Pencemaran mikroplastik semakin luas mengancam kesehatan masyarakat

Mikroplastik di tubuh ikan BRIN
BRIN

Tingginya penggunaan plastik sekali pakai membuat pencemaran mikroplastik semakin sulit dibendung. Mikroplastik kini tak lagi hanya ditemukan di perairan, tapi juga sampai ke tubuh manusia. Hal ini membuat mikroplastik tak lagi jadi sebatas ancaman bagi lingkungan, tapi juga jadi ancaman bagi kesehatan masyarakat dan berpotensi mengganggu kemampuan kognitif manusia.

Untuk mencari tahu seberapa jauh penyebaran mikroplastik, Greenpeace Indonesia bersama Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dan Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima) mengajak warga Semarang, Jawa Tengah untuk ikut meneliti di mana saja mikroplastik ditemukan melalui uji coba Citizen Science.

“Para pengunjung kami ajak untuk membawa sampel dari rumah, seperti air minum, swab kulit, dan makanan, untuk kemudian diuji menggunakan mikroskop. Selain itu, kami juga mengajak pengunjung menampung air hujan sebanyak 1–2 liter dari lingkungan sekitar mereka untuk mengetahui seberapa jauh penyebaran mikroplastik dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Ecoton, dalam keterangan resmi, diakses Rabu, 26 November 2025.

Hasil pengujian sampel yang berasal dari masyarakat ini menunjukkan adanya kontaminasi mikroplastik di sekitar kita, mulai dari air hujan, makanan, hingga pakaian.

Riset terbaru Ecoton dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) menyebutkan, Semarang menduduki posisi keempat sebagai kota dengan kontaminasi mikroplastik di udara paling tinggi. Penelitian yang dilakukan di 18 kota/kabupaten di Indonesia ini menemukan hubungan erat antara cemaran mikroplastik di udara dengan kebiasaan membakar sampah yang membawa partikel mikroplastik naik ke udara dan, pada akhirnya, ikut mencemari air hujan.

“Komposisi polimer mikroplastik di udara Indonesia didominasi poliolefin yang berasal dari pecahan kantong plastik dan kemasan, disusul polyamide dan PTFE dari serat pakaian, komponen otomotif, dan pelapis tahan panas. Polyester dan polyisobutylene, yang umumnya berasal dari tekstil dan material ban, juga ditemukan di dalam sampel, menunjukkan beragamnya sumber polusi mikroplastik di udara” ungkap Rafika.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa komposisi polimer mikroplastik di udara selaras dengan data sumber utama mikroplastik di 18 kota dan kabupaten. Pembakaran sampah plastik menyumbang 55 persen, sementara aktivitas transportasi berkontribusi 33,3 persen.

“Korelasi ini menunjukkan bahwa profil polimer di udara sangat mencerminkan pola aktivitas manusia di kota mulai dari sistem pengelolaan sampah yang buruk, tingginya aktivitas transportasi, hingga beban tekstil rumah tangga,” kata Rafika.

Sampel mikroplastik juga ditemukan di dalam tubuh manusia. Studi yang dilakukan Greenpeace Indonesia bersama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengungkap, mikroplastik juga ditemukan di dalam urin, darah, hingga feses manusia.

Studi yang dilakukan pada Januari 2023-Desember 2024 ini menemukan mikroplastik pada 95 persen sampel dari 67 partisipan. Jenis plastik PET (Polyethylene Terephthalate), yang biasa ditemukan di kemasan plastik sekali pakai seperti botol air minum dalam kemasan (AMDK), adalah jenis mikroplastik yang paling banyak mengontaminasi tubuh partisipan dengan total 204 partikel terdeteksi.

Ahli Saraf FKUI dr. Pukovisa Prawirohardjo, SP.S(K)., Ph.D. mengatakan, hasil studi kolaborasi yang tengah dilakukan peer review ini menemukan bahwa partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.

“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup diantaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” ujarnya. Fungsi kognitif partisipan dianalisis menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan dilakukan bersama tim dokter dari Divisi Neurobehavior Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).

Tingginya pencemaran mikroplastik yang kini telah menjadi ancaman kesehatan mencerminkan tingginya penggunaan plastik sekali pakai, baik secara lokal, nasional, maupun global. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), terdapat total 434.244 ton sampah di tahun 2024 di Semarang. Sekitar 17,2 persen dari total sampah tersebut merupakan sampah plastik. Persentase ini sedikit lebih rendah dibanding komposisi sampah plastik nasional sebesar 19,78 persen dari total sampah di tahun lalu.

Di tingkat global, konsumsi plastik yang terus meningkat ikut menambah masalah sampah plastik di Bumi. Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang bertajuk Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040 menemukan adanya peningkatan sampah plastik di seluruh dunia hingga lebih dari dua kali lipat, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton sepanjang tahun 2000 sampai 2019.

Koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima) Ellen Nugroho mengatakan, acara Roadshow The Invisible Threat of Microplastics semakin memperkuat bukti bahwa mikroplastik kini telah masuk ke dalam tubuh manusia melalui air, makanan, bahkan udara yang kita hirup setiap hari.

“Jika kita ingin mencegah anak-anak Semarang terganggu kesehatan dan tumbuh kembangnya akibat mikroplastik, kita harus mulai mengurangi plastik sekali pakai hari ini. Yang perlu diubah tidak hanya gaya hidup masyarakat, tapi juga sistem yang membuat kita sulit hidup tanpa plastik,” kata Ellen. “Pemerintah dan pengusaha harus terlibat mengubah cara produksi dan distribusi untuk mengatasi masalah ini.”

Juru Kampanye Zero Waste Greenpeace Indonesia Ibar F. Akbar mengatakan, perlu ada langkah konkret dari pemerintah dan produsen untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan yang memiliki dampak buruk ke kesehatan manusia.

“Pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang (reuse) untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam produk pangan dan lingkungan.

Di sisi lain, produsen juga perlu mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai secara signifikan sebagai bentuk tanggung jawab mereka untuk mengelola sampah plastik yang telah mereka produksi.

“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill). Produsen juga perlu meningkatkan transparansi komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” kata Ibar.

Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut

Setelah menuai banyak kritik, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akhirnya menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada Senin (27/10/2025). Dokumen ini hadir dengan target ambisius: menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% pada tahun 2024 dan memproyeksikan mencapai 8% pada tahun 2029 untuk mengurangi tingkat kemiskinan menjadi 4,5-5%. Bahkan, skenario paling ambisius (LCCP-H) SNDC mengasumsikan pertumbuhan 7,0% pada 2030 dan 8,3% pada 2035.

Namun, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diiringi keraguan serius dari aktivis lingkungan dan ekonomi. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, meragukan implementasi dokumen tersebut, khususnya terkait solusi yang dinilai belum berkelanjutan.

“Penyelenggaraan COP30 yang dilaksanakan di Brasil, tidak lebih dari negosiasi antar negara dalam mempromosikan hutan, energi, dan sumber daya alam kepada perusahaan penghasil emisi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai solusi yang tidak berkelanjutan yang diinisiasi melalui program Prabowo dalam menekan laju emisi. Misalnya, skema pasar karbon. Ini bukan solusi mengurangi emisi, melainkan perilaku dan kebijakan pemerintah yang memberikan ruang pada sektor penghasil emisi tinggi,” ungkap Bhima Yudhistira, Rabu (19/11/2025).

Salah satu sorotan utama adalah tidak adanya komitmen pensiun PLTU batubara dan coal phase out dalam SNDC. Bhima menjelaskan dampak emisi karbon dari 20 PLTU paling berisiko bagi target iklim Indonesia. Emisi ini tidak hanya berdampak pada iklim, tetapi juga kesehatan dan ekonomi masyarakat.

“Selain emisi karbon, polutan PM2.5 ikut menambah risiko beban ekonomi. Kerugian dari sisi kesehatan akan mencapai 1.813 triliun rupiah,” jelas Bhima.

Dampak kerugian juga akan dirasakan langsung oleh masyarakat akar rumput. “Emisi karbon dari 20 PLTU paling toxic akan menyebabkan kerugian pendapatan masyarakat hingga 48,4 triliun rupiah per tahunnya. Hingga saat ini, tidak ada komitmen pemerintah untuk mempercepat pensiun PLTU batubara,” pungkas Bhima.

Ancaman nyata di ekosistem gambut dan laut

Sementara fokus beralih ke energi, kawasan esensial ekosistem gambut justru minim mendapatkan perhatian. Padahal, sebagian besar emisi Indonesia (63%) disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dan kebakaran gambut serta hutan, sementara pembakaran bahan bakar fosil berkontribusi sekitar 19% dari total emisi. Laporan BUR ketiga bahkan menegaskan peningkatan emisi didominasi oleh Land Use Change and Forestry (LUCF) termasuk kebakaran gambut (50,13%).

Meskipun SNDC memuat target ambisius, termasuk restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektar dan rehabilitasi seluas 8,3 juta hektar melalui rewetting dan revegetasi, kebijakan nasional lainnya justru menghadirkan ancaman serius.

Syafiq Gumilang, Manajer Riset Pantau Gambut, melihat adanya paradoks antara janji di atas kertas dan realitas di lapangan. SNDC telah mencantumkan aksi mitigasi seperti moratorium izin baru untuk konversi hutan primer serta target restorasi lahan gambut.

“Situasi ini paradoks dengan realita yang terjadi, ini dibuktikan dengan banyaknya proyek pembangunan yang mengubah area esensial skala luas termasuk ekosistem gambut. Sedangkan sumber emisi di sektor FOLU lahir atas praktik deforestasi, kebakaran, dan alih fungsi lahan. Rata-rata kontribusi per tahunnya FOLU (51,5%), transportasi (12,5%), listrik dan panas (11,4%),” jelas Syafiq.

Ia mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. “Harusnya pemerintah Indonesia dengan serius melakukan moratorium permanen industri ekstraktif dan perkebunan yang telah nyata merusak ekosistem gambut. Dalam analisis kami, 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, 407.267,537 hektar berada di Kesatuan Hidrologis Gambut. 72% masuk dalam kategori rentan terbakar dengan tingkat sedang, sedangkan sebesar 27% dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi,” tegas Syafiq.

Ancaman yang tidak jauh berbeda juga dialami sektor kelautan. Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA, Erwin Suryana, menyoroti minimnya pembahasan sektor laut meskipun strategi blue carbon, konservasi laut, dan blue economy diakui.

“SNDC adalah pelemparan tanggung jawab dari perusahaan penyumbang emisi agar diadopsi oleh negara untuk ditanggulangi dampaknya. Selain itu, terdapat asimetri kekuasaan dalam tata kelola laut. Negara sebagai fasilitator pasar karbon laut, korporasi sebagai pendana proyek konservasi laut, dan nelayan sebagai objek yang tidak memiliki kepastian dan sangat rentan terhadap dampaknya,” papar Erwin.

Ekspansi ekstraktif di pulau-pulau kecil telah membawa dampak masif dan merusak secara permanen. “Ancaman bagi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sangat masif terjadi. Sebagai contoh, akibat tambang nikel di pulau kecil, sedimentasi merusak lamun dan terumbu karang, dampaknya hasil tangkap nelayan menurun dan kerusakan permanen terjadi,” jelasnya.

Pada akhirnya, Erwin menyimpulkan bahwa ambisi pertumbuhan ekonomi dalam SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah tidak memprioritaskan perlindungan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

“Ambisi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan melalui SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah Indonesia masih belum menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai sektor utama yang harus dilindungi,” pungkas Erwin.

Kriminalisasi pembela lingkungan di Jantung Jawa

Aspal di Jalan Pahlawan, Semarang, Jawa Tengah terasa membara di bawah terik matahari Senin (17/11/2025). Panas itu seolah beresonansi dengan amarah yang tertahan dalam orasi-orasi yang membahana. Di seberang jalan, bayang-bayang megah kantor Gubernur Jawa Tengah jatuh menimpa kerumunan massa yang menamakan diri Persatuan Pergerakan Petani Indonesia, atau PAGAR TANI.

Wajah-wajah mereka lelah, sebagian besar tertutup caping dan topi, namun suaranya nyaring. Mereka tidak datang untuk bernegosiasi. Mereka datang untuk menuntut.

Di antara poster-poster yang menuntut keadilan agraria dan penghentian perampasan lahan, satu tuntutan utama menggema berulang kali: “Hentikan Kriminalisasi Petani!”.

Ini bukan sekadar slogan. Di balik spanduk itu, ada sembilan nama. Sembilan orang yang, menurut rekan-rekannya, kini sedang dalam proses hukum bukan karena mereka berbuat jahat, tetapi karena mereka berani melawan. Mereka adalah para pembela lahan, air, dan udara yang tersisa di pesisir Jawa Tengah.

Di tengah kerumunan itu, seorang pria dengan map di tangan memberikan keterangan kepada pers. Ia adalah Abdul, Pendamping Hukum PAGAR TANI. Ia tidak tampil seperti pengacara korporat di gedung tinggi; ia adalah pengacara rakyat yang terbiasa berdebu di lapangan. Wajahnya serius, suaranya lugas, memetakan krisis yang membawa mereka turun ke jalan hari itu.

Bagi Abdul dan ratusan petani yang hadir, perjuangan ini telah bergeser. Front pertempuran mereka bukan lagi hanya di sawah, ladang, atau pesisir. Front baru yang dipaksakan kepada mereka adalah ruang sidang, kantor polisi, dan sel penjara.

Tiga titik luka di Pantura
Sembilan nama yang disuarakan di Semarang itu berasal dari tiga kabupaten berbeda. Bagi telinga awam, ini mungkin terdengar seperti daftar kasus yang acak. Namun, bagi pengamat isu agraria dan lingkungan, tiga lokasi ini adalah episentrum dari tiga model konflik sumber daya alam paling kronis di Jawa.

Kutipan Abdul di sela aksi hari itu berfungsi sebagai peta jalan untuk memahami luka yang sedang menganga di Jawa Tengah.

“Dua petani dilaporkan dari Dayunan, Kendal, empat petani Pundenrejo Pati, lalu tiga pejuang lingkungan Sumberejo, Jepara,” ungkap Abdul.

Ini adalah triptik—lukisan tiga panel—tentang perlawanan. Panel pertama adalah tentang tanah yang diubah paksa menjadi pabrik. Panel kedua tentang air yang terancam kering oleh tambang. Panel ketiga tentang pesisir yang diracuni limbah.

Dayunan di Kabupaten Kendal adalah cerita klasik tentang sawah subur yang bertetangga dengan raksasa industri. Dua petani yang dilaporkan dari wilayah ini adalah simbol dari pertarungan yang tidak seimbang. Kendal adalah rumah bagi Kawasan Industri Kendal (KIK), salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang didorong masif oleh pemerintah.

Ekspansi industri yang agresif tak pelak membutuhkan lahan. Seringkali, lahan yang “tersedia” adalah lahan pertanian produktif yang telah digarap petani selama beberapa generasi. Konflik meletus ketika klaim korporasi atau negara berbenturan dengan klaim hak garap petani.

Dua petani dari Dayunan ini adalah mereka yang menolak untuk menyerahkan sejengkal tanah terakhir mereka. Perlawanan mereka—apakah itu berupa pendudukan lahan, penanaman di lahan sengketa, atau aksi protes—kini dibingkai oleh aparat sebagai tindak pidana. Mereka yang memberi makan negeri kini dituduh sebagai “penyerobot”.

Nama “Pati” segera membangkitkan citra Pegunungan Kendeng. Empat petani dari Pundenrejo adalah generasi terbaru dari perjuangan ikonik “Sedulur Sikep” dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK).

Jika di Kendal perjuangannya adalah tentang lahan, di Pati perjuangannya adalah tentang air. Pundenrejo berada di lingkar ekosistem karst Kendeng, sebuah bentang alam unik yang berfungsi sebagai menara air alami raksasa bagi separuh Jawa Tengah. Ekosistem ini terancam oleh industri ekstraktif, terutama pabrik semen dan tambang batu gamping (karst) yang menjadi bahan bakunya.

Empat petani ini adalah penjaga mata air. Perjuangan mereka adalah perjuangan ekologis untuk memastikan anak cucu mereka tetap bisa minum dan mengairi sawah. Kriminalisasi terhadap mereka kemungkinan besar berasal dari aksi-aksi mereka mempertahankan “omah” (rumah) dan “banyu” (air). Aksi damai seperti memblokir alat berat atau menduduki tapak pabrik dengan mudah dipelintir menjadi tuduhan “pengrusakan,” “provokasi,” atau “mengganggu ketertiban umum.”

Secara signifikan, Abdul menyebut tiga orang dari Sumberejo, Jepara, sebagai “pejuang lingkungan”, membedakan mereka dari “petani” di dua kasus lainnya. Ini adalah petunjuk penting. Konflik di Sumberejo adalah pertarungan untuk napas terakhir ekosistem pesisir.

Jepara, seperti banyak wilayah pesisir Pantura, menghadapi ancaman ganda: dari darat dan laut. Tiga pejuang ini berhadapan dengan salah satu dari dua monster perusak: industri tambak udang intensif ilegal atau tambang pasir besi.

Industri tambak udang yang tak terkendali seringkali membabat habis hutan mangrove—benteng alami terakhir melawan abrasi—dan membuang limbah beracun langsung ke laut, membunuh biota dan mata pencaharian nelayan kecil. Sementara itu, tambang pasir besi merusak garis pantai secara permanen.

Tiga pejuang lingkungan ini adalah mereka yang berani bersuara. Mereka yang memotret pipa limbah, mengorganisir protes warga, atau vokal mengkritik di media sosial. Dan karena itu, mereka menjadi sasaran empuk pasal-pasal karet, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan tuduhan “pencemaran nama baik” perusahaan yang mereka lawan.

Data yang dipaparkan oleh PAGAR TANI memvisualisasikan sebuah pola yang tidak terbantahkan. Sembilan orang ini bukanlah kasus kriminal biasa, melainkan korban dari sebuah sistem yang memprioritaskan investasi di atas kelestarian lingkungan dan hak asasi manusia.

Lokasi KonflikJumlah TerlaporStatus Korban Konteks Konflik 
Dayunan, Kendal2 orangPetaniSengketa lahan agraria vs. Ekspansi Kawasan Industri (KIK) / Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pundenrejo, Pati4 orangPetaniPerjuangan ekologi Pegunungan Kendeng. Melawan aktivitas tambang (semen/gamping) yang mengancam mata air.
Sumberejo, Jepara3 orangPejuang LingkunganKonflik sumber daya pesisir. Melawan perusakan mangrove oleh tambak udang ilegal atau aktivitas tambang pasir besi.

Membela dianggap melawan hukum
Aksi di Semarang adalah puncak gunung es dari frustrasi yang menumpuk. Abdul, sang pendamping hukum, menjelaskan bahwa apa yang dilakukan sembilan warga itu adalah murni untuk keadilan. Dia menuturkan, tindakan para petani dan pejuang lingkungan itu adalah “untuk mempertahankan lingkungan”.

Lalu, ia menyampaikan inti dari ironi tragis yang mereka hadapi. Sebuah kalimat pendek yang menelanjangi seluruh sistem peradilan yang timpang. “Dikriminalisasi,” tegasnya. 

Inilah “Buku Panduan Kriminalisasi” (The Criminalization Playbook) yang dimainkan berulang kali terhadap para pembela lingkungan dan agraria di seluruh Indonesia. Ini adalah strategi yang disengaja, bukan kecelakaan hukum.

Pertama, strategi ini bekerja dengan menggeser narasi. Isu yang tadinya adalah konflik kepentingan publik (melindungi mata air, mempertahankan lahan pangan, menjaga pesisir) diubah secara paksa menjadi kasus kejahatan individu (penyerobotan, pencurian, pencemaran nama baik).

Kedua, tujuannya adalah menguras sumber daya. Perjuangan petani yang seharusnya fokus di lapangan, dipaksa pindah ke ruang sidang yang steril, mahal, dan berbelit. Energi, waktu, dan dana komunitas yang terbatas habis terkuras untuk biaya hukum, transportasi ke kantor polisi, dan menjenguk rekan yang ditahan. Solidaritas komunitas diuji dan dilemahkan.

Ketiga, dan yang paling berbahaya, adalah untuk menciptakan chilling effect atau efek jera. Ketika dua petani Kendal diproses hukum, ratusan petani lain yang lahannya terancam akan berpikir dua kali untuk melawan. Ketika tiga pejuang Jepara diseret ke pengadilan, ribuan warga pesisir lainnya akan takut untuk memotret pipa limbah. Kriminalisasi sembilan orang adalah cara efektif untuk membungkam sembilan ribu orang lainnya.

Inilah pelanggaran hak asasi manusia yang nyata. Hak untuk hidup di lingkungan yang sehat dan hak untuk berpendapat di muka umum kini dihadapkan pada ancaman penjara.

Fakta bahwa PAGAR TANI kini berdemo di Semarang, ibu kota provinsi, adalah sebuah eskalasi penting. Ini menandakan bahwa upaya advokasi di tingkat lokal, di Polres Kendal, Polres Pati, dan Polres Jepara telah menemui jalan buntu.

Laporan atas sembilan orang ini sudah bergulir berbulan-bulan di tingkat kabupaten. Aksi di Semarang adalah sinyal bahwa para petani ini menolak untuk bertarung sendirian di kegelapan. Mereka membawa kasus ini ke tempat yang lebih terang, menekan otoritas yang lebih tinggi—Polda Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi, dan Gubernur—untuk turun tangan.

Aksi ini adalah perwujudan solidaritas. PAGAR TANI, sebagai serikat petani yang berakar di basis, menunjukkan bahwa petani Dayunan tidak sendirian. Pejuang Sumberejo tidak sendirian. Mereka adalah bagian dari gerakan yang lebih besar. Ketika hukum formal berbalik melawan mereka, solidaritas lintas-kabupaten inilah yang menjadi jaring pengaman terakhir mereka.

Demo di Semarang akhirnya bubar menjelang senja. Namun, perjuangan sembilan orang yang namanya mereka teriakkan masih jauh dari selesai. Mereka kini berdiri di garis depan, mempertaruhkan kebebasan pribadi mereka untuk sesuatu yang jauh lebih besar.

Apa yang akan terjadi jika mereka kalah di meja hijau?

Jika dua petani Kendal dipenjara, yang kalah bukan hanya mereka. Yang kalah adalah ribuan hektar lahan pangan produktif yang akan berganti menjadi beton dan baja.

Jika empat petani Pati divonis bersalah, yang kalah bukan hanya keluarga mereka. Yang kalah adalah mata air Pegunungan Kendeng, yang akan mengering seiring hancurnya ekosistem karst, memicu krisis air bersih bagi jutaan orang.

Dan jika tiga pejuang lingkungan Jepara terbukti “mencemarkan nama baik”, yang kalah adalah seluruh pesisir Pantura. Mangrove akan terus dibabat, limbah akan terus mengalir, dan abrasi akan semakin menenggelamkan daratan.

Demo di Jalan Pahlawan hari itu adalah pengingat yang getir. Di negeri yang pembangunannya seringkali mengabaikan ekologi, sembilan orang ini dikriminalisasi karena melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh negara: mempertahankan lingkungan. Dalam pertarungan menjaga bumi, seringkali yang dipenjara bukanlah perusak, melainkan pelindungnya.

Laut merah, napas sesak. Kisah warga Morowali dalam kepungan industri nikel

Laut yang membentang di pesisir Kurisa, di Sulawesi Tenggara, telah berubah warna menjadi merah. Desa di Kabupaten Morowali ini hidup bertetangga dengan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), sebuah kompleks pengolahan nikel raksasa yang terus berekspansi.

Bagi Lukman, seorang tetua desa berusia 54 tahun, laut itu dulunya adalah kehidupan. Kini, ia menggambarkan bagaimana limbah yang panas dan berbau menyengat mengalir dari IMIP ke laut, menjadikannya zona mati yang tak bisa lagi diandalkan untuk mencari ikan.

Enam tahun lalu, Lukman menyerah pada budidaya kerapu yang telah lama ia tekuni. Polusi yang semakin pekat telah membunuh usahanya. “Ikan tidak bisa lagi dibudidayakan di sini [di keramba],” keluhnya seperti dilansir Dialogue Earth.

Perubahan itu merombak tatanan ekonomi lokal. Para nelayan di wilayah itu, yang kehilangan mata pencaharian utama mereka, kini terpaksa memulung botol plastik bekas untuk menyambung hidup. Siapapun yang masih nekat mencari ikan, kata Lukman, harus berlayar sekitar tiga kilometer lebih jauh ke lepas pantai.

Lukman sendiri banting setir. Dari seorang pembudidaya ikan, ia kini mengelola sebuah rumah kos, kemungkinan besar disewa oleh para pekerja yang ironisnya menghidupi industri yang telah merenggut lautnya.

Pesisir yang tercemar hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Kurisa dan desa-desa lain di sekitar IMIP. Kawasan industri ini adalah usaha patungan antara Tsingshan Group dari Tiongkok dan perusahaan Indonesia Bintang Delapan, yang menaungi lebih dari 50 pabrikan penghasil produk berbasis nikel, dari baja hingga material baterai kendaraan listrik.

Di daratan, warga hidup di bawah kepungan polusi udara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang menjadi jantung energi operasi IMIP. Beberapa bulan lalu, pemerintah telah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran lingkungan di IMIP. Namun, bagi warga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memantau situasi, tindakan nyata belum terlihat. Dampak kesehatan dan lingkungan terus mengancam kehidupan mereka.

Udara yang meracuni kelas
Nurman Hidayat, 42 tahun, adalah warga Desa Bahomakmur, yang terletak persis di sebelah barat IMIP. Ia menceritakan bagaimana penduduk setempat didera batuk, pilek, dan demam yang tak kunjung reda. Ia meyakini penyakit ini berkaitan erat dengan emisi sulfur dioksida dan pembakaran batu bara dari kawasan industri.

Kekhawatiran Nurman bukanlah tanpa dasar. Sebuah studi tahun 2024 oleh Asosiasi untuk Transformasi Keadilan (TuK) Indonesia dan Universitas Tadulako menyoroti temuan mengkhawatirkan. Studi tersebut mencatat bahwa konsentrasi rata-rata PM 10, PM 2.5, dan sulfur dioksida dari sampel yang diambil pada tahun 2023 di tiga desa sekitar IMIP, termasuk Bahomakmur, telah melampaui baku mutu standar keamanan pemerintah.

Laporan itu menyimpulkan adanya “risiko kesehatan serius bagi penduduk lokal”. Data survei menguatkan kesaksian Nurman: lebih dari 70% dari 91 responden di tiga desa tersebut mengalami gejala batuk dan bersin.

Polusi ini tidak lagi mengenal batas. Pada Oktober 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengklaim bahwa abu batu bara ditemukan telah mengendap di ruang-ruang kelas dua sekolah di Desa Labota. Lokasi sekolah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari pabrik IMIP. Akibatnya, Walhi mencatat, enam siswa menderita batuk dan sesak napas.

Ancaman polusi udara ini begitu nyata sehingga membuat warga seperti Lukman merasa terpojok. “Udara di sini sungguh tidak layak jika kami harus tetap tinggal,” katanya.

Bencana bernama tailing
Di luar polusi air dan udara, cara pengelolaan limbah tailing di dalam kompleks IMIP telah memicu kritik tajam dan ketakutan akan bencana yang lebih besar. Free Land Foundation (YTM), sebuah LSM yang berbasis di Sulawesi Tengah, telah menyoroti berbagai risiko yang terkait dengan perkiraan 11,5 juta ton tailing yang dihasilkan IMIP setiap tahunnya.

Angka ini, menurut Indonesia Business Post, diproyeksikan akan tumbuh lebih dari empat kali lipat pada tahun 2026, mencapai 47 juta ton per tahun.

Limbah ini bukanlah lumpur biasa. YTM memperingatkan bahwa tailing tersebut mengandung zat-zat berbahaya, termasuk asam sulfat dan hexavalent chromium. Zat kimia yang terakhir diketahui bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan kanker serta penyakit pernapasan.

YTM khawatir jika salah satu fasilitas penyimpanan tailing IMIP runtuh—yang jumlahnya terbatas dibandingkan dengan zona alokasi limbah—jutaan ton limbah beracun dapat tumpah ke Sungai Bahodopi di dekatnya, “mengancam ekosistem lokal dan komunitas di sekitarnya”.

Kekhawatiran itu telah menjadi kenyataan. YTM menyoroti bagaimana banjir besar pada 16 Maret menyebabkan struktur penahan limbah jebol, membuat hampir 1.100 orang di Labota terpapar limbah berbahaya. Hanya beberapa hari kemudian, pada 22 Maret, hujan deras menyebabkan tanggul di salah satu fasilitas penyimpanan tailing IMIP runtuh. Tiga pekerja tewas tertimbun dalam insiden tersebut.

YTM mengklaim bahwa bencana ini disebabkan oleh penggunaan fasilitas penyimpanan tailing di permukaan tanah (ground-level), sebuah metode yang mereka anggap berbahaya dan berisiko di daerah dengan curah hujan tinggi seperti Morowali.

Menanggapi hal ini, Dedy Kurniawan, kepala hubungan media PT IMIP, mengatakan kepada Kompas bahwa tanah longsor terjadi karena hujan deras selama berjam-jam, yang menyebabkan sungai meluap ke dalam kompleks.

Menari di atas Patahan Matano
Ancaman yang ditimbulkan oleh fasilitas tailing ini diperparah oleh fakta geologis yang menakutkan. YTM juga mengangkat isu gempa bumi di masa depan yang berpotensi merusak infrastruktur penyimpanan limbah rapuh ini. Seluruh kompleks IMIP, dengan puluhan juta ton limbah beracunnya, terletak persis di atas Patahan Matano (Matano Fault).

Peringatan ini didukung oleh Science Direct yang dipublikasikan pada tahun 2023 mengindikasikan bahwa gempa bumi yang merobek permukaan (surface-rupturing) dengan kekuatan magnitudo 7.4 di patahan tersebut “sudah waktunya terjadi” (already due).

Ini bukan lagi ancaman teoretis. Wilayah ini telah mengalami beberapa gempa signifikan. Gempa berkekuatan M 5.1 pada Mei 2024, misalnya, dilaporkan telah “merusak akomodasi pekerja dan infrastruktur perusahaan”. Peristiwa itu adalah sebuah “tembakan peringatan” yang membuktikan kerentanan infrastruktur industri terhadap guncangan.

Ancaman bencana berantai pun kini menghantui warga: gempa besar yang memicu kegagalan bendungan tailing, yang akan melepaskan tsunami lumpur karsinogenik ke sungai dan desa-desa di hilir.

“Ketika bencana alam terjadi, lagi-lagi masyarakat dan pekerjalah yang terdampak,” ujar direktur YTM, Richard Labiro.

Tim penyelamat mencari korban pasca ambruknya tanggul penahan limbah pabrik peleburan nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi, pada Maret 2025. Kecelakaan tersebut menewaskan tiga orang (Foto: KPP Palu / Associated Press / Alamy)

Sanksi di atas kertas, derita di dunia nyata
Menurut Lukman, masyarakat setempat telah melaporkan kondisi hidup mereka yang terus memburuk kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan bupati regional, Iksan Baharudin Abdul Rauf, pada Juni 2025. Namun, ia mengatakan tidak ada satu pun dari otoritas tersebut yang menindaklanjuti keluhan mereka.

Harapan sempat muncul ketika pemerintah pusat turun tangan. Pada bulan Juni, Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan bahwa mereka telah menemukan berbagai pelanggaran lingkungan di dalam kompleks IMIP.

Temuan kementerian itu mengonfirmasi apa yang telah lama dirasakan warga. Pelanggaran tersebut termasuk polusi udara, perkiraan 12 juta metrik ton deposit tailing ilegal, dan penggunaan 1.800 hektar lahan yang tidak termasuk dalam pernyataan dampak lingkungan (AMDAL) perusahaan untuk aktivitas yang tidak sah.

Kementerian mengumumkan akan menjatuhkan sanksi administratif pada PT IMIP. Reuters melaporkan bahwa kementerian akan mengenakan denda dan polisi akan menyelidiki pengelolaan tailing berbahaya dan beracun di area tersebut.

Menanggapi temuan pemerintah bahwa perusahaan telah menyerahkan laporan AMDAL untuk lahan 1.800 hektar yang dipersoalkan pada tahun 2023. Ia menambahkan bahwa perusahaan dan para penyewanya memantau kualitas udara secara real-time dan telah memasang teknologi untuk mengurangi emisi dari aktivitas peleburan.

Namun, berbulan-bulan setelah pengumuman sanksi itu, warga dan LSM yang memantau situasi mengatakan mereka belum melihat adanya tindakan nyata. Dampak kesehatan dan lingkungan terus berlanjut.

Dialogue Earth berusaha menghubungi Elyta Gawi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Morowali, Irawan dari Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kurniawan dari PT IMIP untuk memberikan komentar mengenai tindakan lanjutannya. Tidak ada tanggapan yang diterima.

Kebuntuan ini, menurut Makala (seorang narasumber yang dikutip Antara News), hanya bisa dipecahkan jika ada pemantauan publik yang efektif. Ia berpendapat bahwa tim yang melakukan aktivitas pemantauan tidak boleh direkrut hanya dari kementerian pemerintah. Makala mengatakan publik hanya akan percaya pemerintah serius mengambil tindakan jika ada pengawasan publik yang efektif.

Martha Mendrofa, seorang peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think-tank, mengamini perlunya transparansi. Ia mendesak pemerintah Indonesia untuk membangun sistem digital yang transparan yang memungkinkan publik mengawasi tindakan hukum yang telah diterapkan, serta mengevaluasi regulasi dan keluhan publik.

Ia mengatakan tindak lanjut harus dilakukan oleh perusahaan yang terkena sanksi—”ini akan memastikan transparansi mengenai keluhan dan tanggapan dari pemangku kepentingan terkait,” katanya.

Lebih jauh, Mendrofa menambahkan bahwa Indonesia perlu mengadopsi standar keberlanjutan yang lebih ketat, seperti yang ditetapkan dalam IRMA. Standar ini akan memastikan aspek-aspek krusial seperti manajemen limbah, kesehatan dan keselamatan pekerja, hak asasi manusia, keterlibatan masyarakat, dan langkah-langkah anti-korupsi dievaluasi dengan benar.

Tanpa standar yang lebih tinggi, Mendrofa memperingatkan bahwa industri nikel Indonesia yang beroperasi seperti biasa dapat menghadapi penurunan permintaan. “Komunitas global pasti tidak akan menyukainya—mereka tidak akan tertarik pada investasi pertambangan di Indonesia,” ujarnya.

Sementara para ahli memperdebatkan standar dan investor global menimbang risiko, warga di desa-desa sekitar IMIP terus menderita dalam kesunyian.

Nurman Hidayat, warga Bahomakmur, menyuarakan perasaan ditinggalkan yang mendalam. “Tidak ada seorang pun dari instansi terkait [atau] dinas kesehatan, termasuk pemerintah pusat, daerah, atau provinsi, yang memperhatikan [kekhawatiran kami]. Kami meminta setidaknya sedikit perhatian pada masalah kesehatan kami. Sama sekali tidak ada… tidak ada apa-apa dari PT IMIP juga, jadi kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Di Kurisa, Lukman, yang lautnya telah direnggut, kini hanya memiliki satu permintaan tragis. Jika perusahaan tidak mau membantu mereka relokasi, katanya, mereka setidaknya harus memberikan kompensasi kepada masyarakat.

“Sehingga kami tahu kami menerima sesuatu setiap bulan,” kata Lukman, “meskipun kami mungkin menghirup udara yang tercemar.” [Johanes Hutabarat]

Artikel ini terbit dalam Bahasa Inggris di Dialogue Earth dengan judul Indonesian coastal villages in the dark over nickel pollution.  

Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”

Di tengah gemerlap Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, delegasi Indonesia hadir dengan kekuatan besar. Sebanyak 450 orang, dipimpin langsung oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusuma, membawa isu utama Transisi Energi dan perdagangan karbon. Komitmen untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan digaungkan oleh delegasi yang dipimpin adik Presiden Prabowo Subianto tersebut.

Namun, sebuah ironi tajam datang dari Kalimantan Timur, jantung produksi batubara negeri.

Saat para diplomat membahas masa depan energi bersih di Brasil, data di lapangan menunjukkan cerita yang sama sekali berbeda. Kelompok lingkungan Extinction Rebellion Kalimantan Timur (XR Kaltim Bunga Terung) menyoroti kegagalan proyek transisi energi untuk menghentikan kecanduan Indonesia terhadap batubara.

Faktanya, isu transisi energi yang didefinisikan sebagai perubahan dari energi fosil ke energi bersih, dinilai “hanya bagus di konsep namun nol ditindakan”. XR Kaltim menuding bahwa di tengah kucuran dana jumbo yang berkisar $25-30 miliar USD hingga 2030, proyek transisi energi justru kerap dijadikan alasan untuk menghancurkan hutan.

“Alih-alih beralih, eksploitasi sumber daya alam seperti mineral, nikel, pasir silika, dan bahkan batubara itu sendiri, justru meningkat,” kata aktivis XR Kaltim Bunga Terung, Yuni. (16/11/2025).

Kalimantan Timur adalah bukti nyata dari kontradiksi ini. Provinsi ini tetap tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan batubara dan kokoh sebagai penghasil terbesar di Indonesia.

“Alih-alih menurun seiring janji transisi, produksi batubara Kaltim justru melonjak tajam dari 268 juta ton pada tahun 2020 menjadi 368 juta ton pada tahun 2024. Angka ini mencakup sekitar 44% dari total produksi nasional,” papar Yuni.

Dampaknya terhadap lingkungan sangat nyata. Angka deforestasi atau penghancuran hutan di Kaltim tercatat masih yang tertinggi di Indonesia, mencapai 44.483 hektare pada tahun 2024. Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah dengan laju deforestasi terparah, yakni seluas 16.578 hektare, di mana perluasan produksi batubara menjadi penyebab utamanya.

Extinction Rebellion Kaltim (XR Kaltim Bunga Terung) mendesak pemerintah untuk mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai proyek ilusi. “Kami mendesak Pemerintah segera menghentikan Proyek Tipu-Tipu atas nama Transisi Energi,” ujar Yuni.

Kelompok ini menuntut agar ketergantungan negara dan Kalimantan Timur pada bahan bakar fosil dihentikan, termasuk menyetop pasokan batubara ke smelter-smelter nikel yang seringkali didengungkan sebagai bagian dari ekosistem kendaraan listrik.

“Proyek ini harus dilakukan dengan cara yang adil dan berkelanjutan,” lanjut Yuni, “dengan memberi perlindungan terhadap Lingkungan dan hak-hak masyarakat dalam proses Transisi energi.”

Bagi mereka, transisi energi yang sejati harus mengedepankan partisipasi publik dan menjamin adanya hak veto masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak pada ruang hidup mereka.

Krisis air di lumbung nikel, warga Kawasi blokade jalur produksi Harita

Matahari Halmahera Selatan terasa menyengat pada Sabtu (15/11/2025), namun puluhan warga Desa Kawasi tak bergeming. Selama delapan jam, mulai pukul 10.20 WIT hingga petang hari pukul 18.13 WIT, mereka memblokade jalur vital. Truk-truk produksi nikel milik PT. Harita Group terpaksa berhenti.

Ini adalah “Demo Jilid II”, sebuah aksi protes yang lahir dari kesabaran yang telah habis dan janji yang diingkari.

Warga kembali turun ke jalan karena pertemuan yang digelar sehari sebelumnya, pasca aksi pertama, tidak membuahkan itikad baik dari raksasa tambang tersebut. Tuntutan mereka mendasar: air bersih dan listrik. Dua hal yang ironisnya langka di desa yang hidup berdampingan dengan salah satu proyek industri ekstraktif terbesar di Indonesia.

Menurut kesaksian warga, Ibu Nurhayati Nanlesi, ini bukan sekadar permintaan, melainkan penagihan janji. Sebuah kesepakatan, jelasnya, telah ditandatangani di atas kertas, disaksikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat serta pimpinan situs PT. Harita Group. “Isinya jelas. Desa Kawasi harus menikmati sumber air bersih dan listrik,” katanya.

Namun, tanda tangan itu seolah menguap di udara panas Halmahera. Pihak perusahaan, kata Nurhayati, justru mengabaikan kesepakatan tersebut.

Aksi boikot yang membentang selama delapan jam itu merefleksikan frustrasi yang telah menumpuk. Sanusi Samsir, salah satu warga yang turut berorasi, menilai perusahaan hanya sibuk menampilkan narasi kemajuan tanpa pernah benar-benar melihat dampak nyata yang diderita warga.

“Kami tidak menginginkan lebih, kami hanya menolak diperlakukan seperti ini,” tegas Sanusi di tengah kerumunan. “Kalau listrik dan air bersih saja tidak bisa diberikan, bagaimana mungkin kami bisa percaya bahwa Harita peduli terhadap lingkungan dan sosial di desa kawasi?” tegasnya.

Suara Sanusi mewakili rasa lelah masyarakat yang merasa telah bersabar terlalu lama. Mereka hidup di pusat lumbung nikel, namun sumur mereka kering dan malam mereka kerap gulita.

Mubalik Tomagola, Manajer Advokasi Tambang dari WALHI Maluku Utara, memandang situasi ini sebagai krisis ekologis dan sosial yang akut. Ia menuding bahwa klaim tanggung jawab perusahaan atas air bersih hanyalah kedok.

“Air bersih yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar justru hilang karena aktivitas perusahaan,” ujar Mubalik. “Padahal air bersih yang menjadi tanggung jawab perusahaan hanyalah Greenwashing di mata publik dan mata IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance).”

Intimidasi di tengah negosiasi

Situasi di lapangan sempat memanas. Gesekan tak terhindarkan ketika aparat keamanan—terdiri dari beberapa oknum TNI-Polri—berupaya melakukan intimidasi terhadap Direktur WALHI Malut yang sedang mendampingi warga dalam proses negosiasi.

Situasi baru kembali normal setelah pihak keamanan menarik diri. Insiden ini memicu kecaman keras dari WALHI.

“Kami mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat. Pejuang lingkungan bukan penjahat, kami hadir untuk memastikan masyarakat tidak diperlakukan sewenang-wenang,” tambah Mubalik. “Jika aparat terus bertindak dengan cara seperti ini, maka jelas ada upaya pembungkaman terhadap perjuangan warga.”

Kordinator aksi, Ucok S. Dola, mengamini adanya pola pembungkaman tersebut. Ia menegaskan bahwa pihak perusahaan tidak hanya mengabaikan kesepakatan, tetapi secara sistematis telah mengurangi ruang hidup dan ruang demokrasi warga Kawasi.

“Kami sudah berulang kali mengajukan dialog, tetapi selalu dijawab dengan janji kosong,” tegas Ucok. “Yang terjadi justru intimidasi, bukan penyelesaian. Warga hanya ingin hidup layak di tanah mereka sendiri, bukan menjadi korban demi kepentingan ekonomi negara.”

Tuntutan warga pada hari itu sejatinya jauh lebih dalam dari sekadar pipa air dan kabel listrik. Mereka membawa serta penderitaan satu dekade terakhir: hidup dalam kepungan debu industri yang kian pekat.

Dalam ironi yang memilukan, beberapa anak dan lansia yang menderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) turut hadir di tengah massa aksi. Mereka menjadi saksi bisu dan bukti hidup dari dampak pencemaran lingkungan yang mereka hirup setiap hari.

Hingga massa membubarkan diri pukul 18.13 WIT, tidak ada satu pun langkah keseriusan yang ditunjukkan oleh pihak perusahaan untuk merespons keluhan kesehatan warga.

WALHI Malut kini mendesak pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk bersikap netral dan tidak menjadi alat kepentingan korporasi. Mereka juga menuntut agar Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Komnas HAM, dan Ombudsman RI segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak dasar dan pembiaran oleh perusahaan.

Warga Kawasi membubarkan diri dengan satu janji: aksi pemboikotan ini akan terus berlanjut. Perjuangan akan kembali dalam beberapa hari ke depan, hingga ada kejelasan tertulis yang benar-benar dipenuhi, bukan sekadar janji di atas kertas yang mudah diingkari.

Tafsir Ayat-Ayat Ekologi, ikhtiar meyembuhkan luka bumi Indonesia

Di tengah hiruk pikuk Jakarta, sebuah peristiwa simbolis berlangsung di Gedung Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal (BQMI) pada Senin, 6 Oktober 2025. Di tempat yang didedikasikan untuk merawat firman Tuhan dalam bentuk mushaf, Kementerian Agama (Kemenag) meluncurkan sebuah ikhtiar untuk membaca firman-Nya yang terhampar di alam semesta. Menteri Agama Nasaruddin Umar secara resmi merilis buku “Tafsir Ayat-Ayat Ekologi: Membangun Kesadaran Ekoteologis Berbasis Al-Qur’an”.

Dalam sambutannya, Menag Nasaruddin Umar menggemakan sebuah metafora kuat yang menjadi jantung dari karya ini. “Jika Al-Qur’an merupakan kumpulan ayat mikrokosmos, maka alam semesta ini adalah kumpulan ayat makrokosmos. Keduanya sama-sama ayat Allah,” ujarnya. 

Sebuah penegasan bahwa alam bukanlah entitas mati yang bisa dieksploitasi, melainkan sebuah kitab suci yang terbuka, yang menuntut untuk dibaca dengan penuh takzim dan tanggung jawab.

Namun, visi sakral ini berhadapan langsung dengan kontras yang brutal di lapangan. Buku yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) ini sendiri dibuka dengan data yang mengkhawatirkan: Indonesia kehilangan lebih dari 175,4 ribu hektar hutan pada tahun 2024 saja, menempatkan negara ini sebagai salah satu negara dengan laju kehilangan hutan tercepat di dunia. Hutan yang disebut sebagai paru-paru dunia, rumah bagi 17% spesies flora dan fauna global, kini terengah-engah.

Peluncuran buku ini, oleh karenanya, bukan sekadar seremoni penerbitan biasa. Ini adalah sebuah manuver strategis dari negara. Ketika lembaga negara tertinggi dalam urusan Al-Qur’an, dengan restu langsung dari Menteri Agama, merilis sebuah tafsir ekologi, ini menandakan pergeseran paradigma. Isu lingkungan tidak lagi hanya domain aktivis, ilmuwan, atau politisi, tetapi secara resmi dibingkai sebagai panggilan moral dan keagamaan yang mendesak bagi mayoritas penduduk Indonesia. 

Terlebih lagi, inisiatif ini secara eksplisit diselaraskan dengan program prioritas pemerintah, “Asta Cita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka,” yang salah satu butirnya adalah memperkuat kehidupan harmonis dengan lingkungan. 

Ini adalah sebuah sinyal bahwa negara berupaya memobilisasi sentimen dan infrastruktur keagamaan—mulai dari kurikulum pesantren, khotbah Jumat, hingga organisasi massa Islam—sebagai garda terdepan dalam kebijakan lingkungan nasional.

Buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi mengajukan sebuah diagnosis radikal: krisis lingkungan yang kita hadapi pada dasarnya bukanlah krisis teknologi atau kebijakan, melainkan krisis spiritual. “Kerusakan alam sejatinya adalah refleksi dari krisis hubungan manusia dengan dirinya, sesama, dan alam sekitarnya,” demikian tertulis dalam pendahuluannya. 

Ketika manusia memisahkan relasinya dengan alam dari relasi keimanannya dengan Tuhan, maka alam kehilangan nilai sakralnya dan menjadi objek eksploitasi semata.

Untuk menyembuhkan luka ini, buku ini menawarkan jembatan bernama “Ekoteologi”—sebuah pendekatan integratif yang menyatukan kembali teologi (ilmu tentang Tuhan, logos) dengan rumah kita bersama, Bumi (oikos). Pendekatan ini berupaya memulihkan pandangan sakral terhadap alam, sebuah gagasan yang sejalan dengan kritik mendalam dari pemikir Islam global, Seyyed Hossein Nasr. Sebagaimana disinggung dalam buku ini dan ulasan Kemenag, Nasr dalam karyanya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man berargumen bahwa modernitas telah mencabut sakralitas alam dari kesadaran manusia.

Akar masalahnya, menurut buku ini, adalah dominasi paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai “penguasa tunggal atas alam”. Pandangan ini, yang diperparah oleh apa yang disebut Menteri Agama sebagai “teologi kita yang terlalu maskulin,” telah melahirkan hubungan yang dominatif dan eksploitatif, bukan pengasuhan dan pemeliharaan.

Dengan membingkai ulang diagnosis masalah dari material menjadi spiritual, pendekatan yang ditawarkan pun berubah secara fundamental. Solusinya bukan lagi sekadar pajak karbon, teknologi hijau, atau regulasi pemerintah semata. Solusi yang ditawarkan adalah transformasi batin, sebuah pertobatan (taubah) kolektif, dan perubahan cara pandang dunia. Ini secara efektif menempatkan para ulama, dai, dan institusi keagamaan di garis depan pertempuran iklim, bukan sebagai aktor pendukung, tetapi sebagai penyembuh esensial bagi jiwa kolektif bangsa yang terluka.

Tafsir hijau untuk konsep kunci Islam
Inti dari buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi adalah sebuah proyek teologis yang canggih: menafsirkan ulang konsep-konsep kunci dalam Al-Qur’an melalui lensa ekologis, mengubahnya dari ajaran abstrak menjadi pedoman etis yang konkret untuk berinteraksi dengan alam.

Pertama, konsep Rabb al-‘Ālamīn (Tuhan Pemelihara Semesta Alam) dalam Surah Al-Fatihah/1:2. Tuhan tidak lagi dipahami hanya sebagai Pencipta yang transenden dan jauh, tetapi sebagai Rabb—Pengasuh aktif yang secara terus-menerus memelihara setiap jaring ekosistem, dari rotasi bumi hingga rantai makanan. Dengan demikian, merusak alam, seperti menggunduli hutan atau mencemari sungai, pada hakikatnya adalah sebuah tindakan pengingkaran terhadap sifat rububiyyah (pemeliharaan) Allah.

Kedua, peran manusia sebagai khalifah (khalifah) di bumi, sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Baqarah/2:30, ditegaskan kembali bukan sebagai penguasa absolut, melainkan sebagai pemelihara dan pengelola yang bertanggung jawab. Kekhawatiran para malaikat bahwa manusia akan “membuat kerusakan… dan menumpahkan darah” disajikan sebagai peringatan abadi terhadap potensi destruktif manusia jika amanah ini disalahgunakan.

Ketiga, istilah Al-Qur’an untuk kerusakan, fasād fi al-ard (kerusakan di muka bumi), secara eksplisit dihubungkan dengan degradasi lingkungan modern. Mengacu pada Surah Ar-Rūm/30:41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia,” buku ini membingkai polusi, deforestasi, dan perubahan iklim sebagai manifestasi nyata dari dosa ekologis.

Keempat, konsep amanah (amanah) dari Surah Al-Ahzāb/33:72 —sebuah tanggung jawab kosmik yang begitu berat hingga langit, bumi, dan gunung menolaknya— dihubungkan langsung dengan kecenderungan manusia untuk berbuat zalim (ẓalūm) dan bodoh (jahūl). Sifat inilah yang termanifestasi dalam kerakusan dan kecerobohan ekologis. 

Buku ini secara sistematis membangun argumen bahwa amanah ini berfungsi sebagai pagar etis yang membatasi konsep taskhīr (penundukan alam). Sebagaimana ditegaskan oleh Menag, taskhīr bukanlah “cek kosong” untuk eksploitasi yang didorong oleh ketamakan, melainkan “izin terbatas” untuk kemanfaatan bersama. Dengan menyandingkan taskhīr dengan amanah, buku ini membangun sebuah kerangka teologis yang koheren dan kuat, yang menolak interpretasi eksploitatif terhadap ajaran agama.

Untuk memperjelas pergeseran makna ini, berikut adalah rangkumannya:

Konsep KunciMakna KonvensionalTafsir Ekologis (Menurut Buku)Ayat Rujukan Utama
KhalifahPengganti, PemimpinPemelihara & Penjaga Etis EkosistemAl-Baqarah/2:30
AmanahKepercayaan, TitipanTanggung Jawab Kosmik Merawat CiptaanAl-Ahzāb/33:72
FasādKerusakan Moral/SosialKerusakan Ekologis (Polusi, Deforestasi)Ar-Rūm/30:41
MīzānTimbangan, KeadilanKeseimbangan Ekosistem IlahiAr-Raḥmān/55:7-9
TaskhīrPenundukan, PenaklukanIzin Terbatas untuk Manfaat, Bukan Eksploitasi RakusAl-Jāṡiyah/45:13

Menanam pohon sebagai bentuk dzikir
Tafsir ini tidak berhenti di ranah wacana. Ia mengalir deras menuju praksis, mentransformasi tindakan-tindakan ekologis menjadi laku ibadah yang bernilai spiritual. Puncak dari etika lingkungan Islam ini terangkum dalam sebuah hadis yang dikutip dalam pendahuluan buku: “Jika kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada sebatang bibit pohon (kurma), maka jika ia masih mampu… hendaklah ia menanamnya”.

Ini adalah sebuah perintah etis yang radikal. Tindakan menanam pohon di ambang kiamat adalah sebuah aksi yang sepenuhnya terlepas dari kalkulasi untung-rugi duniawi. Ia adalah wujud kepasrahan murni pada perintah ilahi untuk merawat kehidupan, sebuah ekspresi harapan tertinggi di tengah keputusasaan. Inilah yang dimaksud ketika spiritualitas Islam diajak meluas dari sajadah ke hutan, dari ruang ibadah personal ke ruang publik ekologis.

Dengan membingkai aksi nyata seperti menanam pohon, menjaga kebersihan air, dan mengurangi sampah sebagai bagian dari ibadah, buku ini secara fundamental mendemokratisasi gerakan lingkungan. Tanggung jawab ekologis tidak lagi menjadi beban eksklusif bagi para aktivis, ilmuwan, atau pembuat kebijakan. Ia menjadi panggilan jiwa bagi setiap Muslim dalam praktik spiritualitas sehari-hari. 

Seseorang mungkin merasa tidak berdaya mengubah kebijakan nasional, tetapi ia memiliki kuasa penuh untuk menanam pohon di halaman rumahnya atau memungut sampah di lingkungannya sebagai sebuah bentuk dzikir dan pengakuan akan Tuhan sebagai Rabb al-‘Ālamīn. Ini adalah sebuah strategi yang berpotensi melepaskan gelombang partisipasi massa yang berakar pada kesalehan personal—sebuah kekuatan yang jauh lebih dahsyat di tengah masyarakat Indonesia dibandingkan seruan-seruan sekuler semata.

Pada akhirnya, sebuah pertanyaan besar tetap menggantung: mampukah sebuah buku tafsir, sekalipun didukung penuh oleh negara, mengubah arah kerusakan lingkungan yang telah digerakkan oleh mesin ekonomi dan politik yang begitu perkasa?

Tentu saja, menata ulang teologi bukanlah solusi tunggal. Namun, ia adalah langkah pertama yang paling fundamental dan tak terhindarkan. Kebijakan dan teknologi secanggih apa pun akan rapuh jika tidak ditopang oleh pergeseran kesadaran dan sistem nilai di tingkat kolektif. Buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi adalah sebuah ikhtiar serius untuk memantik pergeseran itu dari jantung identitas budaya dan spiritual bangsa Indonesia.

Ia mengajak kita kembali membaca “kitab alam” yang terhampar luas. Setelah berpuluh-puluh tahun kita merobek halaman-halamannya dan mengabaikan peringatan-peringatannya, pertanyaan yang tersisa kini adalah: bersediakah kita belajar membacanya kembali, bukan dengan mata seorang penakluk, tetapi dengan hati seorang khalifah?

Inovasi Padpals: solusi mahasiswa Unpad dalam menghadapi limbah pembalut

Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) merancang solusi inovatif Padpals untuk mengatasi limbah pembalut. (Unpad)
Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) merancang solusi inovatif Padpals untuk mengatasi limbah pembalut. (Unpad)

Masalah limbah pembalut sekali pakai telah menjadi perhatian serius bagi keberlanjutan lingkungan. Di Indonesia, limbah ini sering kali terlupakan, meski dampaknya terhadap ekosistem sangat besar. Untuk itu, mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) merancang solusi inovatif yang dikenal dengan nama Padpals.

“Solusi sederhana namun efektif ini bertujuan mengatasi masalah pembuangan pembalut sekali pakai yang kerap mencemari lingkungan,” demikian keterangan resmi yakses dari laman Unpad, Minggu (12/10/2025).

Padpals adalah kantong pembungkus limbah pembalut yang dirancang dengan material ramah lingkungan. Produk ini tidak hanya higienis dan praktis, tetapi juga terbuat dari plastik biodegradable berbahan dasar singkong yang dapat terurai secara alami. Bahan tersebut mengurangi dampak negatif terhadap tanah dan air, menjadikannya pilihan yang lebih berkelanjutan. Selain itu, Padpals mengandung mikroba pengurai yang dapat mempercepat proses degradasi pembalut.

Inovasi ini berasal dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) di bidang kewirausahaan, yang didanai oleh Kemendikbudristek. Tim yang terlibat, yang terdiri dari Kayyisah Amani, Felisya Ataya Islami, Karina Deswita, dan Tasnim Mumtaza, bekerja di bawah bimbingan Asri Peni Wulandari.

Mereka tidak hanya mengembangkan produk ini, tetapi juga aktif mengedukasi masyarakat mengenai cara pembuangan pembalut yang benar dan dampaknya terhadap lingkungan.

Sebagai inovasi pertama di Indonesia, Padpals memiliki empat keunggulan utama: bahan biodegradable yang aman untuk lingkungan, mikroba pengurai untuk mempercepat proses degradasi, eco-friendly, dirancang agar tidak mencemari tanah atau air, dan praktis dan higienis, menjaga kebersihan dan kenyamanan pengguna.

Padpals adalah contoh nyata bagaimana inovasi mahasiswa dapat memberi solusi konkret terhadap persoalan lingkungan. Harapannya, produk ini dapat terus berkembang melalui kolaborasi dengan produsen pembalut dan ritel besar, sehingga lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.

Dengan semangat “Dari Daur Hidup ke Daur Bumi”, Padpals ingin menunjukkan bahwa langkah kecil dapat membawa perubahan besar. Menjaga lingkungan dimulai dari perhatian terhadap hal-hal kecil, seperti cara pembuangan pembalut yang ramah lingkungan.

Wujudkan Komitmen Kampus Hijau

Sebagai bagian dari komitmennya untuk mendukung keberlanjutan, Universitas Padjadjaran (Unpad) meresmikan Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) di Ciparanje, Jatinangor. Peresmian dilakukan pada Rabu, 9 Juli 2025, dengan pengguntingan pita oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan dan Rektor Unpad Arief Sjamsulaksan Kartasasmita.

TPS 3R Ciparanje ini bertujuan untuk mengolah sampah yang dihasilkan oleh sivitas akademika Unpad dan sekitarnya, sehingga sampah dapat diolah menjadi produk baru yang bermanfaat. Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Jabar Erwan Setiawan mengapresiasi keberadaan TPS 3R, yang diharapkan dapat menekan jumlah sampah dan meningkatkan kesadaran tentang pengelolaan sampah di wilayah Jatinangor dan sekitarnya.

Saat ini, TPS 3R Ciparanje Unpad memiliki kapasitas untuk mengolah 4-6 ton sampah per hari. Rektor Unpad berharap kapasitas ini akan terus berkembang, tidak hanya untuk mengatasi sampah di lingkungan Unpad, tetapi juga untuk membantu mengatasi permasalahan sampah di Jatinangor dan sekitarnya.

Peresmian TPS 3R ini merupakan bagian dari komitmen Unpad terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pada aspek pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan menciptakan lingkungan yang lebih baik. Selain itu, langkah ini mendukung PIP Unpad dan turut serta dalam pencapaian SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), SDG 7 (Energi Bersih dan Terjangkau), SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan), serta SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan).

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa segera meningkatkan presentasinya hingga berkali-kali lipat. Dengan demikian nanti tidak hanya sampah di lingkungan Unpad saja yang bisa kita tanggulangi, tetapi juga sampah-sampah di luar Unpad, sehingga Unpad dapat lebih bermanfaat lagi di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Barat,” jelas Rektor.

Dengan adanya TPS 3R Ciparanje, Unpad berharap dapat memberi manfaat tidak hanya bagi sivitas akademika, tetapi juga bagi masyarakat sekitar Jatinangor dan seluruh wilayah Jawa Barat.

Sonic/Panic Volume 3, keberlanjutan kolaborasi musisi untuk selamatkan bumi

Alarm Records meluncurkan album kompilasi sonic/panic Vol. 3, yang menghadirkan 15 lagu dari 15 musisi lintas genre di Indonesia. Album ini berisi peringatan untuk menghadapi krisis iklim yang semakin nyata. Juga, seruan untuk bikin kebijakan yang lebih berpihak pada kondisi bumi.

Musisi yang ikut berpartisipasi di antaranya Ave the Artist, Bunyi Waktu Luang, Chicco Jerikho, Egi Virgiawan, Kunto Aji, Majelis Lidah Berduri, Manja, Peach, Reality Club, Scaller, Sukatani, Teddy Adhitya, The Brandals, The Melting Minds, dan Usman and The Blackstones.

Sebagai bagian dari rangkaian peluncuran, pada 2 Oktober 2025 di Georgetown SFS Asia Pacific, Jakarta, Alarm Records menggelar konferensi pers dan showcase eksklusif pra-rilis. Acara ini juga hadirkan penampilan spesial dari Reality Club dan Usman and The Blackstones, yang membawakan lagu terbaru mereka.

Selain itu, ada pula pemutaran dua single pertama, yang masing-masing diciptakan musisi pop-folk, Kunto Aji berjudul ‘Manusia Terakhir di Bumi’, dan lagu karya Sukatani yang bertajuk ‘Kebangkitan’.

Fathia Izzati, vokalis Reality Club menceritakan, Sonic/panic Vol.3 lahir dari rangkaian lokakarya IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) yang digelar di Ubud, Bali, Juni lalu.

Lokakarya ini memberinya wawasan komprehensif tentang ancaman yang dihadapi bumi. Situasi itu kemudian memberinya pengalaman baru untuk menulis lagu dengan tema lingkungan hidup.

“Saat menulis lagu tentang iklim, energinya juga berbeda, lebih emosional dan penuh amarah dibanding lagu cinta biasanya. Aku juga nggak sabar, kalau boleh bawain lagu ini bukan hanya di IKLIM Fest, tapi juga di panggung-panggung Reality Club lainnya.”

Kunto Aji, solois yang juga terlibat bilang ada rasa sedih sekaligus optimisme yang dia dapat dari lokakarya IKLIM. Meski tahu krisis iklim bikin bumi makin rentan, ia ingin berkontribusi dengan caranya, untuk keselamatan generasi mendatang.

“Ada rasa sedih melihat kerusakan yang sudah terjadi, tapi juga ada harapan ketika membayangkan optimisme mereka. Momentum ini mendorong saya untuk menulis sesuatu yang lebih serius.”

Semangat serupa disampaikan Usman Hamid, aktivis sekaligus vokalis Usman and The Blackstones. Dia percaya, pesan-pesan persuasif dan emosional yang terkandung dalam musik bisa jadi solusi alternatif untuk perkuat advokasi lingkungan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

 “Kata-kata dan data tidak selalu mampu menggugah mereka yang memegang kekuasaan. Musik bisa jadi jalan baru, karena ia tidak hanya bicara soal estetika, tapi juga membawa emotional persuasion yang kuat.”

Festival musik berkelanjutan

Tahun ini, sonic/panic Vol. 3 hadir dengan semangat yang semakin meluas. Setelah tahun-tahun sebelumnya dirayakan di Bali, peluncuran album kompilasi ini akan dihelat bersamaan dengan festival musik Rock In Celebes, 1–2 November 2025 di Makassar.

Rock In Celebes berkolaborasi dengan IKLIM Fest untuk menghadirkan festival musik yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan sadar iklim.

Ardy Siji, founder sekaligus promotor Rock In Celebes mengatakan, setelah 16 tahun pagelaran, festival musik tahunan terbesar di Indonesia timur itu ingin berkontribusi lebih. Soalnya, dia menilai, festival musik merupakan ruang yang punya pengaruh besar, bukan hanya untuk pertunjukkan karya, tetapi juga menyuarakan perubahan.

“Karena itu, berkolaborasi dengan IKLIM tahun ini terasa sangat tepat, kami ingin menjadikan Rock In Celebes sebagai festival yang lebih berkelanjutan dan mengajak audiens untuk ikut peduli pada masa depan bersama.”

Sonic/panic Vol. 3 adalah bagian dari gerakan Music Declare Emergency (MDE) Indonesia, yang diluncurkan pada 22 April 2023. Dengan kampanye No Music on a Dead Planet, mereka ingin ajak masyarakat untuk peduli dan mengarusutamakan isu krisis iklim, lewat seni dan musik.

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup di Sumba, 20 September ditetapkasn sebagai Hari Keadilan Ekologis

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025. (Sumber: Walhi)
Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025. (Sumber: Walhi)

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025 menjadi ruang penting untuk refleksi mendalam terkait upaya pemulihan lingkungan. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, pada Sabtu, 20 September, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama jaringan organisasi internasional menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Keadilan Ekologis.

Penetapan Hari Keadilan Ekologis menjadi langkah simbolis sekaligus strategis yang menekankan pentingnya kebijakan nyata untuk memulihkan lingkungan. Momen ini diharapkan tidak berhenti pada seremoni tahunan semata.

Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, menegaskan bahwa momentum ini harus dimaknai sebagai penguatan konsolidasi gerakan lingkungan, memperluas aliansi lintas sektor maupun lintas negara, serta menekan kebijakan yang menghentikan perusakan alam dan penindasan terhadap rakyat. 

Menurutnya, jika kepentingan ekonomi terus dibiarkan merusak ekosistem, maka tidak hanya lingkungan yang hancur, melainkan juga peradaban manusia.

“Hari Keadilan Ekologis bukanlah perayaan seremonial, melainkan titik balik bagi setiap bangsa dan negara. Jika ingin mewariskan bumi yang lebih baik kepada generasi mendatang, kita harus mengubah cara pandang dan cara hidup dalam membangun peradaban,” ujar Zenzi, dalam keterangan resmi. 

Dengan demikian, Hari Keadilan Ekologis diharapkan menjadi momen yang mengingatkan seluruh bangsa bahwa pembangunan seharusnya beradaptasi dengan alam, bukan justru menghancurkannya.

Dalam rangkaian penetapan Hari Keadilan Ekologis, sebuah tugu juga didirikan sebagai penanda sekaligus memorial yang sarat makna. Tugu ini bukan sekadar simbol fisik, melainkan pengingat kolektif bahwa perjuangan menjaga bumi adalah warisan lintas generasi. 

Kehadirannya diharapkan menjadi ruang refleksi bagi siapa pun yang melihatnya, agar sadar bahwa setiap tindakan manusia terhadap alam akan meninggalkan jejak bagi masa depan. 

Dengan berdirinya tugu tersebut, Hari Keadilan Ekologis tak hanya hidup dalam agenda tahunan, tetapi juga mengakar dalam ingatan publik sebagai komitmen bersama untuk merawat bumi.

Dipilih Pulau Sumba

Pulau Sumba dipilih bukan tanpa alasan. Pulau ini merepresentasikan salah satu ekosistem esensial di Indonesia dengan bentangan savana yang luas dan khas, sekaligus menyimpan kearifan lokal masyarakat pulau-pulau kecil yang hidup selaras dengan alam. 

Di Sumba, masih terjaga tujuh sendi kehidupan nusantara yang menjadi fondasi harmoni antara manusia dan lingkungannya. 

Masyarakat Pulau Sumba mampu menjaga warisan berharga berupa tujuh sendi peradaban nusantara yang masih hidup hingga kini. Sistem pangan lokal yang bertumpu pada kemandirian, tradisi menenun yang kaya makna simbolis, hingga arsitektur rumah tradisional yang selaras dengan alam menjadi bukti kuatnya ikatan mereka dengan kearifan leluhur. 

Semua itu bukan sekadar tradisi yang dilestarikan, melainkan juga wujud nyata bagaimana manusia bisa membangun peradaban tanpa merusak lingkungan, melainkan beradaptasi dan hidup berdampingan dengan alam.

Karena itu, tak heran jika sebanyak 780 aktivis, anggota Walhi, jaringan organisasi tani, hingga komunitas nelayan berkumpul, berharap dapat menyerap pengetahuan, mendapatkan pembelajaran, serta menjadikan Sumba sebagai referensi nyata dalam upaya pemulihan lingkungan. 

“Jika ada satu contoh tempat yang menunjukkan bagaimana alam dan manusia bisa bertahan bersama, maka Sumba adalah jawabannya,” ucap Zenzi.

PNLH yang digelar setiap empat tahun sekali selalu menjadi momentum penting, bukan hanya sebagai pekan nasional lingkungan hidup, tetapi juga sebagai ruang interaksi aktif antara masyarakat sipil, jaringan organisasi, dan Pemerintah. 

Di forum ini, berbagai persoalan lingkungan dari setiap daerah dibawa ke meja bersama untuk didengar, dipelajari, dan diserap sebagai pengetahuan kolektif. Setelah itu, fase kedua menjadi ruang internal bagi Walhi untuk merumuskan jalan keluar (upaya tanding), menyusun program kerja strategis, sekaligus menentukan arah perjuangan organisasi di masa depan. 

Pada tahap inilah konsolidasi diperkuat, program-program baru dirancang, dan kader-kader Walhi yang mumpuni serta dipercaya dipilih untuk memimpin dan memastikan perjuangan menjaga lingkungan terus berlanjut secara berkesinambungan.

Di momen sambutan pada acara pembukaan, Zenzi menuturkan sebanyak 129 organisasi yang tergabung dalam forum Walhi hadir dengan membawa beragam isu mulai dari demokrasi, perempuan, hingga pengakuan masyarakat adat. 

Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan yang mereka tempuh bukan sekadar untuk memenuhi mandat organisasi, melainkan juga untuk menghantarkan mandat “kampung semesta” yang berupa sebuah amanah kolektif yang juga mewakili suara perempuan, orang tua, bahkan anak-anak yang mungkin tak sempat hadir dalam kesempatan ini.

“Semangat itulah yang diharapkan terus diletakkan di atas meja perjuangan forum, sebagai energi yang menyatukan,” imbuh Zenzi.

Turut hadir dalam momentum bersejarah ini sejumlah tokoh penting yang menegaskan kuatnya dukungan lintas sektor terhadap agenda pemulihan lingkungan. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Bachtiar Najamudin hadir memberikan dukungan politik dan moral, didampingi Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan. 

Kehadiran Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Wulla, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga warisan alam Sumba. Sementara itu, musikus sekaligus aktivis lingkungan Nugie menambahkan warna dengan kekuatan seni dan budaya, menunjukkan bahwa perjuangan menjaga bumi tak hanya bisa disuarakan melalui kebijakan, tetapi juga melalui nada, karya, dan ekspresi yang menyentuh hati.

Home Maps Network Search