulai bercita-cita memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap sejak 2013. Keinginannya itu baru bisa terealisasi pada 2023, setelah melalui proses panjang.

    Baginya, penggunaan panel surya adalah bagian dari ikhtiar untuk menjadikan Masjid Al Muharram sebagai masjid yang ramah lingkungan—tempat ibadah yang tak hanya memuliakan Allah, tapi juga menjaga bumi-Nya.

    Ananto merupakan penggerak utama sejumlah program lingkungan hidup di Masjid Al Muharram. Sejumlah inisiatif telah digagas, mulai dari program sedekah sampah, masjid ramah anak dan difabel, penanaman pohon, hingga penampungan air hujan. Pemasangan panel surya menjadi bagian dari upaya masjid ini menjalankan prinsip transisi energi terbarukan.

    Keinginan untuk memasang panel surya juga dilatarbelakangi oleh kondisi kelistrikan di Kampung Brajan yang kerap terganggu. Pemadaman listrik di wilayah ini bisa berlangsung hingga tiga sampai empat jam dalam satu kali kejadian. Hal tersebut berdampak langsung pada aktivitas keagamaan di Masjid Al Muharram.

    Dukungan untuk merealisasikan pemasangan panel surya datang dari program Sedekah Energi yang diinisiasi oleh Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC). Melalui program tersebut, lebih dari 5.000 orang ikut berdonasi, sehingga memungkinkan pemasangan delapan panel surya berukuran 2×1 meter dengan kapasitas total 4.300 wattpeak (wp).

    Panel-panel surya tersebut mampu mengurangi emisi karbon hingga 34 ton CO₂ per tahun. Diketahui, listrik yang ada saat ini dihasilkan pembangkit listrik yang bersumber dari energi kotor batu bara yang tidak ramah lingkungan. Pembangkit bahan bakar fosil ini menyumbang emisi dan berkontribusi pada pemanasan global dan memicu krisis iklim.

    Teknologi ini menjadi solusi nyata di tengah masalah kelistrikan yang dihadapi warga. Masjid Al Muharram menjadi satu-satunya titik terang ketika terjadi pemadaman listrik di desa. Hal ini menjadi nilai tambah besar bagi warga yang menggantungkan banyak aktivitas sosial dan keagamaan di masjid.

    Ananto menuturkan salah satu momen penting ketika panel surya sangat membantu kegiatan di masjid. Saat itu, Masjid Al Muharram tengah mengadakan pengajian akbar, namun seluruh desa mengalami pemadaman listrik. Meski begitu, masjid tetap bisa menjalankan kegiatan dengan lancar karena ditopang panel surya.

    “Itu kan cukup besar dan panel surya mampu memenuhi kebutuhan masjid sekaligus kebutuhan kalau pengajian akbar, kan kita biasa pakai sound system besar,” katanya, dikutip dari Trend Asia, diakses Minggu, 25 Mei 2025.

    Bahkan, para panitia yang sedang menyiapkan gamelan untuk acara tidak menyadari bahwa listrik di luar padam karena masjid tetap terang. Namun, keanehan mulai dirasakan ketika jamaah belum juga datang.

    “Lho, kok gak ada jamaah? Ternyata padam listrik. Hanya saja, kami umumkan di sound luar bahwa jamaah masih bisa ke masjid karena di sini masih nyala semua, dan termasuk ustaznya kami pastiin, di masjid masih nyala,” ujar Ananto.

    Kisah sukses Masjid Al Muharram menjadi contoh konkret penerapan energi bersih di tempat ibadah. Upaya ini juga sejalan dengan semangat transisi energi yang mulai digencarkan di berbagai negara.

    Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, menegaskan pentingnya edukasi publik mengenai energi terbarukan seperti PLTS atap. Menurutnya, pemahaman ini perlu menjadi hal umum, bukan hanya wacana teknis yang hanya dikuasai segelintir pihak.

    “Kalau kita belajar dari Jerman atau Jepang kan sebenarnya mereka mulai dari pemerintahannya dulu yang pasang di mana-mana gitu, ya, dan di Indonesia tuh itu belum populer,” ujarnya.

    Ia mencontohkan, Jepang telah membuat regulasi baru yang akan mewajibkan pemasangan panel surya pada bangunan residensial baru mulai April 2025. Selain itu, pengembang perumahan besar juga diwajibkan melaporkan pelaksanaan kebijakan tersebut.

    Namun di tingkat regional, Indonesia masih tertinggal. Dalam laporan Global Energy Monitor 2024, Indonesia menempati peringkat kedelapan dari sebelas negara ASEAN dalam pemanfaatan panel surya. Sebagai perbandingan, Vietnam telah memasang panel surya dengan total kapasitas 13.035 megawatt.

    Kisah Masjid Al Muharram menunjukkan bahwa tempat ibadah bisa menjadi pionir dalam adopsi energi bersih di tengah masyarakat. Bukan hanya sebagai simbol spiritual, tetapi juga sebagai pusat edukasi dan keteladanan dalam menjaga kelestarian lingkungan.

    WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyat

    Ilustrasi industri ekstraktif panas bumi. (Ilustrasi by AI)
    Ilustrasi industri ekstraktif panas bumi. (Ilustrasi by AI)

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi.

    Pernyataan ini disampaikan dalam audiensi bersama Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM yang berlangsung pada Senin, 28 April 2025, di Kantor Gubernur NTT, Kupang.

    Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah pihak, termasuk perwakilan perusahaan pengembang proyek geothermal. Turut hadir pula kepala daerah dari wilayah pengembangan, pejabat Pemerintah Provinsi NTT, serta organisasi masyarakat sipil.

    Dalam forum tersebut, Gres Gracelia dari Divisi Advokasi WALHI NTT menyampaikan keberatan WALHI terhadap penetapan Pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017. Gres menilai kebijakan ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat Flores yang terdampak langsung.

    “Dalam penetapan kebijakan ini, WALHI mengkritisi Kementerian ESDM sebagai perwakilan pemerintah pusat yang dalam penerapannya tidak melibatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya masyarakat Pulau Flores,” demikian pernyataan resmi WALHI NTT, diakses Selasa, 20 Mei 2025.

    Menurut data Kementerian ESDM, terdapat 28 titik pengembangan panas bumi di NTT, dengan 21 di antaranya berada di Flores dan Lembata. WALHI menilai proses ini berlangsung tanpa persetujuan warga, dan bahkan justru menimbulkan konflik sosial di berbagai wilayah.

    WALHI juga mengkritisi peran pemerintah pusat yang dinilai membenturkan pemerintah daerah dengan masyarakat lokal. Pemerintah Provinsi NTT sendiri dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2025–2034 mengarahkan pengembangan energi terbarukan berbasis potensi lokal seperti matahari, angin, air, dan arus laut. Namun, pemerintah pusat tetap mendorong proyek geothermal yang dinilai tidak sesuai dengan karakter geografis dan sosial NTT.

    Secara geografis, NTT terletak di wilayah cincin api (ring of fire) dan terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap bencana. WALHI mengingatkan bahwa pembangunan geothermal dapat menimbulkan dampak ekologis besar, terutama pada lingkungan yang sudah rapuh secara alami.

    Dalam audiensi tersebut, WALHI juga menyampaikan sejumlah temuan lapangan, termasuk di wilayah Poco Leok, Manggarai. Warga tidak pernah diberikan informasi atau dimintai izin atas survei yang dilakukan di lahan mereka.

    Konflik horizontal mulai terjadi masyarakat dibagi menjadi kelompok pro dan kontra, bahkan diduga melakukan praktik manipulatif seperti memberikan upah harian dan bantuan material kepada kelompok pro.

    Konflik sosial yang ditimbulkan proyek geothermal di Poco Leok bahkan telah merambah ranah keagamaan. WALHI mencatat adanya perpecahan dalam tradisi doa Rosario bergilir antara kelompok masyarakat pro dan kontra, sebuah simbol rusaknya kohesi sosial akibat intervensi proyek energi.

    Selain persoalan sosial, WALHI menyoroti dampak ekologis dari proyek-proyek geothermal. Di Ulumbu, sumber air yang digunakan berasal dari Poco Leok. Sejak beroperasinya PLTP Ulumbu, warga Poco Leok mengeluhkan penurunan debit air serta merosotnya produktivitas pertanian seperti kopi, cengkeh, dan vanili – baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

    Ironisnya, meski jarak Poco Leok ke PLTP Ulumbu hanya sekitar 3–5 kilometer, aliran listrik ke 14 Gendang di Poco Leok baru sepenuhnya tersedia pada akhir 2024. Kondisi ini memperkuat kecurigaan bahwa proyek geothermal tidak membawa manfaat langsung bagi warga sekitar.

    WALHI NTT juga menegaskan bahwa perusahaan pengembang lain seperti di Mataloko harus belajar dari pengalaman terdahulu, termasuk semburan lumpur panas yang terjadi. WALHI menuntut transparansi sejak awal terkait potensi dampak buruk dari proyek geothermal.

    Dalam forum tersebut, WALHI menyampaikan sikap tegas. Mereka menolak proyek geothermal oleh Kementerian ESDM karena dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan energi berkeadilan dan berbasis lokal.

    WALHI meminta pencabutan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, penghentian seluruh proyek geothermal di NTT, serta penghormatan terhadap RUED NTT dan suara pemimpin umat di Flores yang telah menolak proyek tersebut.

    Pendekatan pembangunan panas bumi yang sentralistik

    Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI NTT, menyebut bahwa pendekatan pemerintah mencerminkan pola pikir Orde Baru yang sentralistik dan mengabaikan mandat reformasi.

    “Bayangkan saja, ESDM mengeluarkan kebijakan tanpa permisi ke rakyat NTT. Selanjutnya mereka datang mengiming-imingi warga lokal dan mengabaikan hak tolak rakyat atas kebijakan mereka yang sepihak tersebut,” tegas Umbu Wulang.

    Ia juga mengingatkan bahwa proyek-proyek semacam ini dapat memperparah krisis ekologis di NTT.

    “Apalagi ini proyek panas bumi yang rakus lahan dan air. Padahal kita sendiri sedang menghadapi tantangan krisis air,” tambahnya.

    Home Maps Network Search