Aksi hijau pelajar Sukabumi di Hari Guru Nasional 2025

Di kaki langit Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat peringatan Hari Guru Nasional (HGN) ke-80 pada Selasa (25/11/2025) tidak hanya dimaknai dengan lantunan himne atau seremoni formal semata. Di MTs Nurul Hidayah, Kampung Kebon Kacang, Desa Waluran Mandiri, perayaan jasa para pendidik bertransformasi menjadi sebuah aksi nyata merawat kehidupan.

Pagi itu, setelah barisan rapi dalam upacara bendera bubar, dan gema istighosah serta doa bersama melangit sebagai wujud syukur atas dedikasi para guru, para siswa tidak lantas pulang. Mereka bergerak menuju lahan kehutanan , membawa bibit-bibit masa depan di tangan mereka. Bagi komunitas sekolah ini, menghormati guru berjalan beriringan dengan menghormati alam.

Di bawah komando semangat konservasi, para pelajar ini melakukan penanaman pohon produktif dan membentangkan spanduk seruan untuk menjaga kelestarian hutan. Ini bukan sekadar euforia sesaat, melainkan ritual rutin yang telah mendarah daging dalam kurikulum kehidupan mereka.

Kepala MTs Nurul Hidayah Waluran, Fazri Mulyono, menegaskan bahwa integrasi antara perayaan hari besar dan aksi lingkungan adalah identitas sekolah mereka.

“Setiap ada acara PHBN (Peringatan Hari Besar Nasional), termasuk HGN dan Hari Lingkungan Hidup kami selalu menanam. Sekali kegiatan biasanya 50 pohon, dan ini dilakukan secara rutin. Semuanya pohon produktif ada nangka, jambu, sirsak, durian, ada yang hasil okulasi, ada juga dari biji,” ungkap Fazri seperti dilansir SukabumiUpdate.

Pilihan menanam pohon produktif bukan tanpa alasan. Selain menghijaukan kawasan Waluran, pohon-pohon ini kelak diharapkan memberi manfaat ekonomi dan pangan bagi ekosistem sekitar. Aksi ini menjadi perpanjangan dari napas Pendidikan Lingkungan Hidup yang menjadi muatan lokal unggulan di sekolah tersebut.

Konsistensi ini pula yang telah mengantarkan MTs Nurul Hidayah meraih penghargaan Sekolah Adiwiyata dari Dinas Lingkungan Hidup pada tahun 2024. Penghargaan tersebut menjadi bukti sahih bahwa budaya peduli lingkungan bukan sekadar jargon, melainkan praktik harian yang dijalankan dengan disiplin.

Di tengah lahan yang mulai menghijau oleh bibit-bibit baru, pesan yang dibawa para siswa sangat jelas: pendidikan tidak hanya terjadi di dalam dinding kelas. Dengan tangan yang kotor oleh tanah, mereka belajar bahwa merawat bumi adalah pelajaran paling mendasar bagi kelangsungan hidup manusia.

Fazri menambahkan bahwa esensi kegiatan ini melampaui sekadar seremonial.

“Kegiatan ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada guru, tapi juga upaya menanamkan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan dan keberlanjutan alam,” pungkasnya.

Hari itu di Waluran, Hari Guru Nasional dirayakan dengan cara yang paling purba namun visioner: menanam. Karena seperti halnya guru yang menanam ilmu untuk masa depan siswa, pohon-pohon ini ditanam untuk masa depan bumi yang lebih baik.

Perjuangan Kasepuhan Ciptamulya menjaga mata air dari gempuran tambang

Malam dingin menyelimuti Kasepuhan Ciptamulya di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Di tengah gulita, hanya cahaya senter yang menuntun langkah dua pria paruh baya di jalan setapak yang basah oleh hujan sore. Mereka adalah Opok (44) dan Uday (55), warga yang mengemban tugas mulia sebagai Manintin, sang penjaga air di kampung adat tersebut.

Sebuah perintah dari Ketua Adat, Abah E. Suhendri Wijaya, membuat keduanya bergerak cepat malam itu. Air, urat nadi kehidupan kampung, mendadak berhenti mengalir sejak petang.

Langkah mereka terhenti. Biang keroknya terlihat: pipa 4 inci yang menyalurkan air ke kampung tertimpa longsoran tanggul sawah. Tekanan tanah membuat paralon retak, menyumbat aliran. Tanpa banyak bicara, Opok dan Uday segera bekerja. Dengan peralatan sederhana dan pipa cadangan yang selalu siaga, bagian rusak dipotong dan diganti. Tak lama, suara gemericik air kembali terdengar, mengalir lancar menuju sawah dan rumah-rumah penduduk.

Inilah tugas Manintin: memastikan aliran air dari sumbernya di lereng Gunung Halimun tetap terjaga, merawat instalasi, dan membaginya secara adil.

Sumber air itu tak dekat. Ia berasal dari empat sirah cai (mata air) di Sungai Cipanengah, sekitar tiga kilometer dari perkampungan. Dari sanalah air dialirkan melalui jaringan pipa sederhana, menuruni lereng bukit dan melintasi terasering sawah, untuk menghidupi dua dusun (Ciptamulya dan Cibongbong) serta fasilitas umum. Air ditampung dulu di bak-bak beton berlumut di belakang Imah Gede, pusat kasepuhan.

Opok, saat ditemui di rumah panggungnya yang beratapkan ijuk, menjelaskan sistem distribusi itu. “Setiap bak untuk satu dusun. Suplai air dari bak di Imah Gede yang paling jauh sampai ke (dusun) Cibongbong, pakai selang panjangnya sekitar 100 meter,” jelasnya.

Selama ini, sistem itu terbukti tangguh. Ketersediaan air yang terjaga, disokong oleh leuit (lumbung padi), membuat Kasepuhan Ciptamulya tak pernah mengalami krisis pangan. Sepanjang ingatan mereka, gagal panen karena hama atau kekurangan air tak pernah terjadi.

“Tahun ini belum pernah kami kekeringan atau kemarau panjang. Tapi memang sempat beberapa tahun lalu sampai 5 bulan kemaraunya, namun hasil sawah atau kebun tetap ada, belum pernah gagal panen atau paceklik. Mata air tetap mengalir ke sungai-sungai kecil ke sawah meskipun debitnya kecil,” tambah Opok.

Kunci ketahanan mereka juga terletak pada filosofi. Petani di kasepuhan hanya melakukan penanaman padi satu tahun sekali. Pola ini berangkat dari pandangan tradisional bahwa tanah adalah ibu, “yang hanya dapat melahirkan sekali dalam setahun”. Saat lahan ‘istirahat’, mereka menanam palawija atau sayuran.

Namun, kearifan yang telah teruji abad ini menghadapi dua gempuran sekaligus. Gempuran pertama datang dari langit. Perubahan iklim membuat musim kian sulit diprediksi. Patria Wirayudha, forecaster iklim BMKG, mengkonfirmasi pergeseran pola musim yang signifikan di Cisolok. 

“Pergeseran ini bisa berupa masuknya awal musim kemarau yang lebih lambat atau lebih cepat, awal musim hujan yang lebih terlambat, atau durasi musim kemarau atau hujan yang pendek atau panjang,” ungkapnya.

Untuk tahun 2025, Patria memprakirakan wilayah Sukabumi bisa mengalami musim hujan hampir sepanjang tahun. “Diprakirakan terjadinya puncak musim hujan akan ada yang jatuh pada bulan Oktober. Untuk sebagian wilayah Sukabumi dan akan ada yang jatuh bulan November. Sifat musim hujan untuk tahun ini adalah normal untuk sebagian kecil wilayah Sukabumi dan wilayah lainnya adalah atas normal,” jelasnya.

BMKG mendorong konservasi sebagai fokus adaptasi. “Melindungi hutan adat atau kawasan konservasi lokal sebagai buffer terhadap cuaca ekstrem. misalnya sebagai pelindung dari angin, banjir, pengaturanaliran air tanah,” ujar Patria.

Jika iklim adalah ancaman yang tak pasti, gempuran kedua jauh lebih brutal dan nyata: penambangan emas tanpa izin (PETI). Ironisnya, aktivitas ilegal ini mengoyak hutan garapan, wilayah yang seharusnya menjadi ruang hidup masyarakat adat.

Ketua Adat Kasepuhan Ciptamulya, Abah E. Suhendri Wijaya (Abah Hendrik), merasakan betul perubahan ini. “Dua puluh tahun ke belakang, hutan masih benar-benar asri. Banyak kayu, tidak terlalu gundul, jalan tani pun tidak bisa dilewati motor. Tapi sekarang, setelah ada jalan yang diperbaiki sampai ke pegunungan, orang bisa bawa dolken, motor yang mengambil kayu dari hutan. Memang kebanyakan dilakukan warga, bukan berarti maling, tapi dampaknya ada kayu yang keluar dari taman nasional maupun talun,” ungkap Abah Hendrik.

Baginya, kerusakan terbesar kini datang dari tambang. Aktivitas haram itu tak hanya merusak lahan, tetapi juga perlahan mengikis budaya gotong royong.

“Sekarang hancurnya lahan karena banyak penambangan ilegal. Itu terasa sekali. Kegiatan gotong royong atau untuk tani jadi berkurang karena orang sibuk ke tambang. Biasanya liburnya hari Jumat atau hari-hari tertentu. Rata-rata yang menambang itu pemuda, bahkan banyak yang sudah berkeluarga,” jelasnya.

Abah Hendrik berada dalam posisi sulit. “Kalau untuk melarang bingung juga. Serba salah. Kasepuhan dan kepala desa juga tidak bisa melarang seutuhnya. Sedangkan kalau dibiarkan, ke depan dampaknya (hutan) bisa gundul, bisa longsor. Lokasinya di hutan taman nasional, hutan garapan,” ujarnya.

Perjuangan Kasepuhan Ciptamulya menjaga mata air dari gempuran tambang dan krisis iklim
Lokasi tambang berada di kawasan hutan garapan. Foto: SukabumiUpdate.Com

Masalah kian pelik karena status lahan. Tanah adat mereka kini masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sejak 2004, membuat masyarakat sulit mengontrol wilayah garapan leluhur mereka. Abah Hendrik menuntut payung hukum yang lebih kuat dari sekadar SK. “Kalau ada Perda, nantinya bukan oleh TNGHS atau polisi, tapi kasepuhan yang bisa langsung menggerakkan program-program penanaman dan penghijauan,” tegasnya.

Kekhawatiran itu beralasan. Dari kejauhan, di punggung bukit bernama Gunung Engang, pemandangan kontras terlihat. Sisi hutan yang rimbun berseberangan dengan lereng yang terkelupas cokelat, penuh gubuk beratap terpal biru—luka nyata akibat tambang.

Kepala Desa Sirnaresmi, Jaro Iwan Suwandri, mengakui faktor ekonomi menjadi dilema. “Masyarakat kan dicaram mah dicaram (dilarang ya dilarang), tapi ngaleyeud mah ngaleyeud (jalan terus ya jalan terus). Warga tidak tahu apakah area itu rawan atau tidak, karena tadi itu, faktor kebutuhan. Kalau kita melarang tapi pemerintah desa tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka, ya akhirnya ke situ juga arahnya,” ungkap Jaro Iwan.

Meski begitu, upaya kolaborasi terus berjalan. “Kolaborasi dengan taman nasional untuk menjaga hutan sudah berjalan. Di sini kami punya prinsip, ‘leuweung hejo, urang masyarakat bisa ngejo’ (hutan hijau, masyarakat bisa makan nasi). … desa punya program Katapang (Ketahanan Pangan). Kami salurkan sesuai kebutuhan warga Ciptamulya, misalnya untuk sarana air bersih atau irigasi ke area persawahan,” pungkasnya.

Pemerintah daerah, melalui Dinas Pertanian, turut mendukung. Eris Firmansyah, Kabid Penyuluhan, menyebut pipanisasi adalah langkah yang tepat. “Kampung adat berada di hulu sungai dan wilayah tangkapan air, sehingga pembangunan pipanisasi merupakan langkah yang sesuai tanpa mengubah bentang alam. Kami telah membangun pipanisasi di Kasepuhan Ciptamulya dan Gelar Alam (Ciptagelar),” jelasnya. 

Pihaknya juga terus membina pertanian lestari. “Kami membina budidaya pertanian lestari agar masyarakat turut menjaga kelestarian ekosistem,” ujarnya.

Kasepuhan Ciptamulya kini berada di persimpangan antara harmoni warisan leluhur dan tekanan zaman. Namun, selama Opok dan Uday masih sigap menjaga pipa, selama air masih mengalir dari sirah cai, dan leuit tetap penuh padi, harapan itu tetap hidup di kaki Gunung Halimun.

Reportase kolaboratif ini pertama kali terbit di SukabumiUpdate.Com dengan judul Air Mengalir, Hutan Terancam: Kasepuhan Ciptamulya di Tengah Perubahan Iklim dan Tambang Ilegal

Hutan Sipora yang semakin sunyi

Di atas bubungan atap gazebo dari daun sagu, seekor Siteut, beruk endemik Mentawai, menatap kami di bawahnya. Ia segera turun dari puncak atap yang sebagian berlubang karena aktivitasnya itu. Di lehernya terkalung rantai yang diikat dengan tali panjang yang ujungnya tertambat ke tiang gazebo.

Kini beruk Mentawai itu sejajar dengan kami. Matanya yang cokelat terang memandang dengan ramah. Ia terlihat terpelihara, karena bulunya bersih. Jambul di kepalanya berwarna cokelat pirang, bulu tubuhnya cokelat gelap, dan ekornya pendek lurus. Ia kembali melompat dan berayun dengan tangannya, lalu bertengger di tonggak gazebo.

“Namanya Boby, ini punya kenalan saya Carlos, seorang peselancar di Katiet, setahun lalu dia sudah pulang ke Australia sehingga Siteut ini dititipkan pada saya,” kata Mateus Sakaliu.

Mateus pemandu wisata alam minat khusus yang tinggal di Desa Goisooinan, Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai. Selain menjadi pemandu turis, Mateus juga aktif di Malinggai Uma, lembaga koservasi lokal yang berpusat di Siberut Selatan. Ia kerap mengantar turis asing dan peneliti yang mengamati primata, burung, katak, ular, dan pohon ke hutan Mentawai.

Etty, istri Mateus telah menyediakan sepiring makanan untuk Siteut. Piring itu berisi beberapa potong apel yang sudah dikupas kulitnya, pisang, dan tebu yang baru dikupas.

Melihat makan siangnya sudah datang, Siteut meluncur dari tonggak gazebo dari atas atap. Tangannya terjulur mengambil potongan apel yang disodorkan Etty, lalu berayun memanjat ke atas dan memakannya.

“Siteut ini bisa melepaskan tali di lehernya, sudah dua kali ia melepaskan diri karena pernah diganggu anak-anak, tapi pada malam hari dia kembali lagi ke sini, sepertinya ia sudah tidak bisa lagi hidup di alam liar, kalau bisa sudah saya lepasliarkan, karena saya tidak tahan melihat binatang yang diikat,” kata Mateus.

Siteut itu didapat Carlos dari warga lokal di Katiet. Carlos melihat di jalan ada warga yang membawa seekor anak beruk Mentawai, yaitu siteut. Juga seekor lutung yang dalam bahasa Mentawai disebut Atapaipai dan seekor Bilou atau Owa. Ketiganya primata endemik Mentawai.

“Saat itu Carlos melihat Bilou itu berhasil melarikan diri ke pohon, tetapi oleh orang yang membawanya dikejar dan ditembak dengan senapan, dan mati. Akhirnya Carlos meminta anak Siteut itu ia pelihara, mungkin juga ia terpaksa membelinya kepada orang itu,” kata Mateus.

Mateus menduga ketiga anak primata endemik Mentawai itu didapat orang yang membawannya dengan diburu. “Sudah pasti dari perburuan, dan pemburu itu telah membunuh induknya untuk mendapatkan anaknya,” katanya dengan wajah muram.

Siteut itu sempat tinggal tiga bulan bersama Carlos di homestay yang disewanya di Katiet. Setelah itu ia menyerahkannya kepada Mateus.

“Dia berpesan tidak boleh dilepaskan ke hutan, karena pasti akan diburu, jadi saya merencanakan akan membawanya ke Siberut, Malinggai Uma saat ini sedang membuat tempat rehabilitasi primata di Siberut dan saya akan membawa Siteut itu ke sana, Carlos sudah setuju,” kata Mateus.

Simakobu-Simias concolar- salah satu primata endemik Mentawai di hutan Berkat Sipora Utara pada September 2021. (Foto: Mateus Sakaliau)

Enam primata endemik
Kepulauan Mentawai memiliki enam jenis primata endemik. Selain Siteut, lima primata lainnya adalah Bokkoi, Simakobu, Joja, Atapaipai, dan Bilou.

Banyaknya prima endemik di Kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yang termasuk kecil, terkait dengan sejarah geologisnya. Selama masa Pleistocen atau pada Zaman Es, kira-kira satu juta sampai 10.000 tahun yang lalu, ketika permukaan laut di daerah Asia Tenggara 200 meter lebih rendah dari sekarang, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Benua Asia saling terhubung.

Hal ini menyebabkan adanya pertukaran bebas aneka jenis binatang yang menyebabkan persamaan umum fauna di antara ketiga pulau besar tersebut. Namun Kepulauan Mentawai, karena dipisahkan oleh selat yang lebih dalam, tetap terpisah dari daratan sekurang-kurangnya sejak masa Pleistocen Tengah.

Hal inilah yang membuat Kepulauan Mentawai menjadi pulau-pulau asli yang diperkirakan semenjak 500 ribu tahun lalu, serta membuat fauna dan floranya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada daerah di bagian Paparan Sunda lainnya.

Yang paling menarik dari fauna Mentawai, sebanyak 65 persen mamalianya endemik, di antaranya adalah primata. Sebelumnya di Kepulauan Mentawai disebut hanya memiliki empat spesies primata, yaitu Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca pagensis), Joja (Presbytis potenziani), dan Simakobu (Simias concolor).

Namun dalam perkembangan taksanomi terbaru, Macaca pagensis dipisah menjadi dua speies, yaitu Macaca siberu untuk yang tersebar di Pulau Siberut dan Macaca pagensis untuk yang penyebarannya yang ada di Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora. Penyebutan kedua Macaca ini disesuaikan dengan nama lokal, yaitu Bokoi di Siberut dan Siteuit di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora.

Kemudian Lutung Mentawai (Presbytis Potenziani) menjadi dua spesies, yaitu Presbytis potenziani dengan nama lokal Atapaipai untuk lutung yang ada di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora dan Presbytis potenziani potenziani atau Joja untuk lutung yang ada di Siberut.

Dengan pembagian itu, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan memiliki empat spesies primate endemik. Sedangkan Pulau Siberut juga memiliki empat primata endemik dengan dua spesies yang berbeda dari tiga pulau lainnya. Meski endemik dan dilindungi, namun status konservasi keenam primata ini terancam punah. Bahkan Simakobu sudah masuk kategori kritis dan tahun ini tercantum dalam daftar 25 primata paling terancam di dunia. Mateus mengatakan, kini keempat primata endemik itu semakin sulit dijumpai, kecuali jika masuk lebih jauh ke dalam hutan dan menunggunya beberapa hari.

“Kalau dulu masih sering turun dari hutan ke pantai, terutama Siteut, Atapaipai, dan Simakobu, kecuali bilou yang tidak mau turun ke tanah, tapi sekarang sudah jarang sekali terlihat, ini sangat mengkhawatirkan,” kata Mateus.

Nasib primata endemik di Hutan Berkat
Dua tahun lalu, pertengahan Juni 2022, saya juga diantar Mateus melihat habitat primata endemik Sipora di Hutan Berkat yang terletak di Dusun Berkat, Desa Tuapeijat, Sipora Utara.

Saya dan dua jurnalis rekan saya ingin mereportase empat primate endemik yang banyak terdapat di Hutan Berkat yang menurut Mateus salah satu kantong habitat penting primata di Pulau Sipora.

Saat perahu kami mendarat di pantai Pukakarayat yang merupakan jalan masuk ke Hutan Berkat, ternyata di tempat itu sedang ada aktivitas penebangan hutan besar-besaran. Ada kegiatan loading kayu di sana. Ratusan pohon telah ditebang, bersusun tinggi di logpond di pantai ittu. Dua kapal ponton terlihat sedang memuat sebagian kayu gelondongan.
Ketika kami memasuki hutan, alat berat terlihat sedang bekerja menebang pohon kruing, meranti, dan katuka yang besar dan tinggi.

“Pohon-pohon itulah yang menjadi rumah primata endemik,” kata Mateus.

Hanya seekor Simakobu yang terlihat di sebuah pohon meranti yang belum ditebang. Saat melihat kedatangan kami, ia segera melompat dan menghilang dengan berayun ke pohon lain yang tersisa.

“Kini primata di Hutan Berkat sudah tidak ada lagi karena rumahnya sudah digusur, mereka pindah ke hutan yang lebih jauh,” kata Mateus mengenang perjalanan kami.

Penebangan hutan yang sedang dilakukan saat itu adalah penebangan di kawasan Arel Penggunaan Lain (APL) milik masyarakat melalui hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Hutan Lestarii (BPHL) Wilayah III di Pekanbaru.

Masyarakat pemilik lahan sebagai PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) dimodali investor untuk mengajukan hak akses penebangan hutan alam kepada BPHL Wilayah III Pekanbaru. Kayu bulat hasil tebangan dijual investor ke Semarang dan Surabaya.

Modus pengambilan kayu dengan memanfaatkan akses SIPUHH ini dalam tiga tahun terakhir telah menghabiskan ribuan pohon yang menjadi target penebangan, yaitu pohon-pohon besar seperti pohon Keruing, Meranti, dan Katuka.

Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat pohon yang sudah ditebang sejak 2022 hingga Juli 2025 di Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora mencapai 62.049 ribu batang pohon atau 181.683 kubik kayu. Pada 2 Juli 2025 Kementerian Kehutanan mengevaluasi PHAT dan menutup layanan pemberian hak akses SIPUHH yang baru. Salah satu alasannya karena PHAT diduga melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan pemanfaatna kayu.

“Sudah ditutup Menteri Kehutanan, kami di Dinas Kehutanan juga sejak awal tidak terlibat dalam pemberian akses SIPPUH ini, semua prosesnya oleh Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah 3,” Kata Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, 1 September 2025.

Namun ancaman lain bagi primata endemik Mentawai di Pulau Sipora kembali mengintai. Kali ini jauh lebih besar. Pemerintah telah memberikan izin persetujuan komitmen untuk Perizinan Berusaha Pemanfataan Hutan (PBPH) seluas 20.706 hektare atau sepertiga luas Pulau Sipora kepada PT Sumber Permata Sipora. Saat ini perusahaan tersebut sedang memperbaiki Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk mendapatkan izin beroperasi menebang hutan Sipora.

Ahli primata khawatir
Dr. Rizaldi, ahli primata di Departemen Biologi Universitas Andalas, sangat khawatir dengan maraknya pembukaan hutan di Pulau Sipora dalam tiga tahun terakhir. Apalagi ditambah dengan izin baru untuk PBPH PT Sumber Permata Sipora yang sedang diproses.

Rizaldi mengatakan kondisi primata di Mentawai saat ini sangat mendesak untuk diperhatikan karena primata itu telah kehilangan habitat yang begitu parah.

“Yang paling urgent sekarang adalah primata-primata yang ada di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan, karena tidak ada kawasan perlindungan seperti di Siberut yang ada taman nasional, sepanjang tidak ada hutan konservasi habitat primata di Sipoa ini akan hilang,” katanya.

Apalagi, tambahnya, IUNC saat ini sudah memisahkan jenis spesies Joja dan Bokoi yang ada di Pulau Siberut berbeda dengan yang ada di Pulau Pagai dan Sipora.

“Ditambah lagi tahun ini ahli primata di dunia juga memasukkan Simakobu sebagai 25 primata paling terancam di dunia, seharusnya pemerintah Indonesia malu dan membuat upaya agar Simakobu keluar dari daftar itu,” ujarnya.

Menurut Rizaldi, dua spesies utama yang paling terdampak penebangan hutan di Sipora adalah Bilou dan Simakobu. Selanjutnya berurutan Atapaipai dan Siteut.

Bilou paling terdampak karena sangat tergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi, karena ia tidak pernah turun ke lantai hutan, seperti tiga primata lainnya.

“Bilou hanya memakan buah, terutama buah ara. Kalau tegakan hutan dibuka akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain mencari makanan,” katanya.

Simakobu juga tinggal di pohon yang tinggi, memakan buah dan daun. Tidak seperti Atapaipai dan Siteut yang pilihan makanannya lebih banyak dan bisa turun ke lantai hutan.

“Siteut lebih opurtunis, karena bisa hidup dekat dengan aktivitas manusia seperti di ladang, tetapi itu menjadikannya berkonflik dengan manusia karena dianggap hama,” katanya.

Rizaldi mengingatkan, ketika alat berat mulai beroperasi dan masuk ke kawasan primata-primata tersebut, kemudian menebangi pohon-pohon yang besar dan kecil dengan melakukan ‘land clearing’, dalam kurun yang singkat primata tersebut akan kehilangan potensi makanan.

“Jangan lagi ada logging, sudah terlalu banyak eksploitasi hutan di Mentawai sejak 1970 sampai sekarang, pohon ditebang menjadi kayu log dan dibawa keluar Mentawai, harusnya itu tidak lagi dilakukan, karena Sipora termasuk pulau kecil yang rentan dan rapuh, bisa kekurangan air tawar,” ujarnya.

Menurut Rizaldi, jika penebangan hutan di Pulau Sipora tetap berlanjut, Sipora akan kehilangan biodiversiti hutannya. Ekosisitemnya akan terganggu, karena banyak satwa besar seperti rusa, babi hutan, dan primata akan lenyap.

“Kalau ditebang lagi, hutan bisa saja recovery untuk lima puluh tahun ke depannya, tapi faunanya bagaimana mau recovery kalau sudah hilang,” katanya.

Kalau serangga kecil, jelasnya, mungkin masih akan kembali. Namun hewan besar tidak akan kembali.

“Padahal suatu ekosistem itu butuh hewan besar, butuh predator, satu saja ada yang hilang, jelas akan ada yang terganggu, bisa menjadi hutan yang ada pohon tapi lahannya kering seperti gurun, seperti di kebun sawit,” katanya.

Ia berharap eksploitasi hutan di Kepulauan Mentawai sudah harus dihentikan sekarang.

Bupati Mentawai menolak PBPHPT SPS
Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa menyatakan dengan tegas menolak masuknya PBPH PT Sumber Permata Sipora karena menurutnya pembabatan hutan akan merugikan masyarakat adat.

“Saya sudah menyampaikan langsung kepada Menteri Kehutanan dan Gubenur Sumatera Barat untuk tidak meloloskan izin ini, karena banyak penolakan dari masyarakat,” kata Rinto.

Untuk penyelamatan primata Mentawai Bupati sudah memiliki rencana untuk membuat ekowisata di hutan Siberut dan Sipora untuk tempat pengamatan satwa Mentawai bagi turis asing yang banyak datang ke Mentawai. Kawasan itu akan dilengkapi dengan jalur treking masu ke dalam hutan.

“Tidak saja tempat pengamatan primata endemik Mentawai, tetapi juga satwa Mentawai lainnya seperti tupai terbang endemik, buung hantu endemik, burung beo, dan rangkong,” katanya di Tuapeijat pada 2 Agustus 2025. Rinto juga ingin mendorong masyarakat adat untuk membuat ekowisata di hutan adat.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat Tasliatul Fuadi yang diberi mandat membahas ANDAL (Analisa Dampak Lingkungan) PT.Sumber Permata Sipora mengatakan untuk perlindungan satwa dalam konsesi kawasan PBPH PT Sumber Permata Sipora, selain ada hutan lindung seluas 661 hektare, juga akan ditambah minimal 100 hektare untuk areal satwa dan plasma nutfah.

“Akan ada tambahan 100 hektare di dekat hutan lindung di sekitar Saureinuk, selain itu kami juga mengusulkan agar ada penebangan selektif, minimal kayu yang diameternya 50 sentimeter ke atas, tidak 40 up seperti sekarang,” katanya.

Saat ditanya tentang kemungkinan membuat koridor satwa dari utara hingga selatan, ia mengatakan itu akan menghabiskan areal.

“Kalau di semua tempat ya habis, atau kita jadikan hutan lindung ,atau dijadikan taman nasional, harus di-SK-kan oleh Menteri, apa mau begitu, saya setuju saja, kalau mau dijadikan hutan adat itu bertahap dan prosesnya lama,” katanya pada 19 Agustus 2025 usai pertemuan dengan Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat yang menolak masuknya PBPH PT Sumbar Permata Sipora di DPRD Sumatera Barat.

Saya kembali mengunjungi Hutan Berkat pada 22 Agustus 2025 untuk melihat kembali hutan yang saya saksikan sedang ditebang tiga tahun silam.

Kami masuk hutan pagi hari, melewati jalan tanah merah berlumpur dan tergenang air. Jalan bekas loading di tengah hutan menuju pantai Pukarayat masih diperkeras dengan batu dan jembatan dari balok-balok pohon. Di beberapa tempat bekas tebangan sudah berubah menjadi kebun pisang dan ladang masyarakat. Sebagian besar masih hutan dengan sisa pohon yang tidak ditebang.

Seekor ular king kobra melintas cepat, masuk ke semak begitu mengetahui kami lewat. Di dekat sungai telihat seekor biawak. Beberapa burung melintas. Seekor rangkong dan seekor elang terlihat di pohon. Sedangkan burung sriguntung kelabu terbang melintas.

Sedangkan bajing terbang endemik Mentawai dan burung hantu endemik Mentawai yang dulu pernah terlihat di tempat itu, kini tak terlihat lagi.

Hutan telah menjadi sunyi. Tidak terdengar suara seekor pun primata Mentawai di tempat itu. Siteut, simakobu, Atapaipai, atau pekikan bilou tak lagi terlihat atau bersuara dari kejauhan. Pohon-pohon yang dulu menutupi hutan dengan rapat kini sudah jarang dan tempat itu semakin terang.

“Saya rasa semua primata yang ada di sini dulu sudah pindah ke hutan yang terlindungi dari tebing batu ke arah selatan sana,” kata Mateus.

Mateus menceritakan sudah pernah melihat ke lokasi itu dan menyaksikan ada primata di sana. “Di sana penebangan hutan akan sulit dilakukan, semoga primata itu bisa aman,” kata Mateus yang kembali mendampingi saya ke Hutan Berkat,

Dia tetap mencoba optimistis dengan ancaman penebangan hutan yang mengintai habitat terakhir primata di Sipora. “Tidak semua orang mau menyerahkan tanahnya untuk digarap, ada juga yang masih memikirkan dampak lingkungannya, mereka akan kesulitan air dan dapat bencana, semoga perusahaan tidak jadi beroperasi di sini,” ujar Mateus.

7 wilayah di Papua desak pengesahan RUU Masyarakat Adat

Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Papua di Sorong. (Foto: Aldo Rio / Greenpeace)
Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Papua di Sorong. (Foto: Aldo Rio / Greenpeace)

Desakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali bergaung. Kali ini dari Kota Sorong, Papua Barat Daya. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Region Papua menyelenggarakan konsultasi publik pada tanggal 31 Juli 2025. Acara yang digelar untuk membuka ruang partisipasi publik dalam proses legislasi RUU Masyarakat Adat ini melahirkan Deklarasi 7 Wilayah Adat Tanah Papua di Sorong.

Melalui deklarasi ini, masyarakat adat di 7 wilayah adat di Tanah Papua yang hadir dalam konsultasi publik ini mendeklarasikan dua poin pernyataan sikap.

Pertama, bahwa mereka mendesak Badan Legislasi DPR RI untuk mengakomodasi hasil-hasil konsultasi publik RUU Masyarakat Adat Region Papua sebagaimana yang terlampir pada deklarasi ini.

Kedua, mereka juga mendesak Presiden RI, Prabowo Subianto beserta pimpinan DPR RI untuk segera mengesahkan UU Masyarakat Adat dalam masa sidang tahun 2025.

“Berbagai peraturan yang ada selalu dibenturkan mengenai keberadaan masyarakat adat dan ruang hidupnya. RUU MA diharapkan bisa menganulir kompleksitas pengkauan masyarakat adat yang selama ini menemui banyak hambatan,” kata Erasmus Cahyadi, Sekretaris Jendral AMAN, Sorong, 31 Juli 2025.

Hampir dua dekade sejak pertama kali diusulkan tahun 2009, RUU Masyarakat Adat masih belum juga disahkan. Sepanjang itu pula, masyarakat adat tak kunjung mendapatkan pelindungan hukum. Padahal, RUU Masyarakat Adat sudah tiga kali masuk ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) pada 2014, 2024, dan 2025.

Menurut Frida Klassin, perwakilan komunitas masyarakat adat, keterlibatan masyarakat adat dalam perancangan RUU Masyarakat Adat sangat krusial, karena regulasi ini akan sangat berpengaruh pada ruang hidup masyarakat adat yang makin tergerus habis.

“Apa jadinya masyarakat adat kalau tidak ada RUU Masyarakat Adat? Khususnya di Papua, bahasa, marga, dusun, kampung, laut, hingga hutan, itu melekat dengan masyarakat adat. Saya mencatat setiap aspirasi kami yang hidup, kami yang tinggal, kami yang punya. Tanah Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua adalah tanah marga,” tegas Frida.

Mengundang pemerintah daerah setempat, akademisi, serta komunitas masyarakat adat di Tanah Papua, konsultasi ini dirancang untuk mewadahi aspirasi dari berbagai sektor. Greenpeace Indonesia ikut mengawal proses konsultasi publik ini sebagai fasilitator.

“Secara khusus, Papua merupakan wilayah dengan keragaman masyarakat adat yang sangat tinggi dan struktur sosial-budaya yang khas. Di tengah ancaman ekspansi industri ekstraktif, pembangunan infrastruktur, dan perubahan tata ruang, kebutuhan akan pelindungan hukum bagi masyarakat adat Papua menjadi sangat mendesak. RUU Masyarakat Adat harus mampu mengakomodasi hak kolektif masyarakat adat Papua dalam kerangka otonomi khusus, pluralisme hukum, serta pengakuan terhadap sistem nilai lokal yang hidup dan dinamis,” ujar Rossy You, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Papua Barat Daya, Ahmad Nausrau, menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat bukan sekadar produk hukum formal, tetapi adalah sarana transformasi keadilan sosial, keadilan ekologis, dan penguatan identitas bangsa.

“Negara harus menjamin bahwa masyarakat adat mendapatkan pelindungan atas tanah dan wilayahnya, atas budayanya, dan atas sistem nilai yang mereka junjung tinggi. Saya mengajak semua pihak untuk menjadikan proses ini sebagai bagian dari gerakan bersama membangun masa depan Papua dan Indonesia yang menghormati keberagaman, menjunjung tinggi keadilan, dan menjaga keberlanjutan hidup di atas tanah leluhur kita bersama,” ujarnya.

Perlawanan masyarakat adat Papua terhadap perampasan tanah dan hutan leluhur

perlawanan ekologis dan spiritual masyarakat adat Suku Awyu di Papua memajang salib merah—yang tampaknya memiliki makna religius dan perlawanan kultural - Dok Walhi Papua
Perlawanan ekologis dan spiritual masyarakat adat Suku Awyu di Papua. (Dok Walhi Papua)

Masyarakat adat Suku Awyu di Papua terus memperlihatkan perlawanan terhadap ekspansi perusahaan sawit yang dinilai merampas tanah adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup mereka. Dalam aksi terbaru, masyarakat memasang salib merah di berbagai titik wilayah adat sebagai bentuk perlindungan spiritual atas tanah warisan leluhur.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua, Maikel Peuki, menyebut bahwa aksi ini merupakan pernyataan mendalam yang bersumber dari nilai budaya dan keyakinan masyarakat adat.

“Ini bukan hanya tentang tanah. Ini tentang masa depan anak cucu, tentang warisan moyang, dan tentang ciptaan Tuhan yang harus dijaga. Aksi memasang salib merah adalah bentuk perlawanan ekologis dan spiritual yang sangat bermakna bagi masyarakat Awyu,” ujar Maikel dalam keterangannya kepada media, Minggu (6/7/2025).

WALHI Papua menyatakan bahwa perluasan konsesi perusahaan sawit di wilayah adat Awyu dilakukan tanpa persetujuan penuh masyarakat. Hutan-hutan yang menjadi sumber pangan, obat-obatan alami, serta pengetahuan leluhur kini dalam ancaman serius akibat pembukaan lahan berskala besar.

“Mereka (perusahaan) masuk dengan alat berat, membabat hutan, mengeruk tanah, dan membawa kayu seperti pencuri di siang hari. Semua ini terjadi terang-terangan, dan sayangnya negara belum cukup berpihak kepada masyarakat adat,” kata Maikel.

Masyarakat Suku Awyu yang tersebar di wilayah Boven Digoel dan Mappi terus menggelar aksi damai serta menggugat izin perusahaan melalui jalur hukum. Dukungan datang dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, Yayasan Pusaka, dan Greenpeace.

“Perlawanan ini akan terus berjalan, selama hak atas tanah adat tidak diakui dan hutan mereka terus dihancurkan. Ini bukan soal investasi atau pembangunan semata, ini tentang keberlanjutan kehidupan dan keadilan ekologis,” ujar Maikel.

Masyarakat Adat Papua: Moi Sigin tolak perkebunan sawit

Di Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, masyarakat hukum adat Moi Sub Suku Moi Sigin juga menolak kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Penolakan ini disampaikan dalam musyawarah adat yang difasilitasi Dewan Adat Suku Moi dan dihadiri oleh tokoh masyarakat, termasuk Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami.

Tokoh pemuda adat Moi Sigin, Raymon Klagilit, menyatakan bahwa masyarakat tidak pernah memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan sawit sebelumnya.

“Kami tidak pernah merasakan kesejahteraan. Sebaliknya, masyarakat malah dibebani dengan utang ratusan juta hingga miliaran rupiah akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab,” tegas Raymon, dikutip dari WALHI Papua.

Yakub Klagilit, pemuda adat lainnya, menyampaikan bahwa perusahaan telah menggusur dusun sagu yang menjadi sumber pangan utama masyarakat, tanpa persetujuan masyarakat adat.

“Dusun sagu kami digusur pada Desember 2023, saat kami sedang merayakan Natal. Sampai hari ini, tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk melakukan pemulihan terhadap wilayah tersebut,” ujarnya.

Sadrak Klawen, Sekretaris Dewan Adat Distrik Moi Segen, menekankan pentingnya ketaatan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi.

“Kami mendesak agar perusahaan yang beroperasi tunduk dan patuh pada regulasi daerah yang menjamin hak masyarakat adat. Terutama soal hak atas 20 persen lahan plasma yang hingga kini tidak jelas pengelolaannya,” kata Sadrak.

Musyawarah adat ini ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap masyarakat adat Moi Sigin yang menegaskan penolakan penuh terhadap proyek PSN, serta mendesak pemerintah untuk tidak menerbitkan izin usaha di atas tanah adat tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara layak (FPIC).

Absennya penerapan otonomi khusus Papua membuat hak masyarakat adat terus terpinggirkan

Pegiat lingkungan hidup asli Papua dari Suku Awyu Hendrikus ‘Franky’ Woro (kiri) dan Kasimilus Awe (kanan), mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua kepada perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). (Gusti Tanati/Greenpeace)
Pegiat lingkungan hidup asli Papua dari Suku Awyu Hendrikus ‘Franky’ Woro (kiri) dan Kasimilus Awe (kanan), mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua kepada perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). (Gusti Tanati/Greenpeace)

Keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara kasasi Nomor 458 K/TUN/LH/2024 menjadi penanda terbaru dari ketidakhadiran implementasi nyata Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dalam putusan tertanggal 18 September 2024 itu, majelis hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh perwakilan masyarakat adat Suku Awyu, Hendrikus Woro dari Marga Woro, bersama organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Mereka menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua serta PT Indo Asiana Lestari, atas pemberian izin kelayakan lingkungan hidup untuk rencana pembangunan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di atas lahan seluas 36.094 hektar di Distrik Mandobo dan Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.

Putusan ini bertumpu pada pertimbangan prosedural, bahwa gugatan dinilai diajukan melewati batas waktu yang ditentukan oleh hukum. Gugatan dianggap kedaluwarsa.

Namun, dalam dokumen putusan tersebut tercatat adanya dissenting opinion dari salah satu anggota majelis hakim, Yudi Martono Wahyunadi, yang menyoroti pentingnya menempatkan keadilan substantif di atas keadilan formal.

Proses perizinan, kata Yudi, seharusnya melibatkan masyarakat adat sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, khususnya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (4).

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi dasar izin tersebut juga dipertanyakan. Selain aspek lingkungan, AMDAL seharusnya mencakup dampak sosial, yang dalam kasus ini belum mengakui kerugian yang dialami oleh masyarakat adat Suku Awyu.

Selama ini Suku Awyu telah mengelola dan memanfaatkan wilayah tersebut secara turun-temurun, namun hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pengambilan keputusan diabaikan.

Implementasi otonomi khusus

Rikardo Simarmata, pengajar dan Kepala Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai kasus ini sebagai gambaran nyata dari absennya implementasi peraturan perundang-undangan tentang otonomi khusus di Papua.

“Disebut absen karena kejadian-kejadian lapangan justru berlangsung sebaliknya, hak-hak masyarakat adat tidak punya legitimasi,” kata Rikardo, dalam diskusi eksaminasi publik atas putusan kasasi tersebut yang digelar di Fakultas Hukum UGM, diakses 7 Juli 2025.

Menurut Rikardo, substansi keadilan dalam konteks Papua seharusnya menjamin pembangunan ekonomi tidak justru mengorbankan masyarakat adat. Padahal, Undang-Undang Otsus Papua memberikan pengakuan yang relatif lengkap terhadap hak-hak masyarakat hukum adat—meliputi hak atas sumber daya alam, pengetahuan lokal, serta sistem peradilan adat.

Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat bahkan telah menetapkan beberapa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur peradilan adat, pengelolaan hutan berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam, serta hak ulayat masyarakat hukum adat. Namun, menurut Rikardo, semua pengaturan tersebut belum terimplementasi secara konkret.

“Di atas kertas, eksistensi dan validitas hak-hak adat semakin kuat dengan pemberlakuan perdasus tersebut. Dibayangkan tidak ada lagi atau berkurang penguasaan dan penggunaan hak ulayat atau petuanan adat oleh pihak luar tanpa diketahui, disetujui oleh masyarakat hukum adat,” ungkapnya.

Kenyataannya, tanah dan hutan adat masih dengan mudah diklaim sebagai milik negara dan dialihfungsikan untuk kepentingan korporasi.

“Mengapa tanah dan hutan adat masih diabaikan dalam pemberian izin atau hak sementara sesudah ada regulasi otsus Papua?” katanya, retoris.

Ia melanjutkan, gamblangnya karena pengakuan oleh teks-teks hukum itu belum dilanjutkan atau mewujud dalam pembuatan keputusan administratif dalam bentuk surat keputusan penetapan tanah ulayat atau pemberian perizinan di bidang kehutanan.

Situasi ini menempatkan advokasi hak masyarakat adat Papua di persimpangan jalan. Upaya perlindungan bisa ditempuh melalui jalur otonomi khusus dan perdasus, atau melalui kerangka legislasi nasional seperti program perhutanan sosial yang mencakup hutan adat.

Namun, sejak ditetapkannya perdasus pertama pada 2008, belum ada satu pun pengakuan formal terhadap tanah ulayat dan hutan adat di Papua berdasarkan perdasus. Bahkan sebaliknya, belakangan muncul kebijakan pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di atas tanah ulayat.

“Semakin efektif pelaksanaan regulasi semakin berkurang pengabaian hak-hak adat. Kasus gugatan Suku Awyu tidak akan terjadi apabila tanah dan hutan adat sudah diakui sebelum objek sengketa diterbitkan. Orang Awyu menjadi korban dari inefektivitas pelaksanaan undang-undang otsus dan perdasus,” kata Rikardo.

Ia juga menggarisbawahi bahwa putusan kasasi ini tidak menyentuh akar persoalan, yaitu aspek institusional yang memungkinkan izin itu diterbitkan, dan aspek sosial yang membuat masyarakat menolaknya.

Maka, ia merekomendasikan agar pemerintah mempercepat implementasi regulasi otonomi khusus, khususnya dalam bentuk pengakuan administratif dari pemerintah daerah terhadap tanah ulayat.

Di sisi lain, ia meminta pemerintah pusat menyelaraskan kebijakan nasional dengan kerangka otsus. Ia menilai, posisi regulasi nasional saat ini cenderung meniadakan atau mengabaikan otsus.

Gelombang penolakan tambang nikel di Raja Ampat

Pulau Raja Ampat. (ESDM)
Pulau Raja Ampat. (ESDM)

Puluhan pemimpin masyarakat adat Suku Betew dan Maya dari 12 kampung di Distrik Waigeo Barat Kepulauan dan Distrik Waigeo Barat Daratan, Kabupaten Raja Ampat, dengan lantang menyuarakan penolakan mereka terhadap aktivitas tambang nikel.

Penolakan tegas masyarakat adat Suku Betew dan Mayat tertuang dalam sebuah petisi yang diserahkan kepada anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat pada 24 Maret 2025, disaksikan oleh pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) setempat. Petisi tersebut secara jelas mengartikulasikan kekhawatiran mendalam dan aspirasi masyarakat adat terkait potensi dampak buruk pertambangan nikel seluas 2.193 hektar di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun.

Alasan penolakan ini berakar kuat pada status kedua pulau tersebut sebagai wilayah adat yang sakral dan bagian tak terpisahkan dari kawasan hutan lindung. Masyarakat adat Suku Betew dan Maya meyakini bahwa aktivitas bisnis ekstraktif pertambangan nikel akan membawa malapetaka, mulai dari penggundulan hutan yang tak terhindarkan, kerusakan dan pencemaran lingkungan sekitar, hingga kehancuran ekosistem perairan laut yang menjadi sumber kehidupan mereka selama bergenerasi-generasi.

Lebih jauh, masyarakat adat juga menyuarakan kekhawatiran bahwa kehadiran perusahaan tambang nikel akan memicu konflik horisontal di tengah masyarakat, menghilangkan mata pencaharian tradisional mereka, dan secara signifikan mengurangi pendapatan keluarga.

Kerusakan dan pencemaran laut akan secara langsung mengancam ekosistem bawah laut yang kaya, habitat beragam biota laut, serta merusak wilayah pesisir yang selama ini menjadi tumpuan hidup para nelayan. Mereka memprediksi kesulitan melaut yang semakin besar, jarak tempuh yang lebih jauh, dan biaya operasional yang membengkak sebagai konsekuensi logis dari aktivitas pertambangan.

Yohan Sauyai, seorang pemimpin masyarakat adat yang turut menyampaikan petisi penolakan, dengan tegas menyatakan, “Kami sudah sejak lama turun temurun hidup tergantung dari alam. Aktifitas pertambangan nikel merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sosial masyarakat,” diakses dari keterangan resmi, Minggu, 27 April 2025.

Senada dengan Sauyai, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Waigeo Barat (Waibar) secara kolektif menolak keberadaan perusahaan tambang nikel di wilayah mereka. Mereka mendesak pemerintah di berbagai tingkatan – mulai dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat Daya, hingga Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat – untuk segera mencabut seluruh izin usaha yang telah dikeluarkan kepada perusahaan tambang nikel.

Izin-izin yang mereka soroti meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin teknis lainnya, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), hingga Izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Laut.

“Kami sepakat bahwa kegiatan tambang di pulau kecil dalam bentuk apapun harus segera dihentikan. Kami tidak menginginkan kerusakan lingkungan akibat industri nikel. Kami tidak mau menanggung penderitaan akibat dari ambisi global,” imbuh Sauyai dengan nada penuh harap agar suara mereka didengar dan diindahkan.

Informasi dari berbagai media menyebutkan bahwa saat ini terdapat lima perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Papua, dan ironisnya, empat di antaranya berlokasi di Kabupaten Raja Ampat, wilayah yang selama ini dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau.

Bahaya tambang nikel pada Raja Ampat

Kepulauan Raja Ampat, yang sering dijuluki sebagai “surga tersembunyi” di ujung barat Papua Barat, telah lama menjadi ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Gugusan pulau-pulau karst yang menjulang anggun, kekayaan biota laut yang tak tertandingi, serta keunikan budaya masyarakat lokal menjadi magnet yang kuat bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Papua Barat menunjukkan tren positif dalam sektor pariwisata Raja Ampat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun fluktuasi kunjungan wisatawan mungkin terjadi akibat berbagai faktor global dan regional, kontribusi sektor ini terhadap perekonomian daerah tidak dapat disangkal.

Statistik mengenai jumlah wisatawan, rata-rata lama tinggal, dan tingkat hunian akomodasi memberikan indikasi yang jelas mengenai potensi besar pariwisata sebagai penggerak ekonomi utama di Raja Ampat.

Selain mencatat perkembangan pariwisata, BPS juga mendokumentasikan data penting terkait demografi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat Raja Ampat. Informasi mengenai jumlah penduduk, kepadatan populasi, mata pencaharian utama, serta tingkat pendidikan dan kesehatan memberikan gambaran yang lebih holistik tentang kehidupan di kepulauan ini.

Mayoritas masyarakat Raja Ampat memiliki hubungan yang erat dengan laut, di mana sektor perikanan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Data BPS secara rinci mencatat produksi perikanan, jenis-jenis ikan yang dominan, serta kontribusi signifikan sektor ini terhadap pendapatan daerah.

Data BPS juga mencakup informasi mengenai ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung di Raja Ampat. Keberadaan akomodasi seperti hotel dan penginapan, aksesibilitas transportasi darat dan laut, serta fasilitas penunjang pariwisata lainnya merupakan elemen krusial dalam menopang pertumbuhan sektor pariwisata. Data ini memberikan indikasi mengenai tingkat kemajuan infrastruktur yang telah dicapai serta tantangan yang masih perlu diatasi.

Penolakan keras dari masyarakat adat Suku Betew dan Maya terhadap pertambangan nikel di Pulau Batan Pele dan Pulau Manyaifun menjadi sorotan tajam terhadap potensi ancaman yang dihadapi oleh keindahan alam Raja Ampat dan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal yang sangat bergantung pada ekosistem laut yang sehat.
Kekhawatiran mereka bukan hanya tentang kerusakan lingkungan, tetapi juga tentang hilangnya identitas budaya dan potensi ekonomi pariwisata yang selama ini menjadi harapan masa depan Raja Ampat. Suara penolakan ini adalah panggilan mendesak bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mempertimbangkan secara matang dampak jangka panjang dari aktivitas pertambangan terhadap warisan alam dan sosial budaya Raja Ampat yang tak ternilai harganya.

Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulir

Komunitas pemuda datang ke Pengadilan Negeri Palembang hari ini untuk menghadiri sidang gugatan kabut asap dan menunjukkan dukungan mereka terhadap warga Sumatera Selatan yang menggugat tiga perusahaan atas kabut asap yang sudah berlangsung lama. © Abriansyah Liberto/Greenpeace
Komunitas pemuda datang ke Pengadilan Negeri Palembang untuk menghadiri persidangan gugatan kabut asap dan menunjukkan dukungan mereka terhadap warga Sumatera Selatan yang menggugat tiga perusahaan atas kabut asap yang sudah berlangsung lama. © Abriansyah Liberto/Greenpeace

Persidangan gugatan warga terhadap perusahaan pemicu kabut asap terus bergulir di Pengadilan Negeri Palembang, 10 April 2025. Gugatan ini diajukan oleh sebelas warga Sumatera Selatan, yang menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia akibat kebakaran hutan dan lahan gambut.

Dalam sidang pembuktian kali ini, pihak penggugat menghadirkan tiga ahli terkemuka untuk menguraikan secara ilmiah dan hukum tentang keterkaitan aktivitas korporasi dengan bencana kabut asap yang terus menghantui kawasan ini.

Ketiga ahli yang memberikan keterangan ialah Azwar Maas, guru besar ilmu tanah dari Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dan ahli gambut; Andri Gunawan Wibisana, guru besar hukum lingkungan Universitas Indonesia; serta Iman Prihandono, guru besar dan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang mendalami isu bisnis dan hak asasi manusia.

Dalam penjelasannya, Azwar Maas menguraikan secara rinci karakteristik lahan gambut dan dampak dari praktik pengeringannya. Menurutnya, lahan gambut bersifat menyukai air (hydrophilic), sehingga secara alami tidak akan kering. Namun, ketika korporasi membuka saluran kanal di area gambut, air dari lapisan tanah akan menguap, mengubah sifat gambut menjadi takut air (hydrophobic) yang membuatnya sangat mudah terbakar.

“Ketika gambut kemudian dibuka untuk saluran air, maka kandungan air dalam lahan gambut akan menguap. Proses inilah yang dapat mengeringkan lahan gambut dan mengubah karakteristiknya berubah menjadi takut air (hydrophobic). Kondisi ini berbahaya, karena akan membuat lahan gambut mudah terbakar. Jika sampai terbakar, maka kebakaran yang terjadi akan terus berlanjut, karena akan sangat sulit untuk membasahi area yang luas,” kata Azwar.

Penjelasan Azwar membuka jalan bagi argumen hukum yang disampaikan oleh Andri Gunawan Wibisana. Ia menegaskan bahwa dalam konteks hukum lingkungan, berlaku prinsip pertanggungjawaban mutlak atau strict liability terhadap pelaku usaha atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan mereka. Prinsip ini telah diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta diperkuat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023.

Menurut Andri, aktivitas pengeringan lahan gambut yang dilakukan melalui pembangunan kanal-kanal merupakan bentuk dangerous activity—kegiatan berisiko tinggi yang tak bisa sepenuhnya dihindari sekalipun dengan kehati-hatian. Karena itu, pelaku usaha tetap harus bertanggung jawab jika risiko tersebut menimbulkan kerusakan atau bencana lingkungan seperti kebakaran hutan.

“Dengan strict liability, tergugat bisa dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan atau usahanya. Pengeringan gambut dengan membangun kanal-kanal, seperti yang didalilkan penggugat, merupakan dangerous activity yang tidak bisa dikurangi risikonya bahkan dengan tindakan kehati-hatian, karena menimbulkan risiko dan peluang terjadinya kebakaran,” ujar Andri.

Masuk lebih dalam ke dimensi hak asasi manusia, Iman Prihandono menjelaskan bahwa korporasi memiliki kewajiban menghormati HAM sebagaimana tercantum dalam prinsip kedua dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Ia menekankan bahwa perusahaan tidak bisa berlindung di balik legalitas izin usaha ketika aktivitas mereka terbukti merugikan masyarakat secara sistematis.

“Pilar kedua UNGPs mengatur bahwa perusahaan memiliki responsibility to respect atau menghormati HAM. Perusahaan semestinya tahu bahwa pembuatan kanal yang mereka lakukan akan berdampak mengeringkan gambut, memicu kebakaran, hingga memicu kabut asap yang lantas merenggut hak masyarakat atas udara serta lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Iman.

Gugatan ini diarahkan kepada tiga perusahaan yang mengelola konsesi di kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan–Sungai Lumpur (KHG SSSL), wilayah dengan tingkat kebakaran tertinggi selama dua dekade terakhir.

Dalam rentang waktu 2001 hingga 2020, tercatat 473 ribu hektare lahan terbakar di dalam konsesi ketiga perusahaan itu—jumlah ini mencakup 92 persen dari total luas area terbakar di KHG SSSL. Kebakaran berulang tercatat di 175 ribu hektare lahan, terutama dalam periode 2015 hingga 2020, yang menandai skala dan kegigihan kerusakan.

“Di dalam gugatan, kami menyoroti kerusakan ekosistem gambut yang punya dampak begitu besar, menimbulkan karhutla dengan dampak asap yang berbahaya, meluas dengan durasi yang lama dan bagaimana kasus kabut asap akibat karhutla ini telah menyalahi hukum lingkungan serta merenggut hak asasi masyarakat Sumatera Selatan. Kesaksian ahli, dan para pakar hukum yang kredibel serta independen, makin menguatkan argumen kami bahwa para tergugat harus bertanggung jawab mutlak atas dampak kabut asap akibat aktivitas berbahaya mereka mengeringkan gambut hingga memicu kebakaran,” kata Sekar Banjaran Aji, salah satu tim kuasa hukum penggugat.

Di luar ruang sidang, solidaritas terus bergema. Anggota koalisi Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) dan sejumlah penggugat hadir mendampingi proses persidangan. Mereka mengenakan pakaian dengan tulisan “Belum Merdeka dari Asap” sebagai simbol perlawanan atas bencana berulang yang belum kunjung mendapat keadilan.

Usai persidangan, belasan mahasiswa dan aktivis komunitas membentangkan spanduk dengan pesan yang sama di depan gedung pengadilan. Aksi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan kabut asap bukan hanya berlangsung di ruang hukum, tapi juga di ruang publik.

Greenpeace Indonesia juga turut masuk dalam perkara ini sebagai pihak intervensi. Organisasi ini mendesak agar majelis hakim tidak hanya menghukum para tergugat, tetapi juga memerintahkan pemulihan total atas lahan gambut yang rusak dan menjamin bahwa kebakaran serta penyebaran kabut asap tak akan terulang dari wilayah konsesi mereka.

Persidangan masih akan berlanjut, namun kesaksian para ahli telah menegaskan bahwa di balik kabut asap yang menyesakkan itu, terdapat jejak panjang pelanggaran hukum dan pengabaian terhadap hak-hak dasar masyarakat. Bukan hanya bencana ekologis, kabut asap adalah krisis keadilan yang menuntut pertanggungjawaban tegas dari para pelakunya.

Solidaritas Merauke desak Komnas HAM rekomendasikan presiden hentikan PSN Merauke

Aksi solidaritas Merauke mendesak Komnas HAM. (Pusaka Bentala Rakyat)
Aksi solidaritas Merauke mendesak Komnas HAM. (Pusaka Bentala Rakyat)

Solidaritas Merauke mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerbitkan rekomendasi kepada Presiden Republik Indonesia agar segera menghentikan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan. Proyek tersebut dinilai telah melanggar hak hidup, hak masyarakat adat, dan merusak lingkungan hidup sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Koordinator Solidaritas Merauke, Franky Samperante, menegaskan bahwa proyek PSN di Merauke diduga dijalankan tanpa dokumen dan persetujuan lingkungan hidup yang sah.

“Masyarakat terdampak langsung, maupun organisasi lingkungan hidup, tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan,” ujar Franky dalam keterangan resmi, Senin (14/4/2025).

Franky menyebut pelaksanaan proyek ini mengandung indikasi kuat pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal itu diperkuat oleh temuan Komnas HAM yang menyatakan bahwa PSN ketahanan pangan dan energi di Kabupaten Merauke berpotensi melanggar HAM. Temuan tersebut tertuang dalam surat rekomendasi Komnas HAM nomor 189/PM.00/R/III/2025 yang ditujukan kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke pada 17 Maret 2025.

Surat rekomendasi itu merupakan tindak lanjut atas pengaduan masyarakat adat suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei, yang diajukan pada 23 Oktober 2024. Pengaduan ini didampingi oleh Franky Samperante dari Yayasan Pusaka dan Teddy dari LBH Papua Pos Merauke.

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menegaskan bahwa dugaan perampasan dan penyerobotan kawasan hutan serta lahan ulayat berdampak langsung pada keberlangsungan hidup masyarakat adat.

Komnas HAM kemudian meminta klarifikasi dari sejumlah lembaga pemerintah, termasuk Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi Papua Selatan, Pemerintah Kabupaten Merauke, dan Panglima TNI, melalui surat nomor 976/PM.00/SPK.01/XI/2024 tertanggal 18 November 2024.

Dalam dokumen tersebut, Komnas HAM menguraikan 13 temuan penting. Salah satunya adalah luas lahan proyek PSN yang mencakup dua juta hektare, sebagian besar berada di kawasan hutan dan wilayah adat di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind, dan Kurik. Kawasan ini mencakup hutan sagu, hutan alam, dan rawa-rawa yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat adat.

Komnas HAM menilai legalitas kepemilikan hak ulayat masih bermasalah karena hanya berdasarkan pemetaan partisipatif tanpa dasar hukum yang kuat. Tapal batas ditentukan secara informal antarmasyarakat tanpa pengakuan negara.

Penetapan konsesi perkebunan dan pertanian di kawasan Hutan Produksi yang dapat Konversi (HPK) dan Hak Pengguna Lain (HPL) dilakukan tanpa pelibatan substansial masyarakat adat. Beberapa perusahaan telah memperoleh Hak Guna Usaha (HGB), termasuk PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri, di Distrik Tanah Miring dan Jagebob.

Komnas HAM menegaskan bahwa masyarakat adat belum pernah dilibatkan dalam penetapan HPK dan HPL, serta dalam skema perencanaan praktik pertanian berkelanjutan. Regulasi terkait pengakuan hak atas tanah adat dinilai masih belum memadai.

Franky Samperante menyebut pemanfaatan hutan yang tidak tepat akan mengganggu keseimbangan ekosistem, memicu bencana, dan menghilangkan sumber pangan lokal.

“Bencana banjir sudah terjadi di beberapa kampung di Distrik Eligobel, Sota, Kurik, Malind, Animha, dan Jagebob. Selain itu, proyek ini dapat menyebabkan hilangnya sumber pangan lokal seperti sagu, ubi, dan hasil hutan lainnya,” ungkap Franky.

Komnas HAM juga menyoroti keterlibatan militer dalam pelaksanaan proyek. Di Distrik Ilwayab, 300 unit alat berat didatangkan menggunakan kapal dan helikopter dengan pengawalan TNI. Sebanyak 11 pos TNI didirikan untuk mengawasi proyek. Penambahan 2.000 personel TNI pada 10 November 2024 dinilai menimbulkan ketegangan dan rasa takut di kalangan masyarakat adat.

Penempatan aparat militer dalam jumlah besar, menurut Komnas HAM, menambah tekanan psikologis terhadap warga. Mereka merasa diawasi dan terancam dengan kemungkinan kekerasan fisik dan intimidasi.

Komnas HAM menilai PSN Merauke berpotensi melanggar sejumlah hak asasi, termasuk hak atas tanah dan wilayah adat, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas ketahanan pangan, hak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta hak atas rasa aman.

Selain bertentangan dengan regulasi nasional, proyek ini juga tidak sejalan dengan Konvensi ILO yang mengatur hak masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri terkait tanah adat mereka.

Komnas HAM menilai proyek ini harus segera dievaluasi. Pemerintah perlu menjamin keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, memperjelas kebijakan perlindungan hak-hak mereka, dan menerapkan pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam seluruh proses proyek.

Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyampaikan bahwa surat rekomendasi kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke merupakan bentuk penghormatan terhadap HAM.

“Surat rekomendasi ini disampaikan sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM khususnya masyarakat adat di Merauke,” kata Uli.

Dalam surat itu, Komnas HAM memberikan lima rekomendasi utama: meningkatkan keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan proyek; melakukan pemetaan tanah ulayat dengan partisipasi aktif warga; mengakui hak ulayat melalui regulasi lokal; meningkatkan transparansi penetapan HPK dan HPL; serta memastikan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat adat.

“Pemerintah daerah harus memastikan bahwa proyek-proyek yang melibatkan penggunaan tanah adat memberikan manfaat yang adil dan menguntungkan masyarakat adat,” tegas Uli.

Merespons temuan dan rekomendasi itu, Solidaritas Merauke meminta Komnas HAM agar tidak berhenti pada rekomendasi lokal. Mereka mendesak Komnas HAM untuk mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Investasi dan Kepala BKPMN, Kementerian Kehutanan, serta Kementerian ATR/BPN, untuk menghentikan PSN Merauke secara menyeluruh.

“Kami juga mendesak Komnas HAM untuk mengupayakan dan melakukan investigasi mendalam terkait dugaan dan potensi pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam proyek PSN Merauke yang dilakukan secara terencana dan berdampak meluas terhadap kehidupan Suku Malind Anim, Khimahima, Maklew dan Yei di Kabupaten Merauke, semenjak proyek MIFEE, Kawasan Ekonomi Khusus dan kini,” jelas Teddy J. Wakum, juru bicara Solidaritas Merauke.

Belasan orang bersaksi dalam sidang gugatan kabut asap di PN Palembang

Puluhan saksi memberikan kesaksian untuk perkara kabut asat di Pengadilan Negeri Palembang. (Foto: Abriansyah Liberto/Greenpeace)
Puluhan saksi memberikan kesaksian untuk perkara kabut asat di Pengadilan Negeri Palembang. (Foto: Abriansyah Liberto/Greenpeace)

Persidangan gugatan kasus kabut asap yang diajukan sebelas warga Sumatera Selatan memasuki babak pembuktian. Sebanyak tiga belas orang menjadi saksi fakta dalam sidang pemeriksaan di Pengadilan Negeri Palembang, 20 Maret 2025.

Mereka akan memberikan keterangan tentang dampak kabut asap yang ditengarai akibat kebakaran hutan dan lahan gambut.

“Kabut asap tahun 2023 menghambat pekerjaan saya. Pekerjaan konstruksi baja ringan atau pembangunan atap yang seharusnya bisa selesai satu minggu jadi molor hingga tiga minggu. Hal tersebut membuat saya mengalami kerugian karena hilangnya waktu bekerja dan tertunda dapat upah,” kata Mat Arif, salah satu saksi fakta dari penggugat, dikutip dari laman Greenpeace Indonesia.

Bersama para saksi, para penggugat turut hadir di ruang sidang dengan mengenakan masker bertempelkan stiker “Belum Merdeka dari Asap”. Para penggugat dan saksi berbondong-bondong datang dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Palembang untuk mengawal jalannya persidangan kasus gugatan asap ini.

Dua belas saksi yang hadir merupakan warga yang senasib sepenanggungan dengan para penggugat. Mereka pun merasakan dampak kabut asap, termasuk mengalami kerugian ekonomi. Dalam persidangan sebelumnya, pihak penggugat sudah membeberkan kerugian materil dan imateril–yang berangkat dari rasa sakit emosional serta hilangnya hak atas kesehatan dan udara bersih.

Adapun satu saksi fakta lain yang dihadirkan yakni Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist dari Greenpeace Indonesia yang menjadi penggugat intervensi dalam perkara ini. Sapta sedianya menjelaskan tentang lokasi konsesi ketiga tergugat yang masuk ke dalam Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL), temuan kanal-kanal drainase yang mengeringkan gambut hingga lanskap tersebut terbakar berulang kali, dan luas areal terbakar di tiga perusahaan.

Dalam kurun 2001-2020, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL. Dari angka tersebut, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare.

Namun, ia urung bersaksi lantaran pihak kuasa hukum tergugat menolak kehadiran Sapta selaku saksi fakta, serta menyatakan akan meninggalkan ruang persidangan.

“Ada perdebatan tentang apakah saksi fakta dapat menyampaikan kesaksiannya atau tidak. Memang betul ada keberatan dari pihak tergugat, tetapi keputusan akhir sebenarnya ada pada majelis hakim. Hakim sebetulnya sudah menawarkan kepada saksi fakta untuk mengurungkan atau melanjutkan kesaksiannya. Hakim masih membuka ruang, tapi diinterupsi oleh kuasa hukum tergugat yang mengatakan akan walk out jika saksi melanjutkan kesaksiannya. Kami menilai tindakan kuasa hukum tergugat itu kurang patut dan kurang profesional, serta terkesan tak menghargai jalannya persidangan,” kata Caesar Aditya, perwakilan kuasa hukum penggugat.

Selaku penggugat intervensi, Greenpeace Indonesia meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka. Organisasi ini juga memohon hakim memerintahkan para tergugat untuk menjamin bahwa pengeringan gambut, kebakaran lahan, dan penyebaran kabut asap dari dalam dan sekitar areal izin mereka tak akan terjadi lagi di masa depan.

“Kami mewakili kepentingan lingkungan hidup yang terdampak. Sebab, alih fungsi lahan dari hutan dan gambut menjadi kebun tanaman komersial tak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, tetapi juga berefek pada makin panasnya Bumi dan menambah parah dampak krisis iklim,” kata Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Perwakilan kuasa hukum penggugat, Fribertson Parulian Samosir menambahkan, ketiga perusahaan mesti bertanggung jawab secara mutlak atas terjadinya kabut asap akibat kebakaran di konsesi mereka. Apalagi ketiga tergugat juga mencantumkan aspek memperhatikan lingkungan dalam dokumen visi korporasi.

“Dengan kejadian kabut asap karhutla ini, ketiga perusahaan mengingkari visi mereka sendiri. Maka dari itu kami meminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Kami berharap keterangan saksi dapat membantu hakim untuk melihat perkara ini dengan terang ihwal dampak kabut asap bagi penggugat,” kata Fribertson, kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Palembang.

Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA):

Greenpeace Indonesia, Pantau Gambut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), YLBHI-LBH Palembang, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) Indonesia, Spora Institute, Perkumpulan Rawang, Perkumpulan Tanah Air, Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatera Selatan, Solidaritas Perempuan Palembang, Sarekat Hijau Indonesia Sumatera Selatan, Spektakel Klab, Kontra Visual, Diskomik, Himpunan Mahasiswa Pertanian Universitas Sriwijaya (Himasperta UNSRI), Aksi Kamisan Sriwijaya, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (BEM FE UNSRI).

Home Maps Network Search