Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim

Senyum itu nyaris tak pernah lepas dari wajah Mercy Fitry Yana sore itu. Sembari jemarinya menyentuh dompolan buah kopi yang padat di kebunnya di Desa Tebat Tenong Luar, Rejang Lebong, Bengkulu, ia menceritakan perubahan besar yang membuatnya begitu bahagia.

Mercy adalah salah satu dari banyak perempuan petani yang kini merasakan langsung dampak positif dari apa yang mereka sebut “Kebun Kopi Tangguh Iklim”. Ia adalah anggota sekaligus Sekretaris Koalisi Perempuan Petani Kopi Desa Kopi Tangguh Iklim (Koppi Sakti) Bengkulu.

Sambil mengajak kami berkeliling kebunnya yang kini tampak lebih hijau dan subur, Mercy menunjuk ke arah buah kopi selang (buah di luar musim panen).

“Seperti inilah penampakan buah selangnya. Jauh berbeda dengan tahun lalu,” ujar Mercy, didampingi suaminya, Alto Kahirjat. Buahnya begitu lebat dan sehat, pemandangan yang tak biasa untuk buah di luar musim.

“Bahkan, beberapa petani kopi yang sempat mampir ke sini (kebun kopinya) mengatakan mirip dengan buah musim. Mudah-mudahan kondisi buahnya tetap bagus sampai waktu siap dipanen,” katanya penuh harap.

Harapan Mercy bukan tanpa alasan. Perubahan di kebunnya bukan sekadar ilusi. Angka-angka panen musim ini berbicara jelas.

Tahun lalu, Mercy hanya bisa mengumpulkan 25 karung kopi (ukuran 50 kg) dari kebunnya. Tahun ini, hasil panennya melonjak signifikan menjadi 43 karung. Peningkatan hasil juga terasa hingga panen “buah ujung” atau petik ketiga.

“Baru sekitar seminggu selesai panen buah ujung. Hasil yang diperoleh 7 karung. Kalau hasil panen buah ujung tahun lalu, hanya 4 karung,” jelasnya. “Namun, isi karung hasil panen tahun lalu tidak sebanyak isi karung hasil panen buah ujung pada tahun ini.”

Jawaban atas krisis iklim

Perubahan drastis ini adalah buah dari kerja kolektif para perempuan di Koppi Sakti. Mereka bersepakat untuk kembali ke praktik-praktik kearifan lokal yang sempat ditinggalkan, sebuah jawaban nyata untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim yang kian terasa.

Mercy menjelaskan, Kebun Kopi Tangguh Iklim yang mereka bangun berarti mengucapkan selamat tinggal pada herbisida kimia untuk mengendalikan rumput. Mereka juga berhenti membakar sisa-sisa tanaman.

Sebagai gantinya, para perempuan ini menghidupkan kembali tanah mereka. Rerumputan, ranting, dan dedaunan kopi yang gugur kini diolah menjadi mulsa organik. Sekam (kulit kering) kopi yang dulu terbuang, kini disulap menjadi pupuk organik yang kaya nutrisi.

Mereka juga membuat “lubang angin” atau rorak mini di sekujur kebun. Lubang-lubang ini berfungsi sebagai penampung air hujan sekaligus ‘pabrik’ kompos alami, mengurai bahan organik langsung di tempat.

Hasilnya, kesehatan kebun pulih. Mercy bercerita, kini buah kopinya tidak lagi banyak yang busuk sebelah atau berlubang. Kulit buahnya tampak lebih mengkilap, dan buahnya terasa lebih padat dan berat.

Mercy Fitry Yana membuat pupuk organik di lubang angin dengan memanfaatkan rerumputan, dedaunan dan reranting pohon kopi dan pohon lainnya yang sebelumnya diimanfaatkan sebagai mulsa organik. Foto: Dedek Hendry

Perubahan itu tak hanya terjadi pada buah. “Perubahan lainnya, batang menjadi kokoh, batang dan cabang tidak mudah patah, akar tidak mudah tercerabut, dan dedaunan menjadi rimbun dan berwarna hijau pekat,” tutur Mercy.

Ia mengenang kondisi kebunnya sebelum berubah. “Sebelumnya, kalau batang digoyang, pangkal batang ikut bergoyang, dan akar di sekitar pangkal batang ikut bergoyang seperti mau tercerabut,” katanya.

Inisiatif para perempuan ini tidak berhenti di situ. Di bawah bendera Koppi Sakti, yang juga digawangi oleh Ketua Nurlela Wati dan Bendahara Julian Novianti, mereka bersepakat menerapkan kembali pola polikultur.

“Untuk mengembangkan pola polikultur, Koppi Sakti Desa Tebat Tenong Luar bersepakat menanam nangka, durian, alpukat, jengkol, petai, kabau atau pohon lainnya yang menjadi pohon pelindung pohon kopi,” terang Mercy.

Pohon-pohon pelindung ini tak hanya menjaga kelembapan tanah dan melindungi kopi dari terik matahari, tetapi juga akan menjadi sumber pendapatan tambahan di masa depan.

Tak hanya pohon besar, lahan di sela-sela kopi pun kini produktif. “Selain sudah menanam pohon durian, alpukat, nangka, jengkol dan kabau, saya juga sudah menanam cabai rawit dan jahe, dan akan menanam terong, lengkuas dan serai di kebun kopi,” tambah Mercy.

Bagi Mercy dan perempuan petani kopi lainnya, kebun kini bukan lagi sekadar tempat menanam satu komoditas. Kebun telah menjadi ekosistem yang hidup, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan mereka menghadapi ketidakpastian iklim.

“Optimis dengan Kebun Kopi Tangguh Iklim yang dibangun,” kata Mercy, senyumnya kembali merekah. Sebuah senyuman yang mewakili optimisme baru para perempuan penjaga bumi di Rejang Lebong.

Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan LiveBengkulu

Sandiwara hijau dari Indonesia di panggung COP 30

Di panggung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim CoP 30 di Belém, Brazil, narasi iklim Indonesia terdengar meyakinkan. Hashim Djojohadikusumo, yang tampil sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, menjanjikan kepatuhan penuh pada Perjanjian Paris, target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, dan visi ambisius pertumbuhan ekonomi 8%. Namun, janji-janji yang berkilauan di panggung global itu disambut dengan skeptisisme tajam dari tanah air.

Di luar ruang negosiasi yang sejuk, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyebut pidato tersebut sarat dengan kontradiksi dan solusi sesat. Bagi mereka, apa yang dipresentasikan di Belém gagal total menyentuh akar masalah ketidakadilan iklim yang selama ini dihadapi rakyat.

Aliansi menyoroti bagaimana klaim pemerintah untuk mengurangi batu bara menjadi hampa ketika pada saat yang sama memperluas bio-bahan bakar dan mempromosikan teknologi kontroversial. Ironi terbesar, menurut mereka, terletak pada aliran dana: komitmen “transisi” terasa palsu ketika subsidi untuk industri kotor, utamanya energi fosil, masih mengalir deras hingga Rp 500 triliun per tahun, jauh melampaui pendanaan untuk aksi iklim yang sejati.

Bagi ARUKI, presentasi di Belém tak lebih dari sebuah fasad yang dirancang untuk menyembunyikan agenda yang sebenarnya.

“Pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi di KTT CoP-30 Belem adalah sebuah pertunjukan sandiwara hijau yang menutupi agenda pro-bisnis,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, yang merupakan bagian dari aliansi.

Kritik tajam Torry merujuk pada promosi solusi-solusi yang oleh pemerintah dibingkai sebagai “transisi bersih”, namun oleh masyarakat sipil dianggap sebagai “solusi palsu”.

“Mereka mempromosikan ‘waste-to-energy’ dan ‘nuclear power’ sebagai transisi bersih. Bagi kami, ini adalah solusi sesat yang merampas ruang hidup dan melanggar HAM, seperti yang terjadi pada proyek geothermal di Poco Leok dan wilayah geothermal lain,” paparnya.

Proyek-proyek ini, yang didorong atas nama energi terbarukan, dalam praktiknya justru menimbulkan konflik baru dengan masyarakat lokal dan adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup mereka.

Lebih jauh, ia menyoroti dampak dari kebijakan andalan lainnya, yakni bahan bakar nabati (BBN). Alih-alih menjadi solusi dekarbonisasi, kebijakan ini dituding menjadi dalih untuk perampasan lahan skala besar.

“Kebijakan bahan bakar nabati juga terbukti menjadi dalih perampasan lahan masyarakat adat, komunitas lokal dan petani untuk perkebunan monokultur skala besar, yang hanya memperparah konflik agraria dan mengancam ketahanan lingkungan dan pangan,” tambah Torry.

Program FOLU Net Sink 2030, yang menjadi salah satu pilar utama komitmen iklim Indonesia, juga tak luput dari kritik. ARUKI memandang program tersebut tidak lebih dari sekadar skema offset karbon berskala besar, yang lagi-lagi mengabaikan hak-hak komunitas.

Pada akhirnya, aliansi masyarakat sipil menyimpulkan bahwa solusi-solusi yang ditawarkan Indonesia di panggung global itu gagal mengatasi masalah inti. Pidato di Belém, bagi mereka, adalah cermin pengabaian terhadap keadilan iklim, perampasan lahan yang terus terjadi, dan pengabaian sistematis terhadap hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal.

Indonesia klaim aksi menuju net zero emission dan ekonomi hijau di COP 30

Di panggung global Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brazil, Indonesia tidak datang sebagai pengikut, melainkan memproyeksikan diri sebagai pemimpin yang siap memandu aksi iklim global.

Dengan delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Indonesia membawa pesan kuat: sebuah komitmen aksi iklim yang diklaim nyata, terukur, inklusif, dan berkeadilan.

Pemerintah Indonesia memaparkan cetak biru ambisius yang didukung oleh klaim capaian di lapangan. Pilar utamanya adalah komitmen teguh untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, yang didukung oleh target transisi energi untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2030.

Namun, strategi yang paling diandalkan Indonesia bertumpu pada bursa karbon dan kekayaan hutannya. Program Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 dipresentasikan sebagai pilar utama. Pemerintah mengklaim telah berhasil menekan laju deforestasi secara signifikan hingga 75% sejak 2019, sebuah pencapaian yang menjadi fondasi target iklim dari sektor kehutanan.

“Melalui program FOLU Net Sink 2030, Indonesia menargetkan penurunan 92–118 juta ton CO₂ hingga tahun 2030 melalui pencegahan deforestasi, rehabilitasi hutan, konservasi keanekaragaman hayati, serta perlindungan ekosistem gambut dan mangrove,” terang pemerintah dalam paparannya.

Untuk mendanai ambisi kehutanan ini, Indonesia juga menyoroti dukungannya terhadap Tropical Forest Financing Facility (TFFF). Skema ini dirancang untuk memastikan ada aliran dana yang berkelanjutan untuk program-program restorasi dan konservasi, bergerak melampaui janji-janji donor tradisional.

Di sisi lain, Indonesia menegaskan keseriusannya dalam membangun ekonomi hijau melalui skema pasar karbon yang baru diluncurkan. Ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah strategi ekonomi yang menargetkan mobilisasi investasi karbon lintas sektor yang diperkirakan mencapai USD 7,7 miliar per tahun. Untuk memperkuat posisi pasarnya, Indonesia secara aktif membangun Mutual Recognition Agreements (MRA) dengan mitra internasional strategis, termasuk Jepang, Gold Standard, dan Verra.

Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa momentum COP30 di Belém digunakan untuk bergeser dari retorika ke realitas. Indonesia ingin menunjukkan bukti, bukan sekadar janji yang tertuang di atas kertas negosiasi.

“COP30 menjadi momentum untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau tidak hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan. Indonesia membangun kepemimpinan dari aksi nyata, bukan sekadar janji,” ujar Hanif di Belém.

Di tengah semua target teknis dan angka investasi, delegasi Indonesia berulang kali menekankan aspek keadilan. Transformasi ini, menurut pemerintah, tidak boleh mengorbankan rakyat. Alokasi hutan adat disebut sebagai salah satu langkah konkret untuk memastikan pembangunan hijau yang berkeadilan.

Hashim Djojohadikusumo menegaskan bahwa seluruh kebijakan harus berpusat pada manusia dan memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses transisi.

“Aksi iklim harus adil, inklusif, dan berpusat pada manusia. Indonesia menegaskan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal dalam transformasi menuju masa depan hijau,” ucap Hashim.

Dengan serangkaian komitmen ini—mulai dari perlindungan hutan, transisi energi, hingga pasar karbon yang inklusif—Indonesia memposisikan diri di Belém sebagai negara yang siap memimpin transisi global. Pesan yang ingin disampaikan jelas: era negosiasi panjang telah berakhir, dan kini adalah waktunya untuk implementasi di lapangan.

“Masa negosiasi panjang telah usai, kini saatnya aksi nyata dimulai,” tutup Hashim.

Orang muda dan masyarakat adat menanam mangrove, benteng alami dari bahaya krisis iklim

Upaya konservasi ekosistem pesisir semakin mendapat perhatian sebagai strategi adaptif menghadapi krisis iklim. Di Surabaya, Universitas Airlangga (UNAIR) bersama Nanyang Polytechnic, Singapura, menggelar kunjungan ke kawasan ekowisata mangrove pada 3 September 2025. Kegiatan ini memperkenalkan praktik pelestarian mangrove yang telah lama menjadi bagian dari perlindungan alami kota pesisir terhadap abrasi, naiknya permukaan air laut, dan badai iklim ekstrem.

Delegasi mahasiswa dari kedua institusi turut serta dalam penanaman mangrove dan aksi bersih pantai. Kunjungan ini tidak hanya memperkuat jejaring akademik internasional, tetapi juga menunjukkan pentingnya solusi berbasis alam dalam pendidikan dan pengabdian masyarakat.

Eko Prasetyo, Koordinator Program Studi Teknik Lingkungan UNAIR, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi dan upaya memperkenalkan biodiversitas pesisir Surabaya.

“Kegiatan ini juga memperkuat hubungan kerjasama, memperkenalkan mahasiswa luar tentang kekayaan biodiversitas mangrove di surabaya. Kami juga mengenalkan upaya yang berjalan di surabaya untuk melestarikan mangrove yang berguna bagi kehidupan,” ujar Eko, diakses dari laman resmi, Minggu, 7 September 2025.

Konservasi mangrove bukan hanya proyek lokal. Di ujung timur Indonesia, masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, juga menjadi garda depan penjaga hutan mangrove. Mereka berhasil menolak proyek kredit karbon yang mengancam kawasan mangrove seluas hampir 600.000 hektare.

Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam tulisannya menyatakan, atas integritasnya masyarakat adat Kepulauan Aru mendapat penghargaan internasional dari Right Resources International (RRI). Ini menjadi pengingat bahwa konservasi berbasis komunitas adalah pilar utama dalam ketahanan iklim nasional.

Ancaman di Balik Pasar Karbon: Ketika Solusi Menjadi Masalah

Di balik narasi penurunan emisi, proyek-proyek karbon berbasis hutan seperti REDD+ menyisakan catatan panjang pelanggaran hak masyarakat adat. Kasus di Aru menyingkap celah regulasi: proyek dijalankan tanpa persetujuan penuh dari masyarakat, meminggirkan pengelola lokal dari tanah leluhur mereka.

Menurut Muhamad Burhanudin, Peraturan Presiden No. 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) telah menjadi dasar hukum proyek karbon di Indonesia. Namun, regulasi ini belum memiliki sistem safeguard yang kuat. Tanpa perlindungan sosial, lingkungan, dan hukum yang jelas, proyek karbon rentan dimanipulasi melalui praktik greenwashing, karbon fiktif, hingga pelanggaran FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).

Kasus serupa terjadi secara global. Di Brasil, proyek REDD+ di Pará dihentikan karena 94,9 juta kredit karbon yang dijual ternyata hanya 5,5 juta yang sah mewakili penurunan emisi. Proyek itu juga mencaplok tanah adat tanpa kompensasi yang adil.

Lemahnya pengakuan atas wilayah adat memperparah situasi. Dari potensi 4,3 juta hektare hutan adat di Indonesia, baru 332.505 hektare yang resmi diakui pemerintah. Sisanya berada dalam status rawan, membuka jalan bagi konsesi berbaju hijau yang merugikan komunitas lokal.

“Artinya, sebagian besar wilayah adat di negeri ini masih rawan “dicaplok” oleh proyek hijau yang meniru narasi karbon,” tulis Muhamad Burhanudin, dalam tulisan Membangun Beleid Iklim yang Berkeadilan.

Mendorong Keadilan Iklim Lewat Kebijakan yang Berpihak

Krisis iklim tidak menyerang semua orang secara setara. Nelayan, petani kecil, perempuan, dan masyarakat adat adalah kelompok paling terdampak, padahal kontribusi mereka terhadap emisi global sangat kecil. Ketika laut menghangat dan gagal panen terjadi, mereka yang pertama kali merasakan dampaknya. Namun, kebijakan iklim di Indonesia masih condong ke mitigasi — menurunkan emisi — dan mengabaikan aspek adaptasi.

Restorasi mangrove adalah contoh adaptasi yang efektif. Berbeda dengan proyek karbon berskala besar yang rawan konflik lahan, upaya penanaman dan pemeliharaan mangrove melibatkan komunitas lokal secara langsung dan memperkuat perlindungan wilayah pesisir.

Namun, dukungan kebijakan masih kurang. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim yang sedang dibahas di DPR dan DPD menjadi peluang penting untuk membenahi arah kebijakan. RUU ini harus menjadi payung hukum perlindungan hak masyarakat adat, jaminan partisipasi publik, distribusi manfaat yang adil, serta sistem pengawasan independen. Prinsip keadilan iklim harus ditegaskan, agar tidak ada lagi komunitas yang berjuang sendirian mempertahankan ruang hidupnya dari ekspansi atas nama karbon.

Krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan proyek-proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia harus dijawab dengan keberpihakan yang nyata kepada penjaga bumi sesungguhnya — dari hutan mangrove Surabaya hingga pesisir Aru. Mereka tidak menuntut imbalan besar, hanya perlindungan, pengakuan, dan ruang untuk terus merawat alam.

“Kita harus belajar dari kepulauan Aru. Dari masyarakat adat yang tetap teguh mempertahankan hutan mangrove. Dari petani yang menjaga benih lokal agar bisa bertahan di musim kering. Dari nelayan yang menanam kembali padang lamun untuk perlindungan pantai,” ungkap Muhamad Burhanudin.

Banjir di tengah musim kemarau, bukti nyata krisis iklim

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

Curah hujan tinggi yang masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada periode Juli, yang seharusnya merupakan puncak musim kemarau, menjadi pertanda ancaman krisis iklim sudah terjadi. Alih-alih memasuki musim kering, sejumlah daerah justru dilanda banjir tidak terkecuali Jabodetabek, dan kota Mataram di NTB.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa dinamika atmosfer yang tak biasa, seperti lemahnya monsun Australia, suhu muka laut yang tetap hangat, serta aktifnya gangguan atmosfer tropis seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby, telah memicu pola cuaca yang tidak stabil dan menyebabkan hujan deras di periode yang semestinya kering.

Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa kondisi ini bukan sekadar anomali musiman, tetapi merupakan konsekuensi langsung dari krisis iklim yang selama ini diabaikan oleh pengambil kebijakan.
Pendidihan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca, sebagian besar bersumber dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif, telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia. Ketika masyarakat justru dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim kemarau, maka alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas.

“Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa. Fenomena hujan deras di periode Juli adalah peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resmi, diakses Minggu (10/8/2025).

Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam.

Pemerintah juga perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan. Meski krisis iklim semakin mengancam, hingga 2024 Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton, melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya (775 juta ton).

Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih.

Sementara, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah melalui RPP KEN dan penyediaan tenaga listrik melalui RUPTL semakin jauh dari komitmen transisi energi, dan masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2060.

Dalam RUPTL yang disosialisasikan, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.

Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut. Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060.

Berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023.

“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah adil, dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling terdampak. Kita butuh komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan, peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada kelangsungan hidup, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” lanjut Bondan.

Greenpeace mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang progresif dan selaras dengan target penurunan emisi. Namun, RUU ini tidak boleh menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut hanya memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi sejati.

Penelitian: bagaimana aktivitas magnet bumi mempengaruhi perubahan iklim

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

Aktivitas magnet bumi berdampak terhadap perubahan iklim, kegempaan, dan aktivitas vulkanologi. Hal itu karena perubahan cuaca antariksa akan terlihat pada level disturbansi dan variasi medan magnet bumi.

“Ketika terjadi aktivitas matahari yang cukup tinggi, akan terjadi gangguan terhadap medan magnet bumi yang disebut dengan badai geomagnet,” ungkap Peneliti Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Setyanto Cahyo Pranoto, di Kawasan Konservasi Ilmiah Kebun Raya Eka Karya (KKI KREK), Kamis (10/7/2025), diakses dari laman resmi, Selasa (5/8/2025).

Oleh karena itu, pihaknya melakukan pemantauan aktivitas magnet bumi. Pemantauan itu dilakukan dengan menggunakan magnetometer yang dapat mendeteksi magnet bumi. “Kami sedang mengambil data perubahan medan magnet bumi menggunakan alat magnetometer yang dipasang sejak tahun 2022 di KKI KREK,” ungkap Pranoto.

Mira Juangsih, Periset PRA BRIN menyampaikan bahwa badai geomagnet (magnet bumi) dapat menyebabkan gangguan dan kerusakan satelit yang sedang beroperasi mengelilingi bumi. Anomali ini juga bisa menyebabkan listrik padam, terganggunya sinyal navigasi. Selain itu perubahan medan magnet bumi dapat mengganggu komunikasi radio.

“Pemantauan cuaca antariksa dilakukan setiap hari pukul 14.00 WIB oleh periset PRA dan bisa diakses melalui laman https://swifts.brin.go.id/,” terangnya.

Terakhir, Mira menyebutkan kegiatan ini dapat memberikan informasi penting mengenai perilaku medan magnet yang terekam di KKI KREK. Data yang diperoleh dapat dimanfaatkan lembaga terkait melalui pertukaran data riset.

Dampak cuaca antariksa

BRIN juga memaparkan hasil riset antariksa, termasuk pengembangan teknologi pengukuran cuaca antariksa. “Di luar angkasa, badai yang terjadi adalah badai energi bermuatan dari matahari yang dampaknya bisa terasa hingga ke teknologi yang kita gunakan sehari-hari,” kata Peneliti Ahli Muda Bidang Ionosfer, Pusat Riset Antariksa BRIN, Rizal Suryana, di Bandung.

Rizal menjelaskan, aktivitas matahari, geomagnet, dan ionosfer merupakan tiga parameter utama dalam memprediksi cuaca antariksa. Perubahan pada parameter tersebut berpotensi memberikan pengaruh terhadap aktivitas kehidupan manusia, salah satunya sistem komunikasi, operasional satelit dan navigasi berbasis global positioning system (GPS).

“Ketika terjadi badai matahari, geomagnet, dan ionosfer dalam intensitas kecil, sedang, atau besar, salah satu dampaknya dapat menurunkan akurasi posisi GPS. Ini akan berdampak pada aktivitas sehari-hari, seperti pemesanan ojek online, pengiriman makanan secara online, dan navigasi,” terangnya.

Dampak cuaca antariksa juga sangat signifikan terhadap operasi satelit. Oleh karena itu, BRIN melakukan pengamatan melalui dua pendekatan utama, berbasis satelit (space-based) dan berbasis bumi (ground-based).

Rizal memaparkan bahwa BRIN saat ini tengah mengembangkan berbagai program strategis di bidang sains antariksa. Mulai dari pengembangan satelit, eksplorasi luar angkasa, hingga pemanfaatan data observasi Bumi untuk mendukung pembangunan nasional.

BRIN tengah mengembangkan teleskop di Observatorium Nasional Timau, Nusa Tenggara Timur yang mampu mengamati benda-benda langit dan satelit yang melintas di antariksa.

Upaya pengembangan peralatan riset juga terus dilakukan. Salah satunya Callisto berbasis software defined radio (SDR), yaitu alat pengamat cuaca antariksa untuk menerima frekuensi yang bersumber dari semburan matahari, memungkinkan pemantauan intensif sepanjang hari. Alat ini dapat mengetahui intensitas semburan, baik kecil, sedang, maupun besar.

“Teknologi ini lebih murah dan penggunaanya bisa dikuasai secara penuh,” sebut Rizal.

Dia menyampaikan bahwa BRIN menyediakan berbagai skema program beasiswa dan magang riset yang dapat diakses oleh mahasiswa yang tertarik mendalami sains dan teknologi, khususnya keantariksaan. Beasiswa ini menjadi bagian dari strategi BRIN membangun ekosistem talenta nasional di bidang riset dan inovasi.

Krisis iklim sudah sampai di depan rumah

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

“Perubahan iklim akan terwujud dalam bentuk serangkaian bencana yang dapat dilihat melalui ponsel dengan rekaman yang semakin dekat dengan tempat tinggal Anda hingga Anda sendiri yang merekamnya.”

Perubahan iklim tampak sebagai serangkaian bencana yang tersiar di layar telepon genggam dengan gambar yang jaraknya kian mendekat padamu hingga akhirnya kamulah yang mendokumentasikannya.

Dan hari itu tiba giliran saya.

Minggu, 6 Juli 2025, hujan yang mulanya syahdu, seketika berubah menjadi pengalaman yang selamanya mengubah saya dan keluarga saya melihat dunia. Sore itu, krisis iklim mengetuk pintu rumah kami.

Dalam hitungan menit sejak seorang tetangga menyerukan “Banyak rumah sudah kebanjiran! Siaga! Siaga!”, air coklat mengalir deras tanpa permisi dan mengisi rumah kami hingga setinggi hampir satu meter. Rumah yang empat dekade lalu dibangun ayah saya dengan upah murah guru sekolah negeri, yang diisi ibu saya dengan ribuan perabot tua, yang selama ini mereka peluk erat dengan segala kenangan keluarga di dalamnya, hari itu harus diikhlaskan berpindah tangan ke alam.

“Sampun, Gusti…” lirih ibu saya merayu Tuhan sambil membungkus dokumen berharga ke dalam kantong plastik untuk diamankan di loteng rumah. Sementara air terus menelan satu per satu sofa, kasur, kulkas, hingga mainan favorit kucing-kucing saya.

Peristiwa banjir yang biasanya hanya kami saksikan di layar gawai dan televisi, kini terjadi pada kami.

Banjir hari itu bersejarah bagi Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan sebanyak 4,2 miliar liter air hujan mengguyur penjuru kota. Sebanyak lebih dari 34.000 warga–termasuk saya dan keluarga–terdampak. Ketinggian banjir bervariasi, dari hanya semata kaki hingga seatap rumah. Pemerintah NTB menyebut salah satu faktor utama penyebab banjir adalah kondisi sungai-sungai yang tidak sehat karena pendangkalan dan tumpukan sampah.

Awal Juli 2025 tidak hanya basah bagi warga Pulau Lombok. Juli yang semestinya kering dengan musim kemarau juga menenggelamkan banyak wilayah lain di Indonesia, bahkan sampai menyebabkan tanah longsor dan menimbulkan korban jiwa.

Di Bali, hujan deras mengakibatkan banjir yang sempat melumpuhkan jalan protokol Denpasar-Gilimanuk. Penyebabnya serupa dengan di Lombok, yakni kombinasi peningkatan debit air dan drainase yang mampet akibat sampah.

Area Jabodetabek yang kerap “langganan” banjir tentu tak ketinggalan. Di Bogor, cuaca ekstrem menyebabkan tanah longsor dan menewaskan tiga orang. Banjir juga mengepung area Tangerang Selatan, Depok, serta wilayah di bantaran Kali Ciliwung di Jakarta. Selain itu, banjir juga terjadi di Lampung, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.

Abad perpindahan

“Kenapa Anda terobsesi sekali mengembalikan alam pada bentuk semula?”

Seorang ulama ternama menanyakan hal itu pada Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, dalam sebuah tayangan talkshow di televisi nasional pada Juni lalu. Kala itu mereka membahas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Iqbal menyerukan desakan untuk memulihkan ekosistem laut dan pulau-pulau kecil Raja Ampat, sementara si ulama berdalih bahwa kekayaan alam harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.

Mendengar ucapan ulama itu hati saya ngilu. Andai saja saya bisa menembus layar dan berkata langsung padanya, bahwa kalau kita tidak mengembalikan alam ke bentuk semula, maka alam akan melakukannya dengan caranya sendiri yang kemudian oleh manusia akan disebut sebagai “bencana”. Kemaslahatan yang ulama itu maksud tak akan ada maknanya jika alam memutuskan untuk merenggutnya kembali.

Dan jika Anda perhatikan, tak sekalipun saya menyebut banjir yang menelan rumah saya sebagai “bencana alam”. Karena bagi saya, alam tidak pernah secara sengaja mencelakakan makhluk yang menghuninya. Alam hanya merespons perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia–misalnya membabat hutan untuk tambang atau kebun sawit, menguras laut untuk industri perikanan, dan menjejali sungai dengan sampah plastik. Maka sebenarnya manusia yang menciptakan bencana bagi dirinya sendiri.

Hanya saja, yang menjadi masalah adalah siapa yang secara aktif menciptakan bencana dan siapa yang berlangganan terkena bencana. Siapa yang mengeluarkan izin tambang mengeruk sumber daya alam dan merusak ekosistem (jawab: oligarki dan kapitalis), siapa yang jadi korban tanah longsor dan kehilangan mata pencaharian dari laut (jawab: masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil). Siapa yang gagal mempertanggungjawabkan ekonomi sirkular limbah plastik dari produk konsumen (jawab: pemerintah dan perusahaan konsumen), siapa yang kena banjir kalau sungai-sungai meluap (jawab: masyarakat). Siapa yang melanggengkan praktik pembangkit listrik tenaga batubara (jawab: pemerintah), siapa yang sesak napas akibat debu dan udara beracun dari limbah aktivitasnya (jawab: masyarakat).

Krisis iklim kian nyata. Greenpeace Indonesia meyakini bahwa krisis iklim diabaikan pengambil kebijakan–lokal, nasional, dan global. Inisiatif-inisiatif individu seperti stop penggunaan plastik sekali pakai, belajar mengompos, dan kampanye kendaraan umum, tidak akan sebanding dengan laju kerusakan jika tak ada aksi nyata dari pada pembuat kebijakan. Perencanaan pembangunan harus menyertakan faktor krisis iklim di dalamnya. Jika diam saja, kita akan terus menghadapi perubahan yang tidak menentu–gagal panen, kebakaran hutan, krisis air bersih, kekeringan di musim hujan, serta banjir di musim kemarau.

Beberapa pekan lalu saya menamatkan buku berjudul Nomad Century: How Climate Migration Will Reshape Our World karya Gaia Vince. Abad perpindahan, katanya. Dalam buku tersebut penulis perempuan berdarah Inggris Raya itu memaparkan bahwa beberapa dekade terakhir tren migrasi global akibat krisis iklim telah berlipat ganda–dan hanya akan terus meningkat.

Wilayah yang dulu penghuninya bercocok tanam dan beternak sebagai mata pencaharian, kini dilanda kekeringan parah dan tak ada lagi sumber air yang bisa menghidupi. Dataran pesisir dan pulau-pulau kecil perlahan tenggelam seiring dengan memanasnya suhu Bumi dan meningkatnya permukaan air laut. Di sisi utara dan selatan planet Bumi, setiap musim panas menjadi yang terpanas dengan disertai gelombang panas mematikan. Krisis iklim mendesak umat manusia berpindah mencari hunian yang aman untuk melanjutkan kehidupan.

“Kita sedang menghadapi darurat spesies. Kita bisa saja bertahan hidup, tapi untuk itu kita perlu perencanaan migrasi besar-besaran bagi umat manusia. Ini adalah krisis kemanusiaan terbesar yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis Gaia.

Banjir yang saya alami kemarin membuat saya teringat lagi akan buku itu. Akankah saya, cepat atau lambat, menjadi bagian dari orang-orang yang harus bermigrasi karena iklim? Mungkin garis pantai akan melibas rumah saya? Atau tanah di sini tak lagi ada air bersih?

Hujan bulan Juni, banjir bulan Juli

Tubuh kami masih separuh basah. Malam makin larut dan listrik dipadamkan untuk menghindari petaka lanjutan akibat banjir. Orang tua dan kucing-kucing saya tampak masih terguncang. Memecah keheningan, saya bilang bahwa kita sudah melakukan yang terbaik dan kita tak akan mampu melawan alam.

“Ini namanya krisis iklim,” kata saya.

“Hari ini banjir, padahal 40 tahun mama sama bapak di sini enggak pernah ada banjir. Parahnya lagi ini bulan Juli. Kemarau! Dan kalau pemerintah diam saja, ya, kita cuma bisa makin pasrah kalau alam marah. Sebelum itu terjadi, kita boleh marah lebih dulu ke pemerintah supaya lebih perhatian sama lingkungan.”

Menjelang tidur, ingin rasanya saya bercerita langsung kepada almarhum Sapardi Djoko Damono. Akan saya wartakan padanya bahwa hujan bulan Juni tak lagi anomali. Kini, bahkan di tengah musim kemarau bulan Juli, banjir dan tanah longsor bisa terjadi. Kemarau ini, krisis iklim mengetuk pintu rumah kami.

Penulis:

Vela Andapita adalah Koordinator Komunikasi Global Greenpeace untuk Kampanye Beyond Seafood yang tinggal di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Sumber energi alternatif ramah iklim dari ampas kopi

Biogas dari ampas kopi. (Enter Nusantara)
Biogas dari ampas kopi. (Enter Nusantara)

Di tengah tantangan krisis iklim dan timpangnya akses energi di perdesaan, sekelompok orang muda membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari hal yang sering diabaikan: ampas kopi yang menjadi bahan baku biogas sebagai sumber energi alternatif.

Inisiatif ini datang dari program Ground to Gas (G2G), sebuah gerakan yang digagas oleh komunitas muda bersama dengan Enter Nusantara untuk mengolah limbah organik khususnya ampas kopi dari kedai-kedai kopi di Sumedang menjadi biogas sebagai sumber energi alternatif. Program ini dirancang sebagai bentuk keterlibatan langsung orang muda dalam transisi energi bersih, bukan hanya dalam tataran advokasi, tapi juga implementasi nyata di lapangan.

Minggu (29/6/2025), Ground to Gas resmi menyerahkan instalasi biogas kepada warga Desa Haurngombong, Kabupaten Sumedang. Acara ini dirangkai dengan pelatihan teknis pengelolaan biogas, serta diskusi terbuka bersama warga dan perangkat desa mengenai pentingnya pengelolaan limbah berbasis masyarakat.

Berbeda dari teknologi biogas konvensional yang umumnya hanya menggunakan kotoran ternak sebagai bahan utama, G2G memperkenalkan pendekatan inovatif dengan menambahkan limbah ampas kopi sebagai bahan pendamping. Kombinasi ini terbukti dapat meningkatkan kualitas gas sekaligus mengurangi limbah yang terbuang dari industri kecil kopi yang berkembang di daerah perkotaan dan perdesaan.

G2G bukan proyek biasa. Ia lahir dari keresahan generasi muda terhadap melimpahnya limbah yang tidak termanfaatkan dan ketergantungan desa pada energi fosil. Ratusan kedai kopi berdiri di Sumedang, menghasilkan ampas yang biasanya dibuang begitu saja. Di sisi lain, banyak rumah tangga di desa yang masih bergantung pada LPG bersubsidi atau kayu bakar. Melalui pendekatan kolaboratif, G2G menjembatani dua realitas ini—mengubah limbah menjadi energi, dan harapan menjadi tindakan.

“Ini bukan hanya soal teknologi. Ini soal keberanian anak muda untuk terjun langsung ke lapangan, mendengarkan kebutuhan warga, lalu bekerja bersama mereka. Selama ini kita terlalu sering bilang ‘anak muda adalah masa depan’, tapi G2G membuktikan bahwa anak muda adalah masa kini yang bisa bekerja untuk masa depan,” kata Naba, Enter Nusantara, dalam keterangan resmi.

Pelatihan yang diberikan mencakup proses fermentasi, pemeliharaan instalasi, serta cara-cara aman dan berkelanjutan dalam menggunakan biogas untuk kebutuhan rumah tangga. Warga juga diajak memahami bagaimana pengelolaan limbah yang baik tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga membawa manfaat langsung bagi kehidupan sehari-hari.

Hal ini turut dirasakan oleh Abad (40), warga yang menjadi salah satu penerima manfaat instalasi biogas. “Alhamdulillah sejak ada biogas ini, pengeluaran keluarga jadi lebih hemat karena kita ga perlu beli gas LPG lagi. Selain itu, senang juga limbah kotoran ternak yang biasanya cuma kita timbun dan buang ke kebun sekarang bisa dikelola dan dimanfaatkan dengan lebih baik.”

G2G membuktikan bahwa orang muda bukan hanya bagian dari seminar atau festival ide. Mereka bisa jadi pelaku langsung dari transisi energi, dengan keberanian untuk mendobrak ketimpangan, mengubah narasi, dan menciptakan solusi dari bawah.

Di tengah wacana besar tentang energi bersih, G2G hadir sebagai contoh konkret: bahwa desentralisasi energi tak harus dimulai dari kebijakan pusat, melainkan dari gotong royong, pengetahuan lokal, dan keberanian untuk mencoba. Bahwa pengelolaan limbah bukan beban, tapi potensi. Dan bahwa anak muda bukan hanya simbol, tapi pelaku.

Menilik potensi ampas kopi Jawa Barat

Limbah kopi memang belum termanfaatkan secara maksimal. Padahal, Indonesia maupun Jawa Barat merupakan penghasil kopi potensial.

Berdasarkan data dari Statistik Kopi Indonesia tahun 2020 (Badan Pusat Statistik), Jawa Barat menempati urutan ke delapan untuk angka produktivitas kopi nasional. Jawa Barat menjadi salah satu wilayah di Pulau Jawa yang masuk menjadi daerah dengan angka produktivitas kopi yang tinggi yaitu 786 kg/ha.

Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat (diakses melalui Open Data Jabar) mengenai hasil produksi kopi di kabupaten/kota di Jawa Barat, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Bogor menjadi wilayah dengan hasil produksi kopi terbanyak sebesar 7.772 ton, 4.639 ton, dan 3.654 ton di tahun 2021.

Terdapat 3 jenis perkebunan tahunan komoditi kopi di Jawa Barat yaitu, Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta, dan Perkebunan Besar Rakyat. Namun tidak semua wilayah kabupaten dan kota di Jawa Barat mempunyai perkebunan kopi. Sama dengan top 3 wilayah produksi kopi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Bogor pun menjadi wilayah dengan luas lahan kopi yang besar, 13.254 Ha, 6.267 Ha, dan 6.140 Ha.

Jawa Barat memiliki kelebihan geografis yang terdiri atas gugusan gunung. Kondisi dataran tinggi itu lah yang mampu mendukung untuk menanam berbagai jenis kopi dengan kualitas yang baik. Caranya bisa melalui pengembangan komoditas yang memiliki potensi besar untuk menembus pasar global sekaligus menjadi substitusi produk impor di pasar domestik.

Perubahan iklim berdampak besar terhadap anak dengan disabilitas dan kusta di Indonesia

Dampak perubahan iklim. (UNESCO)
Dampak perubahan iklim. (UNESCO)

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi lebih dari 250 juta jiwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya di wilayah pesisir. Laporan UNESCO melalui program MOST (Management of Social Transformation) menggarisbawahi tingginya “Coast at Risk Index” Indonesia, diperburuk oleh pembangunan yang tidak tepat dan proyeksi kenaikan permukaan laut hingga 80 cm pada akhir abad ini.

Kondisi ini menjadikan kelompok rentan—termasuk anak dan remaja dengan disabilitas serta yang mengalami kusta—semakin terdampak secara tidak proporsional, baik dari sisi keselamatan, kesehatan, maupun penghidupan mereka.

Kerentanan ini menjadi fokus utama dalam kegiatan “Diseminasi Hasil Riset “Dampak Perubahan Iklim terhadap Anak dan Remaja dengan Disabilitas dan Kusta di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan NLR Indonesia, pada 12 Juni 2025 di Yogyakarta. Kegiatan ini bukan sekadar akademik, melainkan bagian dari upaya advokasi untuk memastikan suara kelompok marginal turut diperhitungkan dalam kebijakan iklim nasional dan daerah.

Riset dilaksanakan di dua wilayah yang merepresentasikan kompleksitas risiko iklim di Indonesia, yakni Kota Ternate (Maluku Utara) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur). Kedua wilayah ini tidak hanya menghadapi paparan iklim ekstrem seperti curah hujan tinggi, kekeringan, dan bencana hidrometeorologi, tetapi juga dihuni oleh komunitas penyandang disabilitas dan orang yang mengalami kusta yang selama ini luput dari agenda adaptasi perubahan iklim.

Awaluddin Nurmiyanto, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan UII, menegaskan pentingnya riset ini sebagai bagian dari peran perguruan tinggi dalam mendekatkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat yang paling terdampak.

“UII tidak hanya berperan sebagai pusat pengetahuan, tetapi juga sebagai penggerak perubahan sosial yang adil. Melalui riset ini, kami ingin menyampaikan bahwa ketidakadilan iklim itu nyata—dan harus direspons dengan kebijakan yang inklusif, adaptif, dan berbasis data,” jelasnya, dalam keterangan resmi, diakses Senin (14/7/2025).

Agus Wijayanto, MMID, Direktur NLR Indonesia, menambahkan bahwa riset ini merupakan tonggak penting dalam mendorong pengarusutamaan isu disabilitas dan kusta dalam kebijakan iklim.

“Kami melihat masih minimnya perhatian terhadap penyandang disabilitas dan orang yang mengalami kusta dalam dokumen-dokumen strategi perubahan iklim nasional maupun daerah. Riset ini bukan sekadar kajian akademik, tetapi juga upaya untuk memperkuat basis advokasi berbasis bukti,” ujarnya.

Riset melibatkan kelompok rentan

Paparan hasil riset disampaikan oleh Ikrom Mustofa, Ketua Tim Riset sekaligus dosen Jurusan Teknik Lingkungan UII. Ia menyoroti bahwa dampak perubahan iklim terhadap kelompok anak dan remaja penyandang disabilitas dan kusta bukan hanya berdimensi fisik, tetapi juga sosial dan psikologis.

“Riset ini menyajikan realitas yang selama ini luput dari radar kebijakan. Anak dan remaja dengan disabilitas, terutama yang mengalami kusta, berada dalam posisi yang sangat rentan. Mereka bukan hanya mengalami hambatan akses informasi iklim dan layanan kebencanaan, tetapi juga dihadapkan pada stigma sosial yang berlapis,” jelas Ikrom.

Lebih lanjut, Ikrom mengungkapkan bahwa sebagian besar anak dan remaja penyandang disabilitas yang terlibat dalam studi ini menunjukkan semangat tinggi untuk berkontribusi dalam aksi iklim. Namun, selama ini mereka tidak pernah diajak.

“Di Ternate dan TTU, kami melihat semangat luar biasa dari anak-anak dan remaja ini. Mereka ingin menjadi bagian dari solusi. Mereka ingin menanam pohon, membersihkan lingkungan, bahkan menyuarakan pendapat mereka dalam forum publik. Namun selama ini mereka tidak pernah diajak. Tidak pernah diberi ruang. Ini adalah kegagalan sistemik yang harus segera kita perbaiki,” lanjutnya.

Riset ini menghasilkan sejumlah luaran penting, mulai dari laporan hasil penelitian, peta kerentanan wilayah, profil komunitas, hingga rekomendasi aksi nyata yang dapat diadopsi oleh para pemangku kepentingan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih inklusif.

Kegiatan diseminasi juga dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk akademisi, aktivis lingkungan, organisasi penyandang disabilitas, dan mitra lokal seperti Ikatan Keluarga Disabilitas Makugawene (IKDM) dari Ternate dan Yayasan Sosial Ibu Anfrida dari TTU. Partisipasi mereka menegaskan pentingnya kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang paling terdampak.

Sebagai langkah lanjut, UII dan NLR Indonesia menandatangani “Implementation Agreement” guna memperkuat kerja sama dalam riset terapan, peningkatan kapasitas komunitas, dan advokasi kebijakan berbasis keadilan iklim.

“Diseminasi ini bukanlah akhir, tapi justru awal dari langkah panjang untuk menjadikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim benar-benar inklusif, terutama bagi anak dan remaja yang selama ini terpinggirkan,” pungkas Ikrom Mustofa.

Dalam konteks yang lebih luas, kajian UNESCO bersama LIPI, UI, dan UGM melalui laporan tahun 2017 menekankan perlunya desain kebijakan adaptasi perubahan iklim yang lebih inklusif, terutama untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) pemerintah dinilai masih terlalu fokus pada aspek fisik dan teknis, dengan minim perhatian terhadap dimensi sosial-budaya kelompok rentan.

Oleh karena itu, integrasi perspektif inklusi sosial dan perlindungan kelompok marginal seperti anak dan remaja dengan disabilitas serta yang mengalami kusta, menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan iklim yang berkeadilan di Indonesia. Kebijakan yang tidak hanya berbasis data dan proyeksi ilmiah, tetapi juga mendengarkan pengalaman hidup kelompok yang selama ini tidak terlihat.

Menjaga hutan dan ekosistemnya, kunci mengurangi dampak krisis Iklim di Indonesia

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

Di tengah krisis iklim global yang semakin nyata, dunia membutuhkan kepemimpinan, bukan kehati-hatian yang berujung pada stagnasi. Indonesia, sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan pusat keanekaragaman hayati global, memiliki tanggung jawab strategis untuk menjadi bagian dari solusi.

Namun, penundaan pengajuan dokumen iklim Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dan wacana penyesuaian target FOLU Net Sink 2030 ke arah yang kurang ambisius justru mengirim sinyal yang bertolak belakang dengan harapan global terhadap Indonesia.

Demikian disampaikan oleh Nadia Hadad, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan menanggapi pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang menyebut bahwa dokumen Second NDC harus “realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi”.

SNDC adalah versi terbaru dari kontribusi iklim nasional (NDC) yang wajib diperbarui setiap lima tahun sesuai amanat Perjanjian Paris. Tahun 2025 menjadi tonggak penting: seluruh negara harus mengajukan NDC baru yang ambisius, progresif dan sejalan dengan target untuk membatasi suhu global di bawah 1.5°C.

Namun, ambisi kolektif dari NDC yang ada saat ini masih akan membawa dunia ke jalur pemanasan 2.5–2.9°C—jauh dari batas aman 1.5°C. Tanpa peningkatan besar-besaran dalam SNDC tahun ini, dunia justru melaju menuju bencana.

Dalam pernyataannya kepada publik pada 16 Juni 2025 lalu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan bahwa SNDC harus disusun secara realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi. Ia juga menyatakan bahwa target yang terlalu ambisius dapat merusak wajah diplomasi Indonesia jika pada akhirnya tidak tercapai.

“Justru saat inilah dunia memerlukan negara-negara yang berani memimpin dengan ambisi tinggi. Komitmen besar yang didukung kebijakan konkret jauh lebih dihargai daripada kehati-hatian yang akhirnya memundurkan langkah kolektif global. Dan yang paling mencoreng wajah diplomasi Indonesia adalah jika kita menurunkan ambisi pada saat dunia sedang memperkuatnya,” tambah Nadia Hadad, di Jakarta, 18 Juni 2025.

“FOLU Net Sink 2030 adalah komitmen yang sudah mendapat pengakuan global. Melemahkannya hanya karena kekhawatiran tidak tercapai bukanlah bentuk kepemimpinan, melainkan kemunduran.”

Kunci mengurangi dampak krisis iklim

Pernyataan Raja Juli bahwa target net sink harus dipertimbangkan secara realistis dengan memperhatikan berbagai dinamika pembangunan nasional, seperti ketahanan pangan dan pengembangan bioenergi, memperkuat kekuatiran bahwa Indonesia berpotensi mundur dari ambisi yang telah dijanjikan. Padahal, menjaga hutan dan ekosistem adalah kunci utama dalam strategi mitigasi dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.

MADANI Berkelanjutan menegaskan bahwa SNDC harus menjadi tonggak penguatan arah pembangunan Indonesia yang berkelanjutan dan adil iklim. Penundaan hanya akan memperbesar resiko ekonomi, sosial, dan ekologis ke depan. Indonesia harus memperkuat, bukan melemahkan, posisi strategisnya di tengah panggung internasional, terutama sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar ketiga dunia.

Tahun lalu, pada 29 Agustus 2024, 64 lembaga yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sipil untuk SNDC Berkeadilan telah menyerahkan dokumen rekomendasi SNDC kepada Pemerintah Indonesia, menjelang COP di Baku. Rekomendasi tersebut menekankan pentingnya ambisi yang selaras dengan sains, keadilan sosial, serta pelibatan aktif kelompok rentan dan masyarakat sipil dalam proses penyusunan.

Dalam release media saat itu, Nadia Hadad telah menegaskan, “Pemerintah harus membuka ruang partisipasi bermakna, melibatkan kelompok rentan dan masyarakat sipil agar SNDC mencerminkan kebutuhan rakyat, bukan sekadar akomodasi sektor industri. Kalau tidak, kita hanya akan punya dokumen yang rapi di atas kertas tapi gagal menjawab krisis.”

Kini pun, MADANI Berkelanjutan mendesak agar Pemerintah segera mengajukan SNDC yang ambisius dan berkeadilan untuk mengurangi dampak krisis iklim.

“Target FOLU Net Sink harus dipertahankan sebagai tulang punggung mitigasi, dan langkah-langkah adaptasi harus dijalankan secara inklusif, berpihak pada mereka yang paling terdampak. Tanpa keadilan, tidak ada transisi yang bisa diterima. Ambisi tinggi bukan bertentangan dengan realitas—melainkan satu-satunya jalan untuk memastikan masa depan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Nadia Hadad.

Home Maps Network Search