Krisis air di lumbung nikel, warga Kawasi blokade jalur produksi Harita

Matahari Halmahera Selatan terasa menyengat pada Sabtu (15/11/2025), namun puluhan warga Desa Kawasi tak bergeming. Selama delapan jam, mulai pukul 10.20 WIT hingga petang hari pukul 18.13 WIT, mereka memblokade jalur vital. Truk-truk produksi nikel milik PT. Harita Group terpaksa berhenti.

Ini adalah “Demo Jilid II”, sebuah aksi protes yang lahir dari kesabaran yang telah habis dan janji yang diingkari.

Warga kembali turun ke jalan karena pertemuan yang digelar sehari sebelumnya, pasca aksi pertama, tidak membuahkan itikad baik dari raksasa tambang tersebut. Tuntutan mereka mendasar: air bersih dan listrik. Dua hal yang ironisnya langka di desa yang hidup berdampingan dengan salah satu proyek industri ekstraktif terbesar di Indonesia.

Menurut kesaksian warga, Ibu Nurhayati Nanlesi, ini bukan sekadar permintaan, melainkan penagihan janji. Sebuah kesepakatan, jelasnya, telah ditandatangani di atas kertas, disaksikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat serta pimpinan situs PT. Harita Group. “Isinya jelas. Desa Kawasi harus menikmati sumber air bersih dan listrik,” katanya.

Namun, tanda tangan itu seolah menguap di udara panas Halmahera. Pihak perusahaan, kata Nurhayati, justru mengabaikan kesepakatan tersebut.

Aksi boikot yang membentang selama delapan jam itu merefleksikan frustrasi yang telah menumpuk. Sanusi Samsir, salah satu warga yang turut berorasi, menilai perusahaan hanya sibuk menampilkan narasi kemajuan tanpa pernah benar-benar melihat dampak nyata yang diderita warga.

“Kami tidak menginginkan lebih, kami hanya menolak diperlakukan seperti ini,” tegas Sanusi di tengah kerumunan. “Kalau listrik dan air bersih saja tidak bisa diberikan, bagaimana mungkin kami bisa percaya bahwa Harita peduli terhadap lingkungan dan sosial di desa kawasi?” tegasnya.

Suara Sanusi mewakili rasa lelah masyarakat yang merasa telah bersabar terlalu lama. Mereka hidup di pusat lumbung nikel, namun sumur mereka kering dan malam mereka kerap gulita.

Mubalik Tomagola, Manajer Advokasi Tambang dari WALHI Maluku Utara, memandang situasi ini sebagai krisis ekologis dan sosial yang akut. Ia menuding bahwa klaim tanggung jawab perusahaan atas air bersih hanyalah kedok.

“Air bersih yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar justru hilang karena aktivitas perusahaan,” ujar Mubalik. “Padahal air bersih yang menjadi tanggung jawab perusahaan hanyalah Greenwashing di mata publik dan mata IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance).”

Intimidasi di tengah negosiasi

Situasi di lapangan sempat memanas. Gesekan tak terhindarkan ketika aparat keamanan—terdiri dari beberapa oknum TNI-Polri—berupaya melakukan intimidasi terhadap Direktur WALHI Malut yang sedang mendampingi warga dalam proses negosiasi.

Situasi baru kembali normal setelah pihak keamanan menarik diri. Insiden ini memicu kecaman keras dari WALHI.

“Kami mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat. Pejuang lingkungan bukan penjahat, kami hadir untuk memastikan masyarakat tidak diperlakukan sewenang-wenang,” tambah Mubalik. “Jika aparat terus bertindak dengan cara seperti ini, maka jelas ada upaya pembungkaman terhadap perjuangan warga.”

Kordinator aksi, Ucok S. Dola, mengamini adanya pola pembungkaman tersebut. Ia menegaskan bahwa pihak perusahaan tidak hanya mengabaikan kesepakatan, tetapi secara sistematis telah mengurangi ruang hidup dan ruang demokrasi warga Kawasi.

“Kami sudah berulang kali mengajukan dialog, tetapi selalu dijawab dengan janji kosong,” tegas Ucok. “Yang terjadi justru intimidasi, bukan penyelesaian. Warga hanya ingin hidup layak di tanah mereka sendiri, bukan menjadi korban demi kepentingan ekonomi negara.”

Tuntutan warga pada hari itu sejatinya jauh lebih dalam dari sekadar pipa air dan kabel listrik. Mereka membawa serta penderitaan satu dekade terakhir: hidup dalam kepungan debu industri yang kian pekat.

Dalam ironi yang memilukan, beberapa anak dan lansia yang menderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) turut hadir di tengah massa aksi. Mereka menjadi saksi bisu dan bukti hidup dari dampak pencemaran lingkungan yang mereka hirup setiap hari.

Hingga massa membubarkan diri pukul 18.13 WIT, tidak ada satu pun langkah keseriusan yang ditunjukkan oleh pihak perusahaan untuk merespons keluhan kesehatan warga.

WALHI Malut kini mendesak pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk bersikap netral dan tidak menjadi alat kepentingan korporasi. Mereka juga menuntut agar Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Komnas HAM, dan Ombudsman RI segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak dasar dan pembiaran oleh perusahaan.

Warga Kawasi membubarkan diri dengan satu janji: aksi pemboikotan ini akan terus berlanjut. Perjuangan akan kembali dalam beberapa hari ke depan, hingga ada kejelasan tertulis yang benar-benar dipenuhi, bukan sekadar janji di atas kertas yang mudah diingkari.

Siapa yang mendanai kerusakan lingkungan atas nama transisi hijau?

Bayangkan sebuah mobil listrik meluncur senyap di jalanan kota yang sibuk, menjadi simbol harapan akan masa depan yang lebih bersih dan bebas emisi. Inilah janji transisi hijau, sebuah narasi global tentang teknologi mutakhir yang akan menyelamatkan planet kita dari krisis iklim. Namun, ribuan kilometer dari gemerlap ruang pamer mobil listrik, di jantung kepulauan Indonesia, sebuah cerita yang sangat berbeda tengah berlangsung.

Di tempat-tempat seperti Bahodopi di Sulawesi Tengah atau Teluk Weda di Halmahera, udara terasa berat dan sesak oleh debu yang beterbangan dari lalu-lalang truk-truk raksasa pengangkut bijih nikel. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini mengalirkan air berwarna cokelat pekat seperti karat, membawa sedimen dari lahan yang dikeruk menuju laut, menimbun terumbu karang dan hutan bakau. 

Para nelayan, yang mewarisi laut sebagai ladang mereka, harus melaut semakin jauh hanya untuk menemukan tangkapan yang kian menyusut, karena ekosistem pesisir mereka telah rusak parah. Ini adalah realitas hitam di balik gemerlapnya “emas hijau” bernama nikel.

Laporan terbaru dari The Prakarsa, berjudul “Melacak Jejak Pembiayaan: Dampak Lingkungan dan Sosial Industri Nikel di Indonesia,” mengajukan sebuah pertanyaan fundamental yang menggugat narasi besar transisi energi global: dapatkah sebuah transisi yang berkeadilan dan berkelanjutan dibangun di atas fondasi perusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial di pusat-pusat ekstraksi bahan bakunya? 

Nikel memang menjadi komponen krusial untuk baterai kendaraan listrik, menjadikannya komoditas strategis dalam ekonomi hijau global. Namun, di Indonesia, jejak penambangannya justru berwarna kelam.

Perjalanan ini akan membawa kita dari ruang-ruang rapat para pemodal global ke lanskap Indonesia yang terluka. Sebuah perjalanan untuk mengungkap keterputusan yang mengkhawatirkan antara komitmen hijau yang digaungkan di panggung dunia dan realitas brutal yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungan di lingkar tambang.

Indonesia kini berada di pusat demam nikel global, dan ini bukanlah sebuah kebetulan. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, pemerintah Indonesia melancarkan strategi ambisius untuk tidak lagi hanya menjadi pengekspor bahan mentah. Melalui kebijakan hilirisasi, Indonesia bertekad untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global, dengan mengolah bijih nikel menjadi produk bernilai tambah tinggi di dalam negeri.

Ambisi ini didukung oleh gelombang investasi dalam skala masif. Laporan The Prakarsa mencatat, aliran investasi yang masuk ke pulau-pulau penghasil nikel seperti Sulawesi dan Maluku Utara mencapai angka fantastis, yaitu sebesar USD 14,2 miliar atau setara dengan Rp213 triliun. Arus modal raksasa ini mengubah wajah ekonomi regional secara drastis. Sulawesi Tengah, misalnya, menjadi tujuan utama investasi antara tahun 2019 dan 2022.

Dampaknya terhadap pendapatan negara pun tak kalah dramatis. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari royalti nikel meroket. Pada Mei 2022 saja, nilainya mencapai Rp 4,18 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan delapan kali lipat dibandingkan dengan penerimaan pada tahun 2015 yang hanya sebesar Rp 531 miliar. Nikel telah menjadi salah satu penyumbang utama pundi-pundi negara, menyumbang lebih dari 13% dari total PNBP Sumber Daya Alam non-migas hingga Mei 2022.

Dari kacamata pemerintah dan industri, angka-angka ini adalah bukti keberhasilan. Narasi yang dibangun adalah narasi kemajuan: pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan negara, dan kontribusi vital Indonesia bagi solusi iklim global. Nikel diposisikan sebagai motor penggerak ekonomi nasional sekaligus pahlawan dalam transisi energi bersih. Namun, narasi gemilang ini menyembunyikan sebuah pertaruhan yang sangat besar, di mana biaya ekologis dan sosial yang harus dibayar seringkali tidak dimasukkan ke dalam neraca keuntungan.

Para bankir di balik kerusakan
Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana yang rumit. Laporan The Prakarsa membongkar mesin finansial yang menggerakkan industri ini, menunjukkan bagaimana modal dari berbagai lembaga keuangan—baik bank internasional, lembaga keuangan domestik, maupun badan investasi multilateral—mengalir deras ke perusahaan-perusahaan yang mengoperasikan tambang dan smelter di Indonesia.

Di sinilah letak kontradiksi paling tajam yang diungkap oleh laporan tersebut. Banyak di antara para penyandang dana utama ini, terutama yang berasal dari Eropa, Jepang, dan bahkan China, memiliki kebijakan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST atau ESG) yang mereka banggakan di hadapan publik. Sebagian besar dari mereka bahkan telah membuat komitmen tegas untuk berhenti mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru, sejalan dengan desakan global untuk memerangi perubahan iklim. 

Namun, ketika uang mereka tiba di Indonesia, komitmen hijau itu seolah menguap. Pendanaan yang mereka berikan justru mengalir ke proyek-proyek nikel yang sangat bergantung pada energi kotor dari PLTU batu bara dan terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif.

Sistem keuangan global saat ini memungkinkan terjadinya sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai “outsourcing keberlanjutan”. Lembaga-lembaga keuangan di London, Tokyo, atau Beijing dapat mempertahankan citra hijau mereka di negara asal, sementara modal yang mereka kucurkan menjadi bahan bakar bagi praktik-praktik industri yang merusak ribuan kilometer jauhnya. Rantai pembiayaan yang kompleks—melibatkan pinjaman sindikasi, anak perusahaan, dan berbagai perantara—secara efektif mengaburkan akuntabilitas. Menjadi sangat sulit untuk menunjuk satu aktor tunggal yang bertanggung jawab atas pencemaran di sebuah teluk atau penggundulan hutan di lereng bukit tertentu.

Keterputusan antara komitmen dan praktik ini menciptakan sebuah bahaya moral. Keuntungan dari industri ekstraktif ini diprivatisasi dan dinikmati oleh para pemodal dan korporasi, sementara biaya lingkungan dan sosialnya justru disosialisasikan dan ditimpakan kepada masyarakat lokal di Indonesia. Untuk memperjelas jurang antara retorika dan realitas ini, tabel berikut menyajikan ringkasan dari temuan laporan The Prakarsa:

Tipe AktorPeran KunciKomitmen Publik Terkait ESG/HijauRealitas Proyek yang Dibiayai (Menurut Laporan)
Bank Internasional (Eropa/Jepang)Penyedia Pinjaman Proyek, Penjamin EmisiKomitmen Net-Zero, Penolakan Pendanaan PLTU Batu Bara Baru, Prinsip Keuangan BerkelanjutanMendanai smelter yang ditenagai PLTU batu bara captive, membiayai perusahaan dengan rekam jejak perusakan lingkungan.
Lembaga Keuangan (China)Investor Utama, Penyedia Pinjaman ProyekKomitmen untuk tidak membangun proyek batu bara baru di luar negeri (Belt and Road Initiative)Menjadi pemodal utama di balik pembangunan kawasan industri nikel yang sangat bergantung pada PLTU batu bara captive.
Bank NasionalPenyedia Kredit Modal Kerja & InvestasiMengadopsi prinsip Keuangan Berkelanjutan sesuai arahan OJKMemberikan pinjaman kepada perusahaan tambang yang operasinya memicu deforestasi dan konflik sosial.
Perusahaan Tambang & SmelterOperator Lapangan, Penerima InvestasiLaporan Keberlanjutan, Komitmen terhadap reklamasi dan pemberdayaan masyarakatMelakukan deforestasi masif, mencemari sungai dan laut, memicu konflik lahan dengan masyarakat adat dan lokal.

Tabel ini menunjukkan sebuah pola yang sistemik: para aktor dalam rantai pembiayaan nikel secara terbuka mengadopsi bahasa keberlanjutan, namun dalam praktiknya, modal mereka justru memungkinkan terjadinya kerusakan yang bertentangan langsung dengan komitmen yang mereka buat.

Transisi hijau yang dipasok energi hitam
Salah satu temuan paling krusial dalam penelusuran jejak pembiayaan ini adalah sebuah paradoks yang fundamental: industri yang digadang-gadang sebagai pilar transisi energi hijau ternyata sangat rakus akan energi hitam. Proses pengolahan bijih nikel laterit—jenis yang melimpah di Indonesia—untuk menjadi bahan baku baterai berkualitas tinggi adalah proses yang luar biasa intensif energi. Untuk mencapai suhu ekstrem yang dibutuhkan dalam tungku-tungku smelter, diperlukan pasokan listrik yang masif dan stabil.

Di sinilah batu bara masuk ke dalam gambaran. Alih-alih mengandalkan sumber energi terbarukan, demam industri nikel di Indonesia justru memicu gelombang pembangunan PLTU baru yang didedikasikan khusus untuk memasok listrik ke kawasan-kawasan industri nikel. PLTU ini dikenal sebagai PLTU captive, karena tidak terhubung ke jaringan listrik publik, melainkan dibangun dan dioperasikan semata-mata untuk kepentingan satu kawasan industri. Ini adalah ironi terbesar: untuk memproduksi komponen mobil listrik yang “ramah lingkungan”, Indonesia justru membangun pabrik-pabrik penghasil karbon baru dalam skala besar.

Fenomena PLTU captive ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “celah karbon” (carbon loophole) dalam sistem keuangan iklim global. Banyak bank dan lembaga keuangan internasional memiliki kebijakan yang melarang mereka mendanai pembangunan PLTU baru yang terhubung ke jaringan listrik publik. Namun, kebijakan ini seringkali memiliki titik buta terhadap PLTU captive yang melayani industri. Akibatnya, sementara mereka dapat mengklaim telah berhenti mendanai “proyek batu bara”, modal mereka secara tidak langsung terus menyuburkan ketergantungan pada batu bara melalui investasi di industri nikel.

Keputusan untuk menenagai industri nikel dengan batu bara tidak hanya mengkhianati semangat transisi hijau, tetapi juga menciptakan bom waktu ekonomi bagi Indonesia. Di masa depan, dunia yang semakin sadar karbon akan menuntut rantai pasok yang benar-benar bersih dari hulu ke hilir. Produk nikel yang dihasilkan dengan jejak karbon yang tinggi dari PLTU batu bara akan kehilangan daya saingnya. Smelter dan PLTU bernilai miliaran dolar yang dibangun hari ini berisiko menjadi “aset telantar” (stranded assets) di masa depan—infrastruktur raksasa yang tidak lagi ekonomis dan tidak ramah lingkungan. Ketika para investor asing telah memulangkan keuntungan mereka, Indonesia akan ditinggalkan dengan infrastruktur usang serta beban kerusakan lingkungan dan ekonomi yang berkepanjangan.

Wajah kerusakan di lingkar tambang
Keputusan-keputusan yang dibuat di ruang rapat di Jakarta, Beijing, atau Zurich memiliki konsekuensi yang sangat nyata dan menyakitkan bagi masyarakat dan ekosistem di lingkar tambang. Harga dari ambisi nikel ini dibayar setiap hari oleh warga di Sulawesi dan Maluku Utara.

Di Sulawesi, pulau yang menjadi pusat industri nikel Indonesia, lanskapnya telah berubah secara dramatis. Hutan-hutan yang menjadi benteng pertahanan ekologis dan sumber kehidupan masyarakat adat ditebang dalam skala masif untuk membuka jalan bagi konsesi tambang, yang total luasnya mencapai lebih dari 510.000 hektar. Citra satelit menunjukkan peringatan deforestasi seluas ratusan hektar bahkan di dalam satu area konsesi saja.

Kerusakan tidak berhenti di darat. Sungai-sungai vital, seperti Sungai Malili di Luwu Timur, yang dulunya jernih kini berubah menjadi saluran lumpur berwarna cokelat pekat. Aktivitas tambang PT Citra Lampia Mandiri, misalnya, telah menyebabkan pencemaran parah, memicu protes warga yang bergantung pada sungai tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Sedimen dari lahan tambang yang terkikis mengalir tanpa henti ke laut, menutupi dan mematikan ekosistem pesisir yang rapuh. Hutan bakau yang menjadi tempat pemijahan ikan rusak, dan terumbu karang yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut mati lemas di bawah lapisan lumpur.

Bagi manusia, dampaknya adalah bencana senyap. Nelayan kehilangan mata pencaharian karena hasil tangkapan ikan anjlok drastis. Petani kehilangan lahan subur mereka, digusur oleh ekspansi tambang. Masyarakat di sekitar lokasi tambang harus hidup dengan debu yang mengancam pernapasan dan air yang tercemar, memicu berbagai masalah kesehatan. Meskipun ada beberapa dampak positif seperti terbukanya lapangan kerja, dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber kehidupan tradisional seringkali jauh lebih besar dan bersifat permanen.

Di Kepulauan Maluku Utara, khususnya di sekitar kawasan industri raksasa seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, situasinya tak kalah mengerikan. Kawasan ini menjadi pusat pengolahan nikel yang didanai oleh investor Tiongkok, dan dampaknya terasa di setiap aspek kehidupan.

Pencemaran udara dan air telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sebuah penelitian menemukan adanya senyawa berbahaya kromium heksavalen di perairan sekitar kawasan industri, dengan konsentrasi yang melebihi baku mutu. Senyawa ini, jika terakumulasi dalam rantai makanan, dapat menyebabkan kanker dan kerusakan organ pada manusia. Udara yang dipenuhi debu dari aktivitas industri dan lalu lintas truk telah menyebabkan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Data dari Puskesmas setempat menunjukkan peningkatan kasus ISPA dari sekitar 300 kasus per tahun menjadi 800 hingga 1.000 kasus per tahun sejak IWIP beroperasi.

Di balik data kesehatan yang suram, terdapat tragedi kemanusiaan yang mendalam. Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa, atau yang dikenal sebagai Suku Tobelo Dalam, yang hidup nomaden dan menjaga hutan Halmahera selama berabad-abad, kini terusir dari ruang hidup mereka. Hutan adat mereka digerus oleh konsesi tambang, memaksa mereka keluar dan kehilangan identitas serta tradisi mereka. 

Perlawanan dari masyarakat lokal seringkali dihadapi dengan intimidasi dan kriminalisasi. Sebelas warga Maba Sangaji, misalnya, ditangkap saat menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap perusahaan yang diduga merusak hutan dan sungai mereka. Mereka dituduh mengganggu aktivitas pertambangan, sebuah contoh bagaimana hukum dapat digunakan untuk membungkam mereka yang berjuang mempertahankan lingkungan hidupnya.

Siapa sebenarnya yang sejahtera?
Para pendukung industri nikel seringkali menonjolkan argumen tentang “efek berganda” (multiplier effect)—bagaimana investasi besar akan menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan usaha lokal, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Namun, laporan The Prakarsa memberikan sebuah kesimpulan yang menohok: efek berganda yang dijanjikan dari industri nikel di Indonesia pada kenyataannya bersifat “semu”.

Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana rumit dibungkus transisi hijau

Salah satu alasan utamanya adalah struktur kepemilikan dan aliran keuntungan. Sebagian besar keuntungan yang dihasilkan dari kekayaan alam Indonesia tidak tinggal di dalam negeri. Melalui mekanisme repatriasi laba, keuntungan tersebut mengalir kembali ke negara asal para investor dan lembaga keuangan, terutama China. Sementara Indonesia mendapatkan pemasukan dari royalti dan pajak, porsi terbesar dari nilai tambah yang dihasilkan justru dinikmati oleh pihak asing.

Lebih dari sekadar ilusi, model ekonomi yang dijalankan saat ini secara aktif menciptakan apa yang disebut “utang ekologis”. Indonesia pada dasarnya sedang menukarkan modal alam yang tak tergantikan dan terbatas—seperti air bersih, tanah yang subur, keanekaragaman hayati, dan iklim yang stabil—dengan pendapatan jangka pendek (royalti) dan lapangan kerja yang sebagian besar merupakan buruh kasar dengan upah rendah. 

Biaya jangka panjang untuk memulihkan lingkungan yang rusak, mengatasi krisis kesehatan masyarakat akibat polusi, dan mengganti jasa ekosistem yang hilang (seperti perikanan dan sumber air bersih) kemungkinan besar akan jauh melampaui keuntungan finansial yang diperoleh hari ini. Ini adalah sebuah transaksi yang merugikan, di mana generasi sekarang menikmati sedikit keuntungan sementara generasi mendatang diwarisi tagihan kerusakan yang sangat besar.

Secara teori, Indonesia telah memiliki perangkat regulasi untuk mendorong praktik keuangan yang lebih bertanggung jawab. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, telah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia pada awal 2022. Dokumen ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi industri keuangan untuk mengklasifikasikan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan, dengan tujuan melindungi lingkungan hidup dan mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca.

Namun, temuan dari lapangan menunjukkan adanya jurang yang menganga antara kebijakan di atas kertas dan praktik di dunia nyata. Fakta bahwa proyek-proyek nikel yang secara terang-terangan ditenagai oleh PLTU batu bara baru dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang terdokumentasi dengan baik masih terus menerima aliran dana dari lembaga keuangan yang diatur oleh OJK, mengindikasikan adanya kegagalan fundamental dalam implementasi, pengawasan, dan penegakan aturan.

Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana rumit dibungkus transisi hijau

Taksonomi Hijau berisiko menjadi sekadar hiasan jika tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas bagi lembaga keuangan yang melanggarnya. Laporan The Prakarsa secara implisit menyerukan agar badan regulator seperti OJK tidak hanya berhenti pada pembuatan kerangka kerja, tetapi juga secara aktif menagih pertanggungjawaban dari para pelaku industri jasa keuangan. Tanpa penegakan yang kuat, label “keuangan berkelanjutan” hanya akan menjadi alat greenwashing yang menyembunyikan praktik-praktik yang justru merusak masa depan berkelanjutan itu sendiri.

Menagih tanggung jawab di rantai pasok global
Penelusuran jejak uang di balik demam nikel Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh laporan The Prakarsa, membawa kita pada sebuah kesimpulan yang meresahkan. Rantai pasok global untuk transisi energi bersih ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh dan penuh kontradiksi. Sebuah sistem yang memungkinkan lembaga-lembaga keuangan dengan komitmen hijau untuk mendanai perusakan lingkungan; yang mendorong pembangunan PLTU batu bara atas nama produksi komponen “ramah lingkungan”; dan yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan kelestarian ekosistem Indonesia.

Transisi hijau global tidak boleh menjadi alasan untuk menciptakan zona-zona pengorbanan baru di negara-negara seperti Indonesia. Tanggung jawab untuk memastikan transisi yang benar-benar adil dan berkelanjutan terletak pada semua aktor dalam rantai pasok ini.

Lembaga-lembaga keuangan harus dituntut untuk menerapkan transparansi penuh dan akuntabilitas sejati, memastikan bahwa komitmen ESG mereka bukan sekadar retorika pemasaran. Pemerintah Indonesia harus memperkuat penegakan hukum lingkungan dan sosial, memastikan bahwa regulasi seperti Taksonomi Hijau benar-benar dijalankan dan tidak ada toleransi bagi perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. Perusahaan-perusahaan nikel itu sendiri harus mengadopsi praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab, yang menempatkan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola sebagai inti dari operasi mereka, bukan sebagai pelengkap.

Pada akhirnya, cerita tentang nikel di Indonesia membawa kita kembali pada sebuah pertanyaan fundamental yang harus kita hadapi bersama. Saat kita memimpikan masa depan yang ditenagai oleh teknologi bersih, kita harus bertanya: berapa harga sesungguhnya dari baterai di mobil listrik kita atau baja nirkarat di dapur kita, dan siapa yang sebenarnya dipaksa untuk membayar harga tersebut?

Di balik janji “pertambangan bertanggung jawab”: Ujian bagi Eramet di Indonesia

Cadangan nikel laterit Indonesia adalah yang terkaya di dunia, kunci tak terbantahkan untuk transisi global menuju kendaraan listrik. Eramet, sebuah perusahaan tambang asal Perancis melalui proyek Weda Bay Nickle (WBN) di Halmahera Tengah, Maluku Utara adalah pemain utama dalam perlombaan ini.

Di tengah booming nikel Indonesia yang sering kali mengabaikan daya dukung alam, Eramet menawarkan sebuah narasi yang berbeda. Sejak fase konstruksi dimulai, raksasa tambang Perancis ini secara konsisten menempatkan prinsip-prinsip responsible mining atau “pertambangan bertanggung jawab” sebagai inti dari strategi operasionalnya di Indonesia. Namun, apakah komitmen ini mampu bertahan menghadapi tekanan produksi dan kompleksitas ekosistem Halmahera?

Selama lebih dari satu dekade, frasa responsible mining digaungkan di ruang rapat perusahaan, dijanjikan kepada investor, dan ditawarkan kepada masyarakat lokal. Namun, di medan tambang nikel yang gersang dan memerah di Indonesia, konsep ini diuji dengan keras.

Inovasi teknologi

Berdasarkan data dalam Laporan Keberlanjutan Eramet 2023, investasi dalam teknologi menjadi pilar utama. Eramet mengklaim pabrik pengolahan feronikel WBN dirancang dengan sistem Zero Liquid Discharge atau nol pembuangan cairan yang canggih. Seluruh air proses didaur ulang dan diolah secara ketat, sehingga tidak ada limbah cair yang dibuang langsung ke perairan laut Halmahera yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Langkah ini jauh melampaui kepatuhan terhadap regulasi lokal dan mencerminkan standar internasional yang ketat.

Selain itu, untuk mengelola emisi, Eramet memilih menggunakan Electric Furnaces (tungku listrik) daripada teknologi yang lebih tradisional dan lebih berpolusi. Meskipun konsumsi listriknya tinggi, pilihan teknologi ini menunjukkan pertimbangan jangka panjang untuk mengurangi jejak karbon langsung dari operasionalnya.

“Target kami adalah menurunkan emisi CO2 sebesar 40 persen pada 2035,” tegas Jerome Baudelet, CEO Eramet Indonesia dalam  Eramet Journalist Class: Memahami Industri Nikel Indonesia – Perspektif Terkini dan Praktik Berkelanjutan di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025 lalu.

Namun, dari sudut pandang di lapangan, ceritanya lebih kompleks dan tidak sesederhana itu. Menurut Jalal, pengamat sustainability yang juga co-founder A+ CSR Indonesia, pertambangan yang bertanggung jawab berarti perusahaan tidak hanya melihat dampak operasional tambang terhadap lingkungan dan masyarakat, tetapi juga mengelola isu-isu eksternal yang memengaruhi bisnis mereka, yang disebut sebagai pendekatan double materiality. Ini mencakup praktik etis, pengelolaan lingkungan, dan keterlibatan masyarakat untuk mencapai keseimbangan antara produktivitas dan keberlanjutan serta tanggung jawab sosial. 

Tantangan yang membayangi

Jalan menuju pertambangan yang benar-benar bertanggung jawab masih panjang. Tantangan terberat justru datang dari luar pagar operasi langsung Eramet. Pertama, jejak karbon tidak langsung. Smelter di Kawasan Industri Weda Bay (IWIP) masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Data dari Institute for Essential Services Reform (IESR) 2024 menyoroti kontradiksi ini: logam yang ditujukan untuk ekonomi hijau masih digerakkan oleh energi fosil.

Kedua, dampak sosial tidak langsung. Kehadiran kawasan industri skala besar telah mengubah lanskap sosial-ekonomi Halmahera secara drastis. Eramet melaporkan program pemberdayaan masyarakat lokal melalui penyediaan lapangan kerja, pelatihan, hingga keterlibatan komunitas dalam proses perencanaan. Perusahaan juga menjalankan rekultivasi lahan pasca-tambang dengan penanaman vegetasi lokal, upaya kecil namun penting untuk mengembalikan fungsi ekosistem.

Meski Eramet menjalankan program community development yang komprehensif, tekanan terhadap sumber daya air dan lahan dari seluruh kawasan industri tetap menjadi sumber kecemasan bagi masyarakat adat setempat.

Kepemimpinan melalui akuntabilitas

Perjalanan Eramet di Indonesia adalah miniatur dari tantangan terbesar yang dihadapi industri ekstraktif saat ini. Ini membuktikan bahwa “pertambangan bertanggung jawab” tidak bisa lagi hanya dibatasi pada pagar operasi satu perusahaan. Tetapi harus mencakup seluruh rantai pasokan—dari sumber energi smelter hingga ke tujuan akhir logam tersebut.

Eramet mengklaim telah meletakkan fondasi yang kuat untuk responsible mining di Indonesia. Langkah-langkah nyata dalam pengelolaan air, konservasi biodiversitas, dan penerapan teknologi bersih patut dijadikan tolok ukur. Tantangan ke depan adalah meningkatkan akuntabilitas beyond compliance. Tekanan harus diberikan untuk mendorong transisi energi hijau di seluruh kawasan industri dan memperkuat keterlibatan masyarakat lokal yang inklusif dan transparan.

Jika Eramet berhasil mengatasi paradoks ini, mereka tidak hanya akan membuktikan komitmennya pada “pertambangan bertanggung jawab”, tetapi juga menjadi katalis untuk perubahan standar industri pertambangan di Indonesia secara keseluruhan. Masa depan nikel Indonesia tidak harus hitam atau merah; ia bisa tetap hijau.

Orang muda dan masyarakat adat menanam mangrove, benteng alami dari bahaya krisis iklim

Upaya konservasi ekosistem pesisir semakin mendapat perhatian sebagai strategi adaptif menghadapi krisis iklim. Di Surabaya, Universitas Airlangga (UNAIR) bersama Nanyang Polytechnic, Singapura, menggelar kunjungan ke kawasan ekowisata mangrove pada 3 September 2025. Kegiatan ini memperkenalkan praktik pelestarian mangrove yang telah lama menjadi bagian dari perlindungan alami kota pesisir terhadap abrasi, naiknya permukaan air laut, dan badai iklim ekstrem.

Delegasi mahasiswa dari kedua institusi turut serta dalam penanaman mangrove dan aksi bersih pantai. Kunjungan ini tidak hanya memperkuat jejaring akademik internasional, tetapi juga menunjukkan pentingnya solusi berbasis alam dalam pendidikan dan pengabdian masyarakat.

Eko Prasetyo, Koordinator Program Studi Teknik Lingkungan UNAIR, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi dan upaya memperkenalkan biodiversitas pesisir Surabaya.

“Kegiatan ini juga memperkuat hubungan kerjasama, memperkenalkan mahasiswa luar tentang kekayaan biodiversitas mangrove di surabaya. Kami juga mengenalkan upaya yang berjalan di surabaya untuk melestarikan mangrove yang berguna bagi kehidupan,” ujar Eko, diakses dari laman resmi, Minggu, 7 September 2025.

Konservasi mangrove bukan hanya proyek lokal. Di ujung timur Indonesia, masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, juga menjadi garda depan penjaga hutan mangrove. Mereka berhasil menolak proyek kredit karbon yang mengancam kawasan mangrove seluas hampir 600.000 hektare.

Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam tulisannya menyatakan, atas integritasnya masyarakat adat Kepulauan Aru mendapat penghargaan internasional dari Right Resources International (RRI). Ini menjadi pengingat bahwa konservasi berbasis komunitas adalah pilar utama dalam ketahanan iklim nasional.

Ancaman di Balik Pasar Karbon: Ketika Solusi Menjadi Masalah

Di balik narasi penurunan emisi, proyek-proyek karbon berbasis hutan seperti REDD+ menyisakan catatan panjang pelanggaran hak masyarakat adat. Kasus di Aru menyingkap celah regulasi: proyek dijalankan tanpa persetujuan penuh dari masyarakat, meminggirkan pengelola lokal dari tanah leluhur mereka.

Menurut Muhamad Burhanudin, Peraturan Presiden No. 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) telah menjadi dasar hukum proyek karbon di Indonesia. Namun, regulasi ini belum memiliki sistem safeguard yang kuat. Tanpa perlindungan sosial, lingkungan, dan hukum yang jelas, proyek karbon rentan dimanipulasi melalui praktik greenwashing, karbon fiktif, hingga pelanggaran FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).

Kasus serupa terjadi secara global. Di Brasil, proyek REDD+ di Pará dihentikan karena 94,9 juta kredit karbon yang dijual ternyata hanya 5,5 juta yang sah mewakili penurunan emisi. Proyek itu juga mencaplok tanah adat tanpa kompensasi yang adil.

Lemahnya pengakuan atas wilayah adat memperparah situasi. Dari potensi 4,3 juta hektare hutan adat di Indonesia, baru 332.505 hektare yang resmi diakui pemerintah. Sisanya berada dalam status rawan, membuka jalan bagi konsesi berbaju hijau yang merugikan komunitas lokal.

“Artinya, sebagian besar wilayah adat di negeri ini masih rawan “dicaplok” oleh proyek hijau yang meniru narasi karbon,” tulis Muhamad Burhanudin, dalam tulisan Membangun Beleid Iklim yang Berkeadilan.

Mendorong Keadilan Iklim Lewat Kebijakan yang Berpihak

Krisis iklim tidak menyerang semua orang secara setara. Nelayan, petani kecil, perempuan, dan masyarakat adat adalah kelompok paling terdampak, padahal kontribusi mereka terhadap emisi global sangat kecil. Ketika laut menghangat dan gagal panen terjadi, mereka yang pertama kali merasakan dampaknya. Namun, kebijakan iklim di Indonesia masih condong ke mitigasi — menurunkan emisi — dan mengabaikan aspek adaptasi.

Restorasi mangrove adalah contoh adaptasi yang efektif. Berbeda dengan proyek karbon berskala besar yang rawan konflik lahan, upaya penanaman dan pemeliharaan mangrove melibatkan komunitas lokal secara langsung dan memperkuat perlindungan wilayah pesisir.

Namun, dukungan kebijakan masih kurang. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim yang sedang dibahas di DPR dan DPD menjadi peluang penting untuk membenahi arah kebijakan. RUU ini harus menjadi payung hukum perlindungan hak masyarakat adat, jaminan partisipasi publik, distribusi manfaat yang adil, serta sistem pengawasan independen. Prinsip keadilan iklim harus ditegaskan, agar tidak ada lagi komunitas yang berjuang sendirian mempertahankan ruang hidupnya dari ekspansi atas nama karbon.

Krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan proyek-proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia harus dijawab dengan keberpihakan yang nyata kepada penjaga bumi sesungguhnya — dari hutan mangrove Surabaya hingga pesisir Aru. Mereka tidak menuntut imbalan besar, hanya perlindungan, pengakuan, dan ruang untuk terus merawat alam.

“Kita harus belajar dari kepulauan Aru. Dari masyarakat adat yang tetap teguh mempertahankan hutan mangrove. Dari petani yang menjaga benih lokal agar bisa bertahan di musim kering. Dari nelayan yang menanam kembali padang lamun untuk perlindungan pantai,” ungkap Muhamad Burhanudin.

Melihat keterbatasan akses pendidikan tinggi dari cerita anak penjual soto kuliah gratis di UGM

Anyndha Tri Rahmawati bisa mengenyam pendidikan tinggi di UGM. (UGM)
Anyndha Tri Rahmawati bisa mengenyam pendidikan tinggi di UGM. (UGM)

Anyndha Tri Rahmawati (18 tahun) resmi diterima Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM. Inovasi di bidang kewirausahaan mengantarkannya masuk kampus negeri di Yogyakarta.

Pagi itu di sebuah warung soto yang berada di pinggir jalan Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulonprogo, Anyndha sibuk membantu sang ibu, Tuginem (49), melayani pembeli. Warung soto seluas seperempat lapangan voli ini, menjadi sumber penghasilan orang tua Nindhya. Penghasilan dari berjualan soto, Tuginem dan suaminya, Ngadiman (54) bisa menyimpan tabungan sebesar Rp 1 juta rupiah per bulan.

Beruntung bagi Tuginem, memiliki putri yang sarat prestasi di sekolahnya. Nyndha lulus dari SMA Negeri 1 Bantul sebagai peringkat tujuh terbaik di sekolahnya dengan nilai rata-rata di angka 88,2. Tidak hanya pintar secara akademik, Nyndha juga berprestasi di luar kelas.

Hal ini dibuktikan dengan penghargaan yang diraihnya dalam ajang Festival Inovasi dan Kewirausahaan Siswa Nasional (FIKSI) jenjang SMA pada tahun 2024. Produk inovasinya saat itu mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di tahap final dan sukses menyabet medali emas.

“Saat itu, saya dan teman saya membuat produk namanya E-Terminator. Produknya itu pembasmi rayap dengan bahan alami,” terangnya, diakses dari laman resmi, Kamis (14/8/2025).

Produk inovasinya di bidang kewirausahaan mengantarkannya mendaftar ke UGM. Kedua orang tuanya sempat menanyakan apakah jurusan ini sudah sesuai dengan pilihannya. Tekad Nindha untuk menjadi mahasiswa FEB UGM sudah bulat dan orang tuanya pun akhirnya mendukung penuh keputusan putrinya.

Keputusannya itu tidak salah. Sebab, kini Nyndha resmi diterima di Program Studi Manajemen, FEB UGM. Saat hasil SNBP diumumkan, ia langsung memeluk dan menangis bersama sang ibu, Tuginem. Nyndha, demikian ia akrab dipanggil, diterima menjadi mahasiswa baru UGM a melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Lebih daripada itu, ia juga menerima beasiswa UKT Pendidikan Unggul Bersubsidi 100% sehingga ia tidak perlu membayar uang kuliah selama di UGM.

Di mata Tuginem, Nyndha dikenal sebagai sosok gadis yang pendiam. Namun, memiliki tekad kuat dan selalu belajar keras untuk mengejar keinginannya, salah satunya ketika ingin bercita-cita masuk ke UGM. “Perjuangannya sangat sulit, apalagi teman-temannya di SMA juga pintar dan berprestasi. Dia tidak minder dan dia membuktikan dia bisa,” sebut Tuginem.

Kedua orang tua Nyndha tidak berharap banyak. Keduanya hanya menitipkan pesan agar Nyndha mampu mempergunakan kesempatan ini dengan baik. “Selagi masih bisa diberi kesempatan dan kemampuan untuk berjuang di UGM itu, jangan menyerah. Semoga juga bisa menjadi orang yang sukses dan berguna bagi nusa dan bangsa serta untuk semua orang,” harapnya.

Nyndha kini sedang mempersiapkan diri untuk memulai perkuliahan di awal Agustus mendatang. Nyndha percaya bahwa semua kesusahan yang telah dan akan ia lewati pasti ada kemudahan sebab ia percaya akan kemampuannya.

Tidak lupa, ia ucapkan terima kasih kepada kedua orang tuanya yang telah mendukungnya menghadapi semua proses hingga saat ini. Untuk itu, ia berpesan kepada teman-teman yang sedang memperjuangkan diri masuk ke kuliah ke perguruan tinggi untuk terus bersemangat.

“Pokoknya semangat, jangan takut untuk mencoba, jangan takut untuk gagal, karena kita tidak tahu kedepannya akan seperti apa, entah akhirnya akan sesuai apa yang kita mau atau tidak, tetapi yang penting kita sudah mencoba karena pengalaman itu tidak bisa dibeli dan pengalaman itu akan jadi hal yang bermanfaat,” pungkasnya.

Akses pendidikan tinggi terbatas

Di luar kabar baik yang datang dari Anyndha Tri Rahmawati yang diterima di UGM, Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) mendorong perlunya strategi nasional untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi hingga 38,04% pada 2029, sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (7/3).

Namun, merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia saat ini berada di angka 31,45%. Angka ini menunjukkan masih banyaknya lulusan sekolah menengah yang belum dapat melanjutkan ke jenjang perdidikan tinggi.

Hal tersebut disampaikan pada Rapat Koordinasi antara Dirjen Pendidikan Tinggi Khairul Munadi dengan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Kemenko PMK Ojat Darojat, di Gedung Kemenko PMK, diakses dari laman resmi.

Strategi baru diharapkan dapat menggandeng pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya, merancang skema pembiayaan inovatif, dan mengoptimalkan data. Strategi ini diharapkan dapat menjawab tantangan sistemik yang selama ini menghambat perluasan akses pendidikan tinggi.

Dalam pertemuan tersebut, Dirjen Khairul Munadi menekankan bahwa strategi peningkatan APK selama ini masih bergantung pada pemberian beasiswa.

“Usaha menaikkan APK belum terintegrasi secara optimal dan pendekatannya masih parsial. Karena itu kami mendorong agar hal ini menjadi perhatian bersama. Kita perlu menyusun strategi nasional yang tepat dan integratif, karena keberhasilannya memerlukan keterlibatan banyak pihak dan tidak bisa hanya bergantung pada satu sektor saja,” ungkap Dirjen Khairul.

Mooring Buoy, upaya nyata jaga laut Banda

Pemandangan bawah laut di Pulau Rhun, Banda. (© M.Y. Sangadji/EcoNusa)
Pemandangan bawah laut di Pulau Rhun, Banda. (© M.Y. Sangadji/EcoNusa)

Matahari belum juga keluar, saat seluruh tim sudah bersiap di Marine Station EcoNusa di Banda Naira. Masing-masing personel terlihat sibuk mempersiapkan alat kerja masing-masing sebelum berlayar seharian untuk pemasangan mooring buoy di tiga pulau di Kepulauan Banda yakni Rhun, Manukang dan Pulau Hatta.

Pukul 3.30 WIT, kapal berlayar ke tujuan pertama, pulau Manukang. Pulau yang juga dikenal dengan nama Pulau Suanggi ini, adalah salah satu destinasi favorit para penyelam yang berlibur di kepulauan Banda. Di sini, pengunjung bisa menikmati keindahan ekosistem terumbu karang yang indah dan beragam. Jika beruntung anda akan bertemu dengan berbagai spesies laut yang langka yang dilindungi seperti ikan napoleon (Humphead Wrasse) atau Hiu Martil (Hammerhead shark).

Perjalanan dari Marine Station EcoNusa ke Pulau Manukang memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Seperti diketahui, Kepulauan Banda di Maluku Tengah bukan hanya saksi bisu sejarah kejayaan rempah yang mendunia, tetapi juga rumah bagi kekayaan bawah laut yang luar biasa.

Kejernihan air laut, keanekaragaman hayati, dan terumbu karang yang masih terjaga menjadikan wilayah ini sebagai salah satu destinasi wisata bahari unggulan di Indonesia. Tak heran jika kapal-kapal wisata, khususnya Liveaboard (LoB), menjadikan Banda sebagai titik persinggahan utama dalam rute penyelaman dan eksplorasi bahari.

Namun, seiring meningkatnya kunjungan wisata, tekanan terhadap ekosistem bawah laut pun ikut meningkat. Salah satu ancaman terbesar datang dari praktik berlabuh kapal yang masih menggunakan jangkar. Jatuhan dan gesekan jangkar ke dasar laut berpotensi merusak terumbu karang, meruntuhkan struktur habitat alami yang menjadi daya tarik utama kawasan ini.

Kondisi inilah yang menjadi cikal bakal munculnya inisiatif pemasangan mooring buoy di titik-titik favorit wisatawan di Kepulauan Banda.

Muhammad Yani Mau – Head of Marine Station EcoNusa di Banda mengatakan, Inisiatif ini merupakan hasil kolaborasi multipihak antara EcoNusa, Universitas Banda Naira, Ocean Eye, Konsorsium Banda Berbudaya, PSDKP, masyarakat lokal di tiga pulau, serta pelaku wisata yang selama ini bergantung pada keberlanjutan laut Banda.

“Sejak awal EcoNusa berkomitmen pada kelestarian keanekaragaman hayati utamanya di wilayah timur Indonesia termasuk Maluku dan Papua. Sebagai salah satu wilayah intervensi kami, Kepulauan Banda harus terus dijaga. Ini hasil kolaborasi dengan pelaku wisata, lembaga konservasi, dan akademisi yang punya tujuan sama untuk menjaga keanekaragaman hayati di laut Banda agar tidak rusak,” kata Yani, Minggu 27 April 2025.

Yani mengatakan, untuk tahap pertama ini, mooring dipasang di enam titik di tiga pulau utama: Hatta, Manukang, dan Rhun.

Perwakilan Universitas Banda Naira, Budiono Senen yang ikut dalam pemasangan mooring ini mengatakan, pemasangan mooring ini adalah langkah nyata kolaborasi yang dibutuhkan oleh Kepulauan Banda. Kata Budi, UBN turut membantu tim untuk menentukan jenis mooring yang sesuai dengan topografi laut Banda.

“Kami membantu memberikan rekomendasi jenis mooring yang disesuaikan dengan kontur dan topografi dari laut Banda. Pendekatannya harus ilmiah agar efektif dan tidak merusak. Untuk saat ini, mooring tipe gurita paling cocok dengan kontur di titik yang sudah disepakati” kata Budi.

Mooring buoy merupakan pelampung besar yang diikat ke sistem tambat di dasar laut, umumnya di area berpasir atau lokasi tanpa terumbu. Sistem ini memungkinkan kapal wisata untuk berlabuh tanpa harus menjatuhkan jangkar. Selain melindungi ekosistem laut dari kerusakan, sistem ini juga mempercepat dan mengefisienkan proses tambat kapal, terutama di lokasi populer penyelaman dan snorkeling.

Pulau Hatta, adalah salah satu lokasi yang dipilih untuk pemasangan pertama ini. Di pulau ini, dipasang dua titik mooring buoy sebagai lokasi tambat kapal. Pertama di sekitar kampung dan sisanya di Sekaru Hatta yang merupakan spot favorit wisatawan saat musim liburan tiba.

Sudar Raharusun, Raja Desa Pulau Hatta, menyampaikan rasa terima kasih dan apresiasinya atas pemasangan mooring di desanya. Kata Sudar, ini adalah mooring pertama yang dipasang di Pulau Hatta.

“Kami sangat mengapresiasi pemasangan mooring ini. Ini pertama kalinya ada di Pulau Hatta. Kami siap menjaga mooring ini agar tetap terjaga. Harapannya, ke depan akan lebih banyak lagi dipasang karena saat high season di sini ramai sekali.” kata Sudar.

Pemasangan mooring ini juga disambut baik pelaku wisata di Banda Naira. Salah satu tokoh pariwisata, Aba Rizal mengatakan rasa terima kasihnya atas emua pihak yang peduli akan kelangsungan ekosistem di Banda.

“Allah memberikan anugerah alam yang indah pada Banda. Kami orang Banda, hidup dari hutan dan laut. Jangan sampai 10-20 tahun mendatang, orang datang ke Banda tidak bisa melihat keindahan karang yang kami miliki. Kegiatan ini menjadi langkah awal yang baik untuk memastikan keanekaragaman hayati terlindungi,” kata Aba Rizal

Sementara itu, Koordinator Satgas PSDKP wilayah Banda, Ali Tamher mengatakan siap membantu untuk mengawasi mooring-mooring yang sudah dipasang di wilayah Kepulauan Banda.

“Kami siap membantu menjaga mooring yang sudah dipasang. Kami akan sertakan dalam setiap patroli. Ini penting untuk memastikan keberlanjutan sistem ini dan bisa dimanfaatkan secara maksimal,” kata Ali

Ke depan, EcoNusa menargetkan pemasangan mooring buoy di total 21 titik strategis, pada kedalaman 150 hingga 200 meter. Skema pengelolaan juga dirancang agar adil dan berkelanjutan.

Setiap kapal yang memasang jangkar pada mooring ini akan dikenakan biaya yang diatur melalui peraturan desa. Sehingga desa dan masyarakat bisa mendapat manfaat ekonomi dari setiap mooring yang dipasang.

Laut adalah sumber kehidupan. Menjaga laut Banda bukan hanya soal pelestarian alam, tetapi juga keberlanjutan budaya dan ekonomi masyarakat pesisir. Melalui pemasangan mooring buoy, Banda tengah membangun masa depan pariwisata yang lebih bertanggung jawab—pariwisata yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga menjaga alam tetap lestari untuk generasi berikutnya.

Kilau kendaraan listrik, derita di tanah nikel

Kendaraan listrik (EV) semakin mendominasi percakapan global tentang masa depan transportasi yang berkelanjutan. Dipromosikan sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan udara perkotaan yang lebih bersih, citra “hijau” kendaraan listrik begitu memikat. Namun, di balik narasi kemajuan teknologi dan energi bersih ini, tersembunyi sebuah realitas yang jauh lebih kelam. Realitas ini berpusat di Indonesia, negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, logam krusial untuk baterai EV. 

Di pulau Sulawesi dan kepulauan Maluku Utara, jantung industri nikel Indonesia, penambangan besar-besaran untuk memenuhi permintaan global ini meninggalkan jejak kehancuran lingkungan dan penderitaan manusia yang mendalam. 

Demam kendaraan listrik global telah memicu lonjakan permintaan nikel yang belum pernah terjadi sebelumnya. Nikel, terutama nikel kelas 1 dengan kemurnian tinggi, adalah komponen vital dalam baterai lithium-ion jenis NCA (nickel cobalt aluminium) dan NMC (nickel manganese cobalt) yang menggerakkan sebagian besar EV saat ini. 

Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar, Indonesia menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global. Pemerintah Indonesia, dengan ambisi menjadikan negara ini pusat industri baterai kendaraan listrik dunia, mendorong kebijakan hilirisasi – mewajibkan pengolahan bijih nikel mentah di dalam negeri sebelum diekspor, melalui larangan ekspor bijih mentah sejak Januari 2020.

Kebijakan ini memicu gelombang investasi besar-besaran dalam pembangunan pabrik pengolahan (smelter) dan perluasan area pertambangan, terutama di Sulawesi dan Maluku Utara.1 Kala itu, Presiden Joko Widodo mengklaim peningkatan jumlah smelter ini membuka peluang kerja yang signifikan.2 Skala ekspansi ini terlihat jelas dari data perizinan. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat, hingga akhir 2021 saja, di tiga provinsi utama Sulawesi (Selatan, Tengah, Tenggara), telah diterbitkan 295 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dengan total luas mencapai 690.442 hektar. Angka ini menunjukkan betapa masifnya alokasi lahan untuk industri ekstraktif ini. Namun, ledakan tambang dan industri pengolahan ini membawa konsekuensi pahit yang ironisnya bertolak belakang dengan narasi “energi bersih” yang digaungkan.

Lingkungan yang terluka parah

Janji masa depan yang lebih hijau melalui mobil listrik tampak suram jika melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di hulu rantai pasoknya. Ekspansi industri nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah menimbulkan luka mendalam pada ekosistem darat dan laut.

Hutan hujan tropis di Sulawesi dan Maluku Utara, yang merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati endemik dan berfungsi sebagai paru-paru bumi, menjadi korban utama. Aktivitas penambangan nikel, yang seringkali dimulai dengan pembukaan lahan skala besar, telah menyebabkan deforestasi yang mengkhawatirkan. Analisis Auriga Nusantara menunjukkan tren peningkatan luas lubang tambang nikel sejak 2011.

Secara kumulatif antara tahun 2000 dan 2022, pertambangan nikel telah menyebabkan hilangnya sekitar 24.811 hektar hutan di Indonesia, dengan deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2012 yang mencapai hampir 4.000 hektar. Laporan terbaru Auriga pada tahun 2024 mengindikasikan bahwa deforestasi terus berlanjut, bahkan terjadi di dalam kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi hukum dan di pulau-pulau kecil yang rentan.

Aliansi Sulawesi, sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil, mengamini temuan ini. Mereka menyatakan bahwa aktivitas tambang nikel yang “brutal” untuk memasok ore ke smelter telah secara langsung menghancurkan hutan dan habitat flora fauna endemik Sulawesi. Lebih jauh, mereka menyoroti bagaimana pemerintah justru memfasilitasi perusakan ini dengan menerbitkan izin tambang di dalam kawasan hutan. 

Berdasarkan catatan mereka, terdapat 188 IUP nikel yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 372.428 hektar di Luwu Timur (Sulsel), Konawe dan Konawe Utara (Sultra), serta Morowali dan Morowali Utara (Sulteng). Pernyataan Aliansi Sulawesi menegaskan, “Akibatnya, hutan dirusak… habitat flora dan fauna sulawesi dihancurkan.”.

Contoh spesifik terjadi di Pulau Gebe, Maluku Utara, sebuah pulau kecil seluas sekitar 22.000 hektar, di mana lebih dari 1.065 hektar hutan telah hilang antara 2001-2023, sementara luas konsesi nikel mencapai 5.225 hektar, sebagian tumpang tindih dengan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.

Kerusakan hutan ini tidak hanya berarti hilangnya keanekaragaman hayati yang tak ternilai, tetapi juga melemahkan kemampuan bumi menyerap karbon dioksida, ironisnya memperburuk krisis iklim yang coba diatasi oleh transisi energi. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa deforestasi ini bukanlah kecelakaan, melainkan konsekuensi sistemik dari kebijakan yang memprioritaskan ekstraksi nikel di atas kelestarian lingkungan, bahkan di kawasan yang seharusnya dilindungi. 

Kerentanan pulau-pulau kecil seperti Gebe terhadap dampak pertambangan skala besar juga menjadi perhatian khusus, mengingat kapasitas ekosistemnya yang terbatas untuk pulih, membuat kerusakan yang terjadi berpotensi permanen dan dampaknya jauh lebih parah dibandingkan di daratan yang lebih luas.

Air sungai dan laut menjerit

Dampak destruktif industri nikel tidak berhenti di daratan; ia mengalir bersama air, mencemari sungai, danau, hingga lautan luas, menghancurkan sumber kehidupan masyarakat. Aktivitas penambangan, terutama yang dilakukan di daerah perbukitan atau lereng curam, menghasilkan sejumlah besar material galian dan lumpur. Ketika hujan turun, material ini dengan mudah terbawa aliran air, mencemari sungai-sungai yang menjadi sumber air minum dan kebutuhan domestik warga.

Di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, WALHI Sulsel mendokumentasikan bagaimana aktivitas PT Citra Lampia Mandiri (CLM) telah mencemari Sungai Laoili, Pongkeru, hingga Sungai Malili. Air sungai berubah warna menjadi coklat pekat dan berlumpur. 

Menurut kesaksian warga Desa Lampia, pencemaran ini mulai terjadi sejak perusahaan mulai menambang nikel di hutan, dan mereka tidak pernah diajak berkonsultasi atau diberi informasi mengenai pengelolaan lingkungan perusahaan. Protes warga pada tahun 2019 menuntut penghentian aktivitas tambang di hutan akibat pencemaran sungai yang mereka manfaatkan. Pencemaran ini tidak hanya terjadi karena aliran permukaan, tetapi juga akibat jebolnya kolam pengendapan (settling pond) perusahaan saat curah hujan tinggi.

Lumpur pencemar ini tidak berhenti di sungai; ia terus mengalir hingga ke laut. Investigasi WALHI Sulsel menemukan pencemaran parah di pesisir Laut Lampia, Luwu Timur, yang juga berada di area konsesi PT CLM. Endapan lumpur tambang telah merusak ekosistem pesisir yang vital. Para nelayan Lampia melaporkan bahwa terumbu karang dan biota laut seperti spongia banyak yang mati akibat tertimbun lumpur. Ekosistem mangrove di Pesisir Lampia juga mengalami penurunan kualitas, merusak habitat kepiting dan ikan baronang, yang kini semakin sulit ditemukan nelayan.

Pola serupa terjadi di wilayah lain. Di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, warga melaporkan bagaimana aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, telah menyebabkan air laut di pesisir Desa Roko-roko menjadi keruh kecoklatan setiap kali hujan turun. 

Wawan, seorang warga, menyatakan, “Setiap hujan, pasti keruh karena air bercampur lumpur dari sungai dibawa hingga ke laut. Berulang-ulang terus, jadi ada endapan lumpur di laut.”. Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan. 

Darson, warga lainnya, bersaksi tentang hilangnya jenis ikan lokal bernama ‘Lompa’ dari Sungai Roko-roko sejak tambang beroperasi. Gudang penyimpanan ore nikel PT GKP yang terletak tepat di bibir pantai juga dilaporkan merusak area budidaya rumput laut warga karena tumpahan ore ke laut.

Di Sulawesi Tengah, WALHI menemukan kerusakan hutan mangrove sedalam 2 hingga 6 meter akibat endapan lumpur di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, yang berimplikasi pada hilangnya fungsi ekologis mangrove. Aliansi Sulawesi bahkan melaporkan temuan adanya pencemaran logam berat jenis Kromium Heksavalen yang melebihi ambang batas baku mutu di beberapa sungai dan danau di Sulawesi, menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan.

Di Maluku Utara, situasinya tidak kalah memprihatinkan. Di Pulau Obi, aktivis lingkungan Upiawan Umar melaporkan bahwa sumber air warga Kawasi, termasuk Air Terjun dan Sungai Toduku, tercemar limpahan ore nikel. Magdalena Johanes, seorang perempuan warga Kawasi, menguatkan hal ini: “Sekarang, so tara bisa [minum]. Aer itu so kotor.”. Sungai Toduku yang dulu jernih kini dipenuhi sedimentasi, dan upaya perusahaan menyedot sedimen justru mengubah bentuk alami sungai. 

Di Halmahera, Sungai Sangaji di Maba dan perairan Teluk Weda serta Teluk Buli juga dilaporkan tercemar. Pada akhir 2023, laut di Halmahera Timur berubah warna menjadi kuning kecoklatan akibat material ore nikel, membuat nelayan setempat tidak bisa lagi menangkap ikan. Sungai Sagea di Halmahera Tengah juga mengalami nasib serupa, berubah warna kuning kecoklatan sejak Juli 2023. 

Kesaksian nelayan dari Pulau Obi, Sanusi, menggambarkan dampak langsungnya: “Tong pe jaring buang kalao [ke pesisir laut] bukan dapa ikan, tapi dapa lumpur.”. Pencemaran ini begitu parah hingga warga seperti Mardani Legayelol di Teluk Weda merasa khawatir mengonsumsi ikan tangkapan lokal.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan hilangnya kawasan perikanan penting seperti Tanjung Uli dan Teluk Gemaf di Halmahera Tengah akibat limbah tambang.

Rangkaian bukti dari berbagai lokasi ini menunjukkan pola yang konsisten: aktivitas penambangan nikel secara sistematis mencemari aliran air dari hulu hingga ke hilir. Kegagalan dalam pengelolaan limbah dan sedimen di lokasi tambang, seperti jebolnya kolam pengendapan atau penempatan stok ore yang tidak aman, menyebabkan polutan mengalir bebas ke sungai dan akhirnya ke laut. 

Proses ini secara langsung menghancurkan layanan ekosistem vital yang menjadi sandaran hidup masyarakat lokal: sumber air bersih untuk minum dan kebutuhan sehari-hari, lahan subur di bantaran sungai, serta perairan pesisir dan laut yang menjadi lumbung ikan dan biota laut lainnya. Kehancuran ekosistem ini adalah kehancuran fondasi kehidupan masyarakat.

Kontradiksi revolusi ‘hijau’

Kisah dari Sulawesi dan Maluku Utara ini pada akhirnya menyingkap sebuah kontradiksi fundamental dalam narasi global tentang transisi menuju energi bersih. Dorongan masif untuk mengadopsi kendaraan listrik sebagai solusi perubahan iklim ternyata memicu praktik-praktik kotor di hulu rantai pasoknya, merusak lingkungan secara parah dan menimbulkan ketidakadilan sosial yang mendalam di negara-negara sumber bahan baku seperti Indonesia.

Ironi pertama terletak pada jejak karbon industri nikel itu sendiri. Meskipun mobil listrik bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, proses produksi baterainya, khususnya peleburan nikel di Indonesia, sangat bergantung pada energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara captive. PLTU-PLTU ini dibangun khusus untuk menyuplai listrik ke smelter-smelter nikel. 

Laporan PRAKARSA menyebutkan total kapasitas PLTU Captive untuk smelter nikel mencapai 7,2 GW pada tahun 2023, dengan tambahan 10 GW lagi dalam tahap pembangunan atau pra-pembangunan. Penggunaan batubara secara masif ini – bahan bakar fosil paling kotor – untuk memproduksi komponen kunci ‘energi bersih’ adalah sebuah paradoks yang mencolok. Hal ini menciptakan ‘celah karbon’ yang signifikan dalam siklus hidup kendaraan listrik, menggerus klaim keberlanjutannya dan sekadar memindahkan beban emisi dari jalan raya ke cerobong asap pabrik di negara lain.

Ironi kedua adalah kontras antara citra ‘hijau’ dan dampak sosial-lingkungan yang nyata di lapangan. Seperti yang telah dipaparkan secara rinci, ambisi hilirisasi nikel untuk mendukung transisi energi telah dibayar mahal dengan deforestasi skala besar, pencemaran air dan laut yang merusak ekosistem dan mata pencaharian, konflik lahan yang sengit, penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka, serta krisis kesehatan akibat polusi. Narasi indah tentang transisi ‘hijau’ global seolah mengabaikan atau sengaja menutup mata terhadap penderitaan dan kehancuran yang terjadi di tingkat lokal, di tempat bahan baku itu digali.

Lebih jauh, relevansi strategi hilirisasi nikel Indonesia dalam konteks transisi energi global juga mulai dipertanyakan. Sebagian besar produk nikel Indonesia saat ini masih berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferro Nickel (FeNi) yang digunakan untuk industri baja tahan karat, bukan nikel kelas 1 yang dibutuhkan untuk baterai EV. Sementara itu, tren global menunjukkan pergeseran menuju jenis baterai lain seperti Lithium Ferro Phosphate (LFP) yang tidak memerlukan nikel sama sekali, berpotensi menekan permintaan nikel kelas baterai di masa depan. Produksi nikel Indonesia yang masif juga telah menyebabkan oversupply di pasar global, menekan harga nikel dan berpotensi mengurangi keuntungan ekonomi yang diharapkan.

Semua ini menunjukkan bahwa model transisi energi yang saat ini berjalan cenderung melakukan ‘pemindahan masalah’ (problem shifting) ketimbang ‘penyelesaian masalah’ (problem solving). Beban lingkungan dan sosial dari konsumsi energi ‘bersih’ di negara-negara maju dieksternalisasi ke negara-negara produsen di Selatan Global seperti Indonesia. Kelompok masyarakat yang paling rentan – masyarakat adat, petani kecil, nelayan, perempuan – adalah pihak yang menanggung beban terberat: ruang hidup mereka hancur, sumber daya vital mereka tercemar, kesehatan mereka terancam, dan ketidaksetaraan semakin dalam. Ini memunculkan dilema etika dan lingkungan yang kompleks: apakah kita rela membangun masa depan ‘bersih’ dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat di belahan bumi lain?

Kilau mobil listrik yang menjanjikan masa depan lebih hijau ternyata menyimpan sisi gelap yang tersembunyi di tanah nikel Indonesia. Laporan ini, diperkuat oleh suara-suara dari para pegiat lingkungan dan kesaksian langsung warga terdampak di Sulawesi dan Maluku Utara, mengungkap sebuah realitas pahit di balik ambisi transisi energi global. Ledakan penambangan nikel untuk memenuhi permintaan baterai dunia telah memicu kerusakan lingkungan yang parah: hutan-hutan lenyap, sungai dan laut tercemar berat oleh limbah tambang, ekosistem vital hancur.

Manusia di lingkar tambang pun menjadi korban. Konflik lahan merajalela, penggusuran paksa terjadi, dan perlawanan warga tak jarang dihadapi dengan kriminalisasi. Masyarakat adat, yang hidupnya menyatu dengan tanah leluhur, menghadapi ancaman kehilangan identitas dan budaya. Kesehatan warga terganggu oleh polusi udara, dengan lonjakan kasus penyakit pernapasan seperti ISPA menjadi bukti nyata. Ironisnya, kekayaan sumber daya alam yang melimpah ini gagal menyejahterakan masyarakat lokal; paradoks ekonomi menunjukkan pertumbuhan regional yang tinggi berjalan seiring dengan kemiskinan yang menetap atau bahkan meningkat.

Semua ini terjadi dalam konteks tata kelola yang lemah, di mana pengawasan pemerintah dipertanyakan, akuntabilitas perusahaan minim, dan kerangka hukum seperti UU Minerba justru dinilai semakin melemahkan posisi masyarakat dan lingkungan. Kontradiksi paling mendasar terletak pada kenyataan bahwa revolusi ‘hijau’ ini ditenagai oleh praktik ekstraksi yang kotor, bahkan bergantung pada energi batubara yang intensif karbon, serta mengorbankan hak dan kesejahteraan kelompok masyarakat yang paling rentan.

Kisah dari tanah nikel Indonesia ini adalah pengingat keras bahwa transisi energi tidak boleh hanya berfokus pada solusi teknologi di hilir. Ia harus dilihat secara holistik, dari hulu hingga hilir, dengan mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia di setiap mata rantainya. Diperlukan perubahan paradigma mendasar: penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan adat termasuk hak atas persetujuan tanpa paksaan (FPIC), penerapan standar Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) yang ketat bagi perusahaan, serta evaluasi ulang kebijakan hilirisasi agar benar-benar membawa manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia. 

Konsumen dan pembuat kebijakan global juga memiliki tanggung jawab untuk menuntut transparansi dan etika dalam rantai pasok baterai, memastikan bahwa perjalanan menuju masa depan yang lebih bersih tidak dibangun di atas penderitaan dan kehancuran di tempat lain. Hanya dengan demikian, transisi energi dapat benar-benar disebut adil dan berkelanjutan untuk semua.

Mengenal keanekaragaman hayati melalui ekspedisi Trilogi Khatulistiwa

Tim Mahatva Unpad melakukan ekspedisi Trilogi Khatulistiwa. (Foto: Unpad)
Tim Mahatva Unpad melakukan ekspedisi Trilogi Khatulistiwa. (Foto: Unpad)

Perhimpunan Mahasiswa Penempuh Rimba & Pendaki Gunung Mahatva (PMPR & PG Mahatva) Unpad telah melaksanakan “Ekspedisi Trilogi Khatulistiwa” di tiga wilayah di Indonesia, yaitu Maluku, Banten, dan Yogyakarta, belum lama ini.

Ekspedisi Trilogi Khatulistiwa membawa satu tema kajian, yaitu “Studi Etnobotani Tanaman Obat” untuk mengenal Etnobotani dari suatu kawasan melalui pembuatan material tumbuhan yang telah diawetkan (Herbarium). Ekspedisi ini berfokus pada pengaplikasian skill dalam pendakian tebing curam (mountaineer skill).

Sebanyak delapan anggota muda dari Tim Trilogi Khatulistiwa wilayah Maluku, lima anggota muda dari Tim 1 wilayah Yogyakarta, serta lima anggota muda dari Tim 2 wilayah Banten, bergabung dalam kegiatan kolaboratif untuk meningkatkan sinergi antar daerah.

Negeri Saleman di Utara Pulau Seram, Maluku Tengah, yang menjadi destinasi ekspedisi Tim Maluku, merupakan tempat indah dan penuh pesona.

“Menaklukkan Tebing Hatupia terasa seperti menyatu dengan alam yang begitu agung dan megah,” ungkap Ian, Ketua Ekspedisi Tim Maluku, diakses dari laman resmi, Senin, 28 Oktober 2024.

Selain itu, Tim Trilogi Khatulistiwa Yogyakarta juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Mereka berhasil melakukan pemanjatan Tebing Siung.

“Pemandangan Pantai Siung yang indah terlihat dari atas tebing cukup terbayarkan dengan kelelahan yang kami rasakan selama proses persiapan,” ujar Alfin.

Tim 2 dari Banten melakukan susur pantai sepanjang ± 55 km dari Pantai Sabatur ke Pantai Tjiteureup. Dengan persiapan yang matang, mereka menjalani latihan fisik, mental, dan simulasi penyeberangan.

“Pantai yang terbentang luas telah menjadi saksi bisu atas semangat dan kebersamaan tim kami,” ujar Vani, Ketua Tim 2.

Melalui ekspedisi Trilogi Khatulistiwa ini, mereka tidak hanya menjelajahi keindahan alam, tetapi juga berkontribusi pada pemahaman lebih dalam tentang kekayaan biodiversitas Indonesia. Ekspedisi ini menegaskan pentingnya sinergi dalam menjelajahi dan melestarikan alam serta budaya lokal.

Daya Dukung Lingkungan Sudah Terlampaui, Tambang di Halmahera Perlu Dibatasi

Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikebut dari Sumatera hingga Papua menjadi salah satu ancaman nyata bagi masyarakat pesisir, pedalaman, dan pulau-pulau kecil. Mereka terancam digusur, diusir dari wilayah tempat mereka berasal, dipaksa untuk menerima relokasi. Sebagian lainnya terancam dengan rusaknya ekosistem akibat pembangunan yang masif.

Salah satu wilayah yang mengalami hal tersebut adalah wilayah daratan Kabupaten Halmahera Tengah. Pada akhir Juli 2024, Kabupaten Halmahera Tengah mengalami banjir terparah dalam beberapa tahun terakhir, menyebabkan kerugian besar bagi warga karena akses jalan terputus, rumah terendam air, 1.726 orang mengungsi, dan menghilangkan satu nyawa. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku Utara mencatat tujuh desa terdampak banjir.

Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa deforestasi di wilayah konsesi tambang tambang pada batas ekologis tersebut mencapai 7.167 hektare. Hal ini juga membuktikan bahwa faktor pendorong deforestasi dalam 10 tahun terakhir di wilayah DAS terdampak banjir adalah pertambangan nikel.

Wilayah Halmahera Tengah ini dibebani oleh 26 konsesi pertambangan dengan total luas 57.627 hektar. Dari keseluruhan izin tersebut, 20 diantaranya merupakan izin operasi produksi untuk komoditas nikel. Selain itu, ada 2 konsesi tambang nikel yang masih tahap lelang.

Kondisi tersebut makin menjadi beban dengan kehadiran PSN Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perluasan kawasan industri IWIP terus dilakukan dan membuat pembongkaran hutan besar-besaran, baik untuk perluasan Kawasan IWIP maupun penambangan nikel di sekitar lokasi IWIP.

“Analisis spasial menunjukkan, dari tahun 2013 hingga 2023, hutan yang hilang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa terdampak banjir, IWIP, dan perusahaan tambang mencapai 10.803 hektare. Situasi ini membuat tekanan terhadap lingkungan hidup di wilayah Halmahera Tengah semakin besar,” ujar Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), dalam diskusi publik “Tingkat Produksi Pertambangan Nikel di Halmahera Tengah dan Daya Dukung & Tampung Ekologi,” di Jakarta, Rabu (28/8 /24).

Menurut Pius Ginting, aktivitas penambangan nikel juga membuat sedimentasi tinggi yang ditandai dengan kekeruhan air sungai, sedimentasi ini yang memperkecil daya tampung sungai. Hal ini adalah kombinasi yang sempurna untuk membuat bencana banjir, yaitu curah hujan tinggi, pengurangan ekosistem hutan sebagai pengatur tata hidrologis, dan pendangkalan sungai.

Dalam dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah memiliki kelas potensi bahaya banjir yang tinggi, luasannya mencapai 16.290 hektare. Begitupun untuk hektare bencana banjir bandang, termasuk kelas tinggi dengan luas 8.166 hektare.

Kajian kebencanaan ini seharusnya menjadi salah satu pertimbangan penting pembangunan di Halmahera Tengah, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang lahap lahan.

Pius Ginting juga menegaskan, pembatasan nikel diperlukan sesuai dengan daya dukung energi terbarukan. Dampak perubahan iklim di Halamahera Tengah menunjukkan musim kemarau yang panjang sehingga debu PLTU memperburuk kesehatan warga. PLTU perlu dipensiunkan, menghentikan kontruksi, dan digantikan dengan energi terbarukan. Karena sumber energi terbarukan terbatas di Halmahera, maka produksi nikel pun perlu dibatasi.

Pengelolaan lingkungan hidup pertambangan dan kualitas lingkungan hidup di kabupaten Halmahera Tengah

Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, Abubakar Yasin mengakui ada gap antara kondisi lingkungan dengan kemampuan investasi.

Abubakar juga menyoroti pertumbuhan jumlah penduduk yang masif dan berdampak pada pembuangan sampah. Selain itu, curah hujan yang sangat tinggi pada bulan Juli 2024 dan melebihi standar curah hujan di Halmahera Tengah menjadi salah satu sebab terjadinya banjir bandang.

Menurut Abubakar, dari 7 perusahaan besar mengelola tambang di Halmahera Tengah, yang diawasi baru lima perusahaan. Ia mengakui limbah yang masuk ke sungai dan tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh ke kualitas sungai. Namun kehadiran investasi tidak bisa ditolak, apalagi ini dari pemerintah pusat. Ia mengatakan pemerintah daerah tidak berdiam diri. Mereka tetap melakukan sesuatu meski belum maksimal.

Kondisi warga lingkar tambang yang terdampak banjir di Halmahera Tengah

Sementara Supriyadi Sudirman warga asli Sagea, Halmahera Tengah yang tergabung dalam Komunitas Fakawele dengan keras mengatakan warga Sagea tak membutuhkan tambang nikel. Warga Sagea membutuhkan sungai dan laut yang bersih, juga alam dan hutan yang indah untuk hidup.

Supriyadi mengatakan, warga Sagea tinggal sekitar 3 km dari lokasi hilirisasi nikel. Mereka sangat terdampak dengan masifnya pergerakan tambang di wilayah tersebut. Ia mengaku sudah melakukan penolakan lahan tambang sejak tahun 2011, tapi penolakan itu tak pernah digubris. Bahkan ketika pencemaran semakin parah ia dan komunitas Save Sagea tak pernah mendapat akses untuk melihat pusat pencemaran.

“Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai tak terbendung. Sungai keruh hampir sepanjang waktu. Deforestasi juga sangat tinggi. Di laut juga terjadi pencemaran, banyak ikan laut yang sudah tak bisa dikonsumsi karena terkontaminasi nikel,” demikian dipaparkan oleh Supriyadi.

Ia meyakini, berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Sagea tak memiliki potensi nikel karena itu adalah kawasan kars. Sayangnya, meski banyak dosen dan peneliti yang datang meneliti sumber air, tapi warga tak pernah mendapatkan informasi lanjutan. “Warga sagea hanya bisa melihat kerusakan,” ujarnya.

Pernyataan Supriyadi dibenarkan Rifya. Perempuan warga Sagea ini mengaku merasakan dampak yang begitu besar. Tak hanya dirinya, tapi juga mama-mama lain warga Sagea.

“Perempuan yang sedang menstruasi atau habis melahirkan, biasanya menggunakan bahan-bahan alam sebagai obat untuk menjaga kesehatan reproduksi. Tapi setelah ada tambang, pohon-pohon dan tanaman obat sekarang sudah tidak ada,” ujarnya.

Rifya mengaku merasakan perubahan yang sangat besar, terutama dampak lingkungan. Embun pagi yang dulu bening kini berbintik hitam, nelayan tak bisa lagi melaut karena ikan semakin sedikit dan tercemar, tumbuhan banyak yang punah dan makin susah ditemukan, dan paling fatal adalah kelangkaan air bersih. Padahal dulu air bersih melimpah ruah di Sagea.

“Bahkan ada jasad warga yang meninggal dimandikan pakai air galon, karena enggak ada air sumur yang bersih,” ujarnya menambahkan.

Urgensi pembatasan produksi nikel di Halmahera Tengah

Pihak Kementerian ESDM yang diwakili Koordinator Hubungan Komersial Kementerian ESDM Christo A. Sianturi menjelaskan, bagaimanapun tujuan investasi pertambangan nikel umumnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah berharap masyarakat sejahtera, mandiri dan berkelanjutan.

“Soal IUP, dalam persetujuan RKB mereka akan mencermati, mengevaluasi dan melakukan pengawasan pada titik- titik pengamatan. Ada monitoring pengawasan,” ujarnya menambahkan.

Christo mengatakan, dalam Penyusunan studi kelayakan dan program pengembangan masyarakat (PPM), masyarakat dilibatkan untuk penyusunan program-program terutama masyarakat di ring 1.

Tapi Pius Ginting dari AEER menekankan produksi tambang di Halmahera Tengah perlu dibatasi. Alasannya, karena daya dukungan sudah terlampaui, banjir sudah sering terjadi dengan durasi lebih lama dan lebih sering.

“Belum ada kajian lingkungan hidup strategis di kabupaten di wilayah pertambangan ini. Ada masyarakat yang rentan dan aspek ekonomi lain yang hilang,” ujarnya.

Pertambangan memperburuk kerusakan ekologi Halmahera Tengah

Aktivitas pertambangan di Halmahera Tengahtelah mengganggu ekosistem hutan yang berfungsi menahan aliran air.
Aktivitas pertambangan di Halmahera Tengah menimbulkan kerusakan ekologi dan mengundang bencana banjir. (WALHI Malut)

Direktur WALHI Maluku Utara Faizal Ratuela mengatakan, dalam satu dekade terakhir, hutan primer seluas 188 ribu hektare telah mengalami deforestasi seluas 26.100 hektare. Deforestasi ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas penambangan nikel yang masif. Hal ini juga memperparah kerusakan ekologi.

Menurutnya, hal itulah yang menjadi penyebab banjir yang melanda desa-desa di Halmahera Tengah beberapa waktu lalu. Bencana ini berkaitan erat dengan kerusakan ekologi atau bentang alam di hulu.

Diketahui, 20 Juli 2024 lalu banjir telah merendam sejumlah desa di Halmahera Tengah, seperti Woejerana, Woekob, Lelilef Waibulen, dan Lukolamo. Bencana ini berdampak signifikan pada 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang di empat desa tersebut. Tidak hanya menggenangi rumah-rumah, banjir juga mengganggu aktivitas ekonomi dan memutus akses transportasi.

Upaya evakuasi dilakukan oleh BNPB, TNI, dan POLRI menggunakan alat berat untuk menyelamatkan warga yang terjebak dan memindahkan mereka ke posko-posko aman. Bantuan logistik berupa makanan, air bersih, dan obat-obatan juga disalurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar korban.

Mobalig Tomaloga, Manajer Advokasi WALHI Maluku Utara, ketika berada di lapangan, mengungkapkan bahwa intensitas hujan di bagian hulu masih tinggi. “Ada enam sungai—Kobe, Akejira, Wosia, Meno, Yonelo, dan Sagea—yang berpotensi mengirim banjir lebih besar,” kata Tomaloga, diakses dari laman WALHI, Selasa, 6 Agustus 2024. Ia menekankan perlunya tindakan cepat dan koordinasi yang lebih baik antara berbagai pihak untuk mencegah dampak yang lebih parah.

Penyebab banjir kerena kerusakan ekologi

Direktur WALHI Maluku Utara Faizal Ratuela menjelaskan, saat ini terdapat 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Halmahera Tengah dengan luas konsesi mencapai 37.952,74 hektare, serta konsesi pertambangan nikel seluas 45.065 hektare. Aktivitas pertambangan ini telah mengganggu ekosistem hutan yang berfungsi menahan aliran air.
“Saat hujan deras, air bercampur tanah dan material logam mengalir cepat ke dataran rendah, menyebabkan banjir parah,” tambah Faizal.

Ia mendesak pemerintah untuk menghentikan deforestasi dan mengatur aktivitas pertambangan dengan ketat. “Hilangnya tutupan hutan memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor,” ungkapnya. Faizal juga menekankan pentingnya rehabilitasi hutan yang sudah rusak untuk memulihkan fungsi ekologisnya.

Desa pesisir yang rentan karena kerusakan ekologi

Desa pesisir di Halmahera Tengah sangat rentan terhadap banjir susulan akibat kedekatannya dengan kawasan industri pertambangan nikel. Aktivitas industri yang intensif di wilayah ini mencakup beberapa perusahaan besar di bidang pertambangan.

“Keberadaan industri pertambangan nikel telah menyebabkan degradasi lahan dan deforestasi yang signifikan,” kata Faizal. Aktivitas ini menyebabkan hilangnya tutupan hutan yang penting sebagai penahan alami aliran air. “Air hujan yang tidak tertahan dengan baik oleh tanah dan vegetasi yang hilang mengalir deras ke desa-desa pesisir,” tambahnya.

Material tambang yang terbawa aliran air juga memperburuk kualitas air dan menyebabkan sedimentasi yang merusak habitat pesisir. Situasi ini tidak hanya membahayakan kehidupan masyarakat setempat tetapi juga merusak ekosistem pesisir.

Tindakan pemerintah tidak memadai

WALHI Maluku Utara menilai bahwa pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah dan Provinsi Maluku Utara, khususnya Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Dinas ESDM, belum menunjukkan keseriusan dalam menangani bencana ini. Meskipun bencana banjir telah menyebabkan kerugian besar, respons pemerintah daerah dinilai lamban.

Menurut Faizal, terdapat beberapa undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengontrol kegiatan investasi, termasuk UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Namun, penanganan banjir yang lamban menunjukkan kurangnya perencanaan yang jelas dari pemerintah.

“Kurangnya tindakan tegas menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani dampak aktivitas pertambangan nikel yang telah merusak lingkungan,” kata Faizal. Ia mendesak pemerintah untuk lebih proaktif dalam mengawasi dan mengontrol kegiatan industri yang berpotensi merusak lingkungan.

Komitmen mengurangi kerusakan ekologi dan mengutamakan keselamatan rakyat

Faizal Ratuela juga meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan aktivitas pertambangan nikel yang masih beroperasi meskipun kondisi banjir sedang berlangsung. “Aktivitas pertambangan ini melanggar prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia,” tegas Faizal.

Ia juga mendesak pemerintah untuk meminta perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah terdampak banjir agar segera memberikan dukungan materil. Dukungan ini termasuk evakuasi korban, pelayanan kesehatan, dan penyediaan kebutuhan dasar.

Desakan WALHI Maluku Utara

WALHI Maluku Utara mendesak Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan Pemerintah Pusat untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam menangani bencana banjir.

Faizal mengingatkan bahwa tindakan tegas diperlukan untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan warga serta mencegah bencana serupa di masa depan. “Hanya dengan komitmen dan tindakan nyata dari semua pihak, kerusakan lingkungan dan dampaknya dapat diminimalisir,” pungkas Faizal.

Faizal juga mengajak seluruh warga Maluku Utara untuk bersolidaritas dalam menghadapi bencana ini. “Mari kita satukan kekuatan untuk membantu korban banjir. Solidaritas dan kewaspadaan adalah kunci untuk melewati masa-masa sulit ini,” serunya.

Walhi Maluku Utara akan terus mengawal penanganan bencana dan memastikan pemerintah bertindak cepat untuk mencegah dampak lebih lanjut. “Kami akan memastikan pemerintah tetap fokus pada penanganan bencana ini,” tegas Faizal. Dukungan masyarakat sangat penting dalam upaya pemulihan dan memastikan kebijakan pemerintah efektif dan tepat sasaran.

Home Maps Network Search