Belém Mutirão dan paradoks diplomasi Indonesia di Amazon

Matahari terbit di atas Sungai Guamá pada hari Sabtu, 22 November 2025, menyinari kota Belém yang kelelahan. Udara lembab Amazon pagi itu terasa berat oleh beban diplomasi yang macet. Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30), yang digadang-gadang oleh tuan rumah Brasil sebagai “COP Kebenaran”, berakhir bukan dengan sorak sorai kemenangan, melainkan dengan kelegaan hampa bahwa perundingan tidak runtuh sepenuhnya.

Di tengah reruntuhan ekspektasi global, Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Simon Stiell, mencoba menyuntikkan optimisme terakhir di hadapan pleno yang setengah kosong.

“Ekonomi baru sedang bangkit, sementara ekonomi lama yang polutif sedang kehabisan jalan,” ujar Stiell dengan suara serak namun tegas. “Saya tidak mengatakan kita memenangkan pertarungan iklim. Tapi kita tak terbantahkan masih berada di dalamnya, dan kita sedang melawan balik.”

Namun, retorika panggung tersebut tidak mampu menutupi realitas pahit di lapangan. Kesepakatan akhir yang diberi nama Belém Mutirão gagal menyertakan komitmen terikat waktu untuk menghapus bahan bakar fosil. Bagi Indonesia, konferensi ini bukan hanya soal kegagalan global, tetapi juga panggung di mana kontradiksi kebijakan iklim nasional “ditelanjangi” di hadapan dunia.

Matinya peta jalan mengubur energi fosil

Dua tahun setelah “Konsensus UEA” di Dubai menyerukan transisi menjauhi bahan bakar fosil, dunia menunggu rencana operasional di Belém. Harapan itu dipikul oleh koalisi “ambisi tinggi” yang terdiri dari lebih dari 80 negara—termasuk Uni Eropa, Inggris, dan negara-negara kepulauan Pasifik—yang menuntut “peta jalan” (roadmap) formal.

Ed Miliband, Menteri Energi Inggris, menggambarkan urgensi koalisi tersebut dengan penuh semangat di ruang pers yang sesak. “Ini adalah koalisi global, dengan negara-negara Utara dan Selatan bersatu dan mengatakan dengan satu suara. Ini adalah masalah yang tidak bisa disapu ke bawah karpet. Kami semua mengatakan dengan sangat jelas bahwa masalah ini harus menjadi jantung konferensi ini,” katanya.

Di seberangnya, Tina Stege, utusan iklim Kepulauan Marshall, memohon dengan nada yang jauh lebih personal. “Mari kita dukung gagasan peta jalan bahan bakar fosil, mari kita bekerja sama dan menjadikannya sebuah rencana,” pintanya.

Namun, seruan itu kandas. Blok petrostate yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia memblokir setiap upaya memasukkan bahasa “penghapusan” atau target waktu ke dalam teks resmi. Dokumen akhir hanya merujuk kembali pada janji lama tanpa detail baru.

Sir David King, ketua Climate Crisis Group Inggris, tidak menahan kekecewaannya saat menanggapi hasil akhir tersebut. “Keputusan ini gagal dalam ujian paling dasar: apakah ini mengamankan masa depan yang dapat dikelola bagi kemanusiaan? Jalur yang kredibel untuk menghapus bahan bakar fosil harus menjadi jantung dari hasil apa pun di sini,” ungkapnya.

Presiden COP30, André Corrêa do Lago, mengakui keterbatasan konsensus multilateral ini dengan nada apologetik saat menutup sidang. “Saya tahu masyarakat sipil muda akan menuntut kami melakukan lebih banyak untuk memerangi perubahan iklim. Sebagai Presiden COP30, saya akan membuat dua peta jalan—satu tentang menghentikan dan membalikkan deforestasi dan satu lagi tentang transisi menjauhi bahan bakar fosil secara adil, teratur, dan merata,” paparnya. 

Gelar “fossil of the day”

Sementara perdebatan global berkecamuk, delegasi Indonesia mendapati dirinya menjadi sorotan karena alasan yang salah. Pada pertengahan konferensi, Climate Action Network (CAN) International menyematkan gelar satir “Fossil of the Day” kepada Indonesia.

Kritik utama tertuju pada besarnya jumlah pelobi industri batubara dan energi fosil yang menyusup ke dalam delegasi resmi RI, serta posisi negosiasi Indonesia di Pasal 6.4 (pasar karbon) yang dianggap menjiplak talking points industri.

Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia, memberikan pernyataan menohok menanggapi penghargaan tersebut. menurutnya, keberadaan 46 pelobi industri bahan bakar fosil sebagai bagian dari delegasi Indonesia menelanjangi keberpihakan pemerintah terhadap oligarki bahan bakar fosil.

“Sikap pemerintah ini jelas mencederai dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas yang sudah mengalami berbagai bencana iklim yang makin parah dan meluas,” katanya.

Kritik senada datang dari Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik Solusi Hutan Global Greenpeace, yang menyoroti ironi Paviliun Indonesia yang berubah menjadi etalase dagang. “Bukannya fokus memperjuangkan pendanaan iklim yang adil di meja negosiasi COP30, Indonesia malah mengejar solusi palsu jangka pendek. Beberapa hari lalu Indonesia aktif dalam negosiasi pasal terkait dengan skema tukar guling karbon,” ungkapnya.

Torry Kuswardono, Koordinator Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki), menambahkan perspektif geopolitik yang tajam. Ia menyayangkan Indonesia yang justru menjauh dari sesama negara kepulauan yang rentan.

“Komitmen iklim dan negosiasi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara kepulauan kecil dalam Alliance of Small Island States (AOSIS),” imbuh Torry.

Pembelaan Jakarta

Pemerintah Indonesia bereaksi defensif terhadap tuduhan tersebut. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, membantah keras bahwa posisi Indonesia didikte oleh pelobi. 

“Ada kesalahpahaman dalam narasi tersebut — sebenarnya tidak seperti itu,” ujar Hanif kepada wartawan di sela-sela negosiasi. “Pernyataan yang diambil berasal dari konteks itu, tetapi hanya sepotong yang digunakan, tanpa penjelasan lengkap. Jadi negosiator kami akan mengklarifikasinya.”

Dalam forum terpisah di Paviliun Indonesia, Hanif menegaskan bahwa ambisi pasar karbon Indonesia didasarkan pada standar tinggi, bukan greenwashing.

“Pasar karbon bukan sekadar transaksi ekonomi. Ini adalah cara kami menjunjung integritas dan membangun kepercayaan global pada sistem karbon kami di Indonesia,” kata Hanif.

Ia juga mencoba membalikkan narasi pesimis dengan menonjolkan aksi nyata di lapangan. “COP30 menandai momen yang menentukan untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau tidak hanya mungkin tetapi juga menguntungkan. Indonesia memimpin dengan tindakan, bukan dengan janji,” imbuhnya.

Di sisi lain, Utusan Khusus Presiden, Hashim S. Djojohadikusumo, memilih untuk tidak terlibat dalam polemik “Fossil of the Day” dan fokus pada pesan stabilitas investasi dan komitmen jangka panjang.

“Indonesia datang ke Belém dengan pesan yang jelas: kami tetap teguh dalam komitmen kami untuk memperkuat aksi iklim nasional dan siap bekerja sama dengan negara lain dalam inisiatif yang ambisius dan berorientasi pada hasil,” kata Hashim.

Suara yang terabaikan

Di luar ruang ber-AC tempat para menteri berdebat, suara masyarakat sipil dan komunitas terdampak terdengar lebih nyaring dan putus asa.

Mohamed Adow, direktur thinktank Power Shift Africa, menyoroti satu aspek krusial yang hilang dari teks akhir: perlindungan terhadap komunitas di negara berkembang yang tanahnya dikeruk untuk mineral transisi energi—sebuah isu yang sangat relevan bagi Indonesia dan industri nikelnya.

“Kelalaian ini menutupi kerugian manusia akibat ekstraksi mineral. Para penambang ini memasok mineral yang menggerakkan booming energi bersih, dan menghapus realitas mereka dari teks adalah hal yang tidak dapat dipertahankan secara etis dan politis,” tegas Adow.

Di Jakarta, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merilis pernyataan yang menyimpulkan kekecewaan mendalam terhadap arah kebijakan yang diambil pemerintah di Brasil. Menurut WALHI, perdagangan karbon hanyalah cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam, yang faktanya selama ini menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Saat delegasi Indonesia berkemas meninggalkan Belém, mereka membawa pulang kesepakatan keuangan global baru sebesar $1,3 triliun yang sebagian besar masih berupa janji, serta pekerjaan rumah yang menumpuk.

Tanpa peta jalan global yang mengikat untuk mengakhiri batubara, Indonesia kehilangan tekanan eksternal yang mungkin dibutuhkan untuk mempercepat pensiun dini PLTU-nya. Sebaliknya, narasi “Fossil of the Day” menjadi pengingat bahwa di mata masyarakat sipil global, klaim “kredit karbon berintegritas tinggi” tidak akan pernah bisa menutupi asap dari cerobong PLTU Suralaya atau Paiton.

Seperti yang dikatakan Ani Dasgupta, Presiden World Resources Institute (WRI), dalam evaluasi akhirnya tentang COP30. “Banyak yang akan meninggalkan Belém dengan kecewa karena para negosiator tidak dapat menyetujui peta jalan untuk transisi menjauhi bahan bakar fosil. Lebih dari 80 negara mempertahankan pendirian mereka… namun lobi intensif dari segelintir negara minyak melemahkan kesepakatan tersebut,” paparnya.

Di Belém, harapan untuk “Kebenaran” telah dikompromikan demi “Kesepakatan”. Dan bagi warga di pesisir Nusantara yang terancam tenggelam, kompromi itu mungkin datang dengan harga yang terlalu mahal.

PLN dan Uni Eropa pacu pembangunan “Baterai Air” raksasa target NZE 2060

Langkah Indonesia menuju transisi energi bersih kembali mendapatkan momentum signifikan. PT PLN (Persero) memperkuat kolaborasi strategis internasionalnya dengan Uni Eropa, KfW Development Bank, dan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI untuk mempercepat pembangunan infrastruktur listrik hijau.

Fokus utama kerja sama ini adalah pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pumped Storage berskala besar—teknologi yang sering disebut sebagai “baterai air” raksasa—di dua lokasi strategis, yakni Sumatera Utara dan Jawa Timur. Langkah ini ditegaskan sebagai upaya konkret mendukung pencapaian Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060.

Kerja sama ini merupakan kelanjutan dari komitmen global yang sebelumnya telah dibangun, termasuk kesepakatan yang ditandatangani pada COP28 di Dubai tahun 2023 lalu.

Investasi hijau dan inovasi pendanaan

Direktur Keuangan PLN, Sinthya Roesly, menjelaskan bahwa pengembangan energi baru terbarukan (EBT) seperti PLTA Pumped Storage membutuhkan pendekatan yang tidak biasa, terutama dalam aspek pendanaan. Proyek ini dinilai krusial untuk menjamin stabilitas pasokan energi bersih di masa depan.

“Proyek energi terbarukan sangat penting untuk mempercepat transisi energi dan membutuhkan skema pembiayaan yang inovatif serta kolaborasi yang luas,” ujar Sinthya Roesly.

Untuk mendukung tahap awal proyek ini, Uni Eropa bersama KfW telah mengucurkan bantuan teknis (technical assistance) senilai EUR 6 juta. Dana ini dialokasikan khusus untuk penyusunan studi kelayakan (feasibility study) di dua lokasi proyek. Di Sumatra Pumped Storage di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, dan Grindulu Pumped Storage di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.

Proyek di Sumatera Utara memiliki keunikan tersendiri karena akan memanfaatkan Danau Toba sebagai kolam penampung bawah (lower reservoir), sementara kolam atas (upper reservoir) akan dibangun menggunakan sistem ring dam. Proyek ini diperkirakan menelan investasi sekitar USD 582 juta.

Sementara itu, proyek Grindulu di Pacitan direncanakan memiliki kapasitas total 1.000 Megawatt (MW) dengan estimasi kebutuhan investasi mencapai USD 1,08 hingga 1,3 miliar.

Dukungan global gateway Uni Eropa

Perwakilan Uni Eropa, Jerome Pons, menyoroti bahwa keterlibatan Eropa dalam proyek ini berada di bawah payung inisiatif Global Gateway. Ia menekankan pentingnya membangun sistem kelistrikan yang tidak hanya rendah emisi, tetapi juga tangguh.

“Inisiatif Global Gateway berperan dalam membangun sistem tenaga listrik yang tangguh dan rendah emisi,” kata Jerome Pons.

Senada dengan hal tersebut, Direktur PT SMI, Faris Pranawa, menegaskan bahwa sinergi antara lembaga domestik dan mitra internasional adalah kunci untuk memobilisasi pembiayaan hijau di Indonesia.

“Sinergi antara mitra domestik dan internasional merupakan katalisator bagi pembiayaan hijau,” ungkap Faris.

Tonggak penting menuju 2060

Executive Vice President Keuangan Korporat PLN, Maya Rani Puspita, menambahkan bahwa realisasi kerja sama ini bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan sebuah pembuktian komitmen terhadap mitigasi perubahan iklim.

“Kerja sama ini menjadi tonggak penting untuk mencapai target Net Zero Emissions tahun 2060,” tegas Maya Rani Puspita.

Kolaborasi ini diharapkan menjadi model bagi proyek-proyek transisi energi lainnya di Indonesia, membuktikan bahwa pergeseran dari energi fosil menuju energi bersih dapat dilakukan melalui kemitraan global yang solid dan pendanaan yang berkelanjutan.

Indonesia di panggung COP30: aktif kritik teks, pasif aksi iklim

Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém mencapai puncaknya dengan dinamika yang kontras. Di meja perundingan, delegasi Indonesia melontarkan kritik tajam terhadap draf teks negosiasi yang dinilai melemah dan merugikan negara berkembang. Namun, di luar ruang sidang, posisi Indonesia justru dinilai pasif dalam mendorong ambisi iklim global yang substansial, terutama terkait transisi energi.

Putaran final negosiasi pada Jumat, 21 November 2025, diwarnai ketegangan dan kendala teknis. Ary Sudijanto, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Ekonomi Karbon sekaligus anggota delegasi RI, mengungkapkan bahwa proses sempat lumpuh total akibat insiden kebakaran pada Kamis sore.

“Kita kehilangan ya mungkin bisa 9 jam, 10 jam waktu negosiasi,” ungkap Ary di sela-sela perundingan. Hilangnya waktu krusial ini memaksa Presidensi Brasil melakukan shuttle diplomacy untuk menambal kebuntuan, namun delegasi Indonesia menilai Belem Political Package yang disodorkan masih “jauh dari solid”.

Garis merah gender dan pendanaan

Indonesia menyoroti dua isu krusial yang dianggap mencederai kepentingan nasional dan negara berkembang. Pertama, masuknya usulan definisi “gender progresif” dalam teks kesepakatan.

“Itu kan termasuk red line bagi Indonesia,” tegas Ary. Ia menyebut meski Brasil telah mengakomodasi sebagian keberatan, “tidak semua diterima,” sehingga Indonesia kembali melayangkan catatan resmi. Perdebatan ini mencerminkan ketimpangan nilai, di mana negara maju mendorong bahasa progresif yang dinilai negara berkembang melampaui mandat COP.

Kedua, dan yang paling krusial, adalah hilangnya substansi pendanaan adaptasi dalam paket kebijakan Mutirão. Indonesia memprotes keras tidak adanya angka konkret yang bisa dijadikan pegangan.

“Ada paragraf yang hilang terkait komitmen jumlah pendanaan adaptasi,” kata Ary. Ia menambahkan bahwa tanpa angka, frasa pelipatgandaan dana menjadi tidak bermakna. “Kalau hitungan kita… setelah doubling dan tripling itu menjadi USD120 billion. Tapi angka itu belum pernah tersebut juga.”

Di tengah momentum global di mana lebih dari 80 negara berkomitmen untuk phasing out (penghentian bertahap) bahan bakar fosil, Indonesia memilih tidak bergabung. Posisi ini ditegaskan Ary dengan alasan kebutuhan waktu transisi domestik.

“Kita masih membutuhkan waktu… menuju pengurangan secara bertahap penggunaan bahan bakar fosil,” ujarnya. Indonesia juga menolak masuknya bahasa baru terkait investasi fosil dan meminta agar keputusan tetap konsisten dengan kesepakatan sebelumnya. “Selayaknya untuk tetap konsisten… tidak introduce bahasa baru,” tambah Ary.

Sikap hati-hati juga diterapkan pada sektor kehutanan, di mana Indonesia mendesak agar teks Mutirão tidak lebih lemah dari keputusan terdahulu. “Kita ingin tetap konsisten teksnya berdasarkan yang sudah diputuskan sebelumnya,” tegasnya. Sementara itu, isu loss and damage (kerugian dan kerusakan) dinilai semakin suram dan “makin unpredictable“.

Sibuk di pasar karbon, pasif di aksi iklim

Sikap defensif delegasi Indonesia menuai kritik keras dari kelompok masyarakat sipil yang hadir di Belém. Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace, menilai Indonesia kehilangan peluang kepemimpinan dan justru pasif pada isu-isu utama.

“Indonesia malah aktif hanya dalam negosiasi pasar karbon. Tapi untuk aksi iklim yang ambisius dan penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim,” kritik Rayhan.

Menurutnya, ketidakhadiran Indonesia dalam koalisi penghentian energi fosil sangat disayangkan, mengingat potensi ekonomi dari transisi energi. “Sangat disayangkan Indonesia belum masuk. Indonesia punya peta jalan transisi yang cukup terarah, dan itu bisa menjadi peluang ekonomi,” ujarnya.

Rayhan menilai Indonesia seolah hanya “menunggu” dan melihat posisi negara lain, padahal dampak krisis iklim seperti kenaikan muka air laut dan gagal panen sudah nyata memukul rakyat. Narasi pemerintah yang mengklaim memimpin lewat aksi (leading by action) dinilai tidak cukup tanpa diplomasi yang kuat di forum multilateral.

“Tidak cukup. Aksi nyata kita pun masih perlu dipertanyakan. Dan dalam forum multilateral, kita harus meyakinkan negara lain,” tegas Rayhan. “Harapannya Indonesia bisa memimpin. Kita bisa bangga kalau Indonesia memimpin aksi iklim. Tapi yang terlihat sekarang Indonesia lebih menunggu.”

COP30 di Belém menjadi cermin paradoks diplomasi iklim Indonesia: keras menjaga kedaulatan teks, namun dinilai ragu dalam memimpin langkah penyelamatan bumi yang kian kritis.

Antara “Supermarket” karbon dan jerat utang iklim

Udara di Belém, pintu gerbang Amazon, terasa berat—bukan hanya karena kelembapan tropis yang menyengat atau asap dari kebakaran kecil yang sempat memicu evakuasi di venue COP30, tetapi karena beban harapan yang perlahan hangus. Di dalam ruang berpendingin udara, para diplomat bertarung soal angka. Di luar, ribuan masyarakat adat dan aktivis berteriak soal nyawa.

Bagi Indonesia, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB tahun ini bukan sekadar panggung diplomasi; ini adalah etalase dagang. Namun, di balik kilatan lampu kamera dan jabat tangan resmi, tersimpan pertarungan sengit mengenai masa depan pembiayaan iklim yang adil.

Apakah COP30 di Brasil menghasilkan dana segar untuk menyelamatkan bumi, atau sekadar rebranding utang lama dengan label hijau?

Isu paling krusial di Belém adalah New Collective Quantified Goal (NCQG)—target baru pembiayaan iklim untuk menggantikan janji $100 miliar per tahun yang lama. Setelah negosiasi alot hingga menit-menit terakhir, angka itu akhirnya keluar: $300 miliar per tahun pada 2035 dari negara maju untuk negara berkembang.

Bagi Global South, angka ini adalah sebuah penghinaan. Negara-negara berkembang menuntut setidaknya $1,3 triliun dalam bentuk hibah (grants), bukan pinjaman, untuk menutupi biaya adaptasi dan transisi energi yang kian mahal.

“Teks draf terbaru tentang NCQG ini bukan sekadar lelucon – ini adalah penghinaan bagi orang-orang di Global South yang hidup di garis depan krisis iklim,” ujar Tasneem Essop, Direktur Eksekutif Climate Action Network International, menggambarkan frustrasi kolektif aktivis. “$300 miliar per tahun itu kacang.”

Masalahnya bukan hanya pada jumlahnya, tetapi pada kualitas uangnya. Kesepakatan ini tidak menjamin dana tersebut bebas dari jerat utang, dan yang lebih parah, tidak ada mekanisme penyesuaian inflasi. Artinya, nilai $300 miliar di tahun 2035 nanti akan jauh lebih kecil daya belinya dibandingkan hari ini.

Diplomasi ala Jakarta

Di tengah kekecewaan global ini, Delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo, mengambil jalur yang berbeda. Alih-alih bergabung dalam paduan suara negara berkembang yang menuntut “ganti rugi” sejarah, Indonesia memilih narasi “mitra bisnis”.

“Indonesia datang tidak hanya dengan komitmen, tetapi dengan tindakan nyata,” tegas Hashim dalam pidatonya di hadapan para pemimpin dunia.

Strategi Jakarta jelas: Jangan terlihat meminta-minta. Indonesia memposisikan diri sebagai powerhouse yang siap dengan target pertumbuhan ekonomi 8% dan transisi energi yang ambisius—termasuk rencana 75% energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan. Namun, karena keran pendanaan publik dari negara maju (hibah) seret, Indonesia banting setir ke mekanisme pasar.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, bahkan secara eksplisit mengubah Paviliun Indonesia menjadi lantai bursa. Ia menginstruksikan paviliun untuk memfasilitasi transaksi karbon, menargetkan potensi nilai perdagangan hingga Rp16 triliun selama dua pekan konferensi.

“Indonesia membangun kepemimpinan dari tindakan nyata, bukan sekadar janji,” ujar Hanif, merujuk pada kesepakatan perdagangan karbon antara PLN dan pihak internasional yang ditandatangani di sela-sela acara.

Namun, agresivitas Indonesia dalam menjajakan kredit karbon memicu bumerang diplomatik. Di pertengahan konferensi, Indonesia dianugerahi gelar satir yang memalukan: “Fossil of the Day”.

Penghargaan dari jaringan masyarakat sipil global ini diberikan karena Indonesia dituduh membiarkan delegasinya disusupi oleh lobi korporasi. Laporan menyebutkan setidaknya ada 46 pelobi bahan bakar fosil dalam rombongan Indonesia. Yang lebih mengejutkan, Indonesia tertangkap basah membacakan teks negosiasi Pasal 6.4 (tentang pasar karbon) yang diduga disalin kata-demi-kata dari surat lobi asosiasi perdagangan emisi pro-industri.

Alih-alih memperjuangkan integritas lingkungan yang ketat, Indonesia dinilai justru memperlemah aturan demi mempermudah jualan kredit karbon “murah” dari hutan dan proyek energi.

Perlawanan dari Akar Rumput

Sementara pejabat pemerintah sibuk berjualan di “supermarket” karbon, suara berbeda bergema dari kelompok masyarakat sipil Indonesia yang hadir di Belém. Bagi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), apa yang dilakukan pemerintah adalah “finansialisasi alam”—mengubah hutan sakral dan ruang hidup rakyat menjadi komoditas dagang.

Uli Arta Siagian dari  WALHI, menyebut perdagangan karbon sebagai “solusi palsu” yang berbahaya.

“Perdagangan karbon dan offset dilihat sebagai solusi cepat dan murah oleh perusahaan dan pemerintah. Ini adalah kebohongan berbahaya bagi masa depan planet Bumi,” tegas Uli. 

Ia mengingatkan bahwa skema seperti ini sering kali berujung pada penggusuran masyarakat adat di Kalimantan dan Sumatera atas nama “konservasi” yang didanai asing.

Kritik senada datang dari Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN. Dalam pidato yang emosional, Rukka mengingatkan bahwa masyarakat adat bukanlah sekadar “penerima manfaat” (beneficiaries) dari dana iklim, melainkan pemilik sah yang telah menjaga hutan jauh sebelum istilah “kredit karbon” ditemukan.

“Dengarkan kami, bukan sebagai suara dari pinggiran, tetapi sebagai orang yang setara,” seru Rukka di salah satu sesi panel. “Karena jika dunia benar-benar ingin melindungi hutan ini, ia harus mulai dengan mengakui siapa yang mengaturnya. Jawabannya adalah kami.”

Rukka menegaskan bahwa dana iklim seharusnya langsung disalurkan ke komunitas penjaga hutan, bukan menguap di birokrasi perantara atau menjadi bancakan korporasi energi yang ingin mencuci dosa emisi mereka.

Jalan terjal pasca-Belém

COP30 di Belém berakhir dengan sebuah paradoks besar bagi Indonesia.

Di satu sisi, pemerintah pulang dengan membawa “oleh-oleh” berupa kesepakatan bisnis karbon dan citra sebagai negara yang terbuka untuk investasi hijau. Namun di sisi lain, Indonesia gagal memperjuangkan keadilan iklim yang substansial: dana hibah adaptasi yang minim, risiko jebakan utang baru, dan hilangnya kredibilitas di mata gerakan lingkungan global akibat skandal lobi fosil.

Isu krusial pembiayaan iklim bagi Indonesia kini bukan lagi sekadar “berapa banyak uang yang kita dapat,” tetapi “siapa yang sebenarnya membayar harganya?”

Jika strategi pembiayaan hanya bertumpu pada utang dan jualan karbon, maka rakyat di tapak—petani yang gagal panen, nelayan yang tenggelam oleh rob, dan masyarakat adat yang tergusur—yang akan terus mensubsidi krisis ini dengan ruang hidup mereka. Belém telah usai, tetapi pertarungan sesungguhnya di tanah air baru saja dimulai.

Ambisi SNDC Indonesia terjebak ekspansi ekstraktif, mengancam gambut dan laut

Setelah menuai banyak kritik, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akhirnya menyerahkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) kepada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) pada Senin (27/10/2025). Dokumen ini hadir dengan target ambisius: menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% pada tahun 2024 dan memproyeksikan mencapai 8% pada tahun 2029 untuk mengurangi tingkat kemiskinan menjadi 4,5-5%. Bahkan, skenario paling ambisius (LCCP-H) SNDC mengasumsikan pertumbuhan 7,0% pada 2030 dan 8,3% pada 2035.

Namun, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini diiringi keraguan serius dari aktivis lingkungan dan ekonomi. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, meragukan implementasi dokumen tersebut, khususnya terkait solusi yang dinilai belum berkelanjutan.

“Penyelenggaraan COP30 yang dilaksanakan di Brasil, tidak lebih dari negosiasi antar negara dalam mempromosikan hutan, energi, dan sumber daya alam kepada perusahaan penghasil emisi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai solusi yang tidak berkelanjutan yang diinisiasi melalui program Prabowo dalam menekan laju emisi. Misalnya, skema pasar karbon. Ini bukan solusi mengurangi emisi, melainkan perilaku dan kebijakan pemerintah yang memberikan ruang pada sektor penghasil emisi tinggi,” ungkap Bhima Yudhistira, Rabu (19/11/2025).

Salah satu sorotan utama adalah tidak adanya komitmen pensiun PLTU batubara dan coal phase out dalam SNDC. Bhima menjelaskan dampak emisi karbon dari 20 PLTU paling berisiko bagi target iklim Indonesia. Emisi ini tidak hanya berdampak pada iklim, tetapi juga kesehatan dan ekonomi masyarakat.

“Selain emisi karbon, polutan PM2.5 ikut menambah risiko beban ekonomi. Kerugian dari sisi kesehatan akan mencapai 1.813 triliun rupiah,” jelas Bhima.

Dampak kerugian juga akan dirasakan langsung oleh masyarakat akar rumput. “Emisi karbon dari 20 PLTU paling toxic akan menyebabkan kerugian pendapatan masyarakat hingga 48,4 triliun rupiah per tahunnya. Hingga saat ini, tidak ada komitmen pemerintah untuk mempercepat pensiun PLTU batubara,” pungkas Bhima.

Ancaman nyata di ekosistem gambut dan laut

Sementara fokus beralih ke energi, kawasan esensial ekosistem gambut justru minim mendapatkan perhatian. Padahal, sebagian besar emisi Indonesia (63%) disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dan kebakaran gambut serta hutan, sementara pembakaran bahan bakar fosil berkontribusi sekitar 19% dari total emisi. Laporan BUR ketiga bahkan menegaskan peningkatan emisi didominasi oleh Land Use Change and Forestry (LUCF) termasuk kebakaran gambut (50,13%).

Meskipun SNDC memuat target ambisius, termasuk restorasi lahan gambut sekitar 2 juta hektar dan rehabilitasi seluas 8,3 juta hektar melalui rewetting dan revegetasi, kebijakan nasional lainnya justru menghadirkan ancaman serius.

Syafiq Gumilang, Manajer Riset Pantau Gambut, melihat adanya paradoks antara janji di atas kertas dan realitas di lapangan. SNDC telah mencantumkan aksi mitigasi seperti moratorium izin baru untuk konversi hutan primer serta target restorasi lahan gambut.

“Situasi ini paradoks dengan realita yang terjadi, ini dibuktikan dengan banyaknya proyek pembangunan yang mengubah area esensial skala luas termasuk ekosistem gambut. Sedangkan sumber emisi di sektor FOLU lahir atas praktik deforestasi, kebakaran, dan alih fungsi lahan. Rata-rata kontribusi per tahunnya FOLU (51,5%), transportasi (12,5%), listrik dan panas (11,4%),” jelas Syafiq.

Ia mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. “Harusnya pemerintah Indonesia dengan serius melakukan moratorium permanen industri ekstraktif dan perkebunan yang telah nyata merusak ekosistem gambut. Dalam analisis kami, 3,3 juta hektar luas perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, 407.267,537 hektar berada di Kesatuan Hidrologis Gambut. 72% masuk dalam kategori rentan terbakar dengan tingkat sedang, sedangkan sebesar 27% dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi,” tegas Syafiq.

Ancaman yang tidak jauh berbeda juga dialami sektor kelautan. Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan KIARA, Erwin Suryana, menyoroti minimnya pembahasan sektor laut meskipun strategi blue carbon, konservasi laut, dan blue economy diakui.

“SNDC adalah pelemparan tanggung jawab dari perusahaan penyumbang emisi agar diadopsi oleh negara untuk ditanggulangi dampaknya. Selain itu, terdapat asimetri kekuasaan dalam tata kelola laut. Negara sebagai fasilitator pasar karbon laut, korporasi sebagai pendana proyek konservasi laut, dan nelayan sebagai objek yang tidak memiliki kepastian dan sangat rentan terhadap dampaknya,” papar Erwin.

Ekspansi ekstraktif di pulau-pulau kecil telah membawa dampak masif dan merusak secara permanen. “Ancaman bagi laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sangat masif terjadi. Sebagai contoh, akibat tambang nikel di pulau kecil, sedimentasi merusak lamun dan terumbu karang, dampaknya hasil tangkap nelayan menurun dan kerusakan permanen terjadi,” jelasnya.

Pada akhirnya, Erwin menyimpulkan bahwa ambisi pertumbuhan ekonomi dalam SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah tidak memprioritaskan perlindungan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

“Ambisi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan melalui SNDC akan sulit terwujud jika pemerintah Indonesia masih belum menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai sektor utama yang harus dilindungi,” pungkas Erwin.

COP 30 menghadapi pertarungan sengit soal uang, minyak, dan keadilan iklim

Jumat pagi di Belém, 14 November 2025. Udara di luar Hangar Convention Centre sudah terasa panas dan tegang, bukan hanya karena kelembaban Amazon. Di pintu masuk utama Blue Zone—area steril yang disediakan untuk para negosiator berjas—obrolan diplomatik yang biasa terdengar telah digantikan oleh nyanyian dan tuntutan.

Sekitar 90 pengunjuk rasa dari masyarakat adat Munduruku memblokir akses, mengubah diri mereka dari sekadar penonton menjadi inti cerita. Ini bukan side event yang terjadwal; ini adalah intervensi.

Masyarakat Munduruku, yang tanah leluhurnya di negara bagian Pará, Amazonas, dan Mato Grosso terancam, tidak datang untuk berfoto. Mereka menuntut satu hal yang mendasar: “diakhirinya proyek dan kegiatan ekstraktif yang mengancam wilayah adat,” terutama di cekungan Sungai Tapajós dan Xingu.

Adegan ini adalah ironi pertama dan paling tajam dari KTT iklim PBB ke-30 ini. Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah dengan lantang menjanjikan KTT ini sebagai “COP of Truth” (“COP Kebenaran”). Namun, ketika “kebenaran” dari garis depan krisis iklim tiba di gerbangnya, respons resmi bukanlah dialog, melainkan pemanggilan tentara untuk memperkuat keamanan.

Di dalam, di balik barikade, dunianya terasa berbeda. Joni Aswira Putra Ketua Umum Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (The Society of Indonesian Environmental Journalist), melaporkan untuk Ekuatorial dari Belém. Ia menggambarkan negosiasi minggu pertama, yang berakhir pada Sabtu, 15 November 2025 , sebagai “cukup dinamis”.

“Dinamis” adalah kata yang sopan untuk “penuh konflik”. Di balik “banyak side event” dan “pertemuan-pertemuan presidensi” yang diamati Joni, dua pertarungan fundamental sedang berkecamuk. Pertarungan pertama adalah soal uang: pertarungan triliunan dolar mengenai siapa yang membayar untuk transisi iklim. Pertarungan kedua adalah soal kredibilitas: pertarungan eksistensial mengenai integritas tuan rumah yang menjanjikan penyelamatan Amazon sambil berencana mengebor minyak di muaranya.

Direktur Eksekutif COP30, Ana Toni, berusaha meredakan ketegangan, menyebut protes Munduruku sebagai “sah” dan meyakinkan media bahwa pemerintah “mendengarkan”. Namun, tindakan memanggil tentara menceritakan kisah yang berbeda. Ini mengungkap adanya dua COP yang berjalan paralel di Belém: COP di dalam Blue Zone, dengan negosiasi steril dan bahasa teknis; dan COP di luar di jalanan, tempat “kebenaran” yang dituntut Lula sedang diperjuangkan secara fisik. Fakta bahwa masyarakat Munduruku harus memblokir pintu masuk hanya untuk diarahkan bertemu dengan menteri Sônia Guajajara dan Marina Silva membuktikan satu hal: mereka, pada awalnya, tidak didengar sama sekali.

Pahlawan iklim dan rencana pengeboran minyak
Presiden Lula adalah pusat gravitasi dari COP30. Di panggung global, dia adalah pahlawan iklim. Dia membuka KTT Pemimpin dengan seruan penuh semangat untuk “kekalahan telak bagi penyangkal iklim”. Seperti yang dicatat oleh Joni Aswira Putra, tuan rumah Brasil dan “Presiden Lula sendiri yang mendorong koalisi besar” untuk mengakhiri ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil.

Ada “kabar baik” yang nyata untuk mendukung retorikanya. Pemerintahannya telah mencapai kemajuan yang mengesankan dalam menekan laju perusakan hutan. Angka deforestasi di Amazon Brasil telah turun sebesar 50% selama tiga tahun masa jabatannya. Ini adalah pencapaian signifikan yang dipamerkan di KTT.

Inisiatif utamanya adalah ‘Tropical Forest Forever Facility’ (TFFF), sebuah mekanisme pendanaan baru yang dirancang untuk membuat “hutan yang berdiri lebih berharga daripada lahan yang gundul”. TFFF bertujuan mengumpulkan $125 miliar untuk perlindungan hutan, dan telah mendapatkan komitmen awal $5,5 miliar, termasuk dari Norwegia dan kontribusi dari Brasil sendiri.

Namun, seperti yang diakui Lula sendiri dalam pidatonya, ada “kesulitan dan kontradiksi”. Kontradiksi-kontradiksi ini begitu mencolok sehingga mengancam kredibilitas seluruh KTT.

  • Kontradiksi Minyak.
    Hanya beberapa minggu sebelum COP30 dimulai, pemerintahannya menyetujui lisensi pengeboran minyak dan gas di Foz do Amazonas, sebuah wilayah sensitif di lepas pantai muara Sungai Amazon. Ini adalah langkah yang dikecam para kritikus sebagai kemunafikan yang mencengangkan.
  • Kontradiksi Infrastruktur:
    Secara bersamaan, pemerintahannya mendorong “peningkatan” jalan raya BR-319, sebuah proyek yang akan membelah wilayah barat Amazon yang masih utuh. Para ilmuwan memperingatkan ini akan memberikan “tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya” dari agribisnis dan ekstraktivisme. Ada pula rencana untuk “de-statise” (privatisasi) sungai-sungai utama seperti Tapajós untuk menciptakan “hydrovia” (jalur air) bagi pengiriman kedelai.
  • Kontradiksi Politik
    Lula harus melakukan “tindakan penyeimbangan” politik yang berbahaya. Untuk memerintah, ia bergantung pada dukungan lobi “Ruralista” (agribisnis) yang kuat, yang mendominasi Kongres dan mendorong agenda ekstraktif yang berlawanan langsung dengan konservasi.
  • Kontradiksi Ambisi
    Brasil, yang memposisikan diri sebagai pemimpin iklim global, secara bersamaan adalah salah satu emiten teratas dunia dan secara aktif mempertimbangkan untuk bergabung dengan OPEC+, aliansi negara-negara produsen minyak.

Ini bukan sekadar “tindakan penyeimbangan”; ini adalah strategi ganda yang terkompartementalisasi. Lula tidak sedang menyeimbangkan; dia sedang mencoba memiliki keduanya. Di satu sisi, dia memperlakukan Amazon sebagai aset karbon global yang bisa dijual (melalui TFFF) kepada donor internasional untuk pendanaan iklim. Di sisi lain, dia memperlakukannya sebagai aset sumber daya domestik (minyak, tanah, jalur sungai) yang bisa dijual kepada sekutu politik (Ruralista, industri minyak) untuk stabilitas politik dan pembangunan ekonomi “abad ke-20”.

Paradoks Lula bukanlah kegagalan pribadi; ini adalah model bisnis “Ekstraktivisme Hijau”. “COP Kebenaran” adalah panggung global untuk memasarkan kedua strategi yang saling bertentangan ini secara bersamaan. Ini adalah preseden berbahaya yang menunjukkan bahwa perlindungan iklim dan ekstraktivisme dapat berjalan beriringan, padahal kenyataannya keduanya saling meniadakan.

Keuangan transisi
Di jantung “dinamika” minggu pertama yang dilaporkan Joni Aswira Putra untuk Ekuatorial adalah satu isu yang selalu menjadi kunci: “keuangan transisi”. Ini adalah medan pertempuran utama yang memecah belah Global Utara dan Global Selatan, dan di Belém, pertarungan ini berpusat pada dua mekanisme yang saling terkait: “Pasal 9 dari Perjanjian Paris” dan “Peta Jalan Baku-Belem” yang baru.

Pasal 9 adalah inti dari ketidakpercayaan. Secara hukum, pasal ini mewajibkan negara-negara maju untuk menyediakan sumber daya keuangan bagi negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. Kata kerja yang digunakan adalah “shall provide” (harus menyediakan), sebuah kewajiban, bukan saran.

Konflik teknis yang sangat politis terjadi pada perbedaan antara Pasal 9.1 dan 9.3. Negara-negara berkembang, yang dipimpin oleh blok G77 dan Tiongkok, berargumen bahwa COP29 di Baku tahun lalu gagal total. Mengapa? Karena kesepakatan di Baku hanya berfokus pada Pasal 9.3: “mobilisasi” keuangan, sebuah istilah yang memungkinkan negara maju menghitung pinjaman swasta dan modal komersial sebagai bagian dari kontribusi mereka.

Negara-negara berkembang berargumen bahwa kewajiban inti Pasal 9.1—”penyediaan” dana publik (yaitu, hibah, bukan pinjaman) dari kas negara maju—telah diabaikan dan “masih terutang”. Negara-negara maju, khususnya Uni Eropa (UE), diidentifikasi sebagai “penghalang utama” kemajuan dalam perdebatan ini, menghalangi fokus khusus pada pendanaan publik Pasal 9.1.

Ke dalam kekacauan inilah “Peta Jalan Baku-Belém” diluncurkan. Ini adalah proposal besar di atas meja: sebuah rencana untuk memobilisasi $1,3 triliun USD per tahun pada tahun 2035. Seperti yang dicatat Joni, tujuannya ambisius: “reformasi arsitektur keuangan dan penghapusan subsidi fosil”. Peta jalan ini memang menyerukan “perombakan” sistem keuangan dan “penyaluran kembali” subsidi bahan bakar fosil, yang menurut IMF mencapai angka mengejutkan $7 TRILIUN pada tahun 2022.

Namun, peta jalan ini segera dilihat melalui dua lensa yang sangat berbeda.

Bagi lembaga-lembaga seperti World Resources Institute (WRI), ini adalah “strategi holistik yang cerdas”. WRI memuji “kombinasi pragmatisme dengan fokus pada skala dan perubahan sistem” dan memujinya karena “secara tepat menggeser lensa” dari dana publik yang “sederhana” untuk “membuka aliran yang jauh lebih besar dari investor swasta”.

Bagi negara-negara Global Selatan, pernyataan WRI adalah perwujudan dari ketakutan terbesar mereka. “Pergeseran lensa” ini, bagi mereka, adalah pengkhianatan terhadap kewajiban hukum Pasal 9.1. Mereka melihatnya sebagai “melemahkan” kewajiban negara maju dan mengganti hibah publik yang mereka butuhkan dengan pinjaman swasta yang hanya akan memperburuk krisis utang.

Ini adalah perangkap utang iklim. Negara-negara berkembang, yang sudah menghabiskan 20-30% dari PDB mereka hanya untuk membayar utang, kini dipaksa masuk ke dalam skema di mana mereka harus meminjam uang (modal swasta 9.3) dari negara-negara Utara yang menyebabkan krisis iklim, untuk memperbaiki masalah yang disebabkan oleh negara-negara Utara tersebut, alih-alih menerima dana kewajiban (hibah publik 9.1). Ini adalah bentuk baru kolonialisme iklim. Tanpa penyelesaian kewajiban Pasal 9.1, Peta Jalan $1,3 Triliun berisiko menjadi “laporan yang tidak mengikat dengan dampak terbatas”.

Ambisi di atas kertas
Pertarungan soal uang secara langsung terkait dengan pertarungan soal aksi. Joni Aswira Putra menyoroti fokus utama pada “transition away from fossil fuel” (transisi meninggalkan bahan bakar fosil) dan “peningkatan ambisi NDC” (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional). COP30 adalah tenggat waktu krusial bagi negara-negara untuk menyerahkan rencana iklim baru mereka (dikenal sebagai NDC 3.0) yang akan menentukan nasib target 1,5°C.

Kebutuhan akan ambisi ini sangat mendesak. Laporan PBB sebelum KTT telah mengkonfirmasi adanya “jurang ambisi yang luas” antara janji-janji saat ini dan apa yang diperlukan.

Menanggapi hal ini, sebuah “koalisi yang berkemauan” telah terbentuk. Joni menyebutkan adanya “Belém declaration on fossil fuel” yang didukung oleh 62 negara. Ini merujuk pada “koalisi yang berkembang pesat” dari 62 negara yang kini mendukung “peta jalan transisi bahan bakar fosil (TAFF) yang terstruktur”. Ini adalah “koalisi besar” yang didorong oleh Lula, dan cakupannya luas: mencakup Brasil, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman, Kenya, dan blok-blok negosiasi penting seperti Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS).

Namun, koalisi 62 negara ini menghadapi kekuatan penentang yang masif. Secara formal, mereka menghadapi perlawanan dari negara-negara seperti Arab Saudi 29 dan produsen batu bara besar seperti Tiongkok dan India, yang menentang bahasa spesifik tentang penghapusan bahan bakar fosil.

Namun, perlawanan yang lebih kuat dan lebih meresap bersifat informal. Sebuah analisis baru dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) menemukan bahwa lebih dari 1.600 pelobi bahan bakar fosil telah diberikan akses resmi ke COP30.

Angka ini sangat mengejutkan: itu berarti satu dari setiap 25 peserta di Belém adalah seorang pelobi industri fosil. Jumlah mereka jauh melampaui delegasi negara mana pun selain tuan rumah Brasil. Selama lima tahun terakhir, 7.000 pelobi fosil telah menghadiri KTT iklim.

Konteks ini menjelaskan mengapa peluncuran “Deklarasi Belém tentang Integritas Informasi tentang Perubahan Iklim” menjadi begitu penting. Deklarasi ini, yang didukung oleh 12 negara termasuk Brasil, Prancis, dan Jerman, adalah pengakuan resmi di tingkat COP bahwa negosiasi tidak hanya dirusak oleh lobi, tetapi juga oleh kampanye “disinformasi, pelecehan terhadap suara ahli, [dan] ruang gema yang terpolarisasi”. Kampanye ini dirancang khusus untuk “mengulur dan menyabotase aksi” iklim.

Pertarungan di Belém bukan lagi sekadar negosiasi kebijakan; ini adalah perang informasi. Para pelobi tidak hanya hadir untuk memengaruhi teks; mereka hadir untuk menciptakan kabut keraguan yang membenarkan kelambanan. Seperti yang dikatakan oleh Lien Vandamme dari Center for International Environmental Law (CIEL), ini bukanlah tata kelola iklim. “Ini adalah penangkapan korporat, bukan tata kelola iklim,” tegasnya. Koalisi 62 negara mungkin memiliki otoritas moral, tetapi 1.600 pelobi memiliki anggaran untuk membeli narasi.

Indonesia dan dilema ‘solusi palsu’
Di tengah pertarungan antara Global Utara dan Selatan ini, dalam laporanya kepada Ekuatorial, Joni secara spesifik menyebut Indonesia sebagai negara “Selatan-Selatan” yang, seperti Brasil, berada di posisi kunci untuk menerima pendanaan iklim yang diperdebatkan di bawah Pasal 9.

Indonesia datang ke Belém dengan proposal andalannya: “Kebijakan Industri Hijau”. Sebagai bagian dari kebijakan ini, pemerintah mempresentasikan 14 proyek pengurangan emisi, yang bertujuan untuk menarik investasi internasional di bawah mekanisme Perjanjian Paris.

Namun, para pengamat yang mengikuti kampanye COP Indonesia sebelumnya mencatat adanya “pola yang berulang”. Proyek-proyek yang dipresentasikan “seringkali kurang transparan, tidak memiliki jadwal yang jelas, atau strategi implementasi yang terperinci”.

Kritik paling tajam datang dari dalam negeri. Siaran pers dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 11 November 2025, yang berjudul “Pemerintah Indonesia Gagal Membawa Kepentingan Rakyat Indonesia di COP 30”, memberikan analisis yang memberatkan.

WALHI mengecam paviliun Indonesia yang baru dibuka sebagai sesuatu yang menyerupai “pasar dagang untuk hutan Indonesia dan sumber daya alamnya”. Kritik utamanya ditujukan pada dua pilar strategi Indonesia. Perdagangan karbon sebagai perampasan lahan, dan dekarbonisasi beracun.

Analisis WALHI menyimpulkan bahwa komitmen iklim Indonesia (SNDC) “ditakdirkan untuk gagal sejak awal” karena seluruh strukturnya dibangun di atas “skema ekstraktif”.

Ironisnya, saat Indonesia mempromosikan “solusi” berbasis lahan yang kontroversial, sebuah janji besar lainnya di COP30 menuai kritik serupa. “Belém 4X Pledge on Sustainable Fuels”—sebuah janji yang didukung oleh tuan rumah Brasil, India, Italia, dan Jepang untuk melipatgandakan penggunaan “bahan bakar berkelanjutan” seperti biofuel dan biogas—ditolak mentah-mentah oleh jaringan masyarakat sipil.

Climate Action Network (CAN) dan Greenpeace secara eksplisit “Menolak Ikrar Belém 4X”. Mereka memperingatkan bahwa ini adalah “distraksi berbahaya” yang akan memicu gelombang baru “penghancuran hutan” global untuk memenuhi permintaan bioenergi.

Di sini, Indonesia dan Brasil terlihat sebagai cerminan satu sama lain. Keduanya mempraktikkan model “Ekstraktivisme Hijau”. Keduanya menggunakan bahasa “hijau”—baik itu ‘Kebijakan Industri Hijau’, perdagangan karbon, atau ‘Bahan Bakar Berkelanjutan’—untuk menarik pendanaan iklim internasional. Namun, pendanaan tersebut kemudian digunakan untuk melanggengkan model ekonomi ekstraktif yang sama (gas, pertambangan, perkebunan) yang menjadi akar penyebab krisis, dan yang secara konsisten mengorbankan masyarakat adat dan lokal, baik itu Suku Anak Dalam di Jambi maupun masyarakat Munduruku di Belém.

Minggu pertama COP30 ditutup dengan “tekanan yang meningkat”. Seperti yang dilaporkan Joni Aswira Putra, negosiasinya “dinamis”, tetapi para ahli di lapangan, seperti Dr. Rachel Cleetus dari Union of Concerned Scientists (UCS), memperingatkan bahwa “terobosan besar pada topik-topik kritis belum terwujud”.

Para menteri yang kini tiba di Belém untuk negosiasi tingkat tinggi di minggu kedua mewarisi beban untuk menyelesaikan serangkaian pertanyaan yang belum terjawab.

  1. Bagaimana cara menutup “jurang ambisi” emisi untuk menjaga target 1,5°C tetap hidup?
  2. Bagaimana cara menyepakati penghapusan bahan bakar fosil yang adil dan didanai—bukan sekadar retorika?
  3. Bagaimana cara mengatasi kebuntuan fundamental antara pendanaan publik (Pasal 9.1) dan mobilisasi swasta (Pasal 9.3)?

Ada ketakutan yang nyata bahwa proses COP itu sendiri “rusak” dan “tidak lagi sesuai dengan tujuannya”. Kekecewaan negara-negara berkembang terhadap hasil tahun lalu di Baku digambarkan sebagai “pengkhianatan yang mengejutkan”.

Di tengah krisis kredibilitas inilah, Kepala Iklim PBB Simon Stiell memberikan pidato pembukaan yang tajam. Dia memohon kepada para delegasi: “Pekerjaan Anda di sini bukan untuk bertarung satu sama lain – pekerjaan Anda di sini adalah untuk melawan krisis iklim ini, bersama-sama”.

Saat para menteri mengambil alih negosiasi, “COP Kebenaran” dihadapkan pada pilihan terakhirnya. Kebenaran siapa yang akan mereka wujudkan? Kebenaran yang nyaman dari para pelobi dan solusi palsu mereka? Kebenaran yang dikompromikan dari tuan rumah mereka yang paradoksal? Atau kebenaran yang tidak nyaman dari masyarakat adat Munduruku, yang tuntutannya—jika benar-benar didengarkan—akan memaksa perubahan sistemik yang sebenarnya?

Jawabannya akan menentukan apakah Belém dikenang sebagai titik balik, atau hanya sebagai “pasar dagang” lain untuk masa depan planet ini.

Sandiwara hijau dari Indonesia di panggung COP 30

Di panggung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim CoP 30 di Belém, Brazil, narasi iklim Indonesia terdengar meyakinkan. Hashim Djojohadikusumo, yang tampil sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, menjanjikan kepatuhan penuh pada Perjanjian Paris, target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, dan visi ambisius pertumbuhan ekonomi 8%. Namun, janji-janji yang berkilauan di panggung global itu disambut dengan skeptisisme tajam dari tanah air.

Di luar ruang negosiasi yang sejuk, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menyebut pidato tersebut sarat dengan kontradiksi dan solusi sesat. Bagi mereka, apa yang dipresentasikan di Belém gagal total menyentuh akar masalah ketidakadilan iklim yang selama ini dihadapi rakyat.

Aliansi menyoroti bagaimana klaim pemerintah untuk mengurangi batu bara menjadi hampa ketika pada saat yang sama memperluas bio-bahan bakar dan mempromosikan teknologi kontroversial. Ironi terbesar, menurut mereka, terletak pada aliran dana: komitmen “transisi” terasa palsu ketika subsidi untuk industri kotor, utamanya energi fosil, masih mengalir deras hingga Rp 500 triliun per tahun, jauh melampaui pendanaan untuk aksi iklim yang sejati.

Bagi ARUKI, presentasi di Belém tak lebih dari sebuah fasad yang dirancang untuk menyembunyikan agenda yang sebenarnya.

“Pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi di KTT CoP-30 Belem adalah sebuah pertunjukan sandiwara hijau yang menutupi agenda pro-bisnis,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, yang merupakan bagian dari aliansi.

Kritik tajam Torry merujuk pada promosi solusi-solusi yang oleh pemerintah dibingkai sebagai “transisi bersih”, namun oleh masyarakat sipil dianggap sebagai “solusi palsu”.

“Mereka mempromosikan ‘waste-to-energy’ dan ‘nuclear power’ sebagai transisi bersih. Bagi kami, ini adalah solusi sesat yang merampas ruang hidup dan melanggar HAM, seperti yang terjadi pada proyek geothermal di Poco Leok dan wilayah geothermal lain,” paparnya.

Proyek-proyek ini, yang didorong atas nama energi terbarukan, dalam praktiknya justru menimbulkan konflik baru dengan masyarakat lokal dan adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup mereka.

Lebih jauh, ia menyoroti dampak dari kebijakan andalan lainnya, yakni bahan bakar nabati (BBN). Alih-alih menjadi solusi dekarbonisasi, kebijakan ini dituding menjadi dalih untuk perampasan lahan skala besar.

“Kebijakan bahan bakar nabati juga terbukti menjadi dalih perampasan lahan masyarakat adat, komunitas lokal dan petani untuk perkebunan monokultur skala besar, yang hanya memperparah konflik agraria dan mengancam ketahanan lingkungan dan pangan,” tambah Torry.

Program FOLU Net Sink 2030, yang menjadi salah satu pilar utama komitmen iklim Indonesia, juga tak luput dari kritik. ARUKI memandang program tersebut tidak lebih dari sekadar skema offset karbon berskala besar, yang lagi-lagi mengabaikan hak-hak komunitas.

Pada akhirnya, aliansi masyarakat sipil menyimpulkan bahwa solusi-solusi yang ditawarkan Indonesia di panggung global itu gagal mengatasi masalah inti. Pidato di Belém, bagi mereka, adalah cermin pengabaian terhadap keadilan iklim, perampasan lahan yang terus terjadi, dan pengabaian sistematis terhadap hak-hak masyarakat adat serta komunitas lokal.

Indonesia klaim aksi menuju net zero emission dan ekonomi hijau di COP 30

Di panggung global Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brazil, Indonesia tidak datang sebagai pengikut, melainkan memproyeksikan diri sebagai pemimpin yang siap memandu aksi iklim global.

Dengan delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Indonesia membawa pesan kuat: sebuah komitmen aksi iklim yang diklaim nyata, terukur, inklusif, dan berkeadilan.

Pemerintah Indonesia memaparkan cetak biru ambisius yang didukung oleh klaim capaian di lapangan. Pilar utamanya adalah komitmen teguh untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, yang didukung oleh target transisi energi untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2030.

Namun, strategi yang paling diandalkan Indonesia bertumpu pada bursa karbon dan kekayaan hutannya. Program Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 dipresentasikan sebagai pilar utama. Pemerintah mengklaim telah berhasil menekan laju deforestasi secara signifikan hingga 75% sejak 2019, sebuah pencapaian yang menjadi fondasi target iklim dari sektor kehutanan.

“Melalui program FOLU Net Sink 2030, Indonesia menargetkan penurunan 92–118 juta ton CO₂ hingga tahun 2030 melalui pencegahan deforestasi, rehabilitasi hutan, konservasi keanekaragaman hayati, serta perlindungan ekosistem gambut dan mangrove,” terang pemerintah dalam paparannya.

Untuk mendanai ambisi kehutanan ini, Indonesia juga menyoroti dukungannya terhadap Tropical Forest Financing Facility (TFFF). Skema ini dirancang untuk memastikan ada aliran dana yang berkelanjutan untuk program-program restorasi dan konservasi, bergerak melampaui janji-janji donor tradisional.

Di sisi lain, Indonesia menegaskan keseriusannya dalam membangun ekonomi hijau melalui skema pasar karbon yang baru diluncurkan. Ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah strategi ekonomi yang menargetkan mobilisasi investasi karbon lintas sektor yang diperkirakan mencapai USD 7,7 miliar per tahun. Untuk memperkuat posisi pasarnya, Indonesia secara aktif membangun Mutual Recognition Agreements (MRA) dengan mitra internasional strategis, termasuk Jepang, Gold Standard, dan Verra.

Menteri LH/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa momentum COP30 di Belém digunakan untuk bergeser dari retorika ke realitas. Indonesia ingin menunjukkan bukti, bukan sekadar janji yang tertuang di atas kertas negosiasi.

“COP30 menjadi momentum untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau tidak hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan. Indonesia membangun kepemimpinan dari aksi nyata, bukan sekadar janji,” ujar Hanif di Belém.

Di tengah semua target teknis dan angka investasi, delegasi Indonesia berulang kali menekankan aspek keadilan. Transformasi ini, menurut pemerintah, tidak boleh mengorbankan rakyat. Alokasi hutan adat disebut sebagai salah satu langkah konkret untuk memastikan pembangunan hijau yang berkeadilan.

Hashim Djojohadikusumo menegaskan bahwa seluruh kebijakan harus berpusat pada manusia dan memastikan tidak ada yang tertinggal dalam proses transisi.

“Aksi iklim harus adil, inklusif, dan berpusat pada manusia. Indonesia menegaskan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal dalam transformasi menuju masa depan hijau,” ucap Hashim.

Dengan serangkaian komitmen ini—mulai dari perlindungan hutan, transisi energi, hingga pasar karbon yang inklusif—Indonesia memposisikan diri di Belém sebagai negara yang siap memimpin transisi global. Pesan yang ingin disampaikan jelas: era negosiasi panjang telah berakhir, dan kini adalah waktunya untuk implementasi di lapangan.

“Masa negosiasi panjang telah usai, kini saatnya aksi nyata dimulai,” tutup Hashim.

Mengenal TFFF, dana abadi dunia untuk selamatkan hutan tropis

Krisis iklim tak bisa diatasi tanpa menyelamatkan hutan tropis. Dari Brasil hingga Indonesia, kawasan hijau yang menyimpan 60 persen keanekaragaman hayati dunia itu terus terancam oleh deforestasi dan konflik lahan. Di tengah KTT Perubahan Iklim COP30 di Belem, Brasil, satu ide segar menarik perhatian dunia: Dana Abadi Hutan Tropis/Tropical Forest Forever Fund (TFFF).

Inisiatif senilai US$125 miliar yang digagas Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva ini menawarkan cara baru membayar negara-negara tropis yang menjaga hutannya tetap hidup—selamanya. Berbeda dari program konservasi berbasis hibah atau donasi, TFFF beroperasi sebagai dana investasi berkelanjutan. Negara berhutan tropis akan menerima pembayaran tahunan berbasis hasil—US$4 per hektare hutan yang tetap berdiri setiap tahun, selama hutan itu terus terlindungi.

Apa itu TFFF?

The Tropical Forests Forever Fund (TFFF) adalah mekanisme pendanaan global berbasis endowment fund (dana abadi) yang dirancang untuk memberikan insentif jangka panjang kepada negara-negara pemilik hutan tropis. Berbeda dari skema berbasis proyek seperti REDD+, TFFF memberikan dukungan berkelanjutan dan tanpa batas waktu, selama hutan tetap utuh dan terjaga.

Dana abadi TFFF akan diinvestasikan secara internasional, dan hasil investasinya — bukan pokok dananya — akan disalurkan setiap tahun kepada negara penerima. Besarannya dihitung berdasarkan luas dan kondisi hutan yang terlindungi. Skema ini mirip dengan climate dividend: negara penjaga hutan akan memperoleh “dividen lingkungan” selama mereka berhasil menahan laju deforestasi.

Komitmen Dunia

Sejak diumumkan, sejumlah negara langsung menyatakan dukungan finansialnya:

  • Brasil: US$1 miliar
  • Indonesia: US$1 miliar
  • Kolombia: US$250 juta
  • Norwegia: US$3 miliar selama 10 tahun
  • Belanda: US$5 juta untuk sekretariat di Bank Dunia
  • Portugal: 1 juta euro

Jerman, Prancis, Tiongkok, dan Uni Emirat Arab juga menyatakan dukungan politik dan akan mengumumkan kontribusinya dalam waktu dekat. Para pendukung TFFF menyebut mekanisme ini sebagai “peta jalan global untuk menghentikan deforestasi sebelum 2030”.

Setidaknya 20% dari dana tersebut akan disalurkan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal, untuk menandai langkah bersejarah menuju kesetaraan dalam pendanaan iklim global.

Bagaimana Mekanismenya?

  1. Pendanaan awal global dikumpulkan dari negara maju, lembaga donor, filantropi, dan sektor swasta berkomitmen tinggi terhadap iklim.
  2. Dana disimpan sebagai dana abadi internasional yang dikelola secara transparan oleh lembaga independen.
  3. Hasil investasi tahunan disalurkan ke negara-negara hutan tropis yang memenuhi kriteria konservasi dan tata kelola lahan.
  4. Pembayaran berbasis kinerja: insentif diberikan sesuai capaian perlindungan hutan, bukan janji atau proyek jangka pendek.
  5. Audit dan pemantauan independen memastikan dana benar-benar menjaga hutan dan masyarakat di dalamnya.

Dengan mekanisme ini, TFFF menjawab masalah klasik pembiayaan iklim: bagaimana membuat insentif yang permanen, adil, dan bebas dari siklus politik atau proyek jangka pendek.

Apa beda TFFF dan REDD+?

Selama lebih dari satu dekade, skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) menjadi andalan dunia dalam menekan deforestasi. Namun REDD+ bersifat berbasis proyek dan temporer — dana cair hanya ketika ada program tertentu, dan sering kali berhenti setelah proyek selesai.

Sebaliknya, TFFF bersifat permanen dan berbasis hasil. Tidak ada jual beli kredit karbon, tidak ada spekulasi harga, dan tidak bergantung pada pasar karbon sukarela. TFFF lebih mirip sistem penghargaan global untuk negara yang menjaga paru-paru dunia.

Mengapa TFFF Diperlukan?

Hutan tropis berperan penting menahan pemanasan global lebih dari 1 derajat Celsius. Namun, kemampuannya terus menurun akibat degradasi dan penebangan. Tingkat kehilangan hutan kini 63 persen lebih tinggi dari batas aman untuk mencapai target global nol deforestasi pada 2030. Deforestasi menyumbang sekitar 11 persen dari total emisi global.

Dengan TFFF, negara-negara tropis diharapkan bisa melihat hutan sebagai aset ekonomi yang hidup, bukan sekadar lahan yang ditebang untuk komoditas.

Melengkapi Janji Lama

TFFF juga menjadi kelanjutan dari Forest and Land Tenure Pledge, komitmen global senilai US$1,7 miliar yang diluncurkan di COP26 Glasgow untuk mendukung hak atas tanah masyarakat adat. Jika Pledge berfokus pada pengakuan hak atas lahan, maka TFFF menyediakan pendanaan permanen untuk memastikan lahan itu tetap terjaga.

Komitmen Global: Forest & Land Tenure Pledge (2025–2030)

Lahir sejalan dengan visi TFFF, dunia juga menyaksikan komitmen besar lain: Forest & Land Tenure Pledge (2025–2030). Lebih dari 35 pemerintah dan donor internasional sepakat mengucurkan USD 1,8 miliar untuk memperkuat hak tanah masyarakat adat dan komunitas lokal — aktor utama dalam perlindungan hutan.

Salah satu inisiatif turunannya adalah Intergovernmental Land Tenure Commitment (ILTC) — kesepakatan global pertama yang menargetkan pengakuan atas 160 juta hektar lahan hingga 2030. Komitmen ini dipimpin oleh Brasil, Peru, dan Norwegia, dengan kontribusi terbesar berasal dari Brasil yang menjanjikan 59 juta hektar wilayah hutan untuk diakui secara hukum bagi masyarakat adat dan komunitas tradisional.

Dengan pengakuan hak atas tanah, masyarakat adat dapat berperan lebih besar dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan — dan inilah fondasi utama keberhasilan TFFF: memastikan penjaga hutan benar-benar memiliki hak atas tanah yang mereka lindungi.

Harapan Baru bagi Hutan Tropis

Jika berhasil dijalankan, TFFF dan ILTC dapat menjadi tonggak baru dalam diplomasi iklim global. Skema ini menandai pergeseran paradigma: dari sekadar menghitung karbon, menjadi menghargai keadilan ekologis dan hak masyarakat adat.

Bagi negara seperti Indonesia, TFFF membuka peluang pembiayaan permanen bagi konservasi hutan tanpa bergantung pada utang atau proyek jangka pendek. Dengan transparansi, tata kelola kuat, dan pengakuan terhadap masyarakat adat, dana ini bisa menjadi instrumen paling menjanjikan untuk menyelamatkan paru-paru bumi — selamanya. (*)

Sinergi The Habibie Center dan OAC Taiwan untuk tata kelola sampah laut

Sampah plastik yang dibuang di perairan Indonesia tidak tinggal diam. Arus laut membawanya melintasi samudra, menempuh perjalanan ribuan kilometer hingga mencapai benua lain.

Prof. Muhammad Reza Cordova, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa sampah laut dari wilayah Indonesia telah ditemukan hanyut hingga ke Samudera Hindia dan bahkan mencapai Benua Afrika.

Temuan ini menjadi pengingat tegas bahwa polusi plastik adalah krisis lintas batas yang tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja. Menjawab tantangan kolektif ini, The Habibie Center (THC) dan Ocean Affairs Council (OAC) Taiwan secara resmi meluncurkan “Indonesia Marine Debris Management Cooperation Project” di Jakarta pada 5 November 2025.

Proyek ini bertujuan menyinergikan upaya tata kelola sampah laut yang bersih dan berkelanjutan.

Peluncuran kerja sama ini diresmikan oleh Ketua Dewan Pembina THC, Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, M.B.A., dan Direktur Departemen Pembangunan Internasional OAC, Lee Shan Ying, Ph.D.

Dalam pidato pembukanya, Dr. Ilham menggarisbawahi urgensi peningkatan kesadaran publik mengenai dampak sampah laut terhadap keberlangsungan ekosistem maritim. Ia juga menekankan perlunya penguatan kapasitas sumber daya manusia dan sinergi lintas sektor melalui kerja sama internasional.

Dr. Lee Shan Ying dari OAC menyambut baik kemitraan ini, menyoroti visi bersama kedua lembaga untuk kawasan Indo-Pasifik yang lebih sehat.

“Kerja sama antara THC dan OAC merupakan manifestasi dari visi Taiwan untuk mewujudkan laut yang sejahtera melalui kemitraan global demi masa depan yang berkelanjutan,” ujar Lee.

Ia juga menegaskan bahwa karena laut tidak mengenal batas, tanggung jawab untuk melindunginya juga tidak seharusnya dibatasi oleh wilayah yurisdiksi.

Kolaborasi ini dinilai sangat strategis, mengingat keselarasan lanskap geografis Indonesia dan Taiwan. Keduanya merupakan wilayah kepulauan dan maritim yang, dalam praktiknya, telah menjadi “zona tangkapan” (catchment zone) sampah laut di kawasan Indo-Pasifik.

“Kerja sama ini diharapkan dapat menyinergikan pengalaman dan kapasitas Taiwan dalam tata kelola sampah dengan upaya yang sedang digalakkan di Indonesia,” imbuhnya.

Prof. Reza dari BRIN menambahkan bahwa skala masalah ini menuntut solusi komprehensif dari hulu ke hilir. Sinergi multipihak, menurutnya, adalah faktor kunci kesuksesan. Selain itu, ia menyoroti pentingnya memahami konsekuensi baru dari polusi ini.

“Seperti adanya jejak mikro plastik di berbagai wilayah laut di Indonesia yang juga perlu ditangani secara serius,” katanya.

Proyek kerja sama ini tidak hanya berhenti pada peluncuran. Sebagai tindak lanjut dari Memorandum of Agreement (MoA) yang ditandatangani di Taipei pada 15 September 2025, serangkaian kegiatan konkret telah disiapkan. Ini termasuk lokakarya internasional pada 6 November 2025 yang melibatkan para ahli dari Indonesia, Jepang, Filipina, dan Taiwan.

Selain itu, akan dilakukan penelitian bersama yang berfokus pada kolaborasi teknologi dan inovasi manajemen sampah plastik. Hasil penelitian ini rencananya akan dipublikasikan melalui ASEAN Briefs, sebuah kanal publikasi di bawah THC.

Pada akhirnya, The Habibie Center berharap inisiatif ini dapat diamplifikasi dan mendorong terbentuknya skema kerja sama yang lebih luas di tingkat kawasan Indo-Pasifik. THC pun mengajak berbagai mitra nasional dan internasional untuk bergerak bersama, karena lautan yang bersih membutuhkan aksi kolektif.

Home Maps Network Search