Masa depan karbon biru dan peran Indonesia dalam peta iklim global

Asia adalah rumah bagi hutan mangrove dunia. Lebih dari 40 persen ekosistem unik ini terhampar di kawasan Asia, dan Indonesia sendiri menyumbang hampir seperempat dari total hutan bakau di planet ini. Fakta ini bukan sekadar statistik geografis, melainkan penegas bahwa jantung mitigasi perubahan iklim global berdetak di pesisir nusantara.

Pentingnya posisi strategis ini menjadi sorotan utama dalam diskusi global yang kian mendesak mengenai “karbon biru” (blue carbon). Narasi inilah yang diangkat dalam Belantara Learning Series Episode 14 (BLS Eps.14) bertajuk “Mangrove Ecosystems and the Future of Blue Carbon”, sebuah forum internasional hasil kolaborasi Belantara Foundation dan Universitas Pakuan yang digelar secara hibrida pada Kamis, 20 November 2025.

Karbon biru, aset pesisir bernilai ganda

Di tengah krisis iklim yang kian nyata, mangrove tidak lagi hanya dipandang sebagai penahan ombak semata. Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, menekankan bahwa mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir paling berharga dan produktif di bumi.

Aspek paling krusial dari mangrove dalam konteks perubahan iklim adalah fungsinya sebagai penyimpan karbon biru—karbon yang terserap dan tersimpan di ekosistem pesisir dan laut. Namun, Dolly mengingatkan adanya “pedang bermata dua” dalam pengelolaan aset ini.

“Ketika ekosistem mangrove rusak atau terdegradasi, karbon yang tersimpan dalam jumlah besar juga akan dilepaskan kembali ke atmosfer,” ungkap Dolly.

Peran ganda inilah—sebagai penyerap raksasa sekaligus potensi emisi jika rusak—yang menempatkan konservasi mangrove sebagai inti strategi iklim nasional maupun internasional.

“Ekosistem mangrove dan karbon biru menawarkan peluang luar biasa bagi Indonesia, yaitu untuk melindungi kawasan pesisir, mendukung masyarakat, dan berkontribusi secara signifikan bagi solusi iklim global,” tambah Dolly.

Ia optimistis bahwa dengan langkah yang tepat, Indonesia bisa menjadi pemimpin global dalam isu ini. “Dengan berinvestasi dalam konservasi, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengintegrasikan karbon biru ke dalam kebijakan nasional, Indonesia dapat memimpin dunia dalam menunjukkan bagaimana solusi berbasis alam menciptakan masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” pungkasnya.

Optimisme tersebut perlu ditopang oleh kebijakan yang kuat. Pemerintah Indonesia merespons tantangan ini melalui terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2025 (PP 27/2025) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Perairan Darat, Puji Iswari, S.Hut., M.Si., yang mewakili Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, menegaskan bahwa regulasi ini memberikan kepastian hukum sekaligus menegaskan pengelolaan berbasis kesatuan lanskap.

“Implementasinya membutuhkan langkah konkret, kolaborasi, dan inovasi dari pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, akademisi, serta masyarakat,” ujar Puji. Ia menambahkan bahwa melalui PP ini dan regulasi turunannya, kebijakan tersebut diharapkan menjadi “pendorong nyata bagi perbaikan kualitas ekosistem mangrove, pengurangan kerusakan ekologis, dan warisan lingkungan yang berharga bagi generasi mendatang”.

Namun, kebijakan tanpa dasar sains sering kali kehilangan arah. Peneliti Ahli Utama BRIN, Dr. Virni Budi Arifanti, mengingatkan pentingnya scientific-based evidence dalam pengelolaan mangrove.

“Jasa lingkungan, sosial dan ekonomi dari ekosistem mangrove merupakan aset yang perlu dijaga keberlanjutannya dan dioptimalkan untuk kehidupan manusia dan generasi yang akan datang,” tegas Virni.

Sinergi lintas negara dan institusi

Diskusi yang dipusatkan di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Bogor, ini berhasil mempertemukan 908 peserta, baik yang hadir secara fisik maupun yang terhubung melalui ruang virtual dari berbagai negara seperti Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, dan Timor Leste.

Regional Coordinator Coastal and Marine Asia IUCN Secretariat, Maeve Nightingale, M.Sc., menyoroti bahwa mangrove Asia memiliki urgensi tinggi karena kekayaan biodiversitasnya. “Lebih dari 50 dari 73 spesies berada di hotspot keanekaragaman hayati mangrove ini,” jelas Maeve.

Forum ini juga menjadi ajang pertukaran pengalaman praktis antarnegara berkembang. Para pakar seperti Prof. M. Monirul H. Khan dari Bangladesh, Prof. Dr. Irfan Aziz dari Pakistan, dan Kanchan Pawar dari India turut membagikan strategi pengelolaan mangrove di wilayah mereka masing-masing.

Di tingkat nasional, enam universitas kolaborator—termasuk Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara, Universitas Tanjungpura, dan Universitas Nusa Bangsa—menggelar acara “Nonton dan Belajar Bareng” untuk memperluas jangkauan edukasi ini.

Sebagai tuan rumah, Rektor Universitas Pakuan, Prof. Dr. rer.pol. Ir. Didik Notosudjono, M.Sc., menekankan peran krusial perguruan tinggi. Menurutnya, akademisi harus menjadi katalisator utama yang menyediakan pengetahuan dan inovasi.

“Dengan mengintegrasikan sains, masyarakat, dan kebijakan, ekosistem mangrove dapat dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan, yang akan memberikan manfaat bagi ketahanan ekologi dan kesejahteraan manusia,” tutur Didik.

Menutup perhelatan tersebut, Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof. Dr. Sri Setyaningsih, M.Si., menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi multipihak ini.

“Kami berterima kasih kepada Belantara Foundation dan mitra lainnya, yang telah mendukung penuh acara ini sehingga berjalan dengan lancar dan sukses. Semoga seminar internasional ini membawa manfaat besar bagi upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia,” tutup Sri.

Seminar ini menegaskan kembali bahwa masa depan pesisir bukan hanya soal menjaga pohon, melainkan menjaga kehidupan melalui kolaborasi sains, kebijakan, dan pemberdayaan masyarakat.

Sinergi The Habibie Center dan OAC Taiwan untuk tata kelola sampah laut

Sampah plastik yang dibuang di perairan Indonesia tidak tinggal diam. Arus laut membawanya melintasi samudra, menempuh perjalanan ribuan kilometer hingga mencapai benua lain.

Prof. Muhammad Reza Cordova, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa sampah laut dari wilayah Indonesia telah ditemukan hanyut hingga ke Samudera Hindia dan bahkan mencapai Benua Afrika.

Temuan ini menjadi pengingat tegas bahwa polusi plastik adalah krisis lintas batas yang tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Menjawab tantangan kolektif ini, The Habibie Center (THC) dan Ocean Affairs Council (OAC) Taiwan secara resmi meluncurkan “Indonesia Marine Debris Management Cooperation Project” di Jakarta pada 5 November 2025.

Proyek ini bertujuan menyinergikan upaya tata kelola sampah laut yang bersih dan berkelanjutan.

Peluncuran kerja sama ini diresmikan oleh Ketua Dewan Pembina THC, Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, M.B.A., dan Direktur Departemen Pembangunan Internasional OAC, Lee Shan Ying, Ph.D.

Dalam pidato pembukanya, Dr. Ilham menggarisbawahi urgensi peningkatan kesadaran publik mengenai dampak sampah laut terhadap keberlangsungan ekosistem maritim. Ia juga menekankan perlunya penguatan kapasitas sumber daya manusia dan sinergi lintas sektor melalui kerja sama internasional.

Dr. Lee Shan Ying dari OAC menyambut baik kemitraan ini, menyoroti visi bersama kedua lembaga untuk kawasan Indo-Pasifik yang lebih sehat.

“Kerja sama antara THC dan OAC merupakan manifestasi dari visi Taiwan untuk mewujudkan laut yang sejahtera melalui kemitraan global demi masa depan yang berkelanjutan,” ujar Lee.

Ia juga menegaskan bahwa karena laut tidak mengenal batas, tanggung jawab untuk melindunginya juga tidak seharusnya dibatasi oleh wilayah yurisdiksi.

Kolaborasi ini dinilai sangat strategis, mengingat keselarasan lanskap geografis Indonesia dan Taiwan. Keduanya merupakan wilayah kepulauan dan maritim yang, dalam praktiknya, telah menjadi “zona tangkapan” (catchment zone) sampah laut di kawasan Indo-Pasifik.

“Kerja sama ini diharapkan dapat menyinergikan pengalaman dan kapasitas Taiwan dalam tata kelola sampah dengan upaya yang sedang digalakkan di Indonesia,” imbuhnya.

Prof. Reza dari BRIN menambahkan bahwa skala masalah ini menuntut solusi komprehensif dari hulu ke hilir. Sinergi multipihak, menurutnya, adalah faktor kunci kesuksesan. Selain itu, ia menyoroti pentingnya memahami konsekuensi baru dari polusi ini.

“Seperti adanya jejak mikro plastik di berbagai wilayah laut di Indonesia yang juga perlu ditangani secara serius,” katanya.

Proyek kerja sama ini tidak hanya berhenti pada peluncuran. Sebagai tindak lanjut dari Memorandum of Agreement (MoA) yang ditandatangani di Taipei pada 15 September 2025, serangkaian kegiatan konkret telah disiapkan. Ini termasuk lokakarya internasional pada 6 November 2025 yang melibatkan para ahli dari Indonesia, Jepang, Filipina, dan Taiwan.

Selain itu, akan dilakukan penelitian bersama yang berfokus pada kolaborasi teknologi dan inovasi manajemen sampah plastik. Hasil penelitian ini rencananya akan dipublikasikan melalui ASEAN Briefs, sebuah kanal publikasi di bawah THC.

Pada akhirnya, The Habibie Center berharap inisiatif ini dapat diamplifikasi dan mendorong terbentuknya skema kerja sama yang lebih luas di tingkat kawasan Indo-Pasifik. THC pun mengajak berbagai mitra nasional dan internasional untuk bergerak bersama, karena lautan yang bersih membutuhkan aksi kolektif.

Korporatisasi pesisir atas nama revitalisasi mengancam hutan mangrove Pantura Jawa Barat

Hutan mangrove. (faperta.umsu.ac.id)
Hutan mangrove. (faperta.umsu.ac.id)

Di tengah situasi krisis iklim global yang semakin mengkhawatirkan, kebijakan baru pemerintah justru memantik keprihatinan. Pemerintah menetapkan kebijakan yang memungkinkan penghilangan kawasan hutan mangrove seluas lebih dari 20.000 hektare di wilayah pesisir utara Jawa Barat, atas nama program revitalisasi tambak.

Siti Hannah Alaydrus, Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, menegaskan bahwa langkah ini merupakan kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 274/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2025 tentang Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHPK), pemerintah menetapkan pelepasan kawasan hutan negara seluas 20.024 hektare demi mendukung program revitalisasi tambak oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di empat kabupaten: Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu.

Dari jumlah tersebut, 16.078 hektare merupakan kawasan hutan lindung yang seharusnya tidak dikonversi karena memiliki fungsi ekologis penting. Rinciannya meliputi Kabupaten Karawang seluas 6.979,51 hektare, Kabupaten Subang seluas 2.369,76 hektare, Kabupaten Indramayu seluas 2.875,48 hektare, dan Kabupaten Bekasi seluas 8.188,49 hektare. Sementara sisanya adalah hutan produksi tetap seluas 4.335,21 hektare yang seluruhnya terletak di Kabupaten Bekasi.

“WALHI Jawa Barat menyatakan bahwa proyek revitalisasi ini berpotensi mengubah secara drastis bentang pesisir Jawa Barat, dari kawasan hutan mangrove menjadi zona industri akuakultur berskala besar. Selain mengancam ekosistem pesisir, proyek ini juga disebut mengabaikan hak-hak masyarakat lokal serta memperparah ketimpangan struktur penguasaan ruang,” kata Siti Hannah Alaydrus, dalam siaran pers, diakses Selasa (29/7/2025).

Menurut WALHI, SK 274 merupakan salah satu pelepasan kawasan hutan lindung terbesar dalam sejarah di Jawa Barat. Kebijakan ini mencerminkan pergeseran arah negara dari perlindungan ekologis menuju ekspansi investasi ekstraktif. Hilangnya lebih dari 20.000 hektare mangrove dipandang sebagai pelemahan signifikan daya tahan alami kawasan pesisir, yang berisiko memperparah bencana iklim.

“SK ini mencabut status hutan lindung dari ribuan hektare kawasan, padahal hutan tersebut berperan sebagai penyerap karbon (carbon sink) dan habitat penting bagi biodiversitas pesisir. Konversi ini melanggar prinsip kehati-hatian dalam perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi,” kata Siti Hannah Alaydrus.

Selain itu, WALHI mengingatkan bahwa perubahan vegetasi pesisir secara masif akan mengganggu sistem hidrologi alami, meningkatkan potensi intrusi air laut ke lahan pertanian warga, memperparah kekeringan saat kemarau, serta meningkatkan risiko banjir saat musim hujan.

Proyek ini juga dinilai membuka peluang monopoli lahan oleh korporasi, dengan dampak serius terhadap petambak kecil, perempuan pesisir, dan nelayan lokal yang rentan kehilangan akses ruang hidup.

“Proyek tambak skala besar ini membuka celah bagi monopoli lahan oleh korporasi. Petambak kecil, perempuan pesisir, dan nelayan lokal rentan digusur atau kehilangan akses ruang hidupnya. Potensi konflik horizontal maupun vertikal meningkat,” ujarnya.

WALHI menilai kebijakan ini sebagai bentuk kemunduran ekologis yang serius. Tidak hanya bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam agenda iklim global seperti Nationally Determined Contributions (NDC) dan target net zero emission, tetapi juga mencederai hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Menurut WALHI, proyek ini tidak layak disebut sebagai revitalisasi. Alih-alih memperbaiki tambak rakyat yang rusak atau terbengkalai, proyek ini justru membabat hutan mangrove yang masih sehat dan aktif secara ekologis, bahkan termasuk kawasan lindung yang seharusnya memiliki perlindungan ketat.

Dokumen SK 274 disebut disahkan tanpa kajian lingkungan yang inklusif dan partisipatif. Tidak ada pelibatan bermakna terhadap warga terdampak. “Proyek sebesar ini seharusnya melalui konsultasi publik dan uji kelayakan ekologis, bukan keputusan sepihak yang mengabaikan potensi kerusakan jangka panjang,” tegas WALHI.

“Proyek ini bukan revitalisasi, tapi ekspansi industri yang merusak. Alih-alih memperbaiki tambak rakyat yang terbengkalai, proyek ini justru membuka hutan lindung baru untuk industri budidaya intensif,” lanjut pernyataan WALHI.

Sebagai alternatif, WALHI menekankan bahwa jika pemerintah sungguh-sungguh ingin melakukan revitalisasi, maka langkah pertama harus dimulai dari memulihkan tambak rakyat yang rusak, memperbaiki kualitas air, menanam kembali mangrove, dan membangun sistem tata air yang berkelanjutan.
Revitalisasi sejati, menurut WALHI, adalah keberpihakan pada ekologi, rakyat kecil, dan masa depan yang lestari.

WALHI Jawa Barat menyampaikan lima tuntutan utama:

  1. Cabut SK Menteri Kehutanan No. 274/2025, dan hentikan rencana penghilangan kawasan mangrove lindung.
  2. Tunda seluruh proyek revitalisasi tambak hingga ada kajian ilmiah independen, terbuka, dan partisipatif.
  3. Audit menyeluruh terhadap status kawasan hutan lindung dan tata ruang pesisir Jawa Barat.
  4. Kembangkan tambak rakyat berbasis ekologis, bukan tambak industri berbasis ekstraksi dan ekspansi lahan.
  5. Wujudkan proses perencanaan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, dengan melibatkan masyarakat pesisir, perempuan, dan petambak kecil dalam setiap tahapannya.

Perempuan menyelamatkan ekosistem laut

Aksi bersih-bersih pantai di kawasan Gili Noko, Gresik. (ITS)
Aksi bersih-bersih pantai di kawasan Gili Noko, Gresik. (ITS)

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyelenggarakan aksi restorasi terumbu karang dan bersih-bersih pantai di kawasan Gili Noko, Gresik. Inisiatif ini menunjukkan perempuan memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan laut dan pesisir.

Penanggung Jawab Aksi Danya Deluca ST menjelaskan, kegiatan ini digagas untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa akan dampak perilaku sehari-hari terhadap wilayah perairan. Tindakan seperti membuang sampah sembarangan dapat berimbas pada kehidupan biota laut hingga masyarakat pesisir.

“Kita melibatkan tujuh mahasiswa pertukaran pelajar dan lima mahasiswa ITS lintas jurusan untuk bertukar ide terkait pelestarian pesisir indonesia,” ujar perempuan yang akrab disapa Deluca, dalam keterangan resmi, diakses Minggu (13/7/2025).

Mengusung tema Woman in Sustainable Tourism, kegiatan ini menjadi wujud implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) ke-5 tentang kesetaraan gender. Mahasiswa program magister Departemen Teknik Elektro ITS itu menegaskan bahwa pelibatan perempuan dapat menciptakan lingkungan pesisir yang berkelanjutan sehingga dapat mendukung pengembangan pariwisata lokal yang inklusif.

Aksi yang berlangsung selama empat hari sejak 29 Mei lalu ini turut mendukung implementasi SDGs ke- 14 tentang menjaga ekosistem laut. Kegiatan diawali dengan transplantasi seribu karang hidup yang dipindahkan dari kawasan hutan karang sehat ke area terumbu karang yang rusak. Fragmen karang tersebut ditempatkan pada substrat baru yang dilapisi cat antifouling organik hasil inovasi dari Departemen Biologi ITS, sebagai upaya pemulihan ekosistem terumbu karang yang terdegradasi.

Selain transplantasi karang, kegiatan pelestarian juga mencakup pelepasan tukik yang telah melalui masa penangkaran selama satu hingga dua bulan dan dinyatakan siap untuk dilepas ke habitat alaminya. Kawasan pantai Gili Noko yang menjadi lokasi pelepasan merupakan habitat penting bagi spesies penyu dan tempat berkembang biaknya tukik. Mendukung keberlangsungan habitat, dilakukan pula aksi bersih-bersih pantai guna menciptakan lingkungan yang aman bagi keberlangsungan hidup tukik.

Terakhir, Deluca menjelaskan bahwa kegiatan ini turut mengukuhkan peran ITS dalam implementasi SDGs ke-17, yakni kemitraan untuk mencapai tujuan. Kolaborasi bersama masyarakat lokal dan Non-Governmental Organization (NGO) seperti International ASEAN Blue Institute diharapkan dapat memperkuat jejaring kerja sama lintas sektor. “Ke depannya, semoga proyek ini menjadi model kolaborasi berkelanjutan dalam upaya pelestarian lingkungan di daerah lain,” tutup Deluca.

Peduli Ekosistem Laut

Peringatan Hari Laut Sedunia menjadi momen reflektif dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem laut dan pesisir. Di momen ini ITS juga melakukan aksi bersih pantai di area Romokalisari Adventure Land, Surabaya, Kamis (12/6/2025).

Manager Kuliah Kerja Nyata dan Proyek Kemanusiaan Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) ITS Dr Edi Jadmiko ST MT menjelaskan, kegiatan ini bertujuan untuk menjaga kebersihan ekosistem laut dan pesisir. Kegiatan ini juga menjadi sarana edukasi lingkungan bagi para relawan yang berasal dari sivitas akademika ITS. “Edukasi ini kami tanamkan kepada relawan melalui aksi bersih pantai dan tanam bibit pohon,” tutur Edi.

Dalam pelaksanaannya, lanjut Edi, para peserta dibagi ke sejumlah titik di pesisir pantai pohon mangrove yang telah tercemar limbah rumah tangga dan sampah plastik. Sampah tersebut dikumpulkan dalam kantong yang telah disediakan, lalu dilanjutkan dengan aktivitas penanaman bibit pohon mangrove, cemara udang, sukun, dan lain-lain sebagai bentuk restorasi lingkungan. “Kepedulian terhadap laut tak hanya berhenti pada pembersihan semata, tetapi juga pada upaya pemulihan secara ekosistemik,” paparnya.

Relawan ITS beserta perwakilan KKP, DPP Kota Surabaya, dan DLH Kota Surabaya, PT Petrokimia Gresik, dan PT Wilmar Nabati Indonesia usai tanam bibit pohon di Romokalisari Adventure Land Surabaya.

Relawan ITS beserta perwakilan KKP, DPP Kota Surabaya, dan DLH Kota Surabaya, PT Petrokimia Gresik, dan PT Wilmar Nabati Indonesia usai tanam bibit pohon di Romokalisari Adventure Land Surabaya

Lebih lanjut, kegiatan ini juga menjadi ajang kolaborasi antara pemerintah, non-governmental organizations (NGO), dan mitra industri seperti PT Petrokimia Gresik dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Semua instansi mitra tersebut memiliki kepedulian serupa terhadap isu kelautan. “Hal ini dilakukan guna memperkuat dampak dan keberlanjutan program,” jelas dosen Departemen Teknik Sistem Perkapalan ITS itu.

Menurut Edi, setiap mitra memiliki peran spesifik dalam kegiatan ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Pangan dan Perikanan (DPP), serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya memberikan dukungan berupa penyediaan alat kebersihan dan bibit pohon. Sementara sektor industri berkontribusi dalam bentuk sponsorship, sedangkan NGO berperan dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem laut melalui media sosial.

Energi positif relawan dari sivitas akademika ITS yang menanam pohon di kawasan Romokalisari Adventure Land Surabaya
Energi positif relawan dari sivitas akademika ITS yang menanam pohon di kawasan Romokalisari Adventure Land Surabaya

Pada kesempatan yang sama, perwakilan KKP dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Satuan Kerja Surabaya Suwardi menyampaikan, aksi ini sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Peraturan tersebut menjadi dasar kebijakan nasional dalam menangani pencemaran laut, khususnya oleh sampah yang terus meningkat setiap tahunnya.

Suwardi juga menjelaskan bahwa melalui kebijakan ini, KKP berperan dalam target pengurangan sampah nasional hingga 30 persen. Ia menekankan bahwa kegiatan seperti ini menjadi salah satu prioritas utama dalam mendukung target tersebut. Untuk tahap selanjutnya, Suwardi menargetkan adanya pemantauan rutin terhadap bibit pohon yang ditanam serta perluasan wilayah tanam.

Antusiasme para relawan dari sivitas akademika ITS (berbaju putih) saat beraksi membersihkan pesisir pantai di daerah Romokalisari, Surabaya
Antusiasme para relawan dari sivitas akademika ITS (berbaju putih) saat beraksi membersihkan pesisir pantai di daerah Romokalisari, Surabaya

Suwardi berharap agar kegiatan ini menjadi pemantik kepedulian lingkungan, khususnya bagi mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa sebagai pelopor perubahan sosial memiliki potensi besar untuk menggerakkan masyarakat yang lebih luas. “Kami berharap aksi ini tidak berhenti sampai di sini, tetapi terus berlanjut dan menular ke komunitas lainnya,” tutupnya penuh harap.

Melalui aksi ini, ITS berkontribusi mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) terutama poin ke-14 tentang Ekosistem Laut dan poin ke-13 tentang Penanganan Perubahan Iklim. Selain itu, keterlibatan sivitas akademika ITS dan berbagai mitra lintas sektor dalam kegiatan ini juga mendukung SDGs poin ke-17 tentang Kemitraan untuk Mencapai Tujuan dengan mendorong kolaborasi antara institusi pendidikan, pemerintah, komunitas, dan sektor industri dalam menjaga keberlanjutan lingkungan laut.

Mengapa laut Indonesia semakin keruh dan gelap?

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

Pakar dari Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) IPB University Steven Solikin mengungkapkan kekhawatiran terhadap fenomena laut yang semakin gelap. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan kedalaman zona fotik, yaitu lapisan laut yang menerima cahaya matahari dan menjadi penopang utama lebih dari 90 persen kehidupan laut.

“Salah satu penyebab utama penggelapan laut adalah perubahan komunitas fitoplankton, yang berpengaruh terhadap sifat optik air laut. Perubahan dalam komposisi dan distribusi fitoplankton sebagai produsen primer dalam rantai makanan laut turut mempengaruhi kejernihan air,” jelas Steven, dalam keterangan resmi, diakses Kamis (10/7/2025).

Selain itu, lanjut dia, kenaikan suhu permukaan laut juga memperburuk kondisi ini. Pemanasan menyebabkan stratifikasi termal yang menghambat pencampuran nutrien dari lapisan bawah ke permukaan. Dengan demikian, produktivitas fitoplankton semakin menurun.

“Perubahan pola sirkulasi lautan turut memengaruhi distribusi nutrien dan organisme mikroskopis. Hal ini berdampak langsung pada kejernihan dan warna laut,” paparnya.

Menurut Steven, fenomena ini berdampak luas terhadap ekosistem laut. Penurunan intensitas cahaya di dalam laut menyebabkan menurunnya produktivitas primer karena berkurangnya fotosintesis oleh fitoplankton.

“Ini menimbulkan efek berantai mulai dari zooplankton hingga ikan dan mamalia laut, bahkan dapat menyebabkan disrupsi dalam rantai makanan serta perubahan habitat,” tegasnya.

Ia menuturkan, organisme laut yang bergantung pada cahaya untuk navigasi, reproduksi, dan mencari makan terpaksa berpindah ke lapisan yang lebih dangkal. “Ini meningkatkan kompetisi dan risiko interaksi predator yang tidak seimbang,” katanya.

Perubahan warna laut, menurut Steven, mencerminkan perubahan dalam komposisi organisme dan partikel organik. Konsekuensinya adalah penurunan populasi fitoplankton, ikan, dan predator lainnya.

“Ekosistem seperti terumbu karang dan lamun pun terancam karena kekurangan cahaya menghambat proses fotosintesis tanaman laut,” tandasnya.

Ia menegaskan bahwa perubahan iklim berperan signifikan dalam penggelapan laut. Pemanasan permukaan laut, perubahan pola sirkulasi, dan meningkatnya kejadian cuaca ekstrem memperparah kondisi laut.

Untuk mengatasi dampak ini, Steven menyarankan pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan pemantauan laut dengan teknologi satelit, serta perlindungan dan restorasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang.

Sebagai langkah mitigasi, ia juga mendorong konservasi ekosistem laut, pengurangan polusi nutrien dari limbah pertanian dan industri, peningkatan edukasi publik, serta penguatan riset dan kolaborasi internasional dalam menangani tantangan global ini.

Laut menjaga kita, saatnya kita menjaga laut

Greenpeace mengingatkan bahwa selama ini laut memberi makan kepada umat manusia, menyerap emisi karbon, dan menjaga keseimbangan iklim. Laut telah menopang kehidupan manusia selama berabad-abad. Namun kini, lautan menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya: keanekaragaman hayatinya terus dikuras, sementara sampah plastik memenuhi perairannya.

Lebih dari sepertiga (37,6%) stok ikan global saat ini ditangkap secara berlebihan. Angka ini menunjukkan tekanan serius terhadap sumber daya laut yang menjadi tumpuan pangan bagi banyak negara. Di saat yang sama, hanya 1% wilayah laut lepas di seluruh dunia yang saat ini terlindungi. Padahal, laut menyerap sekitar 30% karbon dioksida yang dihasilkan manusia, menjadikannya salah satu penyerap karbon alami terbesar di planet ini.

Selain ancaman terhadap keanekaragaman hayati, laut juga menjadi tempat berlangsungnya pelanggaran hak asasi manusia. Penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing), tidak hanya merusak ekosistem laut dan merugikan komunitas pesisir, tetapi juga kerap disertai praktik kejahatan seperti kerja paksa dan perdagangan manusia di atas kapal.

Melindungi laut berarti juga melindungi kehidupan. Pada Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB tahun 2022, negara-negara dunia telah berkomitmen untuk melindungi sedikitnya 30% lautan dunia pada tahun 2030. Komitmen ini bukan hanya untuk menjaga laut lepas, tetapi juga untuk menjamin keberlanjutan ekosistem pesisir dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang bergantung padanya.

Laut telah menjaga kita. Kini saatnya kita menjaga laut.

Polemik tambang di Pulau Gag, Raja Ampat: ketika konservasi berbenturan dengan ekonomi

Pulau Gag Raja Ampat. (Sumber: WALHI)
Pulau Gag Raja Ampat. (Sumber: WALHI)

Pulau Gag, yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, kembali menjadi sorotan publik setelah pemerintah hanya mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi di wilayah tersebut. Satu perusahaan, PT Gag Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk—masih diizinkan beroperasi di lahan seluas 13.136 hektar.

Keputusan ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), karena dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan ekosistem pulau kecil dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI, aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. “Operasi pertambangan tidak hanya menghancurkan ekosistem darat tetapi juga mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi sumber ekonomi dan pangan bagi masyarakat setempat,” demikian siaran pers WALHI, diakses Rabu, 11 Juni 2025.

WALHI menyatakan, aktivitas tambang di pulau kecil seharusnya tidak diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui dengan UU Nomor 1 Tahun 2014. Dalam regulasi tersebut, kegiatan pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag termasuk dalam kategori kegiatan yang dilarang karena daya dukung lingkungannya yang terbatas.

Preseden hukum juga memperkuat larangan tersebut. Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil adalah bentuk kegiatan yang menimbulkan ancaman sangat berbahaya dan berdampak serius, dengan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.

Maikel Peuki, Direktur WALHI Papua, menyatakan bahwa jika aktivitas tambang terus berlanjut, pembongkaran gunung dan penggalian lubang tambang akan semakin masif. “Masyarakat adat Papua pemilik Hak Ulayat akan dipaksa mengungsi ke tanah besar. Anak cucu generasi selanjutnya akan kehilangan identitas, kampung halaman, budaya lokal dan keindahan kekayaan alam Papua,” tegasnya.

Kerusakan ekosistem dan ancaman terhadap sumber pangan laut

Pulau Gag merupakan bagian dari Kepulauan Raja Ampat, kawasan yang diakui secara internasional sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Menurut studi McKenna et al. (2002) yang dikutip oleh Baharinawati W. Hastanti dan R. Gatot Nugroho Triantoro—peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari—wilayah laut Raja Ampat menyimpan 64% kekayaan terumbu karang dunia dan termasuk dalam usulan UNESCO sebagai warisan dunia.

Namun, aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan dengan metode pembuangan tailing ke laut (Submarine Tailings Disposal/STD) dikhawatirkan dapat memusnahkan biota laut. Limbah tailing diketahui mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti merkuri dan sianida, yang mencemari laut dan mengancam keselamatan manusia yang mengonsumsi ikan tercemar (MinergyNews, 2001; JATAM, 2006).

Warga yang tinggal di sekitar Pulau Gag, sebagaimana disampaikan WALHI, melaporkan berkurangnya jumlah ikan di wilayah pesisir yang sebelumnya dikenal sebagai “sarang ikan.” Wilayah tersebut kini berubah menjadi area bongkar muat material tambang. Debu dari aktivitas pertambangan juga menimbulkan gangguan pernapasan dan kekhawatiran terhadap penyakit kulit akibat pencemaran air laut.

Keberadaan Pulau Gag sebagai bagian dari Suaka Margasatwa Laut (berdasarkan SK Menhut No. 81/Kpts-II/1993) dan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan seharusnya menjadikan wilayah ini bebas dari eksplorasi dan eksploitasi tambang. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Profil Pulau Gag, antara tradisi, sejarah, dan ketimpangan

Pulau Gag memiliki luas 7.727 hektarE dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah, yakni 0,08 orang per hektar. Berdasarkan data tahun 2009 dari penelitian Baharinawati dan Gatot Nugroho, jumlah penduduk Kampung Gambir mencapai 633 jiwa dalam 133 kepala keluarga. Komposisi gender menunjukkan jumlah pria (345 orang) lebih banyak daripada wanita (288 orang).

Masyarakat Pulau Gag memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, dengan 46,29% hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar dan 25,12% tidak bersekolah. Keterbatasan akses pendidikan menjadi faktor utama, karena tidak tersedia jenjang pendidikan menengah di pulau tersebut.

Secara ekonomi, masyarakat setempat menggantungkan hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pegawai, dengan kegiatan sampingan seperti berkebun, meramu sagu, membuat kopra, dan berdagang. Ketergantungan pada hasil laut membuat mereka sangat rentan terhadap dampak kerusakan ekosistem laut.

Pulau Gag memiliki sejarah yang panjang. Menurut mitologi masyarakat setempat, nama Gag berasal dari kata dalam Bahasa Weda yang berarti “teripang,” merujuk pada banyaknya teripang di perairan pulau tersebut. Penduduk pertama berasal dari Pulau Gebe dan awalnya datang untuk berkebun. Pemukiman di Kampung Gambir mulai berkembang pada tahun 1963 setelah kedatangan pasukan Trikora dan pendatang yang bekerja di sektor pertambangan.

Sejak era kolonial Belanda, potensi tambang nikel di pulau ini sudah dieksplorasi. Setelah nasionalisasi perusahaan pada 1972, perusahaan dalam negeri melanjutkan kegiatan tambang.

Indonesia ratifikasi perjanjian laut global, tantangan sebenarnya ada di implementasi

perjanjian laut global
Laut harus dilindungi. (Greenpeace)

Konferensi Kelautan ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Ocean Conference/UNOC3) yang berlangsung di Nice, Prancis, pada 9-13 Juni 2025 menjadi momentum Pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati di Luar Wilayah Yurisdiksi Nasional. Perjanjian yang juga disebut dengan Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) atau Perjanjian Laut Global tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari Hukum Laut Internasional (UNCLOS).

Ratifikasi Indonesia dilakukan melalui Perpres 67/2025 tertanggal 4 Juni 2025 dan dilanjutkan dengan penyampaian Instrumen Ratifikasi terhadap Perjanjian Laut Global BBNJ tersebut ke PBB. Pernyataan deklarasi resmi ratifikasi dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sakti Wahyu Trenggono, pada 10 Juni 2025, sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam UNOC3.

Greenpeace Indonesia mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Perjanjian Laut Global. Greenpeace Indonesia sekaligus mendesak penguatan kepemimpinan Indonesia untuk semakin mengarusutamakan pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pelindungan dan pengelolaan laut secara berkelanjutan dan berkeadilan, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Greenpeace Indonesia juga terus mendorong peran krusial Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri, dan kementerian/lembaga terkait lainnya untuk semakin proaktif dalam memastikan kesiapan Indonesia dalam skenario dan mekanisme implementasi–terutama saat Perjanjian Laut Global dinyatakan berlaku penuh dalam jangka waktu 120 hari setelah sekurang-kurangnya 60 negara meratifikasinya.

Afdillah, Pimpinan Tim Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, menyatakan:

“Kami turut mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Laut Global atau BBNJ. Ini perlu dijadikan momentum untuk memastikan bahwa 5 Program Prioritas Ekonomi Biru yang dicanangkan oleh KKP harus dijalankan secara efektif dan progresif dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehati-hatian, partisipasi multipihak yang bermakna, transparan, berkelanjutan dan berkeadilan,” dalam keterangan resmi, diakses Minggu, 15 Juni 2025.

“Secara konseptual, kami yakin 5 Program Prioritas Ekonomi Biru tersebut dibangun dengan niat dan semangat yang baik. Sehingga selain patut didukung, juga perlu dikritisi dan diawasi dengan seksama dalam pelaksanaannya. Tentunya, jika ada hal-hal yang perlu dikoreksi atau diperbaiki lebih lanjut terkait arahan kebijakan strategis dan dalam pelaksanaan kebijakan praktis dan teknisnya, KKP diharapkan terbuka serta dapat semakin proaktif menjaring dan adaptif mendengar sekaligus mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil dan multipihak lainnya. Greenpeace Indonesia siap mendukung dan memberikan pandangan atau saran secara kritis untuk setiap kebijakan publik yang dijalankan oleh pemerintah, termasuk KKP.”

Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut dan Pimpinan Global “Beyond Seafood Campaign” Greenpeace Asia Tenggara, menyatakan:

“Selamat dan semangat untuk Indonesia, menjadi negara ke-50 secara global dan ke-4 di kawasan Asia Tenggara, setelah Singapura, Timor Leste dan Viet Nam, yang meratifikasi Perjanjian Laut Global. Diharapkan dengan kepemimpinan Indonesia dalam ratifikasi BBNJ dan mendeklarasikannya pada momentum UNOC3, dapat menjadi penggerak dan solidaritas negara-negara anggota ASEAN lainnya, juga negara-negara di kawasan Asia-Pasifik untuk segera meratikasinya.”

“Keberanian dan keteladanan diplomasi Indonesia meratifikasi Perjanjian Laut Global, patut dirayakan dengan kesadaran akan kesiapan implementasinya, agar benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan. Untuk itu, literasi dan urgensi penguatan paradigma serta kerangka sistem dan kebijakan dalam tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan harus senantiasa mengarusutamakan pendekatan berbasis HAM.”

“Oleh karena itu pula, sejumlah elemen masyarakat sipil dan gerakan buruh juga turut mendesak dan menantikan Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan [6]. Ratifikasi C-188 urgen agar kondisi kerja layak serta hak-hak pekerja awak kapal perikanan Indonesia, baik yang bekerja di kapal ikan berbendera Indonesia maupun di kapal kapal ikan berbendera asing di luar wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dapat semakin terlindungi. Hal ini juga sebagai bentuk komitmen dan upaya pelaksanaan kebijakan yang efektif dan progresif, wujud nyata keteladanan diplomasi Indonesia di kancah internasional.”

Greenpeace mengingatkan masalah tambang di Raja Ampat belum selesai

Pulau Raja Ampat. (ESDM)
Pulau Raja Ampat. (ESDM)

Setelah kampanye #SaveRajaAmpat yang mendapat dukungan publik luas, Greenpeace Indonesia meluncurkan sebuah laporan yang mengungkap rencana penambangan nikel di Raja Ampat secara utuh. Laporan ini menguak bagaimana ancaman tambang nikel masih mengintai kawasan konservasi penting di dunia tersebut, kendati pemerintah baru-baru ini menyatakan mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) aktif di Raja Ampat.

Dalam laporan berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia”, Greenpeace membeberkan bagaimana perizinan tambang di kawasan Geopark Global UNESCO itu.

Menurut Greenpeace, pencabutan empat IUP di Raja Ampat tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung. Preseden tentang pengaktifan kembali IUP yang telah dicabut sudah pernah terjadi di Raja Ampat. Hal ini menandakan bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat belum sepenuhnya hilang dengan pencabutan izin.

“Kami khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi. Pemerintah harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta rencana pembangunan smelter di Sorong,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Arie juga menyebut pemerintah semestinya mencabut pula izin PT Gag Nikel, demi pelindungan Raja Ampat secara menyeluruh.

Acara media briefing dan diskusi peluncuran laporan Surga yang Hilang juga turut menghadirkan narasumber dari berbagai sektor yakni, Dwi Januanto Nugroho (Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan), Dian Patria (Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi), Angela Gilsha (aktor), dan Ahmad Aris (Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan), yang bergabung secara daring.

Bersama dengan Greenpeace Indonesia, Angela Gilsha ikut menyaksikan kerusakan akibat tambang nikel yang terjadi di Raja Ampat di awal bulan Mei ini. Sebagai pecinta wisata bawah laut, Angela dikagetkan dengan keberadaan tambang nikel di wilayah Global Geopark UNESCO. Angela juga menceritakan pengalamannya yang dikejar oleh petugas keamanan tambang nikel di Pulau Kawe saat sedang mengambil gambar.

“Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.

Ahmad Aris menegaskan bahwa semua pulau yang dilaporkan dalam laporan Greenpeace Indonesia bukan hanya masuk kategori pulau kecil, tetapi pulau sangat kecil (tiny island). Pulau-pulau ini dilindungi oleh peraturan dari kegiatan yang sifatnya eksploitatif.
Menurut Aris, pulau-pulau kecil bentang alamnya sebagian besar diisi oleh laut, sehingga kegiatan eksploitatif, seperti tambang nikel, berpotensi mengubah hingga merusak bentang alam yang ada di pulau tersebut.

Dalam paparannya, Dian Patria juga menyoroti berbagai tantangan tata kelola pertambangan di Indonesia. Terkait dengan indikasi temuan kerugian negara yang dirasakan akibat ekspansi tambang nikel, Dian menekankan tentang besarnya kerugian tak kasat mata dibandingkan kerugian materiil.

“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin nggak seberapa. Bagi saya, rasanya (kerugian materiil) mungkin tidak sebanding dengan kalau kita bicara tentang dampak lingkungan, dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian.
Pernyataan ini menegaskan kembali pentingnya mempertanyakan harga sebenarnya dari industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai keran investasi.

Sementara itu, Januanto mengapresiasi aksi Greenpeace Indonesia yang telah menggugah publik untuk ikut mendesak pemerintah Indonesia untuk membenahi sektor penegakan hukum lingkungan.

“Yang perlu kita benahi adalah proses terkait pengawasan terutama terkait izin-izin yang dikeluarkan. Ini adalah momen yang bagus. Ketika kontrol sosial dari kawan-kawan sangat kuat,” katanya. “Ini adalah langkah-langkah korektif yang dapat kami ambil ke depannya.”

“Keadilan Viral” Bagi Raja Ampat Belum Cukup, Perlindungan Seluruh Pulau Kecil Mendesak Dilakukan

Pulau Raja Ampat. (ESDM)
Pulau Raja Ampat. (ESDM)

Pemerintah resmi mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan atau IUP nikel di Raja Ampat, Selasa, 10 Juni 2025. Namun, masih ada perusahaan yang tetap diizinkan beroperasi dan melanjutkan perusakan. Pencabutan izin yang diumumkan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ini adalah respons terhadap desakan kuat masyarakat.

Keputusan ini muncul setelah viralnya kekhawatiran dan penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak lebih jauh keindahan alam dan sumber kehidupan di salah satu surga bahari Indonesia ini. Berbagai organisasi masyarakat sipil juga telah mendesak pemerintah untuk mengevaluasi izin tambang di wilayah konservasi.

Meskipun demikian, langkah ini masih luput terhadap perlindungan pulau-pulau kecil lain. “Reaksi cepat pemerintah lebih disebabkan oleh ramainya perhatian publik setelah isu ini viral,” demikian pernyataan resmi organisasi lingkungan Trend Asia.

Padahal, Trend Asia menyatakan, bukan hanya Raja Ampat yang sedang di ambang kehancuran, tetapi juga banyak wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rusak akibat hilirisasi pemerintah. Saat ini, data JATAM menunjukkan bahwa ada 35 pulau kecil yang dieksploitasi dengan 195 izin pertambangan.

Hukum Indonesia jelas melindungi pulau-pulau kecil yang termuat dalam UU no 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU W3PK) [1]. Pulau kecil dilindungi karena ia memiliki daya tampung yang lebih kecil, daya pulih yang rendah, dan rentan terhadap segala aktivitas yang mengubah lansekap ekologis. Masalahnya, berbagai celah hukum dimanfaatkan untuk mengizinkan perusahaan tetap menambang pulau kecil.

“Banyak pulau-pulau kecil yang dilumat akibat penegakan hukum yang lemah. Apakah semua izin tambang di pulau kecil harus viral dulu? Ketegasan pemerintah ini harusnya tidak sekadar aksi kosmetik,” tutur Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia.

“Pulau kecil seharusnya mutlak tidak boleh ditambang, apalagi atas nama investasi yang menyengsarakan masyarakat lokal. Presiden Prabowo harus hadir memberikan kepastian atas keberlangsungan semua ekosistem di pulau-pulau kecil,” pungkas Arko.

Kekhawatiran juga muncul apakah pencabutan izin ini bersifat permanen atau hanya “akal-akalan” semata. Sejarah menunjukkan, kasus serupa seringkali berujung pada dihidupkannya kembali izin-izin tambang atau tetap beroperasinya tambang secara ilegal, termasuk di Pulau Wawonii. Tanpa komitmen dan regulasi yang kuat, nasib Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya tetap terancam.

Melihat kondisi tersebut, Trend Asia mendesak Presiden Prabowo untuk segera mengambil langkah lebih fundamental guna menjamin perlindungan mutlak bagi pulau-pulau kecil dan ekosistem vitalnya.

“Semua izin tambang seharusnya dihapus dari pulau-pulau kecil di Indonesia, bukan hanya Raja Ampat. Begitu juga dengan Perda RT/RW(Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan segala instrumen perizinan lain. Regulasi UU WP3K juga harus diperkuat untuk mencegah kembalinya izin tambang,” tutup Arko.

Jejaring perempuan pesisir menjaga laut dari ancaman reklamasi

Aksi perempuan pesisir menolak reklamasi yang merusak kehidupan dan lingkungan. (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)
Aksi perempuan pesisir menolak reklamasi yang merusak kehidupan dan lingkungan. (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)

Diskusi Serial: Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara mempertemukan suara-suara perempuan dari berbagai wilayah Indonesia yang selama ini berada di garis depan perjuangan menjaga laut dan ruang hidupnya dari ancaman reklamasi.

Dalam sambutan diskusi yang berlangsung daring Rabu, 30 April 2025, diakses dari laman Walhi Sulawesi Selatan, Jumat, 16 Mei 2025, Kepala Departemen Riset dan Keterbukaan Publik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Slamet Riadi, menjelaskan bahwa jejaring ini dibentuk di Makassar pada 29 Desember 2023.

Anggota forum ini terdiri dari kelompok-kelompok perempuan yang tersebar di berbagai daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Pembentukan jejaring ini merupakan respons atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat pesisir, terutama perempuan. Slamet mencontohkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut yang kembali membuka izin ekspor pasir laut.

“Padahal aturan tersebut sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun yang lalu,” ujarnya. Namun, Slamet mengatakan kebijakan tersebut justru dihidupkan kembali di rezim sekarang.

Dalam diskusi tersebut, hadir dua tokoh perempuan yang dikenal gigih dalam mempertahankan wilayahnya dari proyek reklamasi: Asmania dari Pulau Pari dan Restin Bangsuil dari Manado. Keduanya mewakili wajah nyata dari perjuangan komunitas pesisir yang terancam kehilangan ruang hidup karena ekspansi proyek-proyek pembangunan yang merusak ekosistem laut.

Asmania, dikenal sebagai Perempuan Pejuang Pulau Pari, telah berjuang sejak tahun 2014. Lebih dari satu dekade ia konsisten menolak reklamasi yang mengubah wajah pulaunya dan merusak lingkungan laut. “Pemerintah tidak hadir, sehingga konflik tidak pernah terselesaikan,” kata ibu tiga anak ini.

Dampak reklamasi terasa langsung di Pulau Pari. Budidaya rumput laut yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan utama masyarakat kini menurun drastis. Banyak warga kemudian beralih ke sektor pariwisata dan mengelolanya secara swadaya.

Namun, alih-alih mendapat dukungan, masyarakat justru berhadapan dengan klaim sepihak atas pulau mereka. “Bukannya diapresiasi oleh pemerintah, justru Pulau Pari diklaim oleh korporasi. Sementara masyarakatnya dikriminalisasi,” tegas Asmania.

Baginya, reklamasi bukan solusi. Ia menegaskan bahwa masyarakat Pulau Pari lebih tahu cara menjaga wilayahnya sendiri. “Kami akan terus berjuang. Yang kami perjuangkan bukan hanya untuk kami, tapi untuk generasi yang akan datang. Kami lebih paham bagaimana menjaga pulau kami, yang pasti bukan dengan reklamasi.”

Sementara itu, Restin Bangsuil, Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado, membawa cerita dari utara Sulawesi. Manado dikenal luas karena keindahan laut dan terumbu karangnya, terutama kawasan Bunaken. Namun, proyek reklamasi mengancam kelestarian kawasan tersebut.

“Masyarakat terus mempromosikan keindahan Bunaken. Namun, justru pemerintah ingin merusaknya,” ujarnya.

Restin menjelaskan bahwa laut selama ini menjadi penopang utama ekonomi masyarakat pesisir. Dari hasil laut, warga bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, bahkan menjadi guru dan pegawai negeri. Maka, ketika laut terancam, seluruh ekosistem sosial ikut terguncang.

Ia juga menekankan peran penting perempuan dalam menjaga alam. Menurutnya, perempuan memiliki daya tahan dan kesabaran yang kuat dalam perjuangan. Meskipun sering mengalami perundungan dan intimidasi, ia dan rekan-rekannya tetap teguh dalam barisan.

“Perjuangan tidak akan berhenti. Kita wajib menjaga hal-hal yang dititipkan ibu pertiwi kepada kita. Jangan biarkan ruang hidup kita dirampas. Kita pasti bisa, karena kita memperjuangkan ciptaan Tuhan. Tuhan pasti bersama kita!”

Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengalaman, tetapi juga menegaskan urgensi solidaritas perempuan pesisir di tengah kebijakan yang semakin berpihak pada kepentingan industri dan kapital besar. Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara lahir dari kebutuhan untuk saling menguatkan, menyuarakan pengalaman langsung dari lapangan, dan menyatukan langkah dalam menjaga laut sebagai sumber kehidupan.

Home Maps Network Search