Produksi batubara Kaltim melonjak, XR Kaltim sebut transisi energi “Proyek Tipu-Tipu”

Di tengah gemerlap Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP 30) di Belém, Brasil, delegasi Indonesia hadir dengan kekuatan besar. Sebanyak 450 orang, dipimpin langsung oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusuma, membawa isu utama Transisi Energi dan perdagangan karbon. Komitmen untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan digaungkan oleh delegasi yang dipimpin adik Presiden Prabowo Subianto tersebut.

Namun, sebuah ironi tajam datang dari Kalimantan Timur, jantung produksi batubara negeri.

Saat para diplomat membahas masa depan energi bersih di Brasil, data di lapangan menunjukkan cerita yang sama sekali berbeda. Kelompok lingkungan Extinction Rebellion Kalimantan Timur (XR Kaltim Bunga Terung) menyoroti kegagalan proyek transisi energi untuk menghentikan kecanduan Indonesia terhadap batubara.

Faktanya, isu transisi energi yang didefinisikan sebagai perubahan dari energi fosil ke energi bersih, dinilai “hanya bagus di konsep namun nol ditindakan”. XR Kaltim menuding bahwa di tengah kucuran dana jumbo yang berkisar $25-30 miliar USD hingga 2030, proyek transisi energi justru kerap dijadikan alasan untuk menghancurkan hutan.

“Alih-alih beralih, eksploitasi sumber daya alam seperti mineral, nikel, pasir silika, dan bahkan batubara itu sendiri, justru meningkat,” kata aktivis XR Kaltim Bunga Terung, Yuni. (16/11/2025).

Kalimantan Timur adalah bukti nyata dari kontradiksi ini. Provinsi ini tetap tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan batubara dan kokoh sebagai penghasil terbesar di Indonesia.

“Alih-alih menurun seiring janji transisi, produksi batubara Kaltim justru melonjak tajam dari 268 juta ton pada tahun 2020 menjadi 368 juta ton pada tahun 2024. Angka ini mencakup sekitar 44% dari total produksi nasional,” papar Yuni.

Dampaknya terhadap lingkungan sangat nyata. Angka deforestasi atau penghancuran hutan di Kaltim tercatat masih yang tertinggi di Indonesia, mencapai 44.483 hektare pada tahun 2024. Kabupaten Kutai Timur menjadi daerah dengan laju deforestasi terparah, yakni seluas 16.578 hektare, di mana perluasan produksi batubara menjadi penyebab utamanya.

Extinction Rebellion Kaltim (XR Kaltim Bunga Terung) mendesak pemerintah untuk mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai proyek ilusi. “Kami mendesak Pemerintah segera menghentikan Proyek Tipu-Tipu atas nama Transisi Energi,” ujar Yuni.

Kelompok ini menuntut agar ketergantungan negara dan Kalimantan Timur pada bahan bakar fosil dihentikan, termasuk menyetop pasokan batubara ke smelter-smelter nikel yang seringkali didengungkan sebagai bagian dari ekosistem kendaraan listrik.

“Proyek ini harus dilakukan dengan cara yang adil dan berkelanjutan,” lanjut Yuni, “dengan memberi perlindungan terhadap Lingkungan dan hak-hak masyarakat dalam proses Transisi energi.”

Bagi mereka, transisi energi yang sejati harus mengedepankan partisipasi publik dan menjamin adanya hak veto masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak pada ruang hidup mereka.

COP30 dan suara yang hilang dari masyarakat adat dalam SNDC Indonesia

Di atas panggung iklim dunia, Indonesia telah membentangkan sebuah cetak biru yang megah. Namanya Second Nationally Determined Contribution (SNDC), sebuah dokumen setebal puluhan halaman yang diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, berisi janji-janji ambisius untuk memerangi krisis iklim. Di atas kertas, komitmen ini tampak mengesankan: target penurunan emisi yang lebih tinggi, metodologi yang lebih transparan, dan sebuah peta jalan menuju Net Zero Emission pada 2060. Ini adalah wajah modern Indonesia—sebuah bangsa yang siap memimpin dengan data, target, dan strategi.

Namun, jika kita bergeser dari ruang-ruang rapat penyusun SNDC di Jakarta menuju keheningan hutan-hutan di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, sebuah cerita yang sama sekali berbeda akan terungkap. Di sana, di bawah naungan pohon-pohon raksasa yang telah berdiri selama berabad-abad, hidup para penjaga iklim sejati. Mereka adalah masyarakat adat, yang selama beberapa generasi telah merawat ekosistem dengan sistem pengetahuan yang jauh lebih tua dari dokumen kebijakan mana pun.

Dan disinilah letak tragedi dari rencana iklim Indonesia. Dokumen SNDC yang canggih itu memiliki sebuah “titik buta” yang fatal. Ia gagal melihat, apalagi mengakui, para penjaga ini. 

Menurut Cindy Julianty, Koordinator Eksekutif Working Group ICCAs Indonesia (WGII), masalahnya bukan terletak pada ketiadaan visi, melainkan pada jurang antara rencana dan kenyataan. “Tantangan terbesar SNDC bukan pada visinya, tetapi pada penerjemahannya menjadi strategi, indikator, dan kelembagaan yang operasional,” tegasnya.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa pendekatan yang berat sebelah ini bisa menjadi bumerang. “Integrasi adaptasi dan mitigasi dalam SNDC belum sampai pada level kebijakan dan sistem. Padahal, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah inisiatif mitigasi justru dapat menimbulkan kerentanan baru,” kata Cindy. “Karena itu, penting memastikan agar adaptasi dan mitigasi menjadi timbal balik positif yang saling memperkuat. Ini harus melalui kebijakan yang juga mengedepankan HAM dan melindungi ruang hidup serta penghidupan masyarakat.”

Ini adalah kisah tentang dua dunia yang berjalan paralel namun tak pernah bertemu: dunia kebijakan iklim yang teknokratis dan dunia masyarakat adat yang hidup dalam harmoni ekologis. SNDC, dengan segala ambisinya, berisiko menjadi sebuah monumen kosong karena ia dibangun tanpa pondasi terkuatnya.

Ensiklopedia Hutan yang Hidup
Jauh sebelum istilah “mitigasi” dan “adaptasi” menjadi jargon global, masyarakat adat di seluruh Nusantara telah mempraktikkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Praktik mereka bukanlah program atau proyek, melainkan sebuah cara hidup yang dijalin dari pengetahuan, spiritualitas, dan penghormatan mendalam terhadap alam.

Bayangkan sistem Tembawang suku Dayak di Kalimantan. Dari kejauhan, ia tampak seperti hutan belantara, tetapi sesungguhnya adalah sebuah kebun agroforestri yang dirancang dengan jenius, menyerupai “hutan tropis mini”. Penelitian ilmiah modern hanya bisa mengonfirmasi apa yang telah diketahui leluhur Dayak selama berabad-abad: Tembawang menyimpan karbon dua kali lebih banyak daripada kebun karet biasa. Namun, bagi masyarakat, ia lebih dari sekadar penyerap karbon; ia adalah lumbung pangan, apotek hidup, dan perpustakaan keanekaragaman hayati.

Di Lombok, suku Sasak hidup di bawah naungan hukum adat Awiq-Awiq, seperangkat aturan sosial yang menjaga hutan dari penebangan liar. Di Maluku, sistem Sasi menjadi jeda sakral bagi alam, melarang sementara pemanenan hasil laut atau darat agar ekosistem dapat memulihkan dirinya—sebuah praktik yang terbukti secara ilmiah meningkatkan biomassa hingga 70%. Sementara itu, masyarakat Baduy di Banten dan Ammatoa Kajang di Sulawesi, dengan filosofi hidup mereka yang memuliakan alam, berhasil mempertahankan hutan mereka nyaris tak tersentuh.

Ini bukan sekadar cerita-cerita romantis. Data keras membuktikan efektivitas mereka. Sebuah kajian menunjukkan bahwa emisi karbon di wilayah adat secara signifikan lebih rendah dibandingkan di luar wilayah adat. Ironisnya, lebih dari separuh deforestasi di Indonesia justru terjadi di dalam konsesi legal yang diberikan negara kepada korporasi.

Namun, dalam dokumen SNDC, kekayaan pengetahuan ini direduksi menjadi sekadar “praktik baik”. Pemerintah seolah ingin memetik buahnya—kemampuan menyimpan karbon—tanpa mengakui pohon dan tanah tempat ia tumbuh. Ini adalah sebuah kekeliruan fatal. Kearifan ini tidak bisa dicangkokkan ke dalam program pemerintah yang kaku. Ia hidup dan bernafas hanya ketika masyarakat memiliki kedaulatan atas wilayah adat mereka.

Janji keadilan di atas kertas
Mengapa negara begitu sulit mengakui para penjaga hutan ini? Jawabannya terletak pada labirin hukum dan politik yang rumit. Pada tahun 2012, sebuah putusan Mahkamah Konstitusi (dikenal sebagai MK35) seharusnya menjadi fajar baru. Putusan itu secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Ia adalah sebuah koreksi historis, sebuah pengakuan bahwa negara telah keliru mengklaim tanah leluhur yang telah dihuni jauh sebelum republik ini lahir.

Namun, lebih dari satu dekade berlalu, fajar itu tak kunjung tiba. Janji keadilan itu tersangkut dalam birokrasi yang lamban dan kepentingan politik di daerah. Untuk mendapatkan penetapan Hutan Adat dari pemerintah pusat, sebuah komunitas harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan melalui Peraturan Daerah (Perda). Proses ini menjadi tembok penghalang yang nyaris tak tertembus.

Hasilnya adalah sebuah “jurang pengakuan” yang menganga. Dari potensi hutan adat seluas 23,2 juta hektar, hanya sekitar 1,1% yang telah secara resmi ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang bisa menjadi payung hukum nasional, telah terkatung-katung di parlemen selama lebih dari 14 tahun.

Kegagalan hukum inilah yang menjadi akar dari titik buta SNDC. Karena negara secara formal belum mengakui sebagian besar wilayah adat, maka para teknokrat yang menyusun rencana iklim pun tidak dapat “melihat” mereka di atas peta. Alat-alat canggih pemerintah seperti Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK), yang memetakan kerentanan iklim, hanya membaca data administratif. Ia bisa melihat sebuah desa di tepi sungai, tetapi buta terhadap hukum adat yang mengatur bagaimana komunitas itu hidup berdampingan dengan banjir.

Tragedi Kinipan
Apa yang terjadi ketika kebijakan iklim yang buta ini bertemu dengan realitas di lapangan? Jawabannya dapat ditemukan dalam kisah pilu masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah. Selama beberapa generasi, komunitas Dayak Tomun di sana hidup dari hutan mereka. Hutan adalah ibu, sumber pangan, obat-obatan, dan identitas.

Kemudian, sebuah perusahaan kelapa sawit datang, berbekal izin dari pemerintah. Hutan adat mereka, yang tidak diakui dalam peta resmi, dibabat habis. Ketika mereka melawan, mereka berhadapan dengan aparat. Puncaknya, ketua adat mereka, Effendi Buhing, ditangkap dengan tuduhan mencuri—sebuah taktik kriminalisasi yang lazim digunakan untuk membungkam perlawanan.29 Tak lama setelah hutan mereka hilang, bencana datang. Banjir bandang dahsyat menerjang desa, sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Kisah ini mengilustrasikan dengan gamblang peringatan dari Agung Wibowo, Direktur Eksekutif HuMa. Menurutnya, menerapkan SNDC tanpa pengakuan hak akan melanggengkan kerusakan. “Bila second NDC diterapkan tanpa ada pengakuan hak terhadap kelompok rentan dan resolusi konflik terhadapnya, maka paradigma rezim penguasaan kehutanan yang ada justru dilanggengkan dan akan berjalan seperti ‘business as usual’,” ujarnya.

Ia menyoroti biaya tersembunyi yang tak pernah masuk dalam kalkulasi kebijakan iklim. “Eskalasi konflik tenurial masyarakat rentan akan semakin laten dan timbul fragmentasi yurisdiksi antar lembaga penyelenggara negara. Tentu ini dapat memperburuk konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Ongkos sengketa, bencana lingkungan, proses litigasi panjang, bahkan kekerasan lokal ini yang tak pernah dihitung dalam proses penyusunan NDC,” paparnya.

Jalan yang terlewatkan
SNDC Indonesia adalah sebuah dokumen yang lahir dari niat baik, namun disusun dalam sebuah ruang hampa, terputus dari denyut nadi masyarakatnya. Proses konsultasi publiknya sendiri menjadi cerminan dari keterputusan ini. Naskah lengkap tidak dibagikan, dan dokumen final diserahkan ke PBB hanya satu hari setelah konsultasi berakhir—sebuah formalitas yang mengabaikan partisipasi bermakna.

Hasilnya adalah sebuah rencana yang berat sebelah. Ia sangat kuat dalam menghitung target-target mitigasi, tetapi sangat lemah dalam membangun strategi adaptasi yang menyentuh akar ketahanan masyarakat. Program-program seperti Kampung Iklim (ProKlim) yang diandalkan, dalam praktiknya masih bersifat seremonial.

Lasti Fardilla Noor dari WGII merangkum masalah ini dengan tepat. Ia menyoroti bagaimana pemerintah mengukur keberhasilan. “Selama adaptasi masih diukur dari daftar kegiatan programatik, bukan dari sejauh mana kerentanan berhasil dikurangi, maka efektivitasnya sulit dinilai,” katanya, seraya menambahkan, “Hingga kini, pemerintah belum menetapkan target penurunan indeks kerentanan yang jelas.”

Namun, harapan belum padam. Kritik yang disuarakan oleh koalisi masyarakat sipil bukanlah penolakan, melainkan sebuah undangan untuk mengkalibrasi ulang kompas kebijakan iklim Indonesia. Jalan ke depan sudah jelas: negara harus berhenti melihat masyarakat adat sebagai objek program dan mulai merangkul mereka sebagai subjek, sebagai mitra, sebagai pemimpin aksi iklim.

Ini berarti mempercepat pengakuan wilayah adat secara hukum, mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dan merombak total pendekatan kebijakan dari atas-ke-bawah menjadi kolaboratif. Karena pada akhirnya, solusi untuk krisis iklim tidak akan ditemukan hanya dalam grafik dan tabel emisi, tetapi dalam kearifan mereka yang telah menjaga bumi ini selama ribuan tahun.

Krisis Sampah di Kota Pontianak bisa jadi potensi ekonomi

Pemerintah Kota Pontianak sudah menggulirkan sejumlah kebijakan dan program pengelolaan sampah seperti Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R). Kendati demikian, volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batu Layang masih terus menumpuk.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Pontianak melansir, rata-rata sampah yang masuk ke TPA Batu Layang mencapai 400 ton per hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan sampah di tingkat masyarakat masih belum optimal.

Hal ini selaras dengan upaya yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Pontianak. “Kami terus berupaya melakukan pembersihan sampah yang mengendap di saluran air,” kata Syafi’i, Staf Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR Kota Pontianak.

Ia menyebut sampah yang diangkut dari parit-parit primer di wilayah kota mencapai 30 ton setiap hari. Sampah tersebut tidak hanya berupa plastik, namun juga terdapat sampah domestik (rumah tangga) yang jumlahnya lebih dominan.

“Satu hari dapat mengangkut enam dump truck, satu dump truck bisa lima ton berarti sekitar 30 ton sampah yang diangkut dan berakhir di TPA,” ujar Syafi’i.

Kesadaran warga untuk membuang sampah di TPS terbilang rendah, bahkan terkesan asal buang saja kendati Pemerintah Kota Pontianak telah menyiapkan wadah pembuangannya. Foto: Rizki Fadriani/Kolase.id

Kondisi ini menandakan pentingnya sinergi antara program pengelolaan sampah yang ada dengan peningkatan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah sejak dari sumbernya. Tanpa keterlibatan aktif semua pihak, persoalan sampah di Kota Pontianak akan semakin kompleks.

Satu di antara permasalahan sampah adalah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pengurangan dan pemilahan sampah. Hal ini mencerminkan pola pikir lama yang melihat sampah sebagai kotoran yang harus dibuang, tanpa mempertimbangkan nilai atau dampaknya.

Namun, di tengah tantangan ini, inisiatif muncul dari Kampung Wisata Caping. Sebuah komunitas di bantaran Sungai Kapuas yang berhasil mendobrak cara pandang sampah menjadi sumber potensi dan inovasi.

Beny Tanheri, pengelola Kampung Wisata Caping adalah sosok di balik transformasi ini. Ia melihat sampah bukan sekadar buangan, melainkan peluang yang belum dimanfaatkan.

“Sampah ini sumber masalah sekaligus potensi untuk menghasilkan barang yang lebih bernilai. Tantangan kita saat ini adalah bagaimana mengajak masyarakat untuk mengelola ini. Dari mencegah, memilah, hingga mengolah,” ungkapnya.

Inovasi Berbasis Komunitas: Peternakan, Kerajinan, Hingga Hotel

Kampung Caping mengembangkan dua jenis pengolahan limbah, baik sampah organik maupun anorganik. Inisiatif ini menciptakan siklus ekonomi sirkular. Limbah organik diubah menjadi sumber daya bagi peternakan lokal, sementara sampah anorganik, dengan sentuhan inovasi disulap menjadi kerajinan bernilai ekonomi.

Suasana Kampung Caping di bantaran Sungai Kapuas, Pontianak. Foto: Andi Fachrizal/Kolase.id

“Di Kampung Caping ini kita punya peternakan ayam. Namanya Menteng Farm. Selain sampah dari masyarakat, kami juga kerja sama dengan satu di antara hotel besar di Kota Pontianak yakni Aston Group untuk olah sampah organik menjadi pakan. Hasilnya, peternakan ini bisa menekan biaya pakan hingga 1,5 juta tiap bulannya,” ucapnya.

Arifin, Humas Hotel Aston Pontianak mengatakan, kerja sama ini dilakukan sebagai perpanjangan program Waste Management yang mengharuskan setiap unit hotel untuk mengelola sampah, baik organik maupun anorganik.

“Dari pusat kita ada program Waste Management. Setiap unit hotelnya diminta untuk mengelola sampah, baik yang organik maupun anorganik. Aston Pontianak dengan keterbatasan area, berinisiatif untuk melibatkan pihak ketiga dalam pengelolaan sampah organik karena hampir 70% sampah hotel itu adalah sampah organik,” ungkapnya.

Mengubah sampah organik menjadi pakan merupakan bagian penting dari prinsip hierarki daur ulang pangan. Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi dalam menekan volume sampah yang berakhir di tempat pembuangan, tetapi menawarkan solusi pakan yang ekonomis dan berkelanjutan bagi para peternak. Dengan demikian, limbah pangan bertransformasi menjadi sumber daya yang sangat bernilai.

Pada pengolahan sampah anorganik, plastik-plastik yang telah dikumpulkan dan dipilah diubah menjadi produk-produk cantik dan fungsional berkat sentuhan kreatif tangan masyarakat setempat, di antaranya caping dan tote bag.

“Kami mengolah sampah-sampah anorganik di antaranya dijadikan kerajinan seperti caping dari plastik, hasilnya caping yang dibuat dari plastik juga lebih tahan lama. Selain itu ada juga selimut hotel yang dijadikan sebagai tote bag,” jelas Beny.

Inisiatif kreatif ini tidak hanya mengurangi timbulan sampah anorganik yang sulit terurai, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat lokal. Dengan mengubah limbah menjadi produk bernilai jual, Kampung Caping menunjukkan bagaimana pendekatan inovatif dapat berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan sekaligus memberdayakan komunitas.

Kampung Caping dan Yuka: Satu Tubuh Beda Wajah

Cerita tentang peradaban sungai di Kampung Caping tak dapat dibandingkan dengan kondisi Kampung Yuka saat ini. Permukiman padat penduduk di Kelurahan Sungai Beliung, Pontianak Barat ini masih harus berjibaku dengan sampah saban hari.

Lurah Sungai Beliung Bastiaruddin tak menampik kepadatan populasi penduduk di Kampung Yuka. “Di sana ada tiga RW (rukun warga) dan 19 RT (rukun tetangga). Di RW 16 ada 7 RT, RW 17 ada 6 RT, dan RW 18 ada 6 RT,” katanya menjawab pesan via WhatsApp, Minggu (27/7/2025).

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pontianak melalui Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Hasil Konsolidasi Berkala Kemendagri Semester II tahun 2024 mencatat, jumlah penduduk di Kelurahan Sungai Beliung mencapai 59.376 jiwa.

Sementara hasil assessment awal Tim Survei Keluarga Pembaharu (Gaharu) Pontianak mencatat ada sekitar 7000 jiwa menghuni Kampung Yuka. Sebuah permukiman yang tak lagi sanggup bernafas lega. Jika dihitung rata-rata, setiap RT dihuni oleh 368 jiwa, angka yang mencerminkan betapa padatnya kampung ini.

Kepadatan tak hanya terasa pada lorong sempit dan rumah-rumah yang berdempetan. Ia juga terasa pada volume sampah yang dihasilkan setiap hari. Dari sisa makanan, bungkus plastik, botol, popok, hingga limbah rumah tangga lainnya, semuanya mencari jalan keluar. Sayangnya, jalan keluar itu bukan tempat sampah yang terkelola, melainkan parit-parit kecil dan saluran air di sekitar permukiman.

Parit-parit yang dulunya mengalir jernih dan menjadi saluran resapan, kini berubah menjadi selokan hitam yang mengalir malas, tersumbat oleh sampah plastik dan endapan limbah. Saat hujan turun, air tak lagi mengalir, melainkan meluap, masuk ke rumah-rumah, membawa bau busuk dan potensi penyakit.

Sungai yang menjadi hilir dari semua itu hanya bisa pasrah. Ia menerima semua yang dibuang dari RT ke RT, dari RW ke RW, tanpa ampun. Volume sampah yang terbawa menuju sungai meningkat drastis dan bukan karena perilaku satu dua orang semata, tetapi karena sistem pengelolaan sampah yang tidak sanggup mengikuti laju pertumbuhan penduduk.

Beranjak dari fenomena tersebut, tampak jelas krisis lingkungan mendesak untuk ditangani. Ada realitas pahit kehidupan di bantaran sungai Kampung Yuka. Tumpukan sampah plastik dan organik memenuhi area kolong rumah-rumah panggung yang seharusnya menjadi ekosistem penting bagi biota sungai.

Bantaran Sungai Kapuas di Kampung Yuka yang dipadati sampah rumah tangga. Foto: Alfiyyah Ajeng Nurardita/Kolase.id

Perahu-perahu kecil yang sejatinya menjadi simbol peradaban sungai, justru terjebak dalam lumpur dan limbah. Sungai yang dulunya menjadi jalur transportasi dan sumber penghidupan, kini perlahan berubah menjadi tempat pembuangan sampah terbuka.

Hal ini memperlihatkan kurangnya sistem pengelolaan sampah yang memadai, minimnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan, dan lemahnya pengawasan pemerintah daerah dalam menjaga kebersihan DAS.

Demikian halnya dengan persoalan pasar, ruang pertemuan ekonomi, sosial, dan budaya. Ketika pasar tidak tertata dengan baik, ruang ini bisa berubah menjadi sumber polusi yang sistemik. Apalagi di daerah aliran sungai, apa yang dibuang hari ini, bisa menjadi ancaman bagi ekosistem sungai esok hari.

Pasar menjadi denyut ekonomi penting, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga dan pedagang kecil. Namun, di saat bersamaan, kurangnya fasilitas pengelolaan limbah pasar membuat kawasan ini menyumbang signifikan terhadap pencemaran lingkungan. Sampah plastik dari bungkus makanan, kantong belanja, dan sisa bahan makanan sering kali langsung dibuang ke sungai atau kanal terdekat, yang kemudian mengalir ke laut.

Melihat kondisi di Kampung Yuka, potensi untuk bertransformasi sesungguhnya sangat besar. Satu di antaranya karena ada area pasar yang selalu memproduksi sampah organik. Hal ini memberikan potensi pemanfaatan larva Black Soldier Fly (BSF) atau yang lebih dikenal dengan maggot.

Teknologi Ramah Lingkungan: Maggot dan Biopond

Beny Tanheri yang juga seorang pegiat lingkungan ini telah berhasil mengembangkan budidaya maggot BSF. Menurutnya, maggot memiliki kemampuan luar biasa dalam mengonsumsi dan mengurai limbah organik.

Beny menjelaskan, dalam kondisi ideal, satu kilogram maggot mampu mengonsumsi hingga lima kilogram limbah organik per hari. Bahkan bisa lebih tergantung pada jenis dan kelembapan limbah. Kecepatan konsumsi ini menjadikan maggot sebagai agen dekomposer yang sangat efisien dalam mengurangi volume sampah organik.

Di tengah krisis sampah organik yang melanda kawasan di bantaran sungai, siapa sangka larva kecil seperti maggot bisa menjadi pahlawan ekologi. Hal ini dapat dilihat pada aktivitas maggot dalam sebuah biopond atau tempat penguraian limbah organik secara alami dan ramah lingkungan. Sampah dapur seperti sisa sayur, buah, dan daun yang biasanya menjadi limbah yang mencemari perairan, kini justru diolah menjadi sumber kehidupan baru.

Maggot di dalam biopond yang dipenuhi dengan makanan yang berasal dari limbah organik di tempat pengembangbiakan maggot yang dikelola oleh Beny Tanheri. Foto: Alfiyyah Ajeng Nurardita/Kolase.id

Biopond ini bukan hanya tempat pembusukan, tetapi tempat transformasi. Dalam waktu singkat, maggot mampu mengurai sampah organik dengan efisien. Mereka mengonsumsi limbah dan mengubahnya menjadi biomassa bernutrisi tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak atau ikan. Hasil akhirnya? Sisa organik yang sudah terurai dan lebih ramah bagi tanah, serta pengurangan drastis jumlah sampah yang berpotensi mencemari lingkungan.

Dalam sistem ini, kata Beny, satu unit biopond mampu menampung sekitar 5 kilogram maggot hidup. Apabila digunakan secara kolektif, delapan unit biopond dapat melayani kebutuhan pengolahan limbah organik dari sekitar 500 rumah tangga. Hal ini membuktikan bahwa teknologi sederhana ini sangat potensial untuk diterapkan di tingkat komunitas dalam skema pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Hasil samping dari budidaya maggot juga memiliki nilai tambah. Kasgot atau kotoran maggot, mengandung nutrisi tinggi dan dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Selain itu, cangkang eksoskeleton dari maggot yang telah bermetamorfosis juga dapat dijadikan bahan pupuk alami, menjadikan sistem ini hampir tanpa limbah.

Solusi Tambahan: Biopori untuk Rumah Tangga

Selain menggunakan maggot, masyarakat juga dapat membuat biopori yang menjadi solusi lain dalam mengolah limbah organik. Teknologi lubang resapan biopori juga memiliki kontribusi signifikan dalam pengelolaan lingkungan.

Fungsi utama biopori adalah untuk meningkatkan daya serap air tanah, sehingga mengurangi risiko banjir dan genangan. Fungsi tambahan biopori adalah tempat pembuangan limbah organik rumah tangga yang akan terdekomposisi menjadi kompos secara alami.

Setiap metode pengelolaan limbah organik memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karenanya, masyarakat bebas memilih metode yang paling sesuai dengan kondisi lokal dan ketersediaan sumber dayanya.

Muara dari semua pendekatan ini adalah upaya aktif dalam mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA), demi menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan. [Andi Fachrizal]

Reportase ini didukung oleh Ekuatorial.Com bersama Earth Journalism Network – Internews. Pertama kali terbit di Kolase.ID

Kampus di Kalimantan bertani jagung dan kopi, dorong ketahanan pangan berbasis masyarakat

Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Kalimantan. (ULM)
Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Kalimantan. (ULM)

Universitas Lambung Mangkurat (ULM) menunjukkan peran aktifnya dalam penguatan ketahanan pangan melalui aksi nyata di lapangan. Salah satunya dilakukan oleh Rektor ULM Ahmad Alim Bachri, yang mengelola kebun edukasi seluas 10 hektare di Desa Sambangan, Kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan.

Kebun tersebut menjadi lokasi panen jagung dan kopi robusta yang dilaksanakan bersama jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kalimantan Selatan. Acara panen turut dihadiri oleh Gubernur Kalimantan Selatan Muhidin.

Sekitar 9.000 pohon kopi dan tanaman jagung yang ditanam dengan sistem pertanian ramah lingkungan menjadi hasil panen hari itu, 2 Juli 2025. . Gubernur Muhidin menyampaikan bahwa kebun ini dapat menjadi model pertanian yang layak ditiru oleh masyarakat.

“Jagungnya manis, dan bahkan bubur jagung buatan ibunda Pak Rektor luar biasa. Ini contoh konkret ketahanan pangan berbasis masyarakat,” ujarnya, diakses dari keterangan resmi, Kamis (7/8/2025).

Ia juga mengajak masyarakat Kalimantan Selatan untuk mengoptimalkan lahan tidur dan belajar dari kebun edukasi yang dikelola oleh Rektor ULM. “Silakan hubungi Pak Rektor kalau ingin belajar berkebun jagung dan kopi. Ini harus jadi gerakan bersama,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Ahmad Alim Bachri menjelaskan bahwa pengelolaan kebun ini merupakan bagian dari visi ULM untuk mendorong kedaulatan pangan dan memberi manfaat sosial.

“Kami juga menjalin sinergi dengan Polda Kalsel, salah satunya dalam pengembangan peternakan sapi. Sebanyak 50 ekor telah dipasarkan menjelang Iduladha,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa hasil dari usaha peternakan turut digunakan untuk membantu mahasiswa kurang mampu melalui subsidi Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Tantangan pertanian di Kalimantan

Di tengah berbagai upaya untuk mendorong kemandirian pangan, sektor pertanian di Kalimantan masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan kelembagaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syarifah Maryam dari Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, disebutkan bahwa pembangunan pertanian di Kalimantan Timur hingga kini belum sepenuhnya berbasis pada potensi sumber daya lokal.

Kondisi ini membuat proses pembangunan pertanian di wilayah tersebut menghadapi kendala baik secara teknis maupun sosio-kultural (Puslitbangwil Unmul, 2000).

Lebih lanjut, Maryam mengutip pendapat Suprapto (1999) yang menyatakan bahwa pengembangan kebijakan pertanian yang ideal memerlukan dukungan lima faktor utama: kebijakan makro yang konsisten, penguasaan teknologi, sarana dan prasarana yang memadai, sumber daya manusia yang kompeten, serta kelembagaan yang mendukung.

Analisis kelembagaan sendiri diperlukan untuk menggambarkan penilaian kebutuhan (need assessment), permasalahan, dan potensi dalam menanggulangi kendala pembangunan wilayah pertanian.

Yayasan Kolase ajak jurnalis pertajam liputan isu trenggiling

Perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar dilindungi, khususnya trenggiling, menunjukkan tren yang mengkhawatirkan di Kalimantan Barat. Ironisnya, peningkatan kasus ini belum diimbangi dengan perhatian yang memadai dari media massa untuk mengangkat isu kritis tersebut ke permukaan.

Data yang dihimpun oleh tim kerja Yayasan Kolase melukiskan gambaran suram: sepanjang tahun 2024 saja, tercatat tujuh kasus perdagangan trenggiling yang berhasil diungkap dan bergulir hingga ke meja hijau. Dari kasus-kasus tersebut, pengadilan negeri menyita barang bukti berupa sisik trenggiling dengan total berat mencapai sekitar 624,68 kilogram.

Namun, angka kasus yang tinggi ini tampaknya luput dari radar pemberitaan. Yayasan Kolase mencatat hanya ada 52 berita yang menyentuh isu trenggiling di media Kalimantan Barat selama periode tersebut. Jumlah ini baru mencerminkan kuantitas, belum menyentuh aspek kualitas dan kedalaman liputan yang diperlukan untuk isu sepenting ini.

Menyadari kesenjangan tersebut, Yayasan Kolase mengambil inisiatif dengan menggelar pelatihan investigasi jurnalistik bertema trenggiling pada 29-30 April 2024. Sebanyak 30 jurnalis dari berbagai penjuru Kalimantan Barat diundang untuk berpartisipasi dalam forum penting ini.

“Kami mengundang kawan-kawan jurnalis dari berbagai platform media, baik cetak maupun digital, termasuk radio dan televisi untuk mengikuti pelatihan itu,” ungkap Andi Fachrizal, Co-Founder Yayasan Kolase.

Pria yang akrab disapa Rizal Daeng ini menjelaskan bahwa pelatihan dirancang untuk membekali para jurnalis dengan kemampuan investigasi dan pelaporan yang lebih tajam terkait kasus trenggiling. Selain itu, pelatihan ini juga bertujuan membangun jaringan kerja yang solid antara jurnalis, aktivis lingkungan, dan pihak berwenang untuk bersama-sama mengatasi maraknya perdagangan satwa dilindungi ini.

“Bagian penting dari pelatihan ini adalah konsolidasi pikiran, agar kerja-kerja jurnalistik dapat menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan trenggiling,” jelas Rizal Daeng.

Untuk memastikan kualitas pelatihan, Yayasan Kolase menghadirkan narasumber dan pelatih yang kompeten di bidangnya. Di antaranya adalah Joni Aswira Putra, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), dan Arief Nugroho, jurnalis senior dari Pontianak Post.

Materi yang disajikan selama dua hari pelatihan mencakup spektrum yang luas, mulai dari Pengenalan Satwa Liar Trenggiling, Gambaran Umum Perdagangan Satwa Liar di Indonesia, Jurnalisme Investigasi, hingga teknik-teknik spesifik seperti Perencanaan dan Pembuatan ToR Investigasi, Teknik Peliputan, Penyamaran, Observasi, Pengemasan Laporan Investigasi, serta Kode Etik Liputan Investigasi.

“Semua materi itu tertuang dalam silabus agar kami dapat mengukur indikator keberhasilan sebuah pelatihan. Semoga ke depan para jurnalis dapat mengalihkan perhatiannya pada isu trenggiling. Satwa lindung yang sepi sentuhan, kendati kasusnya terus menanjak,” urai Rizal Daeng penuh harap.

Respon positif datang dari para peserta. Maria, jurnalis Suara.com, menyampaikan apresiasinya. Ia merasa pengetahuannya tentang satwa bernama Latin Manis javanica itu meningkat drastis berkat pelatihan ini. “Selama ini saya hanya mengenal nama trenggiling. Belum paham betul manfaatnya di alam, perilakunya, termasuk ancamannya. Sekarang saya paham. Semoga ke depan berkesempatan meliput. Terima kasih Yayasan Kolase,” kata Maria.

Senada dengan Maria, Doris Pardede dari Kompas TV Pontianak juga merasakan manfaat besar dari pelatihan tersebut. “Sangat bermanfaat bagi jurnalis yang selama ini hanya terbiasa dengan liputan reguler. Pelatihan ini mengajarkan tidak sekadar meliput peristiwa, tetapi bagaimana mendalami kasusnya, teknik, etika, dan perencanaannya,” katanya.

Melalui pelatihan ini, Yayasan Kolase berharap para jurnalis kini memiliki pemahaman yang lebih tajam dan mendalam mengenai kompleksitas kasus trenggiling. Lebih dari itu, diharapkan para pewarta menyadari peran vital mereka sebagai penjaga akurasi informasi, memastikan fakta yang utuh dan mendalam sampai ke ruang baca dan ruang dengar publik, demi kelestarian trenggiling dan ekosistemnya.

Masyarakat adat konsolidasikan kekuatan di tengah ancaman pembangunan

RAKERNAS AMAN VIII resmi dibuka di Desa Kedang Ipil, Kaltim, fokus pada penguatan resiliensi Masyarakat Adat di tengah ancaman proyek pembangunan seperti IKN dan ekspansi sawit.

Ratusan perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai penjuru Nusantara telah berkumpul di Desa Kedang Ipil, jantung wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang. Mereka hadir untuk mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang berlangsung pada 14-16 April 2025. Mengusung tema krusial, “Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak,” Rakernas kali ini menjadi momentum penting konsolidasi gerakan.

Pembukaan Rakernas AMAN VIII pada Senin (14/4/2025) ditandai dengan pawai budaya yang semarak. Ratusan peserta mengenakan pakaian adat khas daerah masing-masing, menciptakan lautan warna dan keberagaman. Pawai ini bukan sekadar seremoni; ia menjadi simbol perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2025, peringatan 26 tahun AMAN, sekaligus penegasan keteguhan Masyarakat Adat dalam menjaga identitas dan budayanya di tengah arus pembangunan yang kerap mengancam eksistensi mereka.

Kedang Ipil: Tuan rumah di garis depan perjuangan

Pemilihan Desa Kedang Ipil sebagai lokasi Rakernas AMAN memiliki makna strategis. Seperti ditegaskan Ketua Panitia Pelaksana, Yoga Saeful Rizal, lokasi ini berada di garis depan ancaman nyata: ekspansi perkebunan kelapa sawit dan mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). “Seluruh kekuatan AMAN berkumpul di sini untuk memperkuat solidaritas dan merumuskan strategi perjuangan bersama,” ujar Yoga.

Keresahan juga disuarakan Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah. Ia menyoroti stigma negatif yang sering dialamatkan kepada Masyarakat Adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang sebagai penyebab kebakaran hutan. “Padahal, praktik berladang kami turun-temurun dan tidak pernah memicu kebakaran,” tegasnya.

Represi meningkat, wilayah adat terancam

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, memberikan gambaran suram mengenai situasi yang dihadapi Masyarakat Adat secara nasional. Ia mengungkapkan data mengkhawatirkan:

  • 110 kasus yang melibatkan komunitas adat tercatat hanya dalam periode Januari–Maret 2025.
  • Sepanjang 2024, terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas lebih dari 2,8 juta hektare, menimpa 140 komunitas adat.

Kalimantan Timur sendiri menjadi contoh nyata situasi genting ini:

  • Kekerasan di Muara Kate: Dua warga adat menjadi korban (satu meninggal) saat memprotes penggunaan jalan umum oleh truk tambang PT Mantimin Coal Mining (MCM).
  • Ancaman IKN di Sepaku: Komunitas Suku Balik kian terdesak oleh pembangunan Ibu Kota Nusantara.
  • Perusakan Mangrove di Paser: Hutan mangrove Masyarakat Adat Rangan diuruk untuk stockpile batubara.
  • Ancaman Sawit di Kedang Ipil: Masyarakat setempat terus berjuang mempertahankan hutan adat dari ekspansi sawit.

Rukka Sombolinggi memperingatkan bahwa kondisi ini berpotensi memburuk dengan penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru dan pengesahan revisi UU TNI yang dinilai memperkuat pendekatan militeristik dan melegalkan perampasan wilayah adat. “Konstitusi memang mengakui hak Masyarakat Adat, tapi implementasinya nihil. Aturan tercerai-berai di banyak UU, tak terkoordinasi,” kritiknya. Ia juga menekankan bahwa legalitas hukum perampasan wilayah adat tidak serta merta memberikannya legitimasi (“Legal, but not legitimate”).

Kecaman keras juga ditujukan pada praktik kriminalisasi pejuang adat dan regulasi yang mendukung model pembangunan eksploitatif seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, dan kebijakan nilai ekonomi karbon. “Kami yang menjaga hutan, tapi pihak lain yang mengambil untung,” tandasnya.

RUU Masyarakat Adat

Di tengah tekanan hebat, Rukka menegaskan semangat resiliensi Masyarakat Adat. “Resiliensi adalah bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas. Dunia mengakui peran vital Masyarakat Adat untuk keberlanjutan lingkungan,” ujarnya, seraya mengingatkan sejarah lahirnya AMAN sebagai perlawanan terhadap Orde Baru.

Dalam Dialog Umum, Yance Arizona akademisi UGM menambahkan perspektif kritis. Ia menilai Indonesia cenderung bergerak menuju otoritarianisme, bukan demokratisasi. “Masyarakat Adat tidak anti pembangunan, tapi menolak pembangunan yang merampas tanah, karena tanah adalah identitas. Menggusur tanah berarti menghapus identitas,” jelasnya.

Yance juga menyoroti ketidaksinkronan antar kementerian dalam pengakuan Masyarakat Adat. “Solusinya hanya satu dan mendesak: segera sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat!” tegasnya.

Rakernas AMAN VIII yang diikuti sekitar 500 peserta ini akan menjadi forum vital untuk evaluasi, refleksi, dan perumusan strategi politik gerakan Masyarakat Adat Nusantara dalam menghadapi tantangan zaman yang kian kompleks.

Agrarian Resource Center dorong agroekologi sebagai model pertanian berkelanjutan di wilayah gambut

Lahan gambut. (Foto: Agrarian Resource Center)
Lahan gambut. (Foto: Agrarian Resource Center)

Sejak beberapa tahun terakhir, topik agroekologi semakin mendapat perhatian, khususnya dalam konteks pengembangan pertanian di wilayah pedesaan Indonesia yang masih didominasi oleh model agroindustri. Melalui serangkaian penelitian lapangan yang dilakukan pada Agustus 2024, tim peneliti dari Agrarian Resource Center (ARC) berupaya mendorong penerapan agroekologi sebagai model alternatif untuk pertanian berkelanjutan.

“Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi serta tantangan dalam mengembangkan agroekologi di kawasan gambut, yang selama ini mengalami degradasi akibat praktik pertanian konvensional dan ekspansi industri,” demikian keterangan resmi Agrarian Resource Center (ARC) diakses Kamis, 10 April 2025.

Penelitian ini melibatkan sejumlah peneliti dari Agrarian Resource Center, termasuk Pandu Sujiwo, Fikri Fauzi, Miqdad Fadhil, Dianto Bachriadi, Ratu Tammi, dan Agung Dwi, yang melakukan fieldwork pengumpulan data di dua lokasi tersebut. Kunjungan lapangan kali ini merupakan yang kedua kalinya setelah sebelumnya tim peneliti ARC, yang terdiri dari Pandu Sujiwo dan Miqdad Fadhil, bersama Prof.

Kosuke Mizuno dari Sekolah Ilmu Lingkungan UI, melakukan eksplorasi awal pada akhir tahun 2023. Penelitian ini juga didukung oleh beberapa peneliti senior ARC, seperti Dianto Bachriadi dan Hilma Safitri, serta para dosen dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), termasuk Yudi Bachrioktora dan Maria Regina.

Sebagai bagian dari penelitian ini, tim peneliti juga mengadakan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan pemerintah desa dan perwakilan warga lokal. Diskusi ini bertujuan untuk mengonfirmasi temuan-temuan awal serta menggali potensi dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat setempat dalam mengembangkan kawasan agroekologi gambut.
Pendekatan ini memungkinkan terjadinya dialog yang lebih terbuka antara peneliti dan masyarakat lokal, yang sangat penting untuk memastikan bahwa model agroekologi yang diusulkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal.

Apa itu agroekologi?

Agroekologi adalah sebuah konsep yang menggabungkan pengetahuan lokal dan ilmiah dalam upaya mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan, berkeadilan sosial, dan ramah lingkungan.

Menurut Dianto Bachriadi (2023), agroekologi tidak hanya mengandalkan praktik pertanian yang berbasis pada kearifan lokal, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat yang bergantung pada tanah dan lingkungan hidup mereka.

Praktik agroekologi bersifat politis karena berupaya menggantikan dominasi model pembangunan pertanian yang bercorak kapitalis atau agrarian capitalist-developmentalism, yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi semata tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

Di Agrarian Resource Center, agroekologi merupakan topik yang intensif dibahas dalam setahun terakhir. Selain berupaya mengisi kekosongan dalam dunia akademik dan gerakan sosial di Indonesia, ARC juga ingin mendorong agroekologi sebagai model alternatif dalam pengembangan corak pertanian yang lebih berkelanjutan, terutama di wilayah pedesaan yang masih sangat bergantung pada model agroindustri.

Arkeologi dan lahan gambut

Lahan gambut di Indonesia memiliki karakteristik unik yang sangat penting bagi keberlanjutan ekosistem global. Selain berfungsi sebagai penyerap karbon yang efektif dalam memitigasi perubahan iklim, lahan gambut juga kaya akan keanekaragaman hayati yang mendukung kehidupan banyak spesies.

Namun, sejak lama, lahan gambut di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Sambas, telah mengalami kerusakan parah akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan kegiatan pertanian lainnya.

Kegiatan pengolahan lahan gambut yang dilakukan secara meluas, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat setempat, seringkali mengabaikan keberlanjutan ekosistem gambut itu sendiri. Praktik seperti pembakaran lahan untuk membuka kebun atau pembangunan infrastruktur menyebabkan kerusakan serius pada ekosistem gambut yang sudah rentan.

Melalui penelitian ini, ARC berupaya menawarkan solusi dengan memperkenalkan model agroekologi sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan antara produktivitas ekonomi dan kelestarian ekologis. Dalam konteks ini, agroekologi bukan hanya soal memperkenalkan cara bertani yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga soal menciptakan model pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, dengan mengoptimalkan potensi lokal tanpa merusak daya dukung alam.

Tim peneliti ARC melihat adanya potensi besar untuk mengembangkan kawasan agroekologi gambut di kedua lokasi yang diteliti. Namun, proses pengembangan ini tidak tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah perubahan pola pikir masyarakat yang sudah terbiasa dengan model pertanian konvensional, yang sering kali lebih mudah diterima karena dianggap lebih menguntungkan dalam jangka pendek.

Selain itu, regulasi pemerintah terkait dengan pengelolaan lahan gambut yang masih belum sepenuhnya mendukung penerapan agroekologi juga menjadi hambatan. Oleh karena itu, penting bagi peneliti dan praktisi untuk terus berkolaborasi dengan pemerintah dan masyarakat lokal untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan kawasan agroekologi, terutama di wilayah yang kaya akan sumber daya alam seperti gambut.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi yang berguna untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada keberlanjutan ekosistem gambut, serta mendukung masyarakat untuk beralih ke model pertanian yang lebih ramah lingkungan. Rencana ke depan, hasil dari penelitian ini akan dipublikasikan oleh Agrarian Resource Center dalam berbagai bentuk publikasi, seperti policy brief, artikel jurnal, buku bunga rampai, dan working-paper.

Mengarah pada masa depan agroekologi

Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Sambas ini merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk mendorong penerapan agroekologi sebagai solusi bagi ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. Melalui pendekatan berbasis masyarakat, diharapkan agroekologi dapat menjadi model alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat ketahanan ekosistem gambut yang sangat vital untuk masa depan bumi.

Dengan terus melibatkan masyarakat lokal, pemerintah, dan berbagai pihak terkait dalam proses pengembangan kawasan agroekologi gambut, ARC berharap dapat menciptakan model pertanian yang lebih seimbang dan ramah lingkungan. Agroekologi bukan hanya tentang bertani, tetapi tentang menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam.

Mengundang bencana ekologis melalui deforestasi 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi

Pemerintah didesak mengurungkan dan menghentikan proyek ambisius mempercepat laju deforestasi dengan dalih pangan dan energi.
Sawah terhimpit perusahaan sawit di Kalimantan Selatan. (Walhi Kalimantan Selatan)

Rencana pembukaan lahan 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi dinilai sebagai kesesatan berpikir. Pernyataan tersebut seolah-olah menjelaskan kerusakan ekologis akibat deforestasi adalah hal sederhana dan lebih seperti narasi anti sains yang berakibat fatal pada kondisi lingkungan.

“Pernyataan itu juga memperlihatkan watak tidak ingin belajar dari masa lalu seperti proyek lahan gambut satu juta hektar dan lahan food estate di Kalimantan Tengah yang sangat nyata kegagalannya,” demikian pernyataan Walhi Kalimantan Selatan, 13 Januari 2025.

Menurut Walhi Kalimantan Selatan, dalam konteks daerah, Kalimantan Selatan juga menjadi contoh miniatur kegagalan proyek seremonial yang ugal-ugalan. Proyek Hari Pangan Sedunia (HPS) Tahun 2018 yang dilaksanakan di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala adalah salah satunya.

Belakangan lahan pasca HPS yang dipaksa produktif waktu itu telah menjadi padang rumput atau semak belukar. Artinya tidak ada agenda yang berkelanjutan setelah proyek yang menelan anggaran jumbo tersebut dijalankan.

Sebaliknya, kini Jejangkit sangat rentan terdampak krisis iklim dan bencana ekologis. Selain itu, potensi konflik masyarakat petani dengan perusahaan perkebunan sawit bisa saja kembali meningkat.

Hasil analisis Walhi Kalimantan Selatan bahwa produktifitas pertanian di Kecamatan Jejangkit terus menurun dalam kurun waktu tiga tahun. Pada 2020 produksi tanaman padi mencapai seluas 2.879 hektar. Namun, pada 2021 produksi padi menurun menjadi 2.127 hektar, begitu juga 2022 produksi padi semakin menurun drastis hanya seluas 1.104 hektar.

Belum kering di ingatan bahwa banjir besar 2021 adalah pertanda krisis ekologis semakin nyata seiring dengan aktivitas industri ekstraktif yang semakin meningkat. Bencana tersebut juga merupakan dampak dari perubahan iklim yang menyebabkan bencana hidrometeorologi di banyak daerah.

Selain kerusakan lingkungan akan kian parah, Walhi Kalimantan Tengah menilai pernyataan yang sesat pikir deforestasi untuk pangan dan energi jelas memalukan bagi negara yang ikut terlibat dalam perjanjian Paris pada 2015 lalu dan telah diratifikasi melalui Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).

Di Kalimantan Selatan sendiri saat ini beban izin PBPH, tambang, dan sawit mencapai sekitar 2,5 juta hektar, itu lebih besar dari tutupan hutan yang hanya sekitar 716.428 hektar. Bahkan hutan primer di Kalsel hanya tersisa sekitar 49.958 hektar.
“Sangat naif ketika kita masih meyakini bahwa hutan Indonesia khususnya Kalimantan merupakan paru-paru dunia ketika tutupan hutan terus berkurang,” kata Walhi Kalimantan Selatan.

Tingginya luas beban izin industri ekstraktif juga berimplikasi pada kejadian bencana seperti banjir besar yang terjadi pada Tahun 2021. Sebab, 13 Kabupaten/Kota atau seluruh daerah di Kalsel terdampak banjir tersebut. Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kalimantan Selatan mencatat sebanyak 176.290 Kepala Keluarga (KK) atau 633.723 jiwa menjadi korban, 135.656 orang mengungsi, 123.410 rumah terendam, dan 46 orang meninggal dunia. Negara menaksir kerugian sebesar Rp1,349 triliun.

Banjir 2021 dengan daya rusak terparah menyapu Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), daerah yang selama ini berkomitmen untuk tidak mengizinkan tambang batubara dan sawit beroperasi. Namun, di sisi lain ada dugaan aktivitas illegal logging yang masih marak di HST sehingga deforestasi di hulu memperparah kejadian banjir waktu itu. Hal ini juga memicu warga HST melakukan advokasi untuk memastikan komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum pada kasus-kasus tersebut.

Bencana hidrometeorologi seperti yang terjadi pada 2021 sangat cukup menjadi alasan untuk tetap mempertahankan hutan Kalimantan. Banyak kejadian bencana ekologi yang tak terduga seperti gempa bumi menjadi indikator bahwa kita harus melakukan upaya mitigasi yang komprehensif.

Walhi mendesak pemerintah untuk mengurungkan dan menghentikan proyek ambisius mempercepat laju deforestasi tersebut. Dengan alasan pangan dan energi bukan berarti kita mesti serta merta menumbalkan hutan kita yang juga menjadi indentitas bangsa ini. Tanpa hutan, kita akan kehilangan sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang rentan dan esensial.

    Penanganan banjir Bengkayang menghadapi banyak kendala

    Banjir Bengkayang. (Foto: Instagram kominfobengkayang)
    Banjir Bengkayang. (Foto: Instagram kominfobengkayang)

    Bencana banjir masih merendam sejumlah wilayah di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Hingga 5 Februari 2024, tim relawan Jaringan Organisasi Kepencintaalaman dan Sosial (JOKS) melaporkan banjir menggenangi tiga perkampungan di Desa Danti, Kecamatan Sanggau Ledo.

    Relawan JOKS Gatot Susanto Nugroho mengatakan, banjir Bengkayang merendam Kecamatan Ledo dan Sanggau Ledo sejak 27 Januari 2025. Sejak saat itulah, atlet arung jeram dari Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Kalbar ini menerima mandat dari JOKS untuk mendatangi dan menghimpun informasi banjir.

    Dia bergerak sendiri, dari kediamannya di Desa Bengkilu, Kecamatan Tujuh Belas, menuju Desa Danti yang menghabiskan waktu 2,5 jam. “Satu jam ke Sanggau Ledo, kemudian 1,5 jam dari Sanggau Ledo ke lokasi banjir,” kata Gatot melalui percakapan WhatsApp.

    Jarak tempuh dari kediaman Gatot menuju lokasi banjir berdasarkan Google Maps sekitar 42 kilometer dengan kondisi hujan dan jalan yang penuh tantangan, di antaranya terdapat ruas jalan terputus.

    Sesampai di lokasi banjir, Gatot bertemu dengan rekan-rekannya di FAJI Bengkayang yang lebih dulu standby. Kemudian berkoordinasi dengan pihak Pemerintah Kecamatan Ledo dan Kecamatan Sanggau Ledo, para relawan, termasuk PMI, TNI, dan Polri. Mereka bekerja sama membangun Posko Relawan Banjir seadanya di Kantor Kecamatan Sanggau Ledo.

    Informasi dari Gatot menjadi “mata” bagi Posko Relawan Banjir yang berada di Pontianak. Di posko, tim relawan menganalisis laporan sekaligus mengatur strategi pendistribusian personel evakuasi dan bantuan material.

    Selama memantau banjir, Gatot juga berpindah-pindah lokasi. Hingga tertahan selama seminggu di Desa Jesape, sejak 29 Januari 2025. Semua biaya operasional ditanggung sendiri.

    Saat ini, kata Gatot, banjir di Desa Jesape mulai surut. “Kami kesulitan menembus lokasi banjir paling dalam. Terpaksa menggunakan perahu milik warga. Bila arus deras dan BBM tak ada, kami tak bisa apaapa,” kata Gatot, yang juga seorang atlet dan operator arung jeram di Bengkayang.

    Berdasarkan data dari Posko Relawan Banjir, warga yang terdampak banjir di Dusun Engkanang mencapai 98 kepala keluarga. Sedangkan di Dusun Momong sebanyak 205 kepala keluarga. Dua dusun terdampak banjir berada di Desa Danti. Satu desa lainnya yang juga terdampak banjir adalah Desa Gua dengan jumlah korban terdampak sebanyak 40 kepala keluarga. Beberapa warga di antaranya sudah mendapatkan bantuan dari Pemkab Bengkayang.

    “Sampai saat ini air masih tinggi dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah dataran rendah. Selain itu berada di muara dari dua aliran sungai besar Ledo dan sungai Tangi,” kata Samsudin, rekan Gatot yang juga atlet arung jeram dari FAJI Bengkayang. Samsudin juga relawan.

    Itu baru di Desa Danti dan Desa Gua. Masih banyak desa yang terdampak dan perlu bantuan. Di Kabupaten Bengkayang, banjir menghantam 11 kecamatan hingga daerah perbatasan Indonesia – Malaysia.

    Kendala para relawan menjangkau lokasi serta saluran komunikasi membuat pendataan korban banjir mengalami kendala. Berdasarkan data BPS Volume 14 tahun 2024, Desa Danti tidak memiliki menara BTS. Tidak memiliki transportasi umum. Tidak memiliki penginapan. Jarak dari pusat pemerintahan kabupaten yaitu Kota Bengkayang menuju Desa Danti berdasarkan google map sejauh 55 kilometer ditempuh selama 1,5 jam. Kondisinya pula benar-benar sulit.

    Bantuan dan bencana banjir Bengkayang

    Bupati Bengkayang Sebastianus Darwis menyerahkan langsung bantuan untuk masyarakat yang terdampak banjir di 2 Kecamatan, yaitu Kecamatan Ledo dan Kecamatan Sanggau Ledo pada Senin (3/2/2025). Paket bantuan berupa beras, makanan siap saji, susu formula, susu kental manis, pampers anak, pembalut, air mineral, obat obatan, mi instan, minyak goreng, dan roti.

    Sebanyak 650 paket untuk Kecamatan Ledo dan Kecamatan Sanggau Ledo sebanyak 305 paket. Sementara total warga terdampak banjir mencapai 12.023 jiwa. Untungnya warga Bengkayang punya inisiatif untuk mengumpulkan bantuan di beberapa titik banjir.

    Berdasarkan informasi Diskominfo Bengkayang, khusus di Kecamatan Ledo terdapat bencana longsor di Desa Lamolda, jembatan rusak di Desa Rodaya, dan lokasi banjir di jalan raya Bengkayang – Jagoi Babang Dusun Tanjung, Desa Lesabela. Warga Desa Lesabela mengungsi ke Gedung SDN 01 Ledo.

    Banjir di Kabupaten Bengkayang juga menghantam 533,90 hektare lahan padi, dan 191,15 hektare lahan jagung di 11 kecamatan. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bengkayang Dr Yulianus memperkirakan kerugian mencapai Rp17 milyar lebih. Pemerintah Kabupaten Bengkayang menetapkan status tanggap bencana mulai tanggal 22 Januari – 21 Februari 2025. Penanganan banjir di Bengkayang benar-benar sulit. Pemkab mengakui untuk menggunakan anggaran perlu proses yang panjang.

      Deforestasi tahun 2024 meningkat, hutan alam semakin kritis

      Auriga Nusantara mencatat terjadi deforestasi seluas 261.575 hektare di Indonesia sepanjang 2024. Jumlah luasan deforestasi tersebut diketahui melalui tiga metode. Pertama, mendeteksi dugaan deforestasi. Kedua, inspeksi visual dengan memeriksa area dugaan deforestasi melalui citra satelit beresolusi tinggi. Ketiga, pemantauan lapangan dengan mengunjungi deforestasi berdasarkan geografis, kawasan hutan, kawasan non-hutan dan kawasan konsesi.

      “Dibandingkan data luas deforestasi 2023 yang dirilis pada Maret 2024 seluas 257.380 hektare. Artinya deforestasi tahun 2024 meningkat seluas 4.191 hektare,” kata Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung dalam siaran daring bertajuk Status Deforestasi Indonesia 2024, Kado 100 Hari Prabowo-Gibran di Jakarta, Jumat (31/1/2025).

      Berdasarkan temuan tersebut Pulau Kalimantan menjadi pulau yang paling banyak mengalami deforestasi. Pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia tersebut selama 11 tahun terakhir berturut-turut menempati posisi pertama pulau yang paling luas mengalami deforestasi.

      Kokohnya posisi Pulau Kalimantan sebagai pulau yang paling dominan mengalami deforestasi terjadi sejak 2013. Di masa pemerintah Presiden Joko Widodo, Pulau Kalimantan menjadi langganan peringkat pertama sebagai pulau yang paling luas mengalami deforestasi.

      Data perbandingan deforestasi (hektare) dua tahun terakhir berdasarkan pulau. Sumber: Auriga Nusantara

      Proyek Strategis Nasional (PSN) Ibu Kota Nusantara (IKN) dinilai menjadi pendorong utama terjadinya deforestasi besar-besaran di Pulau Kalimantan. Masih di pulau yang sama, pemerintah juga memberikan konsesi pembangunan pabrik raksasa tanpa kejelasan bahan bakunya,

      Sepanjang 2024, Pulau Kalimantan mengalami deforestasi seluas 129.896 hektare. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan pada 2023 dengan luasan deforestasi 124.611 hektare.

      “Artinya deforestasi tahun 2024 meningkat seluas 4.191 hektare. Pulau Sumatera juga mengalami kenaikan signifikan deforestasi pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya,” ujarnya.

      Situasi deforestasi pada 2024 dalam 10 besar provinsi yang mengalami deforestasi didominasi provinsi yang berasal dari Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera. Masing-masing pulau menyumbangkan lima provinsi. Berbeda dibandingkan 2023, 10 besar provinsi yang mengalami deforestasi, tiga provinsi di antaranya berasal dari Pulau Papua.

      Sementara itu, deforestasi juga terjadi di 428 kabupaten/kota. Dari total kabupaten/kota yang mengalami deforestasi tersebut sembilan di antaranya kabupaten/kota dari Pulau Kalimantan. Sedangkan 1 kabupaten/kota lainnya berasal dari Pulau Sumatera.

      Deforestasi Sektoral

      Timer memaparkan terjadi deforestasi seluas 149.876 hektare di kawasan hutan. Luasan tersebut setara 57 persen dari total luasan deforestasi yang terjadi pada 2024. Sedangkan 43 persen atau 111.708 hektare untuk Area Penggunaan Lain (APL).

      Kawasan hutan yang mengalami deforestasi tersebut di antaranya paling dominan digunakan untuk hutan produksi seluas 128.358 hektare. Disusul hutan lindung 13.805 hektare dan hutan konservasi 7.704 hektare.

      “Ini menjadi perhatian kawasan konservasi mengalami deforestasi di kawasan deforestasi yang semestinya dilindungi dan memiliki unit pengelola yang spesifik,” ujarnya.

      Tak hanya itu, kata Timer, sebanyak 62 persen atau 160.925 hektare deforestasi terjadi pada habitat delapan megafauna ikonik di Indonesia. Khususnya yang berasal dari Pulau Sumatera dan Kalimantan.

      Kedelapan megafauna ikonik tersebut di antaranya Orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus), Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis), Badak Kalimantan (Dicerorhinus Sumatrensis Harrisoni), Harimau Sumatera (Pathera Tigris Sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatrensis), Orangutan Sumatera (Pongo Abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis Sumatrensis).

      Adapun, sebanyak 59 persen atau 153.498 hektare deforestasi terjadi akibat konsesi yang diberikan pemerintah. Keseluruhannya tersebar untuk konsesi kebun kayu, konsesi logging, konsesi tambang, dan konsesi sawit.

      Deforestasi (hektare) berdasarkan jenis konsesi. Sumber: Auriga Nusantara

      “Data-data deforestasi itu bercerita pertama deforestasi legal menjadi masalah utama. Sering kita dengar deforestasi Indonesia berkurang. Ternyata yang terjadi yang berkurang deforestasi ilegal. Tapi berpindah deforestasi legal karena aturan kita tidak berpihak pada hutan alam,” paparnya.

      Penyebab Deforestasi

      Timer mengungkapkan penyebab deforestasi paling dominan konsesi kebun kayu. Konsesi jenis tersebut juga mencakup pengembangan kebun kayu energi atau biomassa. Ini seperti yang terjadi di Gorontalo, pengembangan kebun kayu energi cukup masif terjadi di sana.

      Deforestasi yang signifikan di Pulau Sulawesi juga terjadi karena adanya adanya konsesi tambang nikel. Hal serupa juga terjadi di Pulau Papua, sebanyak empat pulau di kawasan Raja Ampat juga turut menjadi sasaran konsesi tambang nikel. Dua di antaranya sudah mendapatkan izin tambang, sementara satu pulau lainnya baru mendapatkan izin.

      “Termasuk meski pemerintah dan pengsaha sawit membantah tetap saja sawit sebagai salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia,” katanya.

      Timer juga menyayangkan deforestasi yang terjadi juga turut menjamah kawasan konservasi yang seharusnya tidak boleh diganggu. Deforestasi di kawasan konservasi juga turut tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.

      Meningkatnya deforestasi 2024 merupakan akumulasi tren peningkatan yang terjadi sejak 2021. Di tahun sebelumnya tren deforestasi mengalami penurunan. Hal itu disebabkan selama ini bentang hutan alam belum terlindungi secara hukum. Karena itu, jelas Timer, pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang memberikan perlindungan hukum kepada hutan alam.

      “Presiden Prabowo lakukan terobosan untuk menerbitkan Peraturan Presiden yang melindungi hutan yang tersisa di mana pun di Indonesia,” pungkasnya.

      Home Maps Network Search