Senyum itu nyaris tak pernah lepas dari wajah Mercy Fitry Yana sore itu. Sembari jemarinya menyentuh dompolan buah kopi yang padat di kebunnya di Desa Tebat Tenong Luar, Rejang Lebong, Bengkulu, ia menceritakan perubahan besar yang membuatnya begitu bahagia.
Mercy adalah salah satu dari banyak perempuan petani yang kini merasakan langsung dampak positif dari apa yang mereka sebut “Kebun Kopi Tangguh Iklim”. Ia adalah anggota sekaligus Sekretaris Koalisi Perempuan Petani Kopi Desa Kopi Tangguh Iklim (Koppi Sakti) Bengkulu.
Sambil mengajak kami berkeliling kebunnya yang kini tampak lebih hijau dan subur, Mercy menunjuk ke arah buah kopi selang (buah di luar musim panen).
“Seperti inilah penampakan buah selangnya. Jauh berbeda dengan tahun lalu,” ujar Mercy, didampingi suaminya, Alto Kahirjat. Buahnya begitu lebat dan sehat, pemandangan yang tak biasa untuk buah di luar musim.
“Bahkan, beberapa petani kopi yang sempat mampir ke sini (kebun kopinya) mengatakan mirip dengan buah musim. Mudah-mudahan kondisi buahnya tetap bagus sampai waktu siap dipanen,” katanya penuh harap.
Harapan Mercy bukan tanpa alasan. Perubahan di kebunnya bukan sekadar ilusi. Angka-angka panen musim ini berbicara jelas.
Tahun lalu, Mercy hanya bisa mengumpulkan 25 karung kopi (ukuran 50 kg) dari kebunnya. Tahun ini, hasil panennya melonjak signifikan menjadi 43 karung. Peningkatan hasil juga terasa hingga panen “buah ujung” atau petik ketiga.
“Baru sekitar seminggu selesai panen buah ujung. Hasil yang diperoleh 7 karung. Kalau hasil panen buah ujung tahun lalu, hanya 4 karung,” jelasnya. “Namun, isi karung hasil panen tahun lalu tidak sebanyak isi karung hasil panen buah ujung pada tahun ini.”
Jawaban atas krisis iklim
Perubahan drastis ini adalah buah dari kerja kolektif para perempuan di Koppi Sakti. Mereka bersepakat untuk kembali ke praktik-praktik kearifan lokal yang sempat ditinggalkan, sebuah jawaban nyata untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim yang kian terasa.
Mercy menjelaskan, Kebun Kopi Tangguh Iklim yang mereka bangun berarti mengucapkan selamat tinggal pada herbisida kimia untuk mengendalikan rumput. Mereka juga berhenti membakar sisa-sisa tanaman.
Sebagai gantinya, para perempuan ini menghidupkan kembali tanah mereka. Rerumputan, ranting, dan dedaunan kopi yang gugur kini diolah menjadi mulsa organik. Sekam (kulit kering) kopi yang dulu terbuang, kini disulap menjadi pupuk organik yang kaya nutrisi.
Mereka juga membuat “lubang angin” atau rorak mini di sekujur kebun. Lubang-lubang ini berfungsi sebagai penampung air hujan sekaligus ‘pabrik’ kompos alami, mengurai bahan organik langsung di tempat.
Hasilnya, kesehatan kebun pulih. Mercy bercerita, kini buah kopinya tidak lagi banyak yang busuk sebelah atau berlubang. Kulit buahnya tampak lebih mengkilap, dan buahnya terasa lebih padat dan berat.
Mercy Fitry Yana membuat pupuk organik di lubang angin dengan memanfaatkan rerumputan, dedaunan dan reranting pohon kopi dan pohon lainnya yang sebelumnya diimanfaatkan sebagai mulsa organik. Foto: Dedek Hendry
Perubahan itu tak hanya terjadi pada buah. “Perubahan lainnya, batang menjadi kokoh, batang dan cabang tidak mudah patah, akar tidak mudah tercerabut, dan dedaunan menjadi rimbun dan berwarna hijau pekat,” tutur Mercy.
Ia mengenang kondisi kebunnya sebelum berubah. “Sebelumnya, kalau batang digoyang, pangkal batang ikut bergoyang, dan akar di sekitar pangkal batang ikut bergoyang seperti mau tercerabut,” katanya.
Inisiatif para perempuan ini tidak berhenti di situ. Di bawah bendera Koppi Sakti, yang juga digawangi oleh Ketua Nurlela Wati dan Bendahara Julian Novianti, mereka bersepakat menerapkan kembali pola polikultur.
“Untuk mengembangkan pola polikultur, Koppi Sakti Desa Tebat Tenong Luar bersepakat menanam nangka, durian, alpukat, jengkol, petai, kabau atau pohon lainnya yang menjadi pohon pelindung pohon kopi,” terang Mercy.
Pohon-pohon pelindung ini tak hanya menjaga kelembapan tanah dan melindungi kopi dari terik matahari, tetapi juga akan menjadi sumber pendapatan tambahan di masa depan.
Tak hanya pohon besar, lahan di sela-sela kopi pun kini produktif. “Selain sudah menanam pohon durian, alpukat, nangka, jengkol dan kabau, saya juga sudah menanam cabai rawit dan jahe, dan akan menanam terong, lengkuas dan serai di kebun kopi,” tambah Mercy.
Bagi Mercy dan perempuan petani kopi lainnya, kebun kini bukan lagi sekadar tempat menanam satu komoditas. Kebun telah menjadi ekosistem yang hidup, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan mereka menghadapi ketidakpastian iklim.
“Optimis dengan Kebun Kopi Tangguh Iklim yang dibangun,” kata Mercy, senyumnya kembali merekah. Sebuah senyuman yang mewakili optimisme baru para perempuan penjaga bumi di Rejang Lebong.
Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan LiveBengkulu
Di sebuah lembah yang diapit denyut modernitas Kota Cimahi, Jawa Barat pagi di Kampung Adat Cireundeu datang dengan ritme yang berbeda. Udara sejuk membawa aroma tanah basah dan asap tipis dari dapur-dapur sederhana. Di sini, di tengah hiruk pikuk berita nasional tentang harga beras yang melonjak, ancaman El Niño yang mengeringkan sawah, dan kapal-kapal yang mengangkut beras impor, ada ketenangan yang hampir terasa janggal.
Ketenangan itu terhidang dalam sebuah mangkuk: semangkuk rasi, atau beras singkong, yang mengepul hangat. Teksturnya yang sedikit kenyal, dengan aroma khas yang lembut, menjadi pusat dari meja makan keluarga, sebuah jangkar tradisi yang telah bertahan lebih dari satu abad.
Di teras rumahnya yang sederhana, Abah Widi, seorang sesepuh berusia 63 tahun dengan sorot mata teduh, memandang kampungnya dengan rasa syukur. Ia bukan penjaga relik masa lalu, melainkan seorang kustodian dari masa kini yang tangguh. Baginya dan bagi sekitar 60 kepala keluarga di Cireundeu, kepanikan akan beras adalah sebuah gema dari dunia lain.
Sejak 1918, komunitas penganut kepercayaan Sunda Wiwitan ini telah terinsulasi dari guncangan sistem pangan global. Mereka tidak menanam padi, tidak membeli beras, dan tidak merasakan kecemasan yang melanda jutaan saudara sebangsanya. Pilihan mereka untuk hidup dari sampeu (singkong) bukanlah sebuah keterbatasan, melainkan sebuah pernyataan kemerdekaan.
Kisah Cireundeu adalah sebuah antitesis yang tajam terhadap narasi pangan nasional. Ketika pemerintah berjuang menstabilkan harga dan stok beras, warga Cireundeu justru menemukan keamanan dalam umbi-umbian yang tumbuh subur di lahan mereka. Kemandirian ini melahirkan sebuah intuisi kolektif yang menjadi perisai tak terlihat. Abah Widi menggambarkannya dengan sederhana namun mendalam.
“Warga adat Cireundeu mah seperti sudah punya naluri kalau berbelanja atau membeli makanan di luar yang terbuat dari beras. Apalagi di sini mah enggak ada yang namanya kasus beras plastik,” katanya.
Pernyataan ini melampaui sekadar preferensi diet. “Naluri” yang disebut Abah Widi adalah bentuk pengetahuan budaya yang terinternalisasi, sebuah kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini adalah mekanisme pertahanan otomatis yang melindungi mereka dari kerapuhan sistem pangan industri.
Kasus “beras plastik” yang pernah menghebohkan adalah gejala dari rantai pasok yang panjang, tidak transparan, dan rentan terhadap penipuan—sebuah realitas yang sama sekali asing bagi komunitas yang menanam, memanen, dan mengolah makanannya sendiri.
Dengan demikian, tradisi mereka bukanlah tentang kekurangan (tidak makan nasi), melainkan sebuah bentuk manajemen risiko yang canggih. Di tengah ancaman krisis iklim dan ketidakpastian pasar global, praktik hidup Cireundeu yang berakar pada kearifan lokal menawarkan sebuah visi yang kuat tentang resiliensi sejati, sebuah konsep yang menjadi inti dari pencarian solusi lingkungan.
Untuk memahami mengapa semangkuk rasi memiliki makna yang begitu dalam bagi masyarakat Cireundeu, kita harus kembali ke tahun 1918. Momen itu bukanlah sekadar peralihan menu, melainkan sebuah titik balik yang lahir dari penindasan dan semangat untuk bertahan hidup. Keputusan untuk meninggalkan beras adalah sebuah tindakan politis yang sadar, sebuah strategi perlawanan terhadap kekuatan kolonial yang mencengkeram tanah air.
Abah Widi, sebagai pewaris cerita lisan para leluhurnya, menuturkan akar sejarah ini dengan gamblang. “Penjajah kan dulu ambil hasil bumi dan lahan, supaya pribumi kelaparan dan tak bisa menggarap lahan sendiri. Makanya sesepuh Cirendeu dulu memberikan pemahaman tentang cara bertahan hidup yang tidak bergantung pada beras,” jelasnya.
Dalam kalimat tersebut, terungkap sebuah logika perlawanan yang brilian. Ketika sawah-sawah dirampas dan padi menjadi komoditas yang dikontrol oleh penjajah, ketergantungan pada beras sama artinya dengan menyerahkan nasib pada penindas. Para tetua Cireundeu saat itu menyadari bahwa kedaulatan sejati dimulai dari perut. Dengan melepaskan diri dari beras, mereka memutus salah satu rantai kendali kolonial.
Langkah ini bukanlah sekadar mengganti satu sumber karbohidrat dengan yang lain. Ini adalah sebuah strategi diversifikasi pangan yang cermat untuk memastikan kelangsungan hidup. “Sejak 1918 warga di sini mulai beralih makanan pokok dari beras ke hasil pertaninan yang lain, seperti singkong, ganyol, anjeli, jagung, hingga talas,” tambah Abah Widi.
Pilihan untuk beralih ke umbi-umbian dan biji-bijian lokal yang kurang menarik secara komersial bagi penjajah adalah sebuah langkah untuk merebut kembali kendali atas subsistensi mereka. Ini adalah tindakan “dekolonisasi pola makan” yang radikal, sebuah penegasan identitas dan kemandirian di tengah upaya penghapusan budaya dan eksploitasi ekonomi.
Warisan perlawanan ini telah terpatri dalam DNA komunal Cireundeu. Ia membentuk cara mereka memandang dunia, hubungan mereka dengan tanah, dan keteguhan mereka dalam menghadapi tekanan eksternal. Semangat kemandirian yang lahir dari penindasan kolonial kini termanifestasi dalam ketahanan mereka menghadapi “penjajahan” bentuk baru: ketergantungan pada pasar global dan sistem pangan industri.
Jika dulu mereka melawan kontrol atas lahan, kini mereka secara tidak langsung melawan volatilitas harga komoditas global, ancaman residu pestisida, dan erosi keanekaragaman hayati.
Sejarah perlawanan Cireundeu lebih dari sekadar catatan masa lalu; ia adalah model hidup tentang bagaimana kedaulatan pangan dapat menjadi fondasi bagi kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebuah narasi yang sangat relevan dengan isu-isu lingkungan dan sosial saat ini.
Filosofi singkong Pilihan masyarakat Cireundeu untuk hidup dari singkong bukanlah semata-mata keputusan pragmatis yang lahir dari sejarah. Ia tertanam dalam sebuah filosofi yang kaya dan pandangan dunia ekologis yang mendalam, yang bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan. Bagi mereka, makanan tidak dapat dipisahkan dari kosmos, dan cara mereka berinteraksi dengan sampeu mencerminkan hubungan yang penuh hormat dengan alam semesta.
Abah Widi menguraikan perbedaan filosofis ini melalui bahasa. “Kalau diselami secara bahasa, pare (padi) itu kan parab anu rea (makanan yang banyak), nah kalau sampeu, ya sampeureun harus didatangi,” tuturnya.
Analisis linguistik sederhana ini membuka jendela menuju pandangan dunia yang berbeda secara fundamental. Pare, sebagai “makanan yang banyak,” menyiratkan sebuah komoditas massal, sesuatu yang tersedia melimpah dan seringkali diterima begitu saja. Sebaliknya, sampeu, yang harus “didatangi” (sampeureun), menuntut sebuah tindakan aktif, sebuah upaya sadar untuk mendekat, merawat, dan memanen. Filosofi ini menempatkan manusia bukan sebagai konsumen pasif, melainkan sebagai partisipan aktif dalam siklus kehidupan, yang harus menjalin hubungan timbal balik dengan sumber makanannya.
Pandangan dunia ini diperkuat oleh pepatah yang menjadi kompas hidup masyarakat Cireundeu: “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat,”.
Jika diterjemahkan, pepatah ini berarti, “Tidak Punya Sawah Asal Punya Padi, Tidak Punya Padi Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Bisa Menanak Nasi, Tidak Menanak Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat,”.
Ini adalah sebuah kerangka kerja resiliensi yang luar biasa. Pepatah ini mendekonstruksi obsesi terhadap satu jenis makanan (nasi) dan menyusun ulang prioritas kehidupan. Tujuan utamanya bukanlah nyangu (makan nasi), melainkan dahar (makan untuk hidup) dan, yang terpenting, kuat (memiliki kekuatan untuk menjalani hidup).
Secara tidak langsung, filosofi ini adalah sebuah kritik tajam terhadap kebijakan “berasisasi” atau “nasinisasi” yang digalakkan sejak era Orde Baru. Kebijakan tersebut menyamakan kemajuan dan kecukupan pangan dengan konsumsi beras, yang secara sistematis meminggirkan pangan lokal lain seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian yang selama berabad-abad menjadi tulang punggung pangan di berbagai wilayah nusantara. Cireundeu, dengan pepatahnya, menawarkan sebuah penawar filosofis: ketahanan sejati tidak terletak pada ketersediaan satu komoditas, melainkan pada kemampuan untuk bertahan dan menjadi kuat dengan apa pun yang disediakan oleh alam sekitar.
Ekologi kehidupan ini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga terwujud secara fisik dalam tata ruang kampung. Masyarakat Cireundeu menjaga tiga kawasan hutan dengan fungsi yang berbeda: Hutan Larangan (Leuweung Larangan) yang sakral dan tidak boleh dimasuki, Hutan Tutupan (Leuweung Tutupan) sebagai area resapan air dan penyangga ekosistem, dan Hutan Baladahan (Leuweung Baladahan) yang boleh dimanfaatkan untuk pertanian.
Sistem tiga hutan ini adalah paru-paru dan jantung komunitas, memastikan ketersediaan air bersih, menjaga iklim mikro, dan menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati. Ini adalah manifestasi nyata dari prinsip mipit kudu amit, ngala kudu bebeja—sebuah etika ekologis yang mengharuskan izin dan rasa hormat kepada alam sebelum mengambil hasilnya.
Di tengah gempuran modernitas, Cireundeu tidak menutup diri. Mereka menerima teknologi dan mendorong anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun, ada satu syarat mutlak, seperti yang ditekankan Abah Widi. “Cireundeu secara geografis bisa dibilang kampung adat yang ada di tengah kota. Gempuran teknologi dan pendidikan itu ada. Tapi yang jelas zaman sama saja dari dulu juga, yang mengubah ya manusia. Intinya jangan lupa bahasa ibu dan sejarah,” katanya.
Mereka mempraktikkan integrasi selektif, menyaring modernitas melalui filter kearifan leluhur, memastikan bahwa kemajuan tidak mencabut mereka dari akar budaya dan filosofi hidup yang telah terbukti membuat mereka kuat.
Jalinan sosial kedaulatan pangan Model ketahanan pangan Cireundeu tidak akan berfungsi tanpa adanya struktur sosial yang kuat untuk menopangnya. Di balik setiap mangkuk rasi yang tersaji, terdapat sebuah sistem komunal yang hidup, di mana gotong royong menjadi napasnya dan peran perempuan menjadi jantungnya. Ini adalah sebuah ekonomi yang digerakkan bukan oleh laba, melainkan oleh semangat untuk melestarikan budaya.
Prinsip kerja sama komunal adalah fondasi dari semua aktivitas di Cireundeu, mulai dari mengolah lahan hingga menyelenggarakan upacara adat. “Gotong royong adalah hal yang lumrah, ditambah peran perempuan di sini yang belajar mengolah hasil pertaninan hingga punya nilai ekonomis sangat berdampak pada ketahanan pangan,” tegas Abah Widi.
Pernyataan ini menyoroti dua pilar utama: kohesi sosial dan pemberdayaan perempuan. Gotong royong memastikan bahwa beban kerja terdistribusi dan tidak ada anggota masyarakat yang tertinggal, sementara inovasi yang dipimpin oleh para perempuan mengubah hasil panen menjadi produk bernilai tambah, memperkuat ekonomi lokal dari dalam.
Para perempuan di Cireundeu adalah motor penggerak ekonomi kreatif berbasis singkong. Melalui kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), mereka telah mengubah sampeu menjadi berbagai macam produk olahan yang lezat dan bergizi. Selain rasi sebagai makanan pokok, ada juga endog-endogan (semacam cimol), keripik, aneka kue, hingga tepung singkong serbaguna.
Kreativitas ini tidak hanya mendiversifikasi menu harian, tetapi juga menciptakan sumber pendapatan tambahan bagi keluarga. Ini adalah model pembangunan ekonomi dari bawah (grassroots) yang inklusif gender, di mana perempuan tidak hanya menjadi pengolah, tetapi juga inovator dan penjaga ketahanan pangan keluarga.
Namun, yang paling membedakan model ekonomi Cireundeu adalah filosofi yang mendasarinya. Di dunia yang terobsesi dengan pertumbuhan dan keuntungan, mereka menempatkan budaya di atas modal. Abah Widi menjelaskan prinsip ini dengan sangat jelas. “Di sini ada UMKM pangan singkong yang dikelola ibu-ibu. Kalau ditanya peluang bisnis memang besar dan ada pasarnya. Tapi, kami memegang prinsip ini adalah salah satu pelestarian budaya, untung atau rugi itu hal kesekian,” tuturnya.
Ini adalah sebuah pernyataan radikal yang menantang logika ekonomi konvensional. Prinsip “budaya dulu, untung kemudian” bukanlah sebuah sikap anti-ekonomi, melainkan sebuah strategi resiliensi jangka panjang yang lebih unggul. Model yang murni digerakkan oleh laba akan selalu rentan terhadap godaan jangka pendek: mengeksploitasi lahan secara berlebihan, beralih ke tanaman komersial yang lebih menguntungkan jika pasar berubah, atau menjual tanah kepada pengembang.
Semua tindakan ini, meskipun mungkin menguntungkan secara finansial dalam waktu singkat, pada akhirnya akan menghancurkan fondasi keberlanjutan mereka.
Dengan menjadikan pelestarian budaya sebagai tujuan utama, masyarakat Cireundeu secara tidak langsung melindungi aset mereka yang paling berharga: modal sosial (gotong royong), pengetahuan ekologis, dan kedaulatan atas tanah. Keuntungan ekonomi menjadi hasil sampingan yang bermanfaat, bukan tujuan yang menghalalkan segala cara. Ini menciptakan sebuah siklus yang saling menguatkan: budaya menopang ekonomi, dan ekonomi menopang budaya.
Ini adalah pelajaran mendalam tentang pembangunan berkelanjutan yang melampaui retorika tanggung jawab sosial perusahaan, menawarkan model ekonomi yang benar-benar berakar pada kesejahteraan komunal dan kelestarian ekologis. Tentu saja, di balik semua filosofi dan sistem yang kompleks ini, ada kenikmatan sederhana dari makanan itu sendiri.
“Memang lebih enak kalau pakai lauk, biar ada rasanya,” kata Abah Widi sambil tersenyum.
Komentar ini memanusiakan pengalaman mereka, mengingatkan kita bahwa di jantung kedaulatan pangan, ada juga kehangatan dan cita rasa dari hidangan yang disantap bersama.
Kisah Kampung Cireundeu lebih dari sekadar cerita unik tentang sebuah komunitas adat. Ia adalah sebuah studi kasus hidup yang menawarkan kritik mendalam dan solusi potensial bagi kebijakan pangan dan iklim nasional Indonesia. Melalui kearifan mereka yang bersahaja, masyarakat Cireundeu mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang arah pembangunan bangsa.
Kritik senyap ini paling tajam terdengar dalam pertanyaan reflektif Abah Widi. “Kadang saya mah suka bertanya, kenapa negeri yang tanahnya subur aja masih impor beras dari luar,” ungkapnya.
Pertanyaan ini, yang lahir dari pengalaman hidup selama lebih dari satu abad tanpa bergantung pada beras, menelanjangi paradoks utama dalam sistem pangan Indonesia. Sebuah negara agraris dengan tanah yang subur dan keanekaragaman hayati yang melimpah, namun sangat bergantung pada impor untuk makanan pokoknya. Pertanyaan Abah Widi bukanlah sekadar keluhan, melainkan sebuah tesis yang menuntut jawaban serius.
Untuk mengkontekstualisasikan pertanyaan tersebut, data nasional melukiskan gambaran yang suram. Indonesia secara konsisten mengimpor jutaan ton beras setiap tahun untuk menutupi defisit produksi dan menstabilkan harga. Ketergantungan ini membuat negara sangat rentan terhadap gejolak harga di pasar internasional dan perubahan kebijakan di negara-negara pengekspor.
Di sisi lain, pertanian padi monokultur yang masif memiliki dampak ekologis yang signifikan, termasuk emisi gas metana yang tinggi dari sawah tergenang, penggunaan air yang boros, dan hilangnya keanekaragaman hayati akibat penyeragaman lahan. Singkong dan umbi-umbian lainnya, sebaliknya, jauh lebih tahan terhadap kekeringan, membutuhkan lebih sedikit input, dan memiliki jejak karbon yang lebih rendah.
Namun, yang membuat perspektif Cireundeu begitu kuat adalah dimensi kemanusiaannya. Meskipun mereka aman dari krisis beras, mereka tidak hidup dalam gelembung isolasi. Ada empati yang mendalam terhadap sesama warga negara yang berjuang.
“Kami memang tidak terpengaruh soal naiknya harga beras, tapi Abah mah sok punya rasa peduli terhadap orang-orang yang kelaparan, tidak bisa beli beras, anaknya banyak. Karena yang disentuh itu rasa terhadap manusia,” kata Abah Widi.
Kedaulatan mereka tidak membuat mereka apatis; sebaliknya, ia mempertajam kepekaan sosial mereka. Mereka melihat penderitaan yang disebabkan oleh sistem yang rapuh dan mempertanyakan mengapa sistem tersebut terus dipertahankan.
Pada akhirnya, Abah Widi mengidentifikasi akar masalahnya bukan pada teknis pertanian atau kebijakan ekonomi semata, melainkan pada sesuatu yang lebih mendasar. “Tantangan serius adalah mengubah pola pikir. Kadang secara batin saya merasa kasihan terhadap orang-orang yang masih kelaparan karena tak bisa makan nasi. Padahal Cireundeu 107 tahun tidak makan nasi beras,” ujarnya.
“Pola pikir” yang dimaksud adalah dogma bahwa nasi adalah satu-satunya makanan yang layak, sebuah ideologi yang telah begitu mendarah daging sehingga kelaparan seringkali didefinisikan sebagai “belum makan nasi.” Cireundeu membuktikan bahwa definisi ini keliru. Selama lebih dari satu abad, mereka telah menunjukkan bahwa hidup yang bergizi, bermartabat, dan kuat sangat mungkin dijalani tanpa sebutir beras pun.
Masa depan Cireundeu, seperti halnya komunitas adat lainnya, tidak lepas dari tantangan. Namun, cara mereka menghadapi tantangan tersebut sekali lagi menunjukkan ketangguhan dan kearifan yang telah teruji oleh waktu. Kisah mereka diakhiri bukan dengan sebuah kesimpulan yang statis, melainkan dengan sebuah visi yang terbuka dan penuh harapan.
Salah satu tantangan terbesar adalah tekanan sosial dari dunia luar yang seringkali tidak memahami pilihan hidup mereka. Stigma terhadap makanan non-beras masih kuat di banyak tempat. Abah Widi mengenang pengalamannya sendiri.
“Abah ada cerita dulu waktu kecil pernah dipoyok (diolok-olok) karena dianggap aneh makan nasi singkong oleh teman sebaya. Setelah ditelaah ya itu wajar dan kami maklum. Sebetulnya juga tidak sedikit warga adat juga mengalami hal sama, tapi ya balik lagi, maklum,” katanya.
Sikap “maklum” ini bukanlah tanda kepasrahan, melainkan cerminan dari kepercayaan diri yang mendalam. Mereka tidak perlu validasi eksternal karena mereka tahu nilai dari tradisi yang mereka jalani.
Pada akhirnya, pesan terpenting dari Cireundeu adalah sebuah undangan untuk refleksi dan inspirasi. Harapan Abah Widi bukanlah agar seluruh Indonesia meniru Cireundeu secara harfiah, melainkan agar semangat kemandirian mereka direplikasi.
“Saya mah syukur-syukur ada Cireundeu-Cireundeu yang lain malahan,” pungkasnya.
Ini adalah sebuah panggilan bagi komunitas-komunitas lain di seluruh nusantara untuk kembali menggali kearifan pangan lokal mereka sendiri, untuk menemukan kembali “singkong,” “sagu,” atau “jagung,” mereka, dan membangun model kedaulatan pangan mereka sendiri yang sesuai dengan konteks ekologis dan budaya masing-masing.
Di tengah krisis iklim, pangan, dan energi yang saling berkelindan, dunia seringkali mencari solusi pada inovasi teknologi canggih atau kebijakan global yang rumit. Kisah Kampung Adat Cireundeu mengingatkan kita bahwa solusi yang paling radikal dan berkelanjutan mungkin tidak ditemukan di laboratorium atau ruang konferensi PBB, tetapi dalam kearifan sunyi sebuah komunitas yang telah mempraktikkan masa depan selama lebih dari satu abad.
Mereka mengajarkan bahwa ketahanan sejati tidak dibangun dari beton dan baja, tetapi dari tanah yang sehat, ikatan sosial yang kuat, dan filosofi hidup yang menghormati batas-batas alam. Cireundeu adalah bukti hidup bahwa jalan menuju masa depan yang lebih aman dan adil mungkin berarti melangkah mundur sejenak untuk menemukan kembali apa yang telah kita lupakan.
Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail saat menjenguk kasus keracunan massal akibat menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kecamatan Cipongkor, Selasa (23/9/2025). (Pemkab Bandung Barat)
Keracunan usai menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di Kabupaten Bandung Barat. Ratusan murid SMPN 1 Cisarua dilaporkan mendapat perawatan di posko darurat di sekolah, sebagian ke fasilitas-fasilitas kesehatan.
Sebelumnya, 22 September 2025 kejadian serupa menimpa para murid di dua kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, yakni Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas dengan jumlah korban mencapai lebih dari 1.000 orang.
Meski keracunan massal ini bisa ditangani oleh medis, tapi fakta bahwa ada masalah dalam penyelenggaraan MBG menjadi sorotan.
Menurut data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kasus keracunan akibat program MBG pada periode 29 September hingga 3 Oktober 2025 mencapai 1.883 siswa. Total siswa yang menjadi korban keracunan MBG di Indonesia hingga 4 Oktober 2025 tercatat mencapai 10.482 siswa.
Umumnya korban keracunan mengalami gejala mual, pusing, dan muntah setelah mengonsumsi MBG.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ) Tirta Prawita Sari menegaskan bahwa pengawasan terhadap gizi dan keamanan pangan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan program MBG.
Dokter Spesialis Gizi Klinik dan Ahli Nutrisi di Jakarta Selatan ini menganalisa, salah satu akar persoalan dalam pelaksanaan MBG terletak pada lemahnya pengawasan di tahap awal penyiapan makanan.
Menurutnya, dalam penyelenggaraan massal risiko penyimpangan kualitas gizi sangat besar apabila tidak ada kontrol ketat terhadap bahan, proses masak, hingga penyajian. Ketidaktepatan dalam satu tahapan dapat menurunkan nilai gizi dan bahkan menimbulkan risiko kesehatan.
“Indikator keberhasilan pelaksanaan MBG bisa dilihat dari dua sisi, yaitu proses dan hasil. Dari sisi proses, harus dipastikan bahwa makanan disiapkan sesuai panduan gizi seimbang dan prinsip keamanan pangan,” ujar Tirta, dalam keterangan resmi, diakses Kamis, 16 Oktober 2025.
Keamanan pangan jadi titik lemah
Kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa keamanan pangan masih menjadi titik lemah dalam pelaksanaan MBG. Banyak laporan menyebutkan bahwa makanan yang didistribusikan ke sekolah-sekolah sering kali sudah dalam kondisi tidak segar, bahkan beberapa disiapkan jauh sebelum jam makan siang. Kondisi tersebut menjadi celah bagi bakteri berbahaya untuk tumbuh, terutama jika suhu penyimpanan tidak terjaga.
“Keracunan bisa terjadi karena kontaminasi dengan zat atau bahan berbahaya lainnya atau kontaminasi dengan bahan atau alat yang sudah mengandung bakteri berbahaya. Selain itu penyimpanan bahan makanan yang sudah matang ataupun yang belum juga sangat krusial,” ujar Tirta.
Proses distribusi makanan ke sekolah yang berjarak jauh juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk menjaga keamanan pangan, makanan sebaiknya dimasak pada hari yang sama dan disajikan dalam keadaan hangat. Menu mentah seperti karedok atau lalapan sebaiknya dihindari dalam konteks catering massal karena berisiko membawa bakteri.
Menurut Tirta, solusi paling ideal adalah dengan melibatkan kantin sekolah dalam proses penyediaan makanan. Dengan begitu, makanan bisa langsung disajikan tanpa melalui perjalanan panjang yang berisiko menurunkan kualitas dan keamanannya.
Pemilihan dan pemanfaatan bahan pangan
Selain proses pengolahan, pemilihan bahan pangan juga menjadi faktor penting dalam menjaga kualitas gizi dan keamanan makanan. dr. Tirta menegaskan bahwa penggunaan bahan lokal yang segar dan mudah dijangkau merupakan langkah strategis untuk memastikan nilai gizi tetap terjaga. Dengan bahan lokal, selain lebih hemat biaya, menu juga dapat disesuaikan dengan kebiasaan konsumsi anak-anak di wilayah masing-masing.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan banyaknya menu MBG yang justru didominasi oleh makanan bertepung seperti chicken katsu, nugget, dan sosis. Makanan dalam kategori processed food tersebut masih bisa digunakan asal memenuhi standar keamanan dari BPOM serta memiliki label gizi yang jelas.
Namun, Tirta mengatakan produk tinggi protein dan serat serta mengandung tambahan vitamin dan mineral seharusnya menjadi menu utama MBG. Sebaliknya, makanan dengan kadar sodium, gula, dan lemak jenuh tinggi sebaiknya dihindari karena dapat berdampak negatif terhadap kesehatan anak bila dikonsumsi rutin.
Dengan keterbatasan anggaran dan logistik, pemanfaatan bahan pangan lokal menjadi solusi paling realistis. Selain memperkuat ekonomi daerah, bahan lokal juga lebih mudah dipantau dari segi kualitas dan keamanan.
Pemerintah disarankan melakukan kerja sama dengan petani atau pemasok bahan pangan setempat untuk memastikan pasokan tetap stabil dan memenuhi standar gizi seimbang. Pendekatan ini dinilai efektif tidak hanya untuk meningkatkan asupan gizi anak, tetapi juga memperkuat rantai pasok pangan yang berkelanjutan di tingkat daerah.
Sinergi sekolah dan orang tua
Tirta memaparkan bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya bergantung pada pemerintah atau penyedia katering, tetapi juga pada sinergi antara sekolah dan orang tua. Sekolah berperan dalam memastikan proses distribusi dan penyajian makanan berjalan sesuai standar kebersihan, sementara orang tua bertugas mendukung pola makan sehat di rumah.
Sekolah juga dapat berperan aktif dengan memberikan laporan rutin terkait kondisi makanan dan respon siswa terhadap menu MBG. Dengan adanya umpan balik langsung dari sekolah dan orang tua, pemerintah dapat melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan terhadap kualitas makanan yang disajikan. Pemerintah juga diharapkan dapat memastikan adanya pedoman/standar yang sudah disosialisasikan agar pengelola kateringnya bekerja sesuai standar.
Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat diharapkan dapat memperkuat sistem pengawasan program MBG agar benar-benar berjalan sesuai tujuan awalnya, yaitu memperbaiki status gizi siswa tanpa mengorbankan keamanan pangan.
Sebelumnya, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara atau memoratorium program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara menyeluruh. Keracunan makanan yang masih dialami siswa dan guru di berbagai daerah merupakan alarm yang mengindikasikan program ini perlu dievaluasi total.
Desakan evaluasi MBG
Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih mengatakan, kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es. Angka jumlah kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak karena pemerintah sejauh ini belum menyediakan dasbor pelaporan yang bisa diketahui publik.
“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” kata Diah, dalam keterangannya, 19 September 2025.
CISDI mencatat, beberapa peristiwa keracunan bahkan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) karena menimpa ratusan siswa. Kegiatan belajar menjadi lumpuh karena korban mesti dirawat di puskesmas maupun rumah sakit.
Selain itu, keracunan massal menimbulkan beban biaya tak terduga yang dibebankan pada pemerintah daerah, untuk membayar penanganan keracunan di rumah sakit daerah atau swasta setempat. Hal ini tentu memberatkan para pemerintah daerah. Terlebih, alokasi anggaran transfer ke daerah juga berkurang 24,7 persen dari Rp 864,1 triliun (APBN 2025) menjadi Rp 650 triliun (RAPBN 2026).
Meski dirancang untuk meningkatkan status gizi penerima manfaat, namun MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang dari aspek regulasi, keamanan pangan dan kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi.
Meski sudah berlangsung selama delapan bulan, program yang dijalankan terpusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini belum juga dilandasi oleh peraturan presiden sebagai payung hukum dan peraturan lainnya yang seharusnya tersedia. Dampaknya, tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak.
Diah mengatakan, absennya payung hukum MBG dan panduan teknis juga minimnya sistem pengawasan telah memicu berbagai macam persoalan di lapangan. Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.
“Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.
Diah menambahkan, maraknya kasus keracunan serta masifnya produk pangan ultra-proses dalam menu MBG juga merupakan bentuk pelanggaran hak penerima manfaat program ini, khususnya anak usia sekolah. Karenanya, CISDI mendesak pemerintah memenuhi hak penerima manfaat program MBG untuk memperoleh makan bergizi yang aman dan berkualitas.
Agar evaluasi berjalan efektif, pemerintah harus memoratorium program MBG terlebih dahulu. Klaim pemerintah bahwa program ini dapat disempurnakan sembari berjalan terbukti gagal karena kasus keracunan terus berulang dan bertambah.
Apabila pemerintah bersikukuh menjalankan MBG tanpa evaluasi total, dikhawatirkan kasus keracunan MBG akan terus terjadi dan mengancam kesehatan anak-anak. Sementara, upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak yang menjadi korban keracunan masih belum jelas.
Paralel dengan moratorium MBG, CISDI juga mendorong pemerintah segera mengatasi persoalan transparansi dan akuntabilitas yang selama ini menghambat publik untuk terlibat mengawasi pelaksanaan program ini.
“Sembari menjalankan moratorium, pemerintah perlu segera membuka kanal pelaporan dan memproses segera aduan publik sebagai langkah awal dari upaya pemulihan hak korban atas kerugian yang ditimbulkan dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak,” kata Diah.
Menurut Diah, akuntabilitas program MBG saat ini patut dipertanyakan. Dengan klaim telah berlangsung di 38 provinsi dengan jumlah penerima manfaat MBG diklaim mencapai 22 juta. Akan tetapi, angka tersebut tidak dapat diverifikasi karena minimnya informasi yang dapat diakses publik.
Modul tentang penelitian stunting yang dirancang para peneliti kampus USU. (USU)
Penelitian dari UISU dan USU mengembangkan modul edukasi dwibahasa bergambar yang efektif meningkatkan kesadaran stunting di kalangan ibu-ibu pedesaan Pulau Nias. Modul ini menggunakan pendekatan berbasis budaya lokal, visual, dan bahasa ibu untuk menyampaikan pesan kesehatan dengan empati.
Di tengah bentang perbukitan dan ladang hijau yang menghampar di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada sebuah persoalan besar yang diam-diam menggerogoti masa depan anak-anak. Tubuh-tubuh kecil yang pendek tak sesuai usianya, mata yang lesu meski hari baru dimulai, dan prestasi sekolah yang tertingga. Semuanya hanyalah permukaan dari satu kata: stunting.
Bagi sebagian masyarakat Nias, anak bertubuh pendek dianggap sebagai warisan dari orang tua, bukan sebagai sinyal darurat kesehatan yang perlu segera ditangani.
Namun pemahaman seperti itu kini mulai bergeser, bukan karena kedatangan alat canggih dari kota besar, tetapi berkat sebuah benda sederhana: modul bergambar dalam bahasa Nias.
Modul ini bukan buku biasa. Ia adalah jembatan antara pengetahuan medis dan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Ia lahir dari observasi tajam, diskusi hangat bersama ibu-ibu desa, dan hasrat kuat untuk menjangkau yang selama ini terabaikan.
Cashtri Meher dan Fotarisman Zaluchu dalam jurnal berjudul “Methods for Stunting Education in Impoverished Rural Areas Using Illustrated Modules in Local Languages”, membagikan kisah di balik layar penelitian yang kini dipublikasikan di jurnal MethodsX.
“Kami tidak bisa datang dengan bahasa formal dan ekspektasi bahwa semua orang akan mengerti. Di sini, edukasi harus dimulai dari yang paling dasar: bahasa ibu, visual, dan empati,” ujar Cashtri Meher, diakses dari laman USU, Kamis, 4 September 2025.
Langkah pertama mereka bukanlah menyusun teori, tapi datang dan mendengar langsung. Melalui enam Focus Group Discussion (FGD) di tiga wilayah Nias bagian Utara, Selatan, dan Gunungsitoli, tim mendengarkan cerita, mitos, dan kebingungan para ibu tentang stunting. Banyak dari mereka percaya stunting adalah bawaan genetik, tak ada kaitan dengan pola makan atau sanitasi.
“Itu bukan salah mereka,” ujar Fotarisman Zaluchu, penulis kedua yang juga seorang antropolog. “Informasi yang sampai ke mereka selama ini tidak pernah memakai bahasa mereka, tidak pernah memakai cara mereka memahami dunia.”
Dari hasil FGD dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat serta tenaga kesehatan, terungkap satu kebutuhan mendesak: media edukasi yang berakar dari konteks lokal. Maka lahirlah ide untuk membuat modul ilustrasi dwibahasa, dengan narasi dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan cermat ke dalam bahasa Nias, dilengkapi gambar-gambar yang menggambarkan suasana dan karakter lokal: ibu yang sedang menumbuk padi, ayah yang mencangkul di ladang, balita yang digendong dengan kain tradisional.
Proses penerjemahan bukan sekadar alih bahasa, tapi alih makna budaya. Setiap kalimat dibahas secara saksama bersama penerjemah dan warga lokal, memastikan bahwa setiap pesan tentang gizi, air bersih, dan pola asuh tidak hanya terdengar akrab, tapi juga bisa diterima dengan hati. Sementara itu, sang ilustrator diberi pengarahan agar setiap gambar menampilkan pakaian adat, lingkungan rumah khas Nias, dan ekspresi wajah yang ramah dan komunikatif.
“Kami ingin ibu-ibu melihat gambar itu dan berkata ini seperti saya,” ujar Cashtri sambil memperlihatkan halaman modul yang penuh warna.
Modul ini terdiri dari 29 halaman narasi, yang mencakup definisi stunting, tanda-tandanya seperti keterlambatan bicara atau malas bergerak, dampak jangka panjang seperti penyakit kronis dan putus sekolah, hingga anjuran praktis tentang pentingnya ASI eksklusif, makanan bergizi, keterlibatan ayah dalam merawat anak, dan pentingnya tidak membeda-bedakan anak perempuan dan laki-laki.
Hal paling menyentuh adalah bagaimana narasi-narasi ini tidak sekadar memberi tahu, tapi mengajak berdialog. Salah satu halaman misalnya menunjukkan seorang ayah yang sedang membantu istrinya memasak, dengan pesan yang berbunyi: “Suami yang membantu pekerjaan rumah bisa membuat istri lebih sehat selama hamil.” Di halaman lain, ditampilkan anak-anak yang sedang menimbang berat badan di Posyandu, menggambarkan pentingnya pemantauan tumbuh kembang.
Sebelum modul ini dicetak massal dan dibagikan di pertemuan komunitas dan gereja, tim melakukan pilot test dengan 30 ibu-ibu di tiga lokasi berbeda dari target program. Mereka diminta menilai modul berdasarkan delapan pertanyaan, mulai dari apakah bahasanya mudah dipahami, apakah gambarnya menarik, hingga apakah mereka akan mengikuti rekomendasi dalam modul.
Hasilnya luar biasa: nilai rata-rata mencapai 9,06 dari 10. Skor tertinggi diberikan pada aspek “modul bermanfaat” dan “modul penting dibaca orang lain”. Reaksi spontan peserta pun positif. Mereka tidak hanya membaca, tapi juga berdiskusi, bertanya, bahkan mulai mengingatkan sesama ibu tentang pentingnya makanan bergizi dan pemeriksaan kehamilan.
“Hal yang paling mengejutkan kami adalah bagaimana satu modul kecil ini bisa menyalakan percakapan di komunitas yang sebelumnya sunyi soal stunting. Bahasa mereka, cerita mereka, gambar yang seperti kehidupan mereka. Semuanya membuat modul ini hidup,” jelas Cashtri Meher.
Dari Pulau Nias menjadi arus utama
Namun keberhasilan ini tidak datang tanpa tantangan. Modul ini dirancang khusus untuk masyarakat berbahasa Nias, dan penerapannya sulit jika tidak melibatkan tim lokal yang memahami budaya dan bahasa daerah. Ini sekaligus menjadi kekuatan dan keterbatasannya. Tapi tim peneliti melihat ini sebagai prototipe. Sebuah model yang bisa diadaptasi untuk daerah lain dengan pendekatan yang serupa: berbasis budaya, visual, dan partisipasi warga lokal.
“Kami ingin modul seperti ini menjadi arus utama dalam pendidikan kesehatan masyarakat. Bukan hanya soal isi, tapi soal cara menyampaikan. Masyarakat berhak mendapatkan informasi dengan cara yang menghormati identitas mereka,” tutup Cashtri Meher.
Dalam dunia yang sering menyamakan pendidikan dengan ceramah atau poster formal, modul ini mengajarkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa pengetahuan harus dibungkus dengan empati, dihantar dalam bahasa ibu, dan disampaikan dengan gambar yang bisa membuat siapa pun tersenyum, lalu berpikir.
Di pedalaman Nias, satu modul kecil telah menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai bukan dari layar komputer atau pidato pejabat, tapi dari lembar demi lembar buku yang dibaca seorang ibu sambil menggendong anaknya.
Air minum merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, Ahmad Gunawan (47) yang mengaku sebagai konsumen air mineral galon selama 15 tahun.
Sebelum beralih ke air mineral galon, pria yang akrab disapa Iwano tersebut merupakan konsumen air mineral botol.
“Saya pindah dari air mineral botolan ke air mineral galon karena isi lebih banyak dan harga lebih ekonomis,” katanya saat ditemui Ekuatorial di kediamannya di Desa Ragajaya, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Minggu (17/8).
Dalam 4 tahun terakhir ini, Iwano lebih memilih menggunakan air mineral isi ulang langganan. Selain harga yang lebih murah, rasanya tidak jauh berbeda dengan air mineral galon merek ternama.
Tinggal berdua bersama istrinya, air mineral galon dengan kapasitas 19 liter tersebut habis dalam waktu dua hingga tiga hari. Dalam sebulan mereka mengkonsumsi kurang lebih 10 galon air mineral.
Galon air mineral yang dimilikinya berwarna biru muda. Iwano baru mendapatkannya sekitar tiga bulan lalu. Meski begitu, ia tidak mengetahui tentang bahaya galon lanjut usia (ganula).
Galon berwarna biru muda dipilih supaya dapat melihat secara jelas kualitas kejernihan air mineral. Termasuk bisa melihat kemungkinan adanya lumut di dinding dalam galon.
“Saya tidak tahu apakah ini galon lama atau baru. Terus terang saya baru tahu galon ada batas usia pakainya,” terangnya.
Pengusaha depot air mineral isi ulang, Sudarmaji (31) berpendapat serupa mengenai ketidaktahuannya atas informasi ganula. Sejak merintis usaha tersebut pada tahun 2023, agen resmi air mineral penyuplai ke deponya tidak pernah memberikan informasi tentang batas usia galon.
Sudarmaji mengaku sebanyak 70 persen galon miliknya merupakan galon lama berwarna biru tua dengan rata-rata usia 2-4 tahun dengan tahun produksi 2021 hingga 2023. Bahkan ada salah satu galon produksi tahun 2018. Sedangkan 30 persen lainnya adalah galon baru berwarna biru muda dengan tahun produksi rata-rata awal 2025.
Dari pengakuan para pelanggannya, hampir sebagian besar atau mayoritas konsumen justru menyukai galon lama berwarna biru tua. Alasannya, secara bahan lebih kuat dan kokoh, meskipun kualitas air di dalamnya tidak terlihat jelas.
Adapun galon jenis baru berwarna biru muda berdasarkan aspek kekuatan dinilai lebih mudah penyok, dan lebih ringan, serta kualitas air di dalam galon dapat terlihat secara jelas.
“Konsumen jarang menanyakan batas usia pakai galon yang digunakan. Konsumen justru lebih sering mempertanyakan keaslian produk air mineral,” ungkap Sudarmaji saat ditemui di deponya.
Sejauh ini, rata-rata pelanggan Sudarmaji melakukan isi ulang sebanyak 3 (tiga) kali dalam seminggu. Secara komulatif, per bulan rata-rata mengonsumsi 3-5 galon air mineral.
Konsumsi itu meliputi air mineral isi ulang maupun air mineral dari brand resmi. Angka rata-rata konsumsi air mineral juga turut dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga.
“Setelah saya tahu dampak bahaya galon lama, saya akan minta galon baru ke agen air mineral brand resmi untuk dilakukan peremajaan. Demi konsumen juga,” paparnya.
Batas aman penggunaan galon
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing menerangkan penggunaan galon guna ulang dianjurkan selama satu tahun atau 40 kali pengisian. Berdasarkan survei dan investigasi nasional yang dilakukan KKI pada akhir 2024 ditemukan sebanyak 40 persen galon guna ulang yang beredar masuk dalam kategori galon lanjut usia (ganula) dengan usia di atas dua tahun.
Survei yang menyasar responden perumahan, apartemen/rumah susun, perkampungan dan kosan tersebut tersebar di lima kota besar seperti Medan, Jakarta, Bali, Banjarmasin dan Manado. Hasilnya, sebanyak 83,7 persen responden tidak pernah memperhatikan informasi produksi pada galon karena letaknya di bagian bawah.
“Bagaimana konsumen bisa melihat kedaluwarsa galon kalau itu ada di bagian bawah galon? Kan gak mungkin kita angkat-angkat galon gede begini,” ujarnya.
David mengungkapkan, temuan KKI lainnya yang tidak kalah mengejutkan adalah sebanyak 43,4 persen responden tidak mengetahui Peraturan BPOM mengenai kewajiban produsen air mineral yang menggunakan galon polikarbonat untuk mencantumkan label peringatan adanya BPA.
Setelah responden diberikan penjelasan mengenai bahaya zat BPA, sebanyak 96 persen responden setuju agar pelabelan peringatan BPA dipercepat, tanpa menunggu hingga 2028 seperti yang direncanakan. Termasuk sebanyak 96,6 persen responden menginginkan aturan yang lebih ketat mengenai konsumsi air mineral galon.
Dengan kondisi tersebut, David mendesak pemerintah dan produsen air mineral untuk mempercepat kewajiban pelabelan risiko BPA dari sebelumnya empat tahun menjadi dua tahun berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024. BPOM dinilai juga perlu melakukan edukasi dan sosialisasi terhadap regulasi pelabelan bahaya BPA pada galon polikarbonat dan bahaya BPA.
Selain itu, imbuh David, pihaknya juga mendorong agar produsen galon guna ulang untuk meningkatkan pengawasan pasca produksi. Sehingga tidak masuk dalam industri air minum isi ulang yang bisa berdampak pada higienitas dan keamanan produk.
“Mendorong pengunaan galon bebas BPA secara menyeluruh, merata dan adil demi menciptakan rasa aman serta mengurangi risiko kesehatan konsumen,” jelasnya.
Seorang pengusaha depo isi ulang air mineral sedang mengangkut galon pesanan konsumen di kawasan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Foto: Ekuatorial.com/Bethriq Kindy Arrazy
Pakar polimer Mochamad Chalid, menerangkan secara ilmiah Bisphenol A atau BPA merupakan zat kimia yang digunakan untuk mengeraskan sekaligus pelapis material dasar.
Zat BPA, kata Chalid, lazim digunakan di produk-produk warehouse. Dalam situasi lain, zat BPA digunakan di wadah-wadah makanan dengan karakteristik basah.
Guru besar Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (UI) tersebut memaparkan galon berbahan polikarbonat merupakan serangkaian anak rantai zat BPA yang terikat dengan zat lainnya, sehingga membentuk karakteristik material kaku dan jernih.
Selain digunakan untuk galon, BPA juga digunakan dalam kaleng makanan seperti sarden dan makanan berkarakter basah lainnya. Peran BPA sebagai pelapis agar kandungan logam tidak tercampur ke makanan basah di dalamnya.
“Namun dalam proses sebelum dan sesudah konsumsi, antara satu anak rantai dengan anak rantai lainnya bisa putus. Saat anak rantai terputus, di situlah terjadi proses peluruhan zat BPA ke makanan berkarakter basah,” terangnya.
Proses peluruhan BPA dalam galon, menurut Chalid dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama faktor suhu ruangan. Galon air mineral menurutnya tidak dianjurkan dijemur langsung di bawah matahari karena berpotensi terkena radiasi ultraviolet. Termasuk saat proses pengantaran dengan kendaraan bak terbuka juga akan memengaruhi proses peluruhan BPA pada air mineral di galon.
Kedua, faktor kandungan Potential of Hydrogen (pH) atau ukuran yang biasa digunakan untuk menggambarkan kualitas air. Ukuran pH menentukan seberapa asam dan basa larutan air.
Air mineral, menurutnya, rata-rata memiliki kandungan nilai pH 7. Sedangkan proses peluruhan zat BPA terjadi saat proses pencucian galon menggunakan air sabun atau detergen. Sebab, hal itu turut memengaruhi kadar keasaman air mineral di dalam galon.
“Faktor terakhir penggunaan berkali-kali beserta perlakuan galon. Permukaan galon yang penyok atau tergores turut memengaruhi proses peluruhan zat BPA,” terangnya.
Di sisi lain, Chalid juga menyoroti proses pelacakan (tracing) ganula yang tidak berjalan baik. Khususnya mengenai tiga faktor penyebab terjadinya peluruhan BPA di air mineral galon.
Ke depan, tegas Chalid, pemerintah perlu mendorong perusahaan untuk melakukan edukasi dan informasi yang tertera di galon seperti berapa batas suhu, berapa batas kadar pH dan berapa kali batas penggunaan.
“Apalagi air mineral galon termasuk kategori makanan dalam kemasan. Harusnya sedapat mungkin ketika bisa dikontrol sekaligus akan menekan risiko yang ditimbulkannya,” ujarnya.
Implementasi dan pengawasan
Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahiddin mengungkapkan Aqua telah menjalankan bisnisnya sesuai aturan yang berlaku. Termasuk di antaranya mengenai aturan penggunaan kemasan.
“Kami taat kepada peraturan yang berlaku pada industri air minum dalam kemasan. Baik SNI, aturan BPOM serta otoritas lain yang berwenang,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Ekuatorial sempat menanyakan lebih lanjut mengenai upaya Aqua dalam membendung penggunaan galon secara berulang (ganula) hingga bagaimana mekanisme peremajaan galon yang dilakukan. Namun hingga reportase ini diterbitkan, belum ada penjelasan lebih lanjut.
Arif justru mempertanyakan penggunaan istilah ganula yang menurutnya kurang tepat. “Sejak kapan ada istilah ganula? Coba cek aturan kemasan BPOM, SNI dan aturan lainnya dulu,” ujarnya.
Direktur Pengurangan Sampah dan Ekonomi Sirkular, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Agus Rusli menerangkan perusahaan air mineral skala internasional dan nasional di Indonesia sudah menerapkan prosedur bahan baku yang ketat karena menyangkut keamanan pangan bagi konsumen.
Mengenai masih beredarnya ganula disebabkan oleh minimnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menggunakan galon produksi baru. Yang terjadi saat ini, kata Agus, masyarakat menggunakan ganula untuk pembelian air di depot air isi ulang dengan dalih harga lebih ekonomis.
“Akibatnya, ganula tidak mengendap di relasi depo air isi ulang dan konsumen. Sehingga tidak sampai ditarik oleh perusahaan air mineral,” paparnya.
Agus lalu menjelaskan aturan Permen LHK No.75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah Produsen. Menurutnya, dalam konteks masih beredarnya ganula seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk segera melakukan penarikan hingga proses daur ulang.
Dari aspek pengawasan, Agus menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah (pemda). Pemda perlu diikutsertakan agar lebih efektif, paling tidak di lingkup wilayahnya masing-masing.
Kendala lainnya, tidak semua perusahaan air mineral sadar tentang bahaya pascakonsumsi dari kemasan yang mereka produksi. “Misalnya seperti apa mekanisme penarikan galon lama yang harus dilakukan,” ujar Agus kepada Ekuatorial.
Beragam jenis air minum dalam kemasan (AMDK) dengan volume 19 liter, 15 liter dan 12,8 liter yang diperjualbelikan di toko ritel modern. Foto: Ekuatorial.com/Bethriq Kindy Arrazy
Mengenai kendala tersebut, Agus mengakui sanksi yang diberikan kepada perusahaan masih sebatas sanksi administrasi dan sanksi diinsentif. Kedua jenis sanksi tersebut menurutnya masih belum memberikan efek jera dan perbaikan dari perusahaan air minum.
Ia lalu memberikan catatan mengenai minimnya informasi terkait umur masa pakai dari sebuah galon. Informasi mengenai batas usia penggunaan, perlu diletakkan di posisi yang terlihat jelas dengan menggunakan huruf timbul.
“Minimnya informasi mengenai batas usia galon mendukung minimnya literasi konsumen,” katanya.
Tak hanya itu, Agus juga menyoroti kandungan zat BPA dalam galon pakai ulang yang dimanfaatkan oleh perusahaan air mineral lainnya dengan mengeluarkan galon sekali pakai dengan volume lebih kecil.
Meski galon sekali pakai dinilai lebih aman dari kandungan BPA, namun turut berpotensi memunculkan masalah baru yakni pengolahan sampah pascakonsumsi. Agus juga mengkhawatirkan kemunculan galon sekali pakai akan turut memicu keinginan perusahaan air mineral lainnya untuk turut mengambil segmen pasar tersebut.
Menindaklanjuti masih beredarnya ganula hingga fenomena munculnya galon sekali pakai menjadi perhatian tersendiri bagi Kementerian LH. Menurut Agus, pihaknya terus berkoordinasi secara teknis dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan kementerian terkait, yakni Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Jangan sampai akibat dampak zat BPA muncul justru kita baru menyadari,” katanya.
Dampak kesehatan konsumen
Spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi-onkologi, dr. Andhika Rachman, Sp.PD-KHOM menerangkan dampak buruk BPA bagi tubuh yang bisa memicu terjadinya gangguan hormon.
BPA, kata Andika, dapat meniru kerja hormon dalam tubuh seperti hormon ekstrogen, testeron dan tiroid. Selain gangguan hormon, metabolisme juga terancam dan berpeluang terjadinya obesitas, diabetes type-2, hingga perlemakan hati.
BPA juga berpotensi menyebabkan hipertensi, serangan jantung, prostat, kanker payudara, kanker yang sensitif terhadap gangguan hormon. Bahkan, paparan BPA pada ibu hamil berpotensi memengaruhi otak, tumbuh kembang, hingga fungsi perilaku janin dalam kandungan.
“Efek dampak BPA tidak terjadi seketika saat itu juga. Melainkan dari paparan-paparan kecil yang berlangsung selama bertahun-tahun serta multifaktor lainnya yang dapat memicu munculnya penyakit-penyakit kronis yang tadi kusampaikan,” jelasnya.
Mengutip Jurnal American Medical Association, Andhika menyampaikan, kandungan BPA pada tubuh akan terdeteksi pada tahun kesepuluh melalui urine. Sedangkan berdasarkan jurnal medis lainnya, BPA paling dominan dan sering menyebabkan efek hipertensi.
Meski begitu, tubuh juga memiliki kemampuan pemulihan melalui antioksidan dengan cara istirahat cukup serta mengonsumsi buah dan sayur-sayuran. “Dengan begitu menjadi tidak secepat itu. Mungkin bisa lebih lama atau 10 tahun lebih,” paparnya.
Andhika juga menyarankan pentingnya menghindari BPA dengan mengkonsumsi air tanah yang terlebih dahulu dimasak. Meski begitu, penggunaan air tanah tidak dianjurkan bila tinggal di permukiman padat dan kumuh, seperti di perkotaan atau dekat dengan kawasan industri.
Kawasan tersebut dinilai memiliki kualitas air tanah yang kurang baik. Penelitian menunjukkan, kebanyakan air tanah di kawasan tersebut telah tercemar dengan logam berat seperti arsenik, timbal, polutan tanah hingga kontaminasi mikroba, Esherichia coli (E. coli) dan Salmonella.
“Kalau pun tinggal di perkotaan dan terpaksa mengonsumsi air mineral galon, pastikan pilih galon dengan tahun produksi terbaru. Tidak penyok, tidak tergores, dan tidak buram. Aman buat ibu hamil dan menggunakan wadah minum berbahan kaca,” pungkasnya.
Liputan ini merupakan program fellowship untuk mendukung isu Global Plastic Treaty yang didukung WWF Indonesia
Di kedalaman hutan, di pesisir pantai yang belum terjamah, dan di lereng-lereng gunung yang subur, sebuah kemerdekaan sejati dirayakan setiap hari. Ini bukanlah kemerdekaan yang diproklamasikan dengan teks dan upacara, melainkan kemerdekaan yang hidup dalam setiap umbi yang dicabut dari tanah, setiap butir sagu yang diolah, dan setiap jengkal hutan yang dijaga sebagai sumber kehidupan. Inilah kemerdekaan masyarakat adat dalam mengelola alam dan pangan mereka.
Bagi mereka, tanah bukanlah sekadar aset. Ia adalah ibu yang memberi makan, hutan adalah apotek yang menyediakan obat-obatan, dan sungai adalah urat nadi yang mengalirkan kehidupan. Pangan lokal seperti sagu, sorgum, jagung, dan aneka umbi-umbian bukanlah sekadar pengisi perut, melainkan bagian dari identitas, ritual, dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Pangan adalah tradisi.
Namun, kemerdekaan ini terusik. Kebijakan pangan nasional yang sering kali seragam dan terpusat, tanpa sadar menggerus kedaulatan mereka. Dominasi beras dan gandum perlahan menyingkirkan pangan lokal dari piring-piring di pelosok negeri. Hutan adat yang beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur mengancam sumber pangan dan ruang hidup mereka.
Suara dari Balik Krisis: Seruan untuk Kembali ke Akar
Di tengah ancaman krisis iklim dan tantangan ketahanan pangan, sebuah kesadaran baru mulai tumbuh. Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, menekankan urgensi perubahan. “Revisi UU Pangan adalah peluang untuk memperbaiki arah kebijakan pangan Indonesia. Sudah saatnya kita mengakui peran strategis pangan lokal dalam menghadapi krisis iklim dan membangun ketahanan pangan jangka panjang,” ujarnya.
Seruan ini lahir dari pengalaman nyata di lapangan. Maria Mone Soge, seorang petani muda dari Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, berbagi keresahannya. “Saya melihat banyak petani mulai kehilangan semangat karena perubahan musim yang tak menentu. Tapi kami di desa juga punya banyak solusi lokal — dari pola tanam tradisional sampai jenis pangan lokal yang lebih tahan iklim. Kami ingin UU Pangan yang berpihak pada kami, petani muda, agar kami bisa terus bertani dan menjaga budaya pangan lokal,” ungkap Maria.
Senada dengan itu, Andika, seorang local champion dari Desa Tapobali, Kabupaten Lembata, menyuarakan pentingnya pengakuan terhadap pengetahuan lokal. “Tapi kami juga punya pengetahuan lokal dan cara bertahan yang bisa menjadi solusi. Pemerintah perlu mendengar suara kami. Revisi UU Pangan harus menjamin hak petani kecil dan ruang bagi generasi muda untuk memimpin perubahan,” tegasnya.
Mengembalikan Makna Kedaulatan Pangan
Para pegiat pangan lokal menyoroti bahwa makna kedaulatan pangan telah terdistorsi. David Ardhian, penulis policy brief Sistem Pangan Negara Kepulauan, menjelaskan, “Sejak dimasukkan dalam UU Pangan 2012, makna sejatinya kian terdistorsi oleh kebijakan sentralistik seperti food estate yang mengabaikan keberagaman lokal, menggusur masyarakat, dan merusak ekosistem.”
Menurut David, inilah momentum untuk perubahan fundamental. “Revisi UU Pangan harus menjadi momentum untuk mengembalikan ruh kedaulatan pangan sebagai hak rakyat, bukan kontrol negara. Sudah waktunya arsitektur kebijakan pangan dibangun dari bawah, mengakui inisiatif komunitas, membuka ruang partisipasi luas, dan berpihak pada solusi lokal,” tambahnya.
Dukungan terhadap komunitas adat menjadi kunci. Seperti yang disampaikan oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Yayasan KEHATI, “Masyarakat adat harus diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola wilayah mereka sendiri, misalnya memberikan akses untuk orang muda adat untuk bertani dan mengolah lahan.”
Pada akhirnya, kemerdekaan sejati sebuah bangsa tercermin dari kemampuannya untuk memberi makan dirinya sendiri dengan pangan yang berdaulat, sehat, dan lestari. Dan pelajaran terbaik tentang kemerdekaan itu datang dari mereka yang telah mempraktikkannya selama berabad-abad: masyarakat adat. Kemerdekaan mereka dalam mengelola alam adalah kemerdekaan kita semua untuk masa depan pangan yang lebih baik.
Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Kalimantan. (ULM)
Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menunjukkan peran aktifnya dalam penguatan ketahanan pangan melalui aksi nyata di lapangan. Salah satunya dilakukan oleh Rektor ULM Ahmad Alim Bachri, yang mengelola kebun edukasi seluas 10 hektare di Desa Sambangan, Kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan.
Kebun tersebut menjadi lokasi panen jagung dan kopi robusta yang dilaksanakan bersama jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kalimantan Selatan. Acara panen turut dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Selatan Muhidin.
Sekitar 9.000 pohon kopi dan tanaman jagung yang ditanam dengan sistem pertanian ramah lingkungan menjadi hasil panen hari itu, 2 Juli 2025. . Gubernur Muhidin menyampaikan bahwa kebun ini dapat menjadi model pertanian yang layak ditiru oleh masyarakat.
“Jagungnya manis, dan bahkan bubur jagung buatan ibunda Pak Rektor luar biasa. Ini contoh konkret ketahanan pangan berbasis masyarakat,” ujarnya, diakses dari keterangan resmi, Kamis (7/8/2025).
Ia juga mengajak masyarakat Kalimantan Selatan untuk mengoptimalkan lahan tidur dan belajar dari kebun edukasi yang dikelola oleh Rektor ULM. “Silakan hubungi Pak Rektor kalau ingin belajar berkebun jagung dan kopi. Ini harus jadi gerakan bersama,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ahmad Alim Bachri menjelaskan bahwa pengelolaan kebun ini merupakan bagian dari visi ULM untuk mendorong kedaulatan pangan dan memberi manfaat sosial.
“Kami juga menjalin sinergi dengan Polda Kalsel, salah satunya dalam pengembangan peternakan sapi. Sebanyak 50 ekor telah dipasarkan menjelang Iduladha,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa hasil dari usaha peternakan turut digunakan untuk membantu mahasiswa kurang mampu melalui subsidi Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Tantangan pertanian di Kalimantan
Di tengah berbagai upaya untuk mendorong kemandirian pangan, sektor pertanian di Kalimantan masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kelembagaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syarifah Maryam dari Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, disebutkan bahwa pembangunan pertanian di Kalimantan Timur hingga kini belum sepenuhnya berbasis pada potensi sumber daya lokal.
Kondisi ini membuat proses pembangunan pertanian di wilayah tersebut menghadapi kendala baik secara teknis maupun sosio-kultural (Puslitbangwil Unmul, 2000).
Lebih lanjut, Maryam mengutip pendapat Suprapto (1999) yang menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pertanian yang ideal memerlukan dukungan lima faktor utama: kebijakan makro yang konsisten, penguasaan teknologi, sarana dan prasarana yang memadai, sumber daya manusia yang kompeten, serta kelembagaan yang mendukung.
Analisis kelembagaan sendiri diperlukan untuk menggambarkan penilaian kebutuhan (need assessment), permasalahan, dan potensi dalam menanggulangi kendala pembangunan wilayah pertanian.
Dwi Sartika Saogo mendorong sampan kayu ke rawa nipah di belakang rumahnya. Perempuan Mentawai itu mengambil pendayung, naik ke atas perahu kecil itu dan duduk melipat kaki menjaga keseimbangan.
Saya menyusulnya naik dan duduk di belakangnya. Sedangkan Riko, adik laki-laki Dwi, duduk di belakang saya, juga dengan pendayung.
Perempuan 45 tahun itu dan adiknya, Riko, 26 tahun, mulai mendayung dengan bertumpu pada kekuatan lulut. Kami pun meluncur pelan di tengah rawa nipah yang luas, mengikuti perahu kecil di depan kami yang dibawa ayah dan ibu Dwi.
Pukul 12 siang saat yang tepat untuk mempermudah laju perahu karena air rawa cukup tinggi akibat laut sedang pasang.
Dwi sekeluarga tinggal di Matobe, desa pesisir di selatan Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Rumahnya berjarak 200 meter dari laut yang di belakangnya langsung terhampar rawa hingga ke pantai dengan vegetasi nipah yang tumbuh subur.
Kami melewati sela-sela hamparan batang nipah yang rapat membentuk labirin. Dwi memimpin mendayung ke hulu, ke salah satu aliran sungai. Buah nipah menyembul dari batang-batang nipah yang terendam air. Buah itu mirip bonggol buah salak, tapi lebih kecil.
“Buah nipah ini bisa dimakan,” kata Dwi sambil mendayung. “Kita tidak perlu khawatir kelaparan di sini, karena di rawa ini banyak yang bisa diambil, ada lokan, kepiting, keong bakau, dan toek,“ lanjutnya.
Ke tempat toek inilah tujuan kami siang itu. Dwi sekeluarga akan memanen toek-nya dan saya diajaknya.
Toek bukanlah bahan pangan yang bisa diambil langsung seperti lokan atau siput bakau. Hewan ini mesti dibudidayakan di dalam potongan-potongan batang pohon bak-bak (Campnosperma auriculate) atau pohon tumung (Arthrophyloum diversifollium) yang direndam di dalam sungai berair payau.
“Kalau saya tidak bisa bikin toek, cuma bisa menikmati hasilnya saja,” kata Riko di belakang saya sambil mendayung. “Karena budi daya toek adalah pekerjaan kaum perempuan, Ibu hanya mengajarkannya kepada kakak-kakak perempuan saya saja,” ujarnya.
Toek adalah jenis moluska yang hidup di dalam kayu mati. Bentuknya mirip cacing. Nama latinnya Bactronophorus sp, moluska dari kelas bivalvia yang secara alami hidup di dalam kayu mati di sungai yang berair payau.
Sejak dulu, secara turun-temurun perempuan Mentawai di Pulau Sipora, terutama di tiga desa pesisir di Pulau Sipora, yaitu Matobe, Saureinu, dan Goisooinan, telah membudidayakan toek untuk sumber protein mereka.
Sepanjang sungai yang kami lewati, potongan-potongan kayu berdiameter 20 cm hingga 30 cm dengan panjang satu meter terlihat berjejer seperti rakit, saling terikat dengan tali nilon dan pangkalnya tertambat ke batang nipah yang tegak di pinggir sungai.
Itu budi daya toek milik beberapa perempuan tetangga Dwi. Sedangkan kayu tempat budi daya toek milik Dwi dan ibunya terletak lebih ke hulu sungai, dekat ladang mereka.
Di Desa Matobe, Saureinu, dan Goisooinan toek tidak lagi sekadar menu keluarga, tetapi telah menjadi mata pencarian para perempuan untuk tambahan pendapatan keluarga mereka. Keterampilan budi daya toek yang mereka dapatkan turun-temurun itu, tidak disangka telah menjadi sumber ekonomi.
Pesta toek di tepi sungai
Akhirnya kami sampai di lokasi budi daya toek milik Dwi dan ibunya. Dua deret belasan potongan kayu terendam di sungai yang rindang oleh naungan pohon bambu.
“Kayu yang terbenam itu menandakan toek sudah bisa dipanen, sebab ketika dimasukkan tiga bulan lalu masih terapung,” kata Dwi.
Ayah Dwi lebih dulu merapatkan perahu ke pinggir sungai, disusul perahu kami. Kami turun ke darat. Ayah Dwi dan Riko langsung membersihkan ladang dan mengambil setandan pisang dengan parang panjangnya.
Sedangkan Dwi dan ibunya mencebur ke sungai memeriksa batang-batang kayu toek mereka. Sungai itu hanya selebar empat meter, tapi airnya sedalam leher mereka.
Dwi dan ibunya memeriksa dengan membalikkan rangkaian kayu dan mengetuk permukaan kayu dengan parang. Buih gelembung udara muncul dari lubang-lubang kecil pada permukaan kayu yang gelap dan licin. Di beberapa lubang menjulur ekor toek berwarna putih, hampir tak terlihat, seperti titik putih.
Batang kayu dari pohon bak-bak sepanjang setengah meter itu hanya berdiameter 30 sentimeter.
“Ini sudah berisi toek,” kata Dwi senang.
Ia memutus tali dua batang kayu dan menyeretnya sambil berenang hingga ke tepi sungai tempat saya menunggu. Di depan saya, ia membelah kayu itu dengan satu ayunan kapak.
Batang kayu yang terbelah itu berwarna kekuningan, lembap dengan tekstur kayu yang halus dan mirip keju dengan sejumlah lubang-lubang memanjang di dalamnya.
Lubang-lubang memanjang itu telah berisi toek mirip cacing berwarna putih, terlihat diam.
Toek-toek itu mendiami ruang-ruang di dalam kayu seperti labirin. Tiap lubang berisi satu ekor toek yang panjangnya sekitar 30 sentimeter.
Toek memiliki cangkang yang bulat dan keras menutupi kepalanya seperti helm kecil. Di kepalanya terdapat sejenis dua taring yang digunakannya untuk memakan kayu sekaligus menjadi sarangnya. Cangkang itu menandai toek bukan cacing, tapi moluska dari kelas bivalvia.
Dwi menarik satu ekor toek, membuang kepalanya yang keras, lalu melahapnya mentah-mentah. Saya mengikutinya, menarik seekor dari kayu, membuang kepalanya, dan melahapnya. Ini bukan pengalaman pertama saya memakan toek, jadi langsung membayangkan kenikmatannya.
Tubuh toek yang berwarna putih itu lunak dan beraroma seperti cumi-cumi segar. Dwi membelah lagi kayu berisi toek itu menjadi lebih kecil sehingga semua sarang toek terbuka. Riko, ibu, dan ayahnya juga ikut menyerbu.
Dwi mengeluarkan bumbu yang dibawanya dari rumah dalam wadah plastik. Bumbu yang dinamainya “anyang” itu berupa irisan cabe rawit, bawang merah, air jeruk, dan garam. Toek terlebih dulu dicelupkan ke anyang sebelum disantap. Rasanya lebih segar.
Kami duduk bersama mengelilingi kayu toek, larut dalam pesta makanan khas Mentawai itu di bawah rindang pohon bambu di tepi anak Sungai Matobek.
Dwi Saogo tidak tahu kapan tradisi budi daya toek dimulai di Pulau Sipora. Ia juga tidak tahu siapa yang pertama kali melakukannya atau menemukannya. Ibu Dwi, Karolin, mengingat saat ia kecil ibunya juga sudah membuat toek dan neneknya juga membuat toek di sungai.
“Dari dulu toek sudah ada, saya belajar membuat toek dari ibu saat baru menikah, ibu mengatakan toek bisa jadi lauk untuk makanan keluarga, belum ada yang menjul karena semua perempuan di tiap keluarga bisa membuat toek,“ kata Karolin, 62 tahun.
Selain itu, tambahnya, toek juga sering dijadikan makanan saat bekerja di ladang beramai-ramai bersama keluarga besar. Setelah selesai membersihkan ladang, mereka akan ke sungai menyantap toek.
“Itu juga yang membuat pekerjaan di ladang terasa ringan dan menggembirakan, karena setelahnya bisa makan toek bersama-sama,” ujarnya.
Tabungan yang terbenam dalam air
Dwi menceritakan bagaimana ibunya mengajarkan cara membudidayakan toek kepada ia dan adik perempuannya ketika mereka remaja.
“Hanya anak perempuan yang diajarkan karena membuat toek pekerjaan perempuan,” katanya setelah kami menghabiskan dua batang toek.
Saat Dwi dan adiknya masih kecil mereka juga sering ikut ibu dan nenek mereka ke lokasi toek. Kemudian setelah remaja diajarkan membuat batang toek dan menaruhnya di dalam sungai.
“Mulai dari mencari pohon bak-bak, memotongnya, mengikatnya dan merendamnya di sungai,” katanya.
Proses pembuatan kayu toek, jelas Dwi, dimulai dari menggulingkan kayu-kayu yang sudah dipotong ke sungai, lalu merangkainya dengan paku dan tali, dan menambatkannya di sungai.
“Hanya menebang dan memotong-motong kayu dengan ‘sinso’ (chainsaw atau gergaji mesin) yang diupahkan ke laki-laki, biasanya kami minta tolong pada paman kami,” ujarnya.
Untuk membuat sarang toek, pohon bak-bak atau pohon tumung ditebang di ladang dan dipotong-dipotong sepanjang 70 cm hingga satu meter. Setelah itu dibiarkan dua minggu agar getahnya mongering, baru digulingkan ke tepi sungai.
Setelah diberi pengikat dengan tali dan paku lalu direndam di dalam sungai dengan mengikatnya ke pohon nipah yang tumbuh di pinggir sungai.
Biasanya dalam waktu tiga bulan hingga delapan bulan toek sudah bersarang di dalamnya.
“Syaratnya hanya satu, sungai harus masih menerima air pasang dari laut. Jika hanya sungai air tawar, toek tidak akan jadi atau tidak muncul,” kata Dwi.
Karena itu, warga desa di bagian hulu sungai tidak ada yang melakukan budi daya toek, karena air sungainya hanya air tawar. Itu pula sebabnya budi daya toek hanya bisa dilakukan di desa-desa pesisir.
“Sekarang toek sudah dijual dan penggemarnya sangat banyak. Tapi tidak semua orang membuat toek, karena pekerjaannya cukup berat,” ujarnya.
Dwi senang kini toek telah menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi perempuan. Itu semacam hasil dari pekerjaan berat turun-temurun yang dilakoni perempuan pesisir di Mentawai.
“Toek dihasilkan perempuan dan uangnya juga untuk perempuan, jadi tidak perlu minta ke suami kalau ingin membeli sesuatu,” ujarnya.
Dari panen empat batang siang itu, setelah “pesta” kami, Dwi membungkus toek ke dalam kantong plastik berukuran setengah kilogram. Ada lima bungkus toek yang akan ia jual.
Ia tidak bersusah payah memasarkannya. Dwi hanya membuka gawai, memotret toek yang telah dibungkus dan membuat status di akun Facebook-nya.
“Ada lima bungkus toek, silahkan jemput ke rumah, siapa cepat dia dapat,” tulisnya pada postingan yang dilengkapi foto.
“Nanti kita sampai di rumah pasti sudah ada yang menunggu,” ujar Dwi tersenyum.
Benar saja, begitu kami sampai di rumahnya sudah ada tetangganya yang menunggu. Lima bungkus toek itu terjual Rp125 ribu, karena satu bungkus Rp25 ribu.
“Banyak yang ketagihan toek karena enak dan yang panen tidak selalu ada setiap hari,” katanya.
Budi daya toek bagi Dwi seperti tabungan yang terbenam di dalam air. Bisa diambil dan dijadikan uang setiap saat. Sekali panen toek ia biasanya mendapatkan 10 bungkus, lalu menjualnya dan menghasilkan uang Rp250 ribu.
Meski begitu, toek hanya pekerjaan sambilan bagi Dwi, karena toek yang ia budidayakan bersama ibunya lebih banyak untuk dikonsumsi sekeluarga.
“Pekerjaan saya sehari-hari ke ladang, merawat kebun keladi, kebun pisang, memanen pinang, kelapa, dan kadang-kadang saya juga membuat kue dan makanan ringan dari tepung sagu yang kami olah sendiri untuk dijual,” ujarnya.
Dwi dan ibunya rutin membuat toek. Mereka memiliki cukup banyak pohon bak-bak yang tumbuh di ladang. Ada yang tumbuh sendiri, ada juga yang ditanam.
“Ada sekitar seratus batang pohon bak-bak dan beberapa pohon tumung di ladang kami,” kata Dwi.
Tetapi ayahnya sering tidak mengizinkan pohon tumung itu ditebang, kecuali pohon itu tumbang sendiri karena angin. Alasan ayahnya, pohon tumung itu akan digunakannya untuk membuat perahu karena bisa tumbuh besar.
“Kayunya ringan, bagus untuk perahu, walaupun akhirnya sering juga dilubangi oleh toek,” kata Lucianus Saogo, ayah Dwi, tertawa.
Lucianus terpaksa menggunakan kayu tumung karena pohon meranti kuning dan katuka yang bagus kualitasnya untuk perahu sudah tidak ada di hutan.
“Sudah habis ditebang perusahaan kayu,” katanya.
Dwi Saogo menjelaskan, bagian pohon yang diambil untuk toek adalah batang dan dahan yang besar. Sebatang pohon bak-bak setinggi 12 meter dengan diameter 30 sentimeter bisa menghasilkan sekitar 20 potong kayu toek ukuran sedang dan belasan potong ukuran kecil dari dahannya.
Potongan-potongan kayu itu direndam selama tiga hingga enam bulan agar bisa dipenuhi toek yang dapat menghasilkan sekitar Rp3 juta.
“Untuk membuat toek tidak perlu banyak modal karena masih banyak pohon bak-bak di ladang, tinggal ditebang, dipotong-potong, diikat, dan dimasukkan ke sungai, yang memotong pun paman saya yang punya sinso, paling kasih beli rokok untuk paman,” katanya
Bisnis toek di Desa Goisooinan
Denyut bisnis toek bahkan lebih terasa di sepanjang sungai dan anak sungai di Desa Goisooinan yang terletak 13 km di utara Desa Matobe. Desa terdekat dengan Tuapeijat, ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai itu, tumbuh menjadi pusat bisnis toek seiring makin ramainya Tuapeijat sejak 20 tahun lalu.
Di sepanjang sungai dan anak sungai di Goisooinan berjejer rangkaian kayu toek. Ratusan kayu toek yang dibudidayakan perempuan memenuhi badan sungai. Jenis kayu yang digunakan berasal dari pohon tumung yang ukurannya lebih besar dari pohon bak-bak. Diameter tumung bisa 50 sentimeter.
Dari jalan raya, suara kapak sedang membuka kayu toek terdengar dari arah sungai yang tertutup pepohonan dan ladang pisang.
Dian Novita, 33 tahun, siang itu terlihat di tepi sungai di dekat setumpuk besar pohon tumung yang sudah dipotong-potong. Pemilik usaha budi daya toek itu mendapatkan tujuh batang kayu toek dari ladang seorang dokter di daerah SP3 di Tuapeijat, 7 kilometer dari desanya.
Tujuh batang pohon itu menghasilnya 37 potongan kayu gelondongan setengah meter.
“Pohonnya saya dapatkan gratis karena kenal, setelah jadi toek nanti dokter dan istrinya saya ajak makan toek di Goisooinan,” ujarnya.
Menurut Dian saat ini toek sangat laris sehingga bisa menjadi sumber ekonomi keluarga. Saya menyaksikan para pembeli toek tak henti berdatangan ke lokasi budi daya toek milik Dian dan perempuan lain di tepi sungai Goisooinan. Mereka pegawai di Tuapeijat, warga dari desa lain di Pulau Sipora, bahkan turis asing.
“Turis asing ini ada yang dari Eropa dan Australia, mereka sedang surfing di Sipora dan juga mau mencoba makan toek di dalam sungai,” katanya.
Dian mulai serius menekuni budi daya toek setelah menikah dengan suaminya Alfizon pada 2017. Ia berasal dari Pulau Siberut dan di sana masyarakat tidak mengenal budi daya toek di sungai seperti di Sipora.
“Dulu yang ada di Siberut toek di kayu bakau, rasanya asin dan warnanya merah, beda dengan toek di sini yang putih, besar-besar, dan berlemak,” ujarnya.
Dian kemudian belajar membuat toek dan mulai menjual toek seperti perempuan lainnya di Goisooinan. Pendapatannya dari toek terus meningkat seiring makin banyaknya pembeli yang juga menyebabkan harga toek naik. Kini harga toek Rp25 ribu per bungkus plastik setengah kilogram.
“Rata-rata dalam sehari saya bisa menjual 10 bungkus, kalau lagi banyak panen bisa 20 hingga 30 bungkus,” katanya.
Artinya, sehari Dian bisa mendapatkan Rp250 ribu atau sedang banyak panen bisa Rp500 ribu hingga Rp750 ribu.
“Pendapatan satu bulan lumayan, untuk ditabung persiapan sekolah dan kuliah anak,” ujarnya.
Dian mengaku tidak menghitung pendapatan bulanannya. Namun dari hasil toek ia gunakan juga untuk modal usaha lain yang ia jalankan di rumah dan sebagian ditabung. Sedangkan untuk modal membuat toek menurutnya tidak terlalu besar.
“Seperti hari ini untuk sewa sinso memotong pohon Rp150 ribu, sewa truk membawa kayu toek Rp250 ribu, pohon tumung kadang saya beli seharga Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per pohon, tapi untung dari toek ini masih besar dari modalnya,” katanya.
Kesulitan pohon untuk bahan baku toek, menurut Dian, akan menjadi menjadi persoalan besar yang dihadapi perempuan Mentawai yang membudidayakan toek di desanya.
“Karena pohon tumung sudah semakin sedikit diambil untuk membudi daya toek,” ujarnya.
Untuk persediaan pohon bahan baku toeknya di masa mendatang, Dian sudah menanam pohon tumung di tepi sungai di lahan keluarganya.
“Itu untuk antisipasi kalau pohon tumung habis karena banyak ditebang, sekarang pohon yang saya tanam tiga tahun lalu sudah mulai besar, lima tahun lagi sudah bisa ditebang untuk kayu toek,” katanya.
Meldayanti Saogo, 42 tahun, perempuan Mentawai lainnya yang membudidayakan toek di Sungai Gosooinan mengaku membuat dan menjual toek sudah menjadi pekerjaan rutinnya. Dari rumahnya, ia setiap pagi dengan sepeda motor ke lokasi budi daya toeknya untuk membuka kayu-kayu toek yang akan dipanen.
Di tepi sungai Goisooinan yang tidak terlalu lebar, ada dua ikatan toek Meldayanti yang terbenam di dalam air tanda sudah bisa dipanen.
“Ada 60 kayu toek saya untuk tabungan di dalam air,” katanya tersenyum.
Setiap hari ia membuka dua batang kayu toek ukuran besar dan menjualnya. Dari dua batang itu ia menghasilkan Rp300 ribu.
Meldayanti berasal dari Desa Matobe. Setelah menikah dengan suaminya yang tinggal di Goisooinan, perempuan Mentawai ini mulai membudidayakan toek 15 tahun lalu.
“Dulu toek ini tidak dijual, hanya untuk makanan keluarga, tetapi toek di Goisooinan banyak peminatnya, karena itu saya mulai menjualnya,” ujarnya.
Menurutnya hasil dari penjualan toek sangat lumayan. Ia bisa mendapat uang dengan cepat dengan membuka toek di sungai, meskipun juga membutuh kerja keras untuk membudidayakannya. Apalagi Meldayanti mencari sendiri kayu ke hutan dengan membawa tukang sinso dan menyewa truk untuk membawanya ke sungai.
Dampak iklim terhadap toek
Banjir dan kemarau menjadi persoalan utama yang dihadapi perempuan yang membudidayakan toek. Banjir menyebabkan toek tak lagi berwarna putih, melainkan kemerahan dan tidak berlemak. Dengan kondisi toek seperti itu tidak ada orang yang mau membelinya.
Meldayanti mengatakan banjir menjadi musuh toek, karena banjir membawa banyak material tanah yang kecokelatan sehingga mengubah warna toek menjadi cokelat kemerahan, seperti warna tanah. Jika hujan lebat turun dalam sehari, sungai akan banjir dan keruh, sehingga toek yang putih juga jadi kemerahan karena menyerap air sungai.
“Banjir sekarang lebih besar dan airnya juga lebih keruh dibanding dulu, kadang sehari saja hujan langsung sungainya banjir,” katanya.
Biasanya setelah banjir Meldayanti menunggu waktu seminggu sebelum bisa memanen toek agar kondisi toek membaik dan kembali putih.
“Tapi kalau hujan terus-menerus, semakin lama waktu untuk toek bisa diambil dan bisa gagal panen. Kalau lewat setahun seperti itu toeknya bisa menghitam dan mati,” ujarnya.
Menurut Meldayanti kini waktu untuk membudidayakan toek sampai bisa dipanen juga lebih panjang. Dulu untuk membuat toek di Sungai Gosooinan ia hanya butuh tiga bulan untuk batang kayu yang kecil dan enam bulan untuk batang kayu besar. Kini ia harus menunggu lebih lama, bahkan satu tahun kayu besar yang ia rendam baru bisa berisi toek.
Dari 60 kayu toek miliknya yang ia rendam selama setahun, sebagian kayu-kayu yang besar sudah ada yang terendam dalam air pertanda sudah berisi toek.
“Itu kayu yang sudah setahun, baru sekarang sudah terisi banyak toek,” katanya menunjuk beberapa batang kayu toeknya di sungai yang sudah banyak ditumbuhi lumut.
“Biasanya tidak seperti itu, saya tidak tahu apa penyebabnya, mungkn karena air pasang dari laut tidak banyak lagi sampai ke sungai di sini,” ujarnya.
Banjir juga sering membuat rangkaian toeknya yang diikat di tepi sungai hanyut ke laut.
“Akhir tahun lalu saat banjir besar satu rangkaian kayu toek saya yang berisi 20 potong batang kayu yang besar-besar hanyut ke muara sungai, kerugian saya saat itu sangat besar, sekitar Rp4 juta,” katanya.
Tak hanya banjir, musim kemarau juga menimbulkan resiko bagi kehidupan toek. Dian Novita mengalaminya.
“Musim kemarau panjang selama empat bulan seperti akhir 2023 membuat toek banyak yang tidak jadi, karena air sungai tinggal sedikit, kayu toek tidak terendam, banyak kayu yang lapuk dan menghitam menyebabkan toek juga ikut mati,” ujarnya.
Dwi Saogo di Desa Matobe juga merasakan kendala yang sama saat membudidayakan toek, yakni banjir yang datang lebih sering yang menyebabkan air sungai berlumpur.
“Jika hujan turun dalam satu hari atau satu malam, sungai langsung banjir. Jika sudah banjir, toek tidak bisa dipanen karena toek menyerap air sungai sehingga warnanya jadi kemerahan dan cokelat tanah. Rasanya juga seperti rasa tanah dan toek jadi kurus-kurus, tidak lagi putih,” katanya.
Menurut Dwi, penyebab banjir, selain cuaca, juga karena maraknya penebangan pohon di hutan perbukitan di daerah SP3 di Desa Gosoinan. Di sanalah hulu sungai-sungai yang mengalir ke Desa Matobe, Goisooinan, dan Saureinu yang menjadi desa-desa utama penghasil toek di Pulau Sipora.
Di tempat itu sedang terjadi penebangan pohon-pohon besar yang dilakukan pengusaha kayu yang membeli kayu dari masyarakat melalui izin yang dikeluarkan pemerintah sejak 2022. Mereka menebang dan membawa kayu-kayu gelondongan ke luar Mentawai.
“Akibat penebangan hutan itu kami yang menanggung banjir dan kekeringan, begitu juga penebangan untuk pembuatan ladang di sana,” katanya.
Meki begitu dirugikan, Dwi mengaku tidak pernah menyampaikan keluhannya kepada pemerintah atau wakil rakyat.
“Suara orang kecil seperti kami tak akan pernah didengarkan,” ujarnya beralasan.
Bergantung pada perairan bersih
Kepala Desa Saureinu Tirjelius Taikatubutoinan mengakui pembukaan hutan besar-besaran di hulu Sungai Saureinu berdampak kepada toek yang dibudidayakan para perempuan di desanya.
“Awal mula toek itu dulu dari Saurenu, setiap keluarga yang rumahnya dekat sungai para perempuannya membuatnya. Toek di Saureinu telah menjadi andalan untuk sumber pangan lokal dan pendapatan kaum perempuan,” katanya.
Namun sejak awal 2023 terjadi penebangan hutan besar-besaran, termasuk di kawasan yang menjadi hulu sungai ketiga desa, yaitu di SP2 dan SP3 di Bukit Pamewa, serta pembukaan jalan logging perusahaan kayu di Desa Goisooinan
“Dampak penebangan, saat banjir sungai di Saurenu dan Goisooinan menjadi keruh karena hulu sungainya sudah rusak akibat penebangan,” ujarnya.
Penebangan, tambahnya, tak hanya berdampak kepada budi daya toek yang dikelola para perempuan desa, tetapi juga terhadap sumber air minum Pamsimas (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) dari perbukitan.
“Sekarang banjirnya juga berlumpur karena sedimen tanah yang hanyut dari hulu akibat penebangan hutan, air bersih kami untuk minum juga terganggu, ” katanya.
Seharusnya, kata kepala desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat menghentikan izin penebangan hutan besar-besaran di Pulau Sipora.
Di Desa Saureinuk dengan jumlah keluarga 425, sekitar 150 keluarga membudidayakan toek di sungai yang dilakukan kaum perempuan Mentawai. Gangguan terhadap budi daya toek berdampak kepada banyak keluarga, baik terhadap sumber protein keluarga maupun sumber ekonomi.
Dr Harfiandri Damanhuri, ahli perikanan dari Universitas Bung Hatta, Padang mengatakan toek di Mentawai dikenal di Indonesia sebagai kepang atau tembelo. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Teredo navalis. Hewan ini dikenal sering ‘mengebor’ atau merusak kapal-kapal kayu di laut.
“Toek ini mengandung protein yang cukup tinggi, biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat adat, selain di Mentawai juga di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Filpina,” katanya, Rabu 7 Maret 2025.
Toek bersarang dalam kayu mati, mulai dari laut, kawasan mangrove hingga sungai yang berair payau.
“Toleransinya terhadap suhu cukup tinggi, bisa di perairna yang dingin dan di perairan yang hangat, begitu juga toleransi terhadap salinita atau kadar garam, bisa dari 0 hingga 30 ppm,” ujarnya.
Menurut Harfiandri toek akan tinggal di dalam kayu, memakan kayu dan berkembang biak di dalam sarangnya.
Toek bersifat hermaprodit, ketika dewasa sebagai jantan dan setelah itu akan menjadi betina. Untuk reproduksi toek akan melepas sel telurnya dan akan terjadi pembuahan di dalam sarang kayunya.
“Ketika telurnya sudah menjadi larva, larva baru itu akan bersarang di kayu atau terbawa arus air dan akan melekat di kayu lainnya,” katanya.
Toek juga sangat bergantung kepada perairan yang bersih agar bisa tumbuh dengan baik. Karena selain memakan kayu, toek juga memakan mikro alga dari perairan yang masuk ke sarangnya.
Harfiandri mengatakan penebangan hutan di hulu sungai menjadi ancaman besar untuk budi daya toek di sungai.
“Hutan itu harus dijaga, kalau hutan habis tentu tidak ada daerah tangkapan air, air itu akan meluncur masuk ke sungai membawa sedimentasai dan toek akan terganggu, karena dia akan menyerap air sungai,” ujarnya.
Dengan air sungai yang sering banjir dan keruh, tambah Harfiandri, mengakibatkan sedimentasi dan bibit toek yang ada di perairan juga tidak bisa tumbuh.
Harfiandri juga mengingatkan ancaman perubahan iklim pada pulau-pulau kecil seperti di Pulau Sipora di Kepulauan Mentawai.
“Perubahan iklim dapat mengakibatkan perubahan pola cuaca seperti hujan lebat, kekeringan yang akan mengganggu keseimbangan ekosistem darat dan laut, untuk menghadapnya perlu pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.” kata Harfiandri.
Alih fungsi lahan mengancam pangan lokal
Ketua Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengatakan alih fungsi lahan menjadi ancaman pangan lokal di Mentawai.
Aktivis NGO di Mentawai itu mengatakan 70 persen sumber pangan lokal di Mentawai terdapat di kawasan hutan dan pinggir-pinggir sungai. Jika hutannya rusak akibat penebangan otomatis juga akan menghancurkan sumber pangan lokal.
“Seperti toek yang sangat terdampak akibat banjir, padahal itu menjadi sumber protein masyarakat dan juga sumber ekonomi bagi kaum perempuan Mentawai di Sipora,” katanya.
Menurut Rifai pemerintah selaku pihak yang memiliki kuasa mesti melihat apakah toek menjadi sumber protein yang penting bagi masyarakat. Jika memang toek sebagai sumber protein yang penting maka perlu dilindungi dari semua hal yang mengancam keberlangsungannya.
“Dampak hujan terhadap pelumpuran air sungai itu masih bisa dikelola dengan melindungi sempadan sungai, seperti melarang melakukan penebangan hutan yang kelerengannya mengarah ke sungai yang mengalir ke tempat masyarakat membudidayakan toek,“ ujarnya.
Daerah tangkapan air di Pulau Sipora, tambah Rifai, juga harus dilindungi untuk menjamin kebutuhan air bersih masyarakat.
Menurutnya pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai perlu mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ada. Kemudian merevisinya agar menghasilkan RTRW yang ekologis, bukan RTRTW yang eksploitatif seperti yang terjadi saat ini.
Sekarang, tambahnya, karena 80 persen kawasan hutan di Mentawai dikuasai negara, RTRW-nya menjadi eksploitatif dengan banyaknya kegiatan penebangan di dalam kawasan hutan.
“Karena itu, RTRW tersebut perlu direvisi kembali. Kepulauan Mentawai sebagai daerah yang terdiri dari pulau-pulau kecil seharusnya tata ruangnya punya perspektif ekologis, bukan eksploitatif seperti sekarang,” kata Rivai Lubis.
Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa baru menjabat sebagai bupati Kepulauan Mentawai pada 20 Februari 2025. Ia kelahiran Belekraksok, Pagai Selatan dan mengaku belum pernah memakan toek.
Mengetahui dampak penebangan hutan di kawasan hulu sungai terhadap budi daya toek para perempuan Mentawai di Sipora, ia berjanji akan merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan memasukkan perlindungan kawasan hutan untuk daerah tangkapan air untuk sungai di Sipora.
“Saat ini RTRW sedang direvisi dan ini akan menjadi catatan bagi saya untuk saya masukkan,” katanya saat ditemui di kantornya di Tuapeijat, Senin (5/5/2025).
Di Pulau Pagai Selatan, kata Rinto, sudah tidak ada yang membuat toek. “Karena pangan lokal, toek di Sipora menjadi makanan popular karena hanya di sini dibuat ibu-ibu,” ujarnya.
Bupati menjelaskan saat ini semua kewenangan kehutanan ada pada pemerintah pusat, mulai dari HPH di hutan produksi hingga penebangan hutan unu perkebunan atau perladangan di Areal Penggunaan Lain di tanah masyarakat, karena itu sebagai bupati ia tidak memiliki kuasa melarang penebangan hutan.
“Semua izin penebangan hutan itu ada di pemerintah pusat, kalau saya ada kuasa, sudah saya hentikan semua penebangan hutan di APL yang ada sekarang, agar sumber air di sini juga terjaga,” kata Rinto Wardana.
Gita Pertiwi menggelar aksi nyata peduli lingkungan dengan mengadakan acara “Jelajah Pasar dan Belanja Minim Plastik” di Pasar Jebres, Surakarta. Pasar tradisional memiliki peran sentral dalam kehidupan masyarakat lokal, menjadi pusat perputaran ekonomi sekaligus wadah bagi beragam kekayaan kuliner dan produk lokal.
Pasar Jebres sendiri dikenal sebagai salah satu pasar tradisional yang cukup besar di Surakarta, menawarkan berbagai macam kebutuhan sehari-hari, termasuk potensi besar untuk menemukan jajanan dan pangan lokal yang beragam.
Pasar Jebres kaya akan pilihan pangan lokal yang menjadi ciri khas Surakarta dan Jawa Tengah. Mulai dari sayuran segar hasil petani sekitar, buah-buahan musiman, hingga berbagai olahan makanan tradisional seperti tahu, tempe, dan tentu saja, serabi yang menjadi salah satu ikon kuliner Solo.
Selain itu, pasar ini juga menjadi surga bagi para pecinta jajanan tradisional, dengan berbagai pilihan seperti kue pukis, jenang, getuk, dan masih banyak lagi. Keberagaman pangan lokal ini menjadi daya tarik tersendiri dan sejalan dengan tujuan acara untuk menginternalisasi nilai pangan lokal di kalangan peserta.
Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Jumat (21/3) ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan meningkatkan pengetahuan terkait pangan lokal, terutama di kalangan siswa dan guru sekolah ekologis. Acara yang diikuti oleh 19 peserta (terdiri dari 13 siswa perempuan, 6 siswa laki-laki).
Sebelum terjun langsung ke pasar, para peserta mendapatkan briefing mengenai tujuan dan tata cara kegiatan. Sebuah pemandangan positif terlihat ketika seluruh peserta telah membawa tas belanja guna ulang, menunjukkan kesadaran awal akan pentingnya mengurangi sampah plastik.
Dalam kegiatan belanja, peserta dibagi menjadi 4 kelompok (2 kelompok siswa dan 2 kelompok guru). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar peserta memilih untuk membeli sayuran dan makanan tradisional seperti tahu, tempe, dan serabi. Hal ini mengindikasikan adanya internalisasi nilai pangan lokal yang perlu dijaga. Namun, masih ditemukan satu kelompok siswa yang membeli kue pukis dengan kemasan plastik dan mika, menunjukkan bahwa ketergantungan pada jajanan berkemasan plastik masih menjadi tantangan.
Setelah berbelanja, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama staf Gita Pertiwi, Ari Khrisna (pengurus Pasar Jebres), dan Pak Cokro sebagai Ketua Paguyuban Pasar Jebres. Diskusi ini menekankan pentingnya membiasakan anak-anak untuk berbelanja dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Para siswa dan guru pun menyambut baik ajakan ini dan berencana untuk mengimplementasikannya di sekolah masing-masing. Salah satu langkah konkret yang akan diambil adalah membiasakan pembelian jajanan di kantin menggunakan gelas, bukan plastik. Selain itu, muncul kesadaran untuk melakukan sosialisasi pengurangan jajan plastik di lingkungan sekolah.
“Di Pasar Jebres ini kami bersama Gita Pertiwi memiliki program pasar minim sampah. Selain mengurangi penggunaan plastik sekali pakai di jajanan kuliner, juga melakukan penyelamatan sayur yang tidak laku dijual tetapi layak makan. Sayur-sayur itu dari pada menumpuk kita donasikan kepada panti,” ujar Ari, dikutip dari laman Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI).
Kegiatan dilanjutkan dengan forum sekolah ekologis yang membahas rencana program sekolah ekologis untuk tahun 2025. Setiap sekolah ekologis yang terlibat telah melakukan diskusi internal antara guru dan siswa, menghasilkan rencana program kerja yang beragam dan inovatif, di antaranya:
SMPN 3 Surakarta: Tindak lanjut sosialisasi kepada pedagang kantin untuk menyediakan wadah/alat makan guna ulang, sosialisasi bahaya sampah plastik bagi lingkungan kepada siswa, pembiasaan pilah sampah, optimalisasi tempat pilah sampah dan pengomposan, budidaya maggot, pembiasaan kebersihan kelas, mengurangi pembelian jajan kemasan plastik, dan perawatan aquaponik.
MI Muhammadiyah 1 PK: Penggunaan alat makan dan tumbler guna ulang, membuat rumah daun untuk kompos, mengelola limbah air wudhu, dan kampanye kepada teman sekolah untuk berbelanja pangan lokal dan minim plastik.
SMPN 3 Colomadu: Tindak lanjut sosialisasi kepada pedagang kantin untuk menyediakan wadah/alat makan guna ulang dan mengurangi dagangan berkemasan plastik, gerakan pungut sampah dua bulan sekali, membuat rumah daun, bekerja sama dengan petugas sampah, dan penanaman pohon di lingkungan sekolah.
SMPN 9 Surakarta: Sosialisasi pengelolaan sampah, sosialisasi siswa untuk membawa wadah bekal makan sendiri, merencanakan pembuatan zona tanaman di sekolah, membuat biopiro, mengelola sampah organik dengan maggot, dan membuat jadwal “grebek lingkungan” mingguan (pembuatan pupuk organik/cair, merawat tanaman, dll).
Aksi jelajah pasar dan belanja minim plastik ini menjadi langkah awal yang positif dalam membangun kesadaran dan tindakan nyata untuk mengurangi sampah plastik di lingkungan sekolah. Dengan adanya rencana program sekolah ekologis yang terstruktur, diharapkan akan tercipta generasi muda yang lebih peduli terhadap lingkungan dan mampu menerapkan gaya hidup minim plastik dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini juga menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain untuk turut serta dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan lestari.
Yayasan Gita Pertiwi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan diri pada kegiatan pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat. Sejak berdiri Gita Pertiwi telah mengembangkan berbagai program yang berorientasi pemberdayaan dan pengembangan sikap kritis masyarakat melalui isu lingkungan hidup dan keadilan sosial. Khususnya dalam rangka mengantisipasi masalah percepatan pembangunan yang menimbulkan berbagai dampak dan perubahan lingkungan yang merugikan kelompok perempuan dan anak-anak, difabel, dan kelompok marginal lainnya.
Sawah terhimpit perusahaan sawit di Kalimantan Selatan. (Walhi Kalimantan Selatan)
Rencana pembukaan lahan 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi dinilai sebagai kesesatan berpikir. Pernyataan tersebut seolah-olah menjelaskan kerusakan ekologis akibat deforestasi adalah hal sederhana dan lebih seperti narasi anti sains yang berakibat fatal pada kondisi lingkungan.
“Pernyataan itu juga memperlihatkan watak tidak ingin belajar dari masa lalu seperti proyek lahan gambut satu juta hektar dan lahan food estate di Kalimantan Tengah yang sangat nyata kegagalannya,” demikian pernyataan Walhi Kalimantan Selatan, 13 Januari 2025.
Menurut Walhi Kalimantan Selatan, dalam konteks daerah, Kalimantan Selatan juga menjadi contoh miniatur kegagalan proyek seremonial yang ugal-ugalan. Proyek Hari Pangan Sedunia (HPS) Tahun 2018 yang dilaksanakan di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala adalah salah satunya.
Belakangan lahan pasca HPS yang dipaksa produktif waktu itu telah menjadi padang rumput atau semak belukar. Artinya tidak ada agenda yang berkelanjutan setelah proyek yang menelan anggaran jumbo tersebut dijalankan.
Sebaliknya, kini Jejangkit sangat rentan terdampak krisis iklim dan bencana ekologis. Selain itu, potensi konflik masyarakat petani dengan perusahaan perkebunan sawit bisa saja kembali meningkat.
Hasil analisis Walhi Kalimantan Selatan bahwa produktifitas pertanian di Kecamatan Jejangkit terus menurun dalam kurun waktu tiga tahun. Pada 2020 produksi tanaman padi mencapai seluas 2.879 hektar. Namun, pada 2021 produksi padi menurun menjadi 2.127 hektar, begitu juga 2022 produksi padi semakin menurun drastis hanya seluas 1.104 hektar.
Belum kering di ingatan bahwa banjir besar 2021 adalah pertanda krisis ekologis semakin nyata seiring dengan aktivitas industri ekstraktif yang semakin meningkat. Bencana tersebut juga merupakan dampak dari perubahan iklim yang menyebabkan bencana hidrometeorologi di banyak daerah.
Selain kerusakan lingkungan akan kian parah, Walhi Kalimantan Tengah menilai pernyataan yang sesat pikir deforestasi untuk pangan dan energi jelas memalukan bagi negara yang ikut terlibat dalam perjanjian Paris pada 2015 lalu dan telah diratifikasi melalui Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
Di Kalimantan Selatan sendiri saat ini beban izin PBPH, tambang, dan sawit mencapai sekitar 2,5 juta hektar, itu lebih besar dari tutupan hutan yang hanya sekitar 716.428 hektar. Bahkan hutan primer di Kalsel hanya tersisa sekitar 49.958 hektar. “Sangat naif ketika kita masih meyakini bahwa hutan Indonesia khususnya Kalimantan merupakan paru-paru dunia ketika tutupan hutan terus berkurang,” kata Walhi Kalimantan Selatan.
Tingginya luas beban izin industri ekstraktif juga berimplikasi pada kejadian bencana seperti banjir besar yang terjadi pada Tahun 2021. Sebab, 13 Kabupaten/Kota atau seluruh daerah di Kalsel terdampak banjir tersebut. Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kalimantan Selatan mencatat sebanyak 176.290 Kepala Keluarga (KK) atau 633.723 jiwa menjadi korban, 135.656 orang mengungsi, 123.410 rumah terendam, dan 46 orang meninggal dunia. Negara menaksir kerugian sebesar Rp1,349 triliun.
Banjir 2021 dengan daya rusak terparah menyapu Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), daerah yang selama ini berkomitmen untuk tidak mengizinkan tambang batubara dan sawit beroperasi. Namun, di sisi lain ada dugaan aktivitas illegal logging yang masih marak di HST sehingga deforestasi di hulu memperparah kejadian banjir waktu itu. Hal ini juga memicu warga HST melakukan advokasi untuk memastikan komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum pada kasus-kasus tersebut.
Bencana hidrometeorologi seperti yang terjadi pada 2021 sangat cukup menjadi alasan untuk tetap mempertahankan hutan Kalimantan. Banyak kejadian bencana ekologi yang tak terduga seperti gempa bumi menjadi indikator bahwa kita harus melakukan upaya mitigasi yang komprehensif.
Walhi mendesak pemerintah untuk mengurungkan dan menghentikan proyek ambisius mempercepat laju deforestasi tersebut. Dengan alasan pangan dan energi bukan berarti kita mesti serta merta menumbalkan hutan kita yang juga menjadi indentitas bangsa ini. Tanpa hutan, kita akan kehilangan sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang rentan dan esensial.