COP30 dan suara yang hilang dari masyarakat adat dalam SNDC Indonesia

Di atas panggung iklim dunia, Indonesia telah membentangkan sebuah cetak biru yang megah. Namanya Second Nationally Determined Contribution (SNDC), sebuah dokumen setebal puluhan halaman yang diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, berisi janji-janji ambisius untuk memerangi krisis iklim. Di atas kertas, komitmen ini tampak mengesankan: target penurunan emisi yang lebih tinggi, metodologi yang lebih transparan, dan sebuah peta jalan menuju Net Zero Emission pada 2060. Ini adalah wajah modern Indonesia—sebuah bangsa yang siap memimpin dengan data, target, dan strategi.

Namun, jika kita bergeser dari ruang-ruang rapat penyusun SNDC di Jakarta menuju keheningan hutan-hutan di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, sebuah cerita yang sama sekali berbeda akan terungkap. Di sana, di bawah naungan pohon-pohon raksasa yang telah berdiri selama berabad-abad, hidup para penjaga iklim sejati. Mereka adalah masyarakat adat, yang selama beberapa generasi telah merawat ekosistem dengan sistem pengetahuan yang jauh lebih tua dari dokumen kebijakan mana pun.

Dan disinilah letak tragedi dari rencana iklim Indonesia. Dokumen SNDC yang canggih itu memiliki sebuah “titik buta” yang fatal. Ia gagal melihat, apalagi mengakui, para penjaga ini. 

Menurut Cindy Julianty, Koordinator Eksekutif Working Group ICCAs Indonesia (WGII), masalahnya bukan terletak pada ketiadaan visi, melainkan pada jurang antara rencana dan kenyataan. “Tantangan terbesar SNDC bukan pada visinya, tetapi pada penerjemahannya menjadi strategi, indikator, dan kelembagaan yang operasional,” tegasnya.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa pendekatan yang berat sebelah ini bisa menjadi bumerang. “Integrasi adaptasi dan mitigasi dalam SNDC belum sampai pada level kebijakan dan sistem. Padahal, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sejumlah inisiatif mitigasi justru dapat menimbulkan kerentanan baru,” kata Cindy. “Karena itu, penting memastikan agar adaptasi dan mitigasi menjadi timbal balik positif yang saling memperkuat. Ini harus melalui kebijakan yang juga mengedepankan HAM dan melindungi ruang hidup serta penghidupan masyarakat.”

Ini adalah kisah tentang dua dunia yang berjalan paralel namun tak pernah bertemu: dunia kebijakan iklim yang teknokratis dan dunia masyarakat adat yang hidup dalam harmoni ekologis. SNDC, dengan segala ambisinya, berisiko menjadi sebuah monumen kosong karena ia dibangun tanpa pondasi terkuatnya.

Ensiklopedia Hutan yang Hidup
Jauh sebelum istilah “mitigasi” dan “adaptasi” menjadi jargon global, masyarakat adat di seluruh Nusantara telah mempraktikkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Praktik mereka bukanlah program atau proyek, melainkan sebuah cara hidup yang dijalin dari pengetahuan, spiritualitas, dan penghormatan mendalam terhadap alam.

Bayangkan sistem Tembawang suku Dayak di Kalimantan. Dari kejauhan, ia tampak seperti hutan belantara, tetapi sesungguhnya adalah sebuah kebun agroforestri yang dirancang dengan jenius, menyerupai “hutan tropis mini”. Penelitian ilmiah modern hanya bisa mengonfirmasi apa yang telah diketahui leluhur Dayak selama berabad-abad: Tembawang menyimpan karbon dua kali lebih banyak daripada kebun karet biasa. Namun, bagi masyarakat, ia lebih dari sekadar penyerap karbon; ia adalah lumbung pangan, apotek hidup, dan perpustakaan keanekaragaman hayati.

Di Lombok, suku Sasak hidup di bawah naungan hukum adat Awiq-Awiq, seperangkat aturan sosial yang menjaga hutan dari penebangan liar. Di Maluku, sistem Sasi menjadi jeda sakral bagi alam, melarang sementara pemanenan hasil laut atau darat agar ekosistem dapat memulihkan dirinya—sebuah praktik yang terbukti secara ilmiah meningkatkan biomassa hingga 70%. Sementara itu, masyarakat Baduy di Banten dan Ammatoa Kajang di Sulawesi, dengan filosofi hidup mereka yang memuliakan alam, berhasil mempertahankan hutan mereka nyaris tak tersentuh.

Ini bukan sekadar cerita-cerita romantis. Data keras membuktikan efektivitas mereka. Sebuah kajian menunjukkan bahwa emisi karbon di wilayah adat secara signifikan lebih rendah dibandingkan di luar wilayah adat. Ironisnya, lebih dari separuh deforestasi di Indonesia justru terjadi di dalam konsesi legal yang diberikan negara kepada korporasi.

Namun, dalam dokumen SNDC, kekayaan pengetahuan ini direduksi menjadi sekadar “praktik baik”. Pemerintah seolah ingin memetik buahnya—kemampuan menyimpan karbon—tanpa mengakui pohon dan tanah tempat ia tumbuh. Ini adalah sebuah kekeliruan fatal. Kearifan ini tidak bisa dicangkokkan ke dalam program pemerintah yang kaku. Ia hidup dan bernafas hanya ketika masyarakat memiliki kedaulatan atas wilayah adat mereka.

Janji keadilan di atas kertas
Mengapa negara begitu sulit mengakui para penjaga hutan ini? Jawabannya terletak pada labirin hukum dan politik yang rumit. Pada tahun 2012, sebuah putusan Mahkamah Konstitusi (dikenal sebagai MK35) seharusnya menjadi fajar baru. Putusan itu secara tegas menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Ia adalah sebuah koreksi historis, sebuah pengakuan bahwa negara telah keliru mengklaim tanah leluhur yang telah dihuni jauh sebelum republik ini lahir.

Namun, lebih dari satu dekade berlalu, fajar itu tak kunjung tiba. Janji keadilan itu tersangkut dalam birokrasi yang lamban dan kepentingan politik di daerah. Untuk mendapatkan penetapan Hutan Adat dari pemerintah pusat, sebuah komunitas harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan melalui Peraturan Daerah (Perda). Proses ini menjadi tembok penghalang yang nyaris tak tertembus.

Hasilnya adalah sebuah “jurang pengakuan” yang menganga. Dari potensi hutan adat seluas 23,2 juta hektar, hanya sekitar 1,1% yang telah secara resmi ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang bisa menjadi payung hukum nasional, telah terkatung-katung di parlemen selama lebih dari 14 tahun.

Kegagalan hukum inilah yang menjadi akar dari titik buta SNDC. Karena negara secara formal belum mengakui sebagian besar wilayah adat, maka para teknokrat yang menyusun rencana iklim pun tidak dapat “melihat” mereka di atas peta. Alat-alat canggih pemerintah seperti Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK), yang memetakan kerentanan iklim, hanya membaca data administratif. Ia bisa melihat sebuah desa di tepi sungai, tetapi buta terhadap hukum adat yang mengatur bagaimana komunitas itu hidup berdampingan dengan banjir.

Tragedi Kinipan
Apa yang terjadi ketika kebijakan iklim yang buta ini bertemu dengan realitas di lapangan? Jawabannya dapat ditemukan dalam kisah pilu masyarakat adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah. Selama beberapa generasi, komunitas Dayak Tomun di sana hidup dari hutan mereka. Hutan adalah ibu, sumber pangan, obat-obatan, dan identitas.

Kemudian, sebuah perusahaan kelapa sawit datang, berbekal izin dari pemerintah. Hutan adat mereka, yang tidak diakui dalam peta resmi, dibabat habis. Ketika mereka melawan, mereka berhadapan dengan aparat. Puncaknya, ketua adat mereka, Effendi Buhing, ditangkap dengan tuduhan mencuri—sebuah taktik kriminalisasi yang lazim digunakan untuk membungkam perlawanan.29 Tak lama setelah hutan mereka hilang, bencana datang. Banjir bandang dahsyat menerjang desa, sesuatu yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Kisah ini mengilustrasikan dengan gamblang peringatan dari Agung Wibowo, Direktur Eksekutif HuMa. Menurutnya, menerapkan SNDC tanpa pengakuan hak akan melanggengkan kerusakan. “Bila second NDC diterapkan tanpa ada pengakuan hak terhadap kelompok rentan dan resolusi konflik terhadapnya, maka paradigma rezim penguasaan kehutanan yang ada justru dilanggengkan dan akan berjalan seperti ‘business as usual’,” ujarnya.

Ia menyoroti biaya tersembunyi yang tak pernah masuk dalam kalkulasi kebijakan iklim. “Eskalasi konflik tenurial masyarakat rentan akan semakin laten dan timbul fragmentasi yurisdiksi antar lembaga penyelenggara negara. Tentu ini dapat memperburuk konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Ongkos sengketa, bencana lingkungan, proses litigasi panjang, bahkan kekerasan lokal ini yang tak pernah dihitung dalam proses penyusunan NDC,” paparnya.

Jalan yang terlewatkan
SNDC Indonesia adalah sebuah dokumen yang lahir dari niat baik, namun disusun dalam sebuah ruang hampa, terputus dari denyut nadi masyarakatnya. Proses konsultasi publiknya sendiri menjadi cerminan dari keterputusan ini. Naskah lengkap tidak dibagikan, dan dokumen final diserahkan ke PBB hanya satu hari setelah konsultasi berakhir—sebuah formalitas yang mengabaikan partisipasi bermakna.

Hasilnya adalah sebuah rencana yang berat sebelah. Ia sangat kuat dalam menghitung target-target mitigasi, tetapi sangat lemah dalam membangun strategi adaptasi yang menyentuh akar ketahanan masyarakat. Program-program seperti Kampung Iklim (ProKlim) yang diandalkan, dalam praktiknya masih bersifat seremonial.

Lasti Fardilla Noor dari WGII merangkum masalah ini dengan tepat. Ia menyoroti bagaimana pemerintah mengukur keberhasilan. “Selama adaptasi masih diukur dari daftar kegiatan programatik, bukan dari sejauh mana kerentanan berhasil dikurangi, maka efektivitasnya sulit dinilai,” katanya, seraya menambahkan, “Hingga kini, pemerintah belum menetapkan target penurunan indeks kerentanan yang jelas.”

Namun, harapan belum padam. Kritik yang disuarakan oleh koalisi masyarakat sipil bukanlah penolakan, melainkan sebuah undangan untuk mengkalibrasi ulang kompas kebijakan iklim Indonesia. Jalan ke depan sudah jelas: negara harus berhenti melihat masyarakat adat sebagai objek program dan mulai merangkul mereka sebagai subjek, sebagai mitra, sebagai pemimpin aksi iklim.

Ini berarti mempercepat pengakuan wilayah adat secara hukum, mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dan merombak total pendekatan kebijakan dari atas-ke-bawah menjadi kolaboratif. Karena pada akhirnya, solusi untuk krisis iklim tidak akan ditemukan hanya dalam grafik dan tabel emisi, tetapi dalam kearifan mereka yang telah menjaga bumi ini selama ribuan tahun.

Deklarasi Sumba untuk keadilan ekologis: seruan dari Timur untuk membalik arah pembangunan

Deklarasi Sumba untuk keadilan ekologis: seruan dari Timur untuk membalik arah pembangunan
Kabupaten Sumba. (Pemkab Sumba)

Dari Waingapu, Pulau Sumba, suara masyarakat dari berbagai penjuru Indonesia bersatu dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XVI WALHI. Masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, anak muda, akademisi, seniman, jurnalis, hingga korban bencana ekologis hadir menyuarakan satu tekad: pembangunan harus berubah arah, dari yang merusak menjadi yang adil secara ekologis.

Seruan itu kemudian dirumuskan dalam Deklarasi Sumba untuk Keadilan Ekologis, dan ditetapkan sebagai momen lahirnya Hari Keadilan Ekologis, diperingati setiap 20 September.

Deklarasi ini menolak model pembangunan yang mengeksploitasi alam sebagai komoditas semata. Sebaliknya, ia menuntut tatanan baru yang adil—secara ekologis, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena hanya dengan keadilan menyeluruh, kehidupan dapat bertahan dan masa depan generasi mendatang dapat terjamin.

“Kami tidak hanya menyerukan perubahan. Kami menyusun arah perjuangan. Kami menempatkan manusia, alam, dan generasi mendatang dalam satu kesetaraan. Keadilan ekologis bukan hanya soal kelestarian, tetapi hak untuk hidup,” demikian isi deklarasi.

Enam prinsip Deklarasi Sumba

Deklarasi ini menyusun enam prinsip utama:

  1. Bumi dan seluruh ekosistemnya memiliki hak untuk hidup dan memulihkan diri.
  2. Generasi mendatang berhak atas bumi yang layak huni dan bermartabat.
  3. Kekayaan alam harus dimanfaatkan secara adil, bukan dikuasai oleh segelintir elite.
  4. Rakyat berhak menentukan arah pembangunan.
  5. Masyarakat adat dan lokal adalah penjaga pengetahuan dan ruang hidup, yang haknya wajib dilindungi.
  6. Transisi energi harus adil dan demokratis, meninggalkan energi fosil demi masa depan yang berkelanjutan.

Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi, deklarasi ini adalah peringatan bahwa jika ekonomi terus berjalan tanpa memperhitungkan ekologi, bukan hanya alam yang rusak, tapi peradaban juga runtuh.

“Hari Keadilan Ekologis bukan seremoni. Ini adalah titik balik. Jika kita ingin mewariskan bumi pada generasi mendatang, kita harus mengubah cara pandang dan cara hidup dalam membangun peradaban,” tegas Zenzi.

Deklarasi ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang memperjuangkan masa depan. Zenzi menutup dengan seruan:

“Kami tahu jika jalan ini terjal, tapi kami memilih melangkah bersama. Maka kita hentikan perampasan, mari kita rebut kembali kehidupan. Kita tidak sedang melawan alam, kita sedang melawan keserakahan. Untuk dunia yang Adil, Lestari, dan Bermartabat,” tegasnya.

Mengapa Sumba?

Pulau Sumba dipilih bukan tanpa alasan. Sumba mewakili ekosistem penting Indonesia: bentang alam savana yang khas, tradisi yang kuat, serta kearifan lokal yang masih hidup.

Masyarakat Sumba menjaga tujuh sendi peradaban Nusantara: dari sistem pangan lokal, tradisi tenun yang sarat makna, hingga arsitektur rumah tradisional yang selaras dengan alam. Bagi mereka, hidup selaras dengan alam bukan jargon, melainkan praktik sehari-hari.

Sebanyak 780 peserta hadir di Waingapu: aktivis lingkungan, anggota WALHI dari seluruh Indonesia, organisasi tani, komunitas nelayan, serta mitra nasional dan internasional. Mereka belajar dari kearifan Sumba dan menjadikannya rujukan dalam upaya pemulihan lingkungan.

“Jika ada satu contoh tempat yang menunjukkan bagaimana alam dan manusia bisa bertahan bersama, maka Sumba adalah jawabannya,” ucap Zenzi.

Ruang perjumpaan dan gerakanPNLH yang digelar setiap empat tahun sekali bukan sekadar pekan lingkungan hidup. Ini adalah ruang strategis di mana masyarakat sipil, komunitas akar rumput, dan pemerintah bertemu, bertukar gagasan, dan menyusun langkah bersama.

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang menekankan, manusia hidup di masa antroposen—era ketika kerakusan manusia menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan. Ia mengajak untuk kembali pada pengetahuan lokal, menjadikannya dasar kebijakan.

“Kita bisa mulai dari kampung-kampung,” ujarnya.

Bagi Umbu, Sumba bukan hanya tanah yang keras, tapi juga ruang pengetahuan. Di sini, alam dan semua makhluk hidup dianggap sebagai teman hidup. Dari kesadaran itu, keadilan ekologis seharusnya bertumbuh.

Dukungan lintas sektor dan ekspresi kreatif

Sejumlah tokoh hadir menunjukkan dukungan politik dan moral terhadap agenda pemulihan lingkungan, di antaranya: Sultan Bachtiar Najamudin (Ketua DPD RI), Yonathan Hani (Wakil Bupati Sumba Timur, tuan rumah acara)
Ratu Wulla (Bupati Sumba Barat Daya).

Puncak acara dimeriahkan dengan karnaval budaya dan seni daur ulang, menunjukkan bahwa bahkan sampah pun bisa menjadi karya bernilai.

Musisi dan aktivis lingkungan Nugie juga hadir membawakan lagu-lagu bertema bumi dan ekologi. Musik, bagi Nugie, adalah medium untuk menyentuh hati dan menyuarakan perubahan.

PNLH juga menghadirkan diskusi panel mendalam—mulai dari isu hak rakyat atas tanah, ekstraktivisme, perlindungan ekosistem, hak asasi manusia, demokrasi, hingga peluncuran Yaya Leadership Initiative, ruang baru untuk menumbuhkan kepemimpinan muda berbasis keadilan ekologis.

Deklarasi Sumba untuk Keadilan Ekologis lahir dari krisis, tapi juga dari harapan. Ia mengajak bangsa ini, dan dunia untuk berhenti membangun peradaban di atas reruntuhan alam. Bahwa masa depan hanya bisa diraih jika kita kembali hidup berdampingan dengan bumi, bukan menguasainya.

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup di Sumba, 20 September ditetapkasn sebagai Hari Keadilan Ekologis

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025. (Sumber: Walhi)
Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025. (Sumber: Walhi)

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV yang tengah digelar di Kota Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 17–24 September 2025 menjadi ruang penting untuk refleksi mendalam terkait upaya pemulihan lingkungan. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, pada Sabtu, 20 September, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama jaringan organisasi internasional menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Keadilan Ekologis.

Penetapan Hari Keadilan Ekologis menjadi langkah simbolis sekaligus strategis yang menekankan pentingnya kebijakan nyata untuk memulihkan lingkungan. Momen ini diharapkan tidak berhenti pada seremoni tahunan semata.

Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Suhadi, menegaskan bahwa momentum ini harus dimaknai sebagai penguatan konsolidasi gerakan lingkungan, memperluas aliansi lintas sektor maupun lintas negara, serta menekan kebijakan yang menghentikan perusakan alam dan penindasan terhadap rakyat. 

Menurutnya, jika kepentingan ekonomi terus dibiarkan merusak ekosistem, maka tidak hanya lingkungan yang hancur, melainkan juga peradaban manusia.

“Hari Keadilan Ekologis bukanlah perayaan seremonial, melainkan titik balik bagi setiap bangsa dan negara. Jika ingin mewariskan bumi yang lebih baik kepada generasi mendatang, kita harus mengubah cara pandang dan cara hidup dalam membangun peradaban,” ujar Zenzi, dalam keterangan resmi. 

Dengan demikian, Hari Keadilan Ekologis diharapkan menjadi momen yang mengingatkan seluruh bangsa bahwa pembangunan seharusnya beradaptasi dengan alam, bukan justru menghancurkannya.

Dalam rangkaian penetapan Hari Keadilan Ekologis, sebuah tugu juga didirikan sebagai penanda sekaligus memorial yang sarat makna. Tugu ini bukan sekadar simbol fisik, melainkan pengingat kolektif bahwa perjuangan menjaga bumi adalah warisan lintas generasi. 

Kehadirannya diharapkan menjadi ruang refleksi bagi siapa pun yang melihatnya, agar sadar bahwa setiap tindakan manusia terhadap alam akan meninggalkan jejak bagi masa depan. 

Dengan berdirinya tugu tersebut, Hari Keadilan Ekologis tak hanya hidup dalam agenda tahunan, tetapi juga mengakar dalam ingatan publik sebagai komitmen bersama untuk merawat bumi.

Dipilih Pulau Sumba

Pulau Sumba dipilih bukan tanpa alasan. Pulau ini merepresentasikan salah satu ekosistem esensial di Indonesia dengan bentangan savana yang luas dan khas, sekaligus menyimpan kearifan lokal masyarakat pulau-pulau kecil yang hidup selaras dengan alam. 

Di Sumba, masih terjaga tujuh sendi kehidupan nusantara yang menjadi fondasi harmoni antara manusia dan lingkungannya. 

Masyarakat Pulau Sumba mampu menjaga warisan berharga berupa tujuh sendi peradaban nusantara yang masih hidup hingga kini. Sistem pangan lokal yang bertumpu pada kemandirian, tradisi menenun yang kaya makna simbolis, hingga arsitektur rumah tradisional yang selaras dengan alam menjadi bukti kuatnya ikatan mereka dengan kearifan leluhur. 

Semua itu bukan sekadar tradisi yang dilestarikan, melainkan juga wujud nyata bagaimana manusia bisa membangun peradaban tanpa merusak lingkungan, melainkan beradaptasi dan hidup berdampingan dengan alam.

Karena itu, tak heran jika sebanyak 780 aktivis, anggota Walhi, jaringan organisasi tani, hingga komunitas nelayan berkumpul, berharap dapat menyerap pengetahuan, mendapatkan pembelajaran, serta menjadikan Sumba sebagai referensi nyata dalam upaya pemulihan lingkungan. 

“Jika ada satu contoh tempat yang menunjukkan bagaimana alam dan manusia bisa bertahan bersama, maka Sumba adalah jawabannya,” ucap Zenzi.

PNLH yang digelar setiap empat tahun sekali selalu menjadi momentum penting, bukan hanya sebagai pekan nasional lingkungan hidup, tetapi juga sebagai ruang interaksi aktif antara masyarakat sipil, jaringan organisasi, dan Pemerintah. 

Di forum ini, berbagai persoalan lingkungan dari setiap daerah dibawa ke meja bersama untuk didengar, dipelajari, dan diserap sebagai pengetahuan kolektif. Setelah itu, fase kedua menjadi ruang internal bagi Walhi untuk merumuskan jalan keluar (upaya tanding), menyusun program kerja strategis, sekaligus menentukan arah perjuangan organisasi di masa depan. 

Pada tahap inilah konsolidasi diperkuat, program-program baru dirancang, dan kader-kader Walhi yang mumpuni serta dipercaya dipilih untuk memimpin dan memastikan perjuangan menjaga lingkungan terus berlanjut secara berkesinambungan.

Di momen sambutan pada acara pembukaan, Zenzi menuturkan sebanyak 129 organisasi yang tergabung dalam forum Walhi hadir dengan membawa beragam isu mulai dari demokrasi, perempuan, hingga pengakuan masyarakat adat. 

Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan yang mereka tempuh bukan sekadar untuk memenuhi mandat organisasi, melainkan juga untuk menghantarkan mandat “kampung semesta” yang berupa sebuah amanah kolektif yang juga mewakili suara perempuan, orang tua, bahkan anak-anak yang mungkin tak sempat hadir dalam kesempatan ini.

“Semangat itulah yang diharapkan terus diletakkan di atas meja perjuangan forum, sebagai energi yang menyatukan,” imbuh Zenzi.

Turut hadir dalam momentum bersejarah ini sejumlah tokoh penting yang menegaskan kuatnya dukungan lintas sektor terhadap agenda pemulihan lingkungan. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Bachtiar Najamudin hadir memberikan dukungan politik dan moral, didampingi Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan. 

Kehadiran Bupati Sumba Barat Daya, Ratu Wulla, menegaskan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga warisan alam Sumba. Sementara itu, musikus sekaligus aktivis lingkungan Nugie menambahkan warna dengan kekuatan seni dan budaya, menunjukkan bahwa perjuangan menjaga bumi tak hanya bisa disuarakan melalui kebijakan, tetapi juga melalui nada, karya, dan ekspresi yang menyentuh hati.

Industri pengolahan solusi berkelanjutan Mataram darurat sampah

Di balik denyut kehidupan Kota Mataram yang terus bergerak sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB), tersimpan persoalan pelik yang kian mendesak untuk diselesaikan, yakni sampah.

Setiap hari, sekitar 300 ton sampah dihasilkan oleh aktivitas rumah tangga, pasar, restoran, hotel dan sektor usaha lainnya. Namun, daya tampung sistem pengelolaan yang tersedia masih jauh dari memadai. Apalagi, penambahan jumlah volume berpotensi semakin bertambah seiring tingginya aktivitas ekonomi dan pertumbuhan pemukiman baru.

Akibatnya, persoalan sampah bukan lagi sekadar soal tumpukan limbah, tapi sudah menjadi krisis lingkungan dan sosial yang nyata. Bahkan terbukti menjadi penyebab bencana banjir melanda.

Dari 300 ton produksi sampah per harinya, sekitar 80 persen dikirim dari Kota Mataram ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Kebon Kongok di Desa Suka Makmur, Lombok Barat.

Namun, kapasitas TPA yang semakin menipis membuat sistem ini rapuh. Sisanya, sekitar 20 persen sampah dibuang sembarangan ke sungai, saluran air, jembatan, hingga akhirnya bermuara ke laut.

Kondisi TPA yang sudah penuh tidak hanya menjadi sumber pencemaran lingkungan, tetapi sewaktu-waktu bisa memicu konflik sosial dengan warga sekitar.

Ketegangan ini kian terasa karena TPA Kebon Kongok juga menampung sampah dari dua daerah sekaligus, yakni Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat.

Kondisi lingkungan yang memburuk juga terlihat dari hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB pada 2023. Dalam 100 liter air sungai di Mataram, ditemukan rata-rata 28 partikel mikroplastik.

Sungai-sungai besar seperti Jangkuk, Meninting, dan Babak menjadi jalur utama aliran limbah dari permukiman. Sampah-sampah tersebut akhirnya bermuara ke laut yang tentunya berbahaya bagi ekosistem perairan laut.

Partikel mikroplastik ini tidak hanya membahayakan ekosistem air, tetapi juga menimbulkan ancaman jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat, terutama yang masih memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.

“Kalau mikroplastik sudah masuk ke dalam sistem air, maka dampaknya bisa masuk ke tubuh manusia melalui ikan, air minum atau bahkan udara,” kata Direktur WALHI NTB, Amri Nuryadin.

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, sekitar 62 hingga 65 persen sampah harian di Mataram, merupakan sampah organik, seperti sisa makanan dan limbah dapur.

Ironisnya, mayoritas sampah ini masih ikut menumpuk di TPA, padahal justru paling mudah diolah menjadi kompos atau sumber energi terbarukan.

Sebaliknya, sampah anorganik seperti botol plastik, kardus dan logam lebih cepat terserap ke sistem informal. Para pemulung dan pengepul memilah langsung sampah bernilai ekonomi. Namun proses ini hanya mencakup sebagian kecil dari total sampah harian.

Kota Mataram juga masih sangat ketergantungan dengan TPA Kebon Kongok. Hal ini membuat Ibukota Provinsi NTB tersebut tidak memiliki kendali penuh atas sistem pengelolaan akhir.

Melihat kondisi yang kian mengkhawatirkan, Pemerintah Provinsi NTB menetapkan status darurat sampah untuk Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat pada Juli 2025.

Namun, menurut Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Dinas LHK NTB, H Samsudin, penanganan krisis ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah.

“Regulasi sudah kita siapkan. Tapi selama kesadaran masyarakat belum tumbuh, semuanya akan percuma. Ini soal perilaku kolektif, bukan semata-mata urusan teknis,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa edukasi dan kampanye soal pengurangan dan pemilahan sampah harus dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah juga tidak bisa bekerja sendiri, tapi butuh kolaborasi dari masyarakat, swasta, perusahaan dan BUMN.

Kesadaran juga menjadi faktor krusial. Banyak warga masih menganggap urusan sampah selesai begitu dibuang ke tong sampah. Padahal, sistem pengangkutan, pemilahan dan daur ulang masih menghadapi banyak tantangan.

Mataram kini berada di persimpangan. Melanjutkan cara lama yang stagnan, atau bergerak bersama menuju solusi berkelanjutan. Di balik tumpukan sampah itu, tersimpan peluang besar untuk transformasi.

Karena sejatinya, solusi atas darurat sampah bukan terletak pada siapa yang paling bertanggung jawab, melainkan pada sejauh mana kita bersedia bergerak bersama.

Peraturan Gubernur Bagi Pelaku Usaha

Di tengah tantangan pengelolaan sampah yang makin kompleks, Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, menegaskan komitmennya untuk membenahi persoalan lingkungan ini dari akarnya.

Menurutnya, membangun sistem pengelolaan sampah yang efektif bukan hanya soal teknologi, tapi terutama soal perubahan pola pikir dan budaya.

“Budaya kita kalau mengolah sampah tanpa pemilahan, ini biayanya akan mahal,” tegasnya dalam sebuah forum lingkungan, menyoroti masih minimnya kesadaran memilah sampah di masyarakat.

Kurangnya budaya memilah juga mendorong Pemerintah Provinsi NTB mengambil langkah strategis melalui sektor pendidikan. Kini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB tengah menyusun kurikulum wajib pengelolaan sampah bagi pelajar.

Namun, pembenahan budaya dan edukasi hanya satu bagian dari puzzle. Salah satu kebijakan progresif yang kini sedang disiapkan Pemerintah Provinsi NTB adalah penerapan prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen yang diperluas.

Lewat Peraturan Gubernur (Pergub) yang tengah difinalisasi, pemerintah daerah ingin memastikan bahwa produsen tidak lagi lepas tangan terhadap sampah dari produk mereka.

Prinsip EPR menekankan bahwa produsen bertanggung jawab atas siklus hidup produk mereka, termasuk sampah yang ditinggalkan setelah dikonsumsi. Ini berarti, perusahaan besar maupun kecil, perlu turut serta dalam pengelolaan limbah, melalui pendanaan, penyediaan fasilitas maupun edukasi.

“Produsen tidak bisa hanya menikmati keuntungan tanpa peduli pada limbahnya. Misalnya, botol plastik air kemasan, sachet makanan, atau kemasan sekali pakai, semua itu menumpuk di lingkungan. Siapa yang harus tangani kalau bukan mereka juga?,” kata Samsudin.

Tanggung jawab produsen tidak berarti perusahaan harus membangun pabrik pengolahan sendiri. Namun, mereka dapat berkontribusi dalam berbagai bentuk mendanai edukasi masyarakat, mendukung kader lingkungan, hingga membantu desa-desa yang sudah mulai memilah dan mengelola sampah secara mandiri.

Langkah konkret untuk mewujudkan EPR di NTB, sedang dipersiapkan secara serius. Pemerintah Provinsi NTB menargetkan selesainya regulasi EPR tahun ini, agar menjadi dasar hukum pelibatan sektor industri dalam pengelolaan sampah.

Lebih dari sekadar aturan, regulasi EPR menjadi bagian penting dari transformasi menuju ekonomi sirkular, di mana sampah tidak lagi dianggap sebagai limbah semata, tetapi sebagai sumber daya yang bisa dikelola dan dimanfaatkan ulang.

Dalam kerangka ini, industri tidak hanya berperan sebagai produsen barang, tetapi juga sebagai aktor penting dalam siklus pemanfaatan ulang material. Sampah organik bisa menjadi kompos, limbah plastik bisa menjadi bahan bakar alternatif atau didaur ulang menjadi produk lain yang bernilai ekonomi.

Dengan pendekatan ini, NTB tidak hanya mengurangi tumpukan sampah di TPA, tetapi juga membuka peluang ekonomi hijau, menciptakan lapangan kerja baru, dan menjaga kelestarian lingkungan.

Pendiri Bank Sampah Mandiri NTB, Siti Aisyah, juga menegaskan pentingnya keterlibatan industri dalam mengatasi persoalan sampah plastik. Menurutnya, membayar pajak saja tidak cukup jika produsen tetap menghasilkan limbah dalam jumlah besar tanpa tanggung jawab lingkungan.

Ia mencontohkan kebijakan di Eropa yang membebankan pajak tinggi pada produk berisiko seperti rokok. “Rokok tidak dilarang, tapi harganya tinggi. Orang jadi berpikir dua kali untuk membeli. Prinsip ini bisa diterapkan pada kemasan plastik sekali pakai,” jelasnya.

Sayangnya, lanjut Aisyah, di Indonesia, produsen besar masih membayar pajak dalam sistem yang seragam, tanpa mempertimbangkan jumlah sampah yang dihasilkan.

“Ini bukan cuma tugas masyarakat. Pemerintah Kota Mataram pun tak bisa kerja sendiri. Harus ada dukungan pusat,” tegasnya.

Menurutnya, peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan untuk memperkuat regulasi, memberi tekanan kepada produsen, sekaligus mendukung komunitas melalui program off-taker untuk membeli hasil olahan sampah dari masyarakat.

“Kita ini butuh sistem yang adil. Semua pihak harus terlibat,” tuturnya.

Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin, juga menyoroti fakta bahwa banyak produk plastik di Mataram, berasal dari luar daerah, terutama kawasan industri. Meski bukan produsen, para distributor lokal tetap memegang tanggung jawab atas limpahan sampah yang mereka edarkan.

Menurutnya, pemerintah daerah harus berani menuntut peran lebih dari distributor. Tidak cukup hanya dengan membayar pajak, tapi mereka perlu terlibat langsung, mulai dari penyediaan tempat sampah di titik strategis, dukungan terhadap industri daur ulang, hingga pendanaan program edukasi masyarakat.

“Itu bagian dari tanggung jawab sosial mereka sebagai produsen dan ataupun distributor yang menghasilkan dan mengedarkan produk dengan kemasan plastik,” tegas Amri.

Potensi Ekonomi Sirkular

Sejak hadirnya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sandubaya, volume sampah dari Kota Mataram yang masuk ke TPA Kebon Kongok mulai bisa ditekan dari 300 ton menjadi sekitar 180 ton per hari. Sebuah kemajuan penting, meski masih jauh dari kata ideal.

Pengurangan tersebut adalah hasil kerja banyak pihak, termasuk komunitas, pemerintah kota, hingga provinsi. Salah satu langkah strategis juga datang dari unit pengolahan organik BSF (Black Soldier Fly) di Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.

Di tempat itu lah, larva lalat tentara hitam bekerja keras mengurai sampah organik menjadi pakan ternak yang kaya protein atau disebut maggot.

Di atas kertas, unit BSF ini mampu menampung hingga 4 ton sampah organik per hari. Sayangnya, kapasitas ini belum terisi penuh. Realitanya, hanya sekitar 800 kilogram yang masuk setiap harinya.

“Masalahnya di sumber. Warga belum terbiasa memilah. Sampah rumah tangga masih bercampur antara organik dan anorganik,” kata Samsudin.

Padahal, efisiensi BSF sangat tinggi. Hanya 100 gram larva bisa melahap 1–2 kilogram sampah organik dalam waktu kurang dari satu jam. Bila sistem berjalan baik, potensi ekonominya besar, maggot bisa dijual hingga Rp20.000 per kilogram sebagai pakan ikan atau unggas.

Namun, potensi ini terganjal pada satu titik kritis karena rendahnya partisipasi rumah tangga dalam memilah sampah.

Untuk membangun sistem yang berkelanjutan, Pemerintah Provinsi NTB tengah mendorong pendekatan berbasis insentif dan tanggung jawab. Tapi jika pendekatan persuasif ini tidak cukup, maka regulasi dan penegakan hukum harus diberlakukan.

Misalnya, hotel atau usaha komersial yang tidak mematuhi aturan pengelolaan sampah bisa dikenai sanksi administratif, bahkan pencabutan izin.

Salah satu instrumen yang kini dimaksimalkan adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). Dalam sistem ini, pengelolaan sampah memiliki bobot tinggi, mencapai 50 persen dalam evaluasi ekolabel.

Artinya, perusahaan yang lalai bisa langsung masuk kategori hitam. Sebaliknya, mereka yang patuh bisa mendapat insentif reputasi dengan peringkat biru atau hijau. Ini adalah cara untuk memberi tekanan sekaligus penghargaan.

Data menunjukkan bahwa sebagian besar sampah yang dihasilkan Kota Mataram bersifat organik. Sayangnya, jenis ini justru paling banyak terbuang sia-sia. Jika dikelola dengan benar, limbah makanan bisa diolah menjadi pakan fermentasi atau pakan maggot bernilai ekonomis.

Di Kebon Talo, Kota Mataram, misalnya, Maggot Center telah berdiri dengan kapasitas 1–2 ton per hari. Namun tantangan serupa masih mengemuka, yakni sampah yang datang belum dipilah.

Untuk itu, solusi tak perlu hanya datang dari atas. Pemerintah kelurahan juga perlu dilibatkan sebagai garda terdepan. Dalam berbagai forum, dorongan untuk mengalokasikan dana desa atau kelurahan bagi pengelolaan sampah di tingkat masyarakat makin menguat.

Dana kelurahan bisa digunakan untuk membuat tempat pemilahan sampah tingkat lingkungan, edukasi warga hingga pengadaan komposter atau unit BSF skala kecil.

Langkah tersebut bisa dikunci melalui regulasi. Misalnya, Peraturan desa (Perdes). Dengan melibatkan dinas terkait, kelurahan dapat menyusun rencana anggaran biaya (RAB) untuk sektor persampahan dan menjadikannya bagian dari pembangunan.

Jika model itu berjalan, maka kelurahan tak lagi sekadar penerima dampak, tetapi jadi motor penggerak ekonomi sirkular berbasis komunitas. Sampah bukan sekadar beban, tetapi peluang baru untuk pemberdayaan ekonomi lokal.

Industri Pengolahan Sampah Berkelanjutan

Di sebuah sudut tenang di Lingkungan Selaparang, Ampenan, berdiri Bank Sampah NTB Mandiri, sebuah inisiatif akar rumput yang telah mengubah wajah pengelolaan sampah di NTB sejak 2011.

Dipimpin oleh Siti Aisyah, lembaga ini bukan hanya mengajak warga memilah sampah, tapi juga menjadikannya sumber ekonomi dan kreativitas.

Aisyah dan timnya telah menyulap sampah plastik menjadi tas, taplak meja, gantungan kunci, hingga keranjang. Produknya bahkan sudah menembus pasar mancanegara. Dari hanya dua orang di awal berdiri, kini Bank Sampah NTB Mandiri menyerap 21 tenaga kerja.

Namun, Aisyah menilai, meski ada kemajuan, pengelolaan sampah di Kota Mataram masih belum sistemik.

“Pemerintah kampanye pilah sampah dari rumah, tapi di lapangan fasilitas tidak mendukung. Pengangkutan masih mencampur semua jenis sampah,” ujarnya.

Hal ini menimbulkan kebingungan dan kekecewaan. Sudah dipilah, tapi akhirnya dicampur. Lama-lama orang malas. Ia menyarankan, pemisahan harus terjadi sejak hulu hingga hilir, mulai dari rumah, ke pengangkutan hingga ke tempat pengolahan.

Ia menyarankan agar Pemerintah Kota Mataram menyediakan kendaraan sampah khusus berdasarkan jenis, jadwal pengangkutan yang disesuaikan dan penanda warna. Misalnya, kendaraan pengangkut warna hijau untuk sampah organik dan warna kuning untuk sampah anorganik.

Pemilahan yang konsisten bisa menurunkan beban TPA dan menghidupkan ekonomi lokal. Sampah organik bisa jadi kompos atau media maggot, sementara sampah anorganik yang bersih bisa didaur ulang menjadi kerajinan atau material bangunan.

Namun satu tantangan besar adalah siapa yang membeli hasil daur ulang? “Kami diminta berinovasi, tapi siapa yang beli? Pemerintah belum menjadi off-taker,” kata Aisyah.

Ia berharap pemerintah mendukung dengan membeli produk komunitas, misalnya sebagai suvenir rapat atau pupuk untuk taman kota.

Komunitas bank sampah sering kesulitan memasarkan produk karena minimnya dukungan pasar. Mereka jungkir balik mencari pembeli, sementara produk terus menumpuk.

“Kalau pemerintah jadi pembeli, masyarakat jadi semangat. Ada nilai ekonomi, bukan cuma kerja sosial,” jelasnya.

Bank Sampah NTB Mandiri sendiri telah bertransformasi. Sejak 2020, mereka berhenti menerima tabungan sampah dan berfokus pada edukasi dan pelatihan.

“Kami ingin ubah pola pikir, bukan sekadar kumpul sampah. Karena kalau mindset tak berubah, lingkungan tak akan bersih,” ucap Aisyah.

Bank Sampah Mandiri NTB membuka kelas pelatihan enam hari sepekan, membekali peserta dengan keterampilan mengolah sampah menjadi produk bernilai. Sebuah galeri juga dibangun sebagai ruang inspirasi dan pemasaran.

Pasar luar negeri, seperti Eropa dan Australia, menunjukkan antusiasme tinggi terhadap produk upcycle. “Turis bule paham ini soal gaya hidup. Mereka beli bukan karena barangnya, tapi karena maknanya,” tutur Aisyah.

Namun bagi perempuan yang akrab disapa Aisyah Odist ini, kesuksesan tak diukur dari seberapa banyak barang terjual, melainkan seberapa banyak pelaku yang tumbuh.

“Semakin banyak yang ikut bergerak, semakin ringan beban saya. Dulu bicara soal sampah sendiri, sekarang sudah banyak teman seperjuangan,” ucapnya.

Dengan pendekatan yang menyentuh edukasi, membangun pasar, dan mendorong sistem yang mendukung dari hulu ke hilir, Bank Sampah NTB Mandiri telah menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal bersih, tapi juga soal peluang, kolaborasi dan harapan. [Awaludin]

Liputan ini didukung Ekuatorial.com pada program Jurnalisme Konstruktif dalam Geojournalism di Indonesia. Terbit pertama kali pada BeritaNTB

Kemerdekaan masyarakat adat ketika merdeka merawat pangan lokal

Di kedalaman hutan, di pesisir pantai yang belum terjamah, dan di lereng-lereng gunung yang subur, sebuah kemerdekaan sejati dirayakan setiap hari. Ini bukanlah kemerdekaan yang diproklamasikan dengan teks dan upacara, melainkan kemerdekaan yang hidup dalam setiap umbi yang dicabut dari tanah, setiap butir sagu yang diolah, dan setiap jengkal hutan yang dijaga sebagai sumber kehidupan. Inilah kemerdekaan masyarakat adat dalam mengelola alam dan pangan mereka.

Bagi mereka, tanah bukanlah sekadar aset. Ia adalah ibu yang memberi makan, hutan adalah apotek yang menyediakan obat-obatan, dan sungai adalah urat nadi yang mengalirkan kehidupan. Pangan lokal seperti sagu, sorgum, jagung, dan aneka umbi-umbian bukanlah sekadar pengisi perut, melainkan bagian dari identitas, ritual, dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Pangan adalah tradisi.

Namun, kemerdekaan ini terusik. Kebijakan pangan nasional yang sering kali seragam dan terpusat, tanpa sadar menggerus kedaulatan mereka. Dominasi beras dan gandum perlahan menyingkirkan pangan lokal dari piring-piring di pelosok negeri. Hutan adat yang beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur mengancam sumber pangan dan ruang hidup mereka.

Suara dari Balik Krisis: Seruan untuk Kembali ke Akar

Di tengah ancaman krisis iklim dan tantangan ketahanan pangan, sebuah kesadaran baru mulai tumbuh. Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, menekankan urgensi perubahan. “Revisi UU Pangan adalah peluang untuk memperbaiki arah kebijakan pangan Indonesia. Sudah saatnya kita mengakui peran strategis pangan lokal dalam menghadapi krisis iklim dan membangun ketahanan pangan jangka panjang,” ujarnya.

Seruan ini lahir dari pengalaman nyata di lapangan. Maria Mone Soge, seorang petani muda dari Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur, berbagi keresahannya. “Saya melihat banyak petani mulai kehilangan semangat karena perubahan musim yang tak menentu. Tapi kami di desa juga punya banyak solusi lokal — dari pola tanam tradisional sampai jenis pangan lokal yang lebih tahan iklim. Kami ingin UU Pangan yang berpihak pada kami, petani muda, agar kami bisa terus bertani dan menjaga budaya pangan lokal,” ungkap Maria.

Senada dengan itu, Andika, seorang local champion dari Desa Tapobali, Kabupaten Lembata, menyuarakan pentingnya pengakuan terhadap pengetahuan lokal. “Tapi kami juga punya pengetahuan lokal dan cara bertahan yang bisa menjadi solusi. Pemerintah perlu mendengar suara kami. Revisi UU Pangan harus menjamin hak petani kecil dan ruang bagi generasi muda untuk memimpin perubahan,” tegasnya.

Mengembalikan Makna Kedaulatan Pangan

Para pegiat pangan lokal menyoroti bahwa makna kedaulatan pangan telah terdistorsi. David Ardhian, penulis policy brief Sistem Pangan Negara Kepulauan, menjelaskan, “Sejak dimasukkan dalam UU Pangan 2012, makna sejatinya kian terdistorsi oleh kebijakan sentralistik seperti food estate yang mengabaikan keberagaman lokal, menggusur masyarakat, dan merusak ekosistem.”

Menurut David, inilah momentum untuk perubahan fundamental. “Revisi UU Pangan harus menjadi momentum untuk mengembalikan ruh kedaulatan pangan sebagai hak rakyat, bukan kontrol negara. Sudah waktunya arsitektur kebijakan pangan dibangun dari bawah, mengakui inisiatif komunitas, membuka ruang partisipasi luas, dan berpihak pada solusi lokal,” tambahnya.

Dukungan terhadap komunitas adat menjadi kunci. Seperti yang disampaikan oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Yayasan KEHATI, “Masyarakat adat harus diberikan ruang dan kesempatan untuk mengelola wilayah mereka sendiri, misalnya memberikan akses untuk orang muda adat untuk bertani dan mengolah lahan.”

Pada akhirnya, kemerdekaan sejati sebuah bangsa tercermin dari kemampuannya untuk memberi makan dirinya sendiri dengan pangan yang berdaulat, sehat, dan lestari. Dan pelajaran terbaik tentang kemerdekaan itu datang dari mereka yang telah mempraktikkannya selama berabad-abad: masyarakat adat. Kemerdekaan mereka dalam mengelola alam adalah kemerdekaan kita semua untuk masa depan pangan yang lebih baik.

Banjir di tengah musim kemarau, bukti nyata krisis iklim

ilustrasi krisis iklim perubahan iklim
Ilustrasi krisis iklim. (AI)

Curah hujan tinggi yang masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada periode Juli, yang seharusnya merupakan puncak musim kemarau, menjadi pertanda ancaman krisis iklim sudah terjadi. Alih-alih memasuki musim kering, sejumlah daerah justru dilanda banjir tidak terkecuali Jabodetabek, dan kota Mataram di NTB.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa dinamika atmosfer yang tak biasa, seperti lemahnya monsun Australia, suhu muka laut yang tetap hangat, serta aktifnya gangguan atmosfer tropis seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby, telah memicu pola cuaca yang tidak stabil dan menyebabkan hujan deras di periode yang semestinya kering.

Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa kondisi ini bukan sekadar anomali musiman, tetapi merupakan konsekuensi langsung dari krisis iklim yang selama ini diabaikan oleh pengambil kebijakan.
Pendidihan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca, sebagian besar bersumber dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif, telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia. Ketika masyarakat justru dihadapkan pada hujan ekstrem saat musim kemarau, maka alarm krisis iklim seharusnya sudah terdengar sangat jelas.

“Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa. Fenomena hujan deras di periode Juli adalah peringatan serius bahwa krisis iklim sudah mengubah wajah musim di Indonesia. Pemerintah harus bertindak cepat dan tegas untuk mengurangi emisi dan melindungi rakyat dari dampak krisis iklim yang makin parah,” tegas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resmi, diakses Minggu (10/8/2025).

Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang konkret dan berkeadilan. Krisis iklim harus diintegrasikan dalam seluruh proses perencanaan pembangunan, termasuk dalam sektor energi, tata ruang, dan pengelolaan sumber daya alam.

Pemerintah juga perlu menghentikan ekspansi energi fosil dan segera beralih ke energi bersih terbarukan yang aman dan berkelanjutan. Meski krisis iklim semakin mengancam, hingga 2024 Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton, melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya (775 juta ton).

Tanpa komitmen nyata untuk menurunkan emisi, masyarakat Indonesia akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih.

Sementara, kebijakan energi yang dikeluarkan pemerintah melalui RPP KEN dan penyediaan tenaga listrik melalui RUPTL semakin jauh dari komitmen transisi energi, dan masih akan bergantung pada energi fosil hingga 2060.

Dalam RUPTL yang disosialisasikan, masih terdapat rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU Batu Bara) sebesar 6.3 Gigawatt dan pembangkit listrik tenaga gas fosil (PLTG) sebesar 10.3 Gigawatt.

Penambahan pembangkit listrik baru berbahan bakar fosil akan semakin mengunci pada kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in, baik secara infrastruktur maupun emisi gas rumah kaca (GRK) selama 25 hingga 30 tahun ke depan, bahkan lebih, sesuai dengan masa operasi dari kedua jenis pembangkit tersebut. Selain itu, pada draft RPP KEN terbaru, penggunaan batu bara dan gas fosil masih diperbolehkan hingga tahun 2060.

Berdasarkan data historis, di saat bauran energi terbarukan hanya mencapai 15% pada tahun 2024, laju penambahan pembangkit energi terbarukan tercatat hanya mencapai 3.2 Gigawatt dari 2018 hingga 2023.

“Pemerintah Indonesia harus keluar dari zona nyaman dan berhenti melanjutkan ketergantungan pada energi fosil. Krisis ini tidak pernah adil, dan sayangnya warga serta mereka yang lemah akan menjadi korban paling terdampak. Kita butuh komitmen ambisius pada pengembangan energi terbarukan, peta jalan transisi energi berkeadilan, dan pembangunan yang berpihak pada kelangsungan hidup, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi jangka pendek,” lanjut Bondan.

Greenpeace mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang progresif dan selaras dengan target penurunan emisi. Namun, RUU ini tidak boleh menjadi celah bagi solusi palsu seperti gasifikasi batu bara, co-firing, atau proyek berbasis fosil yang menyamar sebagai “energi baru”. Skema-skema tersebut hanya memperpanjang umur industri kotor dan menghambat transisi energi sejati.

WALHI mengkritik proyek panas bumi tidak melibatkan rakyat

Ilustrasi industri ekstraktif panas bumi. (Ilustrasi by AI)
Ilustrasi industri ekstraktif panas bumi. (Ilustrasi by AI)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pengembangan panas bumi (geothermal) yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Pulau Flores. WALHI menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan masyarakat secara langsung dan sarat dengan pendekatan top-down yang bertentangan dengan semangat desentralisasi.

Pernyataan ini disampaikan dalam audiensi bersama Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM yang berlangsung pada Senin, 28 April 2025, di Kantor Gubernur NTT, Kupang.

Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah pihak, termasuk perwakilan perusahaan pengembang proyek geothermal. Turut hadir pula kepala daerah dari wilayah pengembangan, pejabat Pemerintah Provinsi NTT, serta organisasi masyarakat sipil.

Dalam forum tersebut, Gres Gracelia dari Divisi Advokasi WALHI NTT menyampaikan keberatan WALHI terhadap penetapan Pulau Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017. Gres menilai kebijakan ini dilakukan tanpa melibatkan masyarakat Flores yang terdampak langsung.

“Dalam penetapan kebijakan ini, WALHI mengkritisi Kementerian ESDM sebagai perwakilan pemerintah pusat yang dalam penerapannya tidak melibatkan masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya masyarakat Pulau Flores,” demikian pernyataan resmi WALHI NTT, diakses Selasa, 20 Mei 2025.

Menurut data Kementerian ESDM, terdapat 28 titik pengembangan panas bumi di NTT, dengan 21 di antaranya berada di Flores dan Lembata. WALHI menilai proses ini berlangsung tanpa persetujuan warga, dan bahkan justru menimbulkan konflik sosial di berbagai wilayah.

WALHI juga mengkritisi peran pemerintah pusat yang dinilai membenturkan pemerintah daerah dengan masyarakat lokal. Pemerintah Provinsi NTT sendiri dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2025–2034 mengarahkan pengembangan energi terbarukan berbasis potensi lokal seperti matahari, angin, air, dan arus laut. Namun, pemerintah pusat tetap mendorong proyek geothermal yang dinilai tidak sesuai dengan karakter geografis dan sosial NTT.

Secara geografis, NTT terletak di wilayah cincin api (ring of fire) dan terdiri dari pulau-pulau kecil yang rentan terhadap bencana. WALHI mengingatkan bahwa pembangunan geothermal dapat menimbulkan dampak ekologis besar, terutama pada lingkungan yang sudah rapuh secara alami.

Dalam audiensi tersebut, WALHI juga menyampaikan sejumlah temuan lapangan, termasuk di wilayah Poco Leok, Manggarai. Warga tidak pernah diberikan informasi atau dimintai izin atas survei yang dilakukan di lahan mereka.

Konflik horizontal mulai terjadi masyarakat dibagi menjadi kelompok pro dan kontra, bahkan diduga melakukan praktik manipulatif seperti memberikan upah harian dan bantuan material kepada kelompok pro.

Konflik sosial yang ditimbulkan proyek geothermal di Poco Leok bahkan telah merambah ranah keagamaan. WALHI mencatat adanya perpecahan dalam tradisi doa Rosario bergilir antara kelompok masyarakat pro dan kontra, sebuah simbol rusaknya kohesi sosial akibat intervensi proyek energi.

Selain persoalan sosial, WALHI menyoroti dampak ekologis dari proyek-proyek geothermal. Di Ulumbu, sumber air yang digunakan berasal dari Poco Leok. Sejak beroperasinya PLTP Ulumbu, warga Poco Leok mengeluhkan penurunan debit air serta merosotnya produktivitas pertanian seperti kopi, cengkeh, dan vanili – baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

Ironisnya, meski jarak Poco Leok ke PLTP Ulumbu hanya sekitar 3–5 kilometer, aliran listrik ke 14 Gendang di Poco Leok baru sepenuhnya tersedia pada akhir 2024. Kondisi ini memperkuat kecurigaan bahwa proyek geothermal tidak membawa manfaat langsung bagi warga sekitar.

WALHI NTT juga menegaskan bahwa perusahaan pengembang lain seperti di Mataloko harus belajar dari pengalaman terdahulu, termasuk semburan lumpur panas yang terjadi. WALHI menuntut transparansi sejak awal terkait potensi dampak buruk dari proyek geothermal.

Dalam forum tersebut, WALHI menyampaikan sikap tegas. Mereka menolak proyek geothermal oleh Kementerian ESDM karena dinilai bertentangan dengan prinsip pembangunan energi berkeadilan dan berbasis lokal.

WALHI meminta pencabutan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, penghentian seluruh proyek geothermal di NTT, serta penghormatan terhadap RUED NTT dan suara pemimpin umat di Flores yang telah menolak proyek tersebut.

Pendekatan pembangunan panas bumi yang sentralistik

Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur WALHI NTT, menyebut bahwa pendekatan pemerintah mencerminkan pola pikir Orde Baru yang sentralistik dan mengabaikan mandat reformasi.

“Bayangkan saja, ESDM mengeluarkan kebijakan tanpa permisi ke rakyat NTT. Selanjutnya mereka datang mengiming-imingi warga lokal dan mengabaikan hak tolak rakyat atas kebijakan mereka yang sepihak tersebut,” tegas Umbu Wulang.

Ia juga mengingatkan bahwa proyek-proyek semacam ini dapat memperparah krisis ekologis di NTT.

“Apalagi ini proyek panas bumi yang rakus lahan dan air. Padahal kita sendiri sedang menghadapi tantangan krisis air,” tambahnya.

Hentikan kriminalisasi pembela petani dan masyarakat adat

Kriminalisasi terhadap Pembela Masyarakat Adat dan Petani sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban.
Massa tani dalam peringatan Hari Tani Nasional 2024. [FOTO: KPA]

Setelah digusur kini limabelas Masyarakat Adat di Desa Nangahale, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memperjuangkan tanah adatnya menjadi target kriminalisasi Keuskupan Maumere dan Kepolisian Daerah NTT. Tidak hanya itu bahkan penasihat hukum para masyarakat adat juga hendak dipenjarakan. Upaya kriminalisasi ini dilakukan demi memuluskan perampasan tanah adat yang diklaim oleh Keuskupan Maumere melalui PT. Kristus Raja Maumere (PT Krisrama).

Pada 21 Maret 2025, John Bala selaku Penasihat Hukum para Masyarakat Adat telah dilaporkan ke Ditkrimum Polda NTT atas dugaan tindak penyerobotan tanah tanpa izin sebagaimana dalam surat penerimaan laporan Polda NTT STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT. Pelaporan ini dilakukan oleh Ephivanus Markus Nale Rimo – Dosen dan Kuasa Hukum PT. Krisrama.

Laporan oleh Kuasa Hukum PT. Krisrama. terhadap John Bala merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap Pembela Masyarakat Adat dan Petani sebagai upaya pelemahan perjuangan Masyarakat Adat Suku Soge dan Suku Goban dan perlawanan hukum terhadap Putusan Pengadilan Negeri Maumere dengan Nomor Perkara 1/Pid.B/2025/PN.Mme yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap 8 (delapan) orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut, dimana John Balla sebagai kuasa hukumnya.

“Dilaporkannya John Bala sebagai Kuasa Hukum Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut adalah bentuk upaya kriminalisasi kepada Advokat Pembela Masyarakat Adat. Jika kapolda NTT benar-benar memahami hukum, harusnya dia tidak memproses laporan dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kementerian ATR/BPN RI adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas konflik yang terjadi antara Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge dan PT. Krisrama. Sebab, selama konflik ini tidak diselesaikan, selama itu juga akan banyak Masyarakat Adat yang akan menjadi korban kriminalisasi, bahkan kekerasan,” ungkap Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam keterangan resmi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa seorang Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

Sebagai informasi, konflik antara Masyarakat Adat dengan PT. Krisrama telah lama terjadi. Kasus ini bermula ketika perusahaan Belanda yaitu Amsterdam Soenda Compagni memperoleh Hak Erfpacht melalui perampasan tanah, namun dilegitimasi oleh Surat Keputusan Residen Timor en Onder Hoorigheden tertanggal 11 September 1912 No. 264, seluas ± 1.483 Ha untuk penanaman kapas dan kelapa, yang sesuai ketentuan saat itu berlaku hingga 1987 atau berlaku selama 75 tahun.

Perkebunan yang diperoleh dari penggusuran wilayah adat oleh perusahaan Belanda ini dijual sepihak kepada Aposttholishe Vicariaad van de Klaine Soenda Ellanden (Perwakilan Gereja Katolik Roma di wilayah misionaris dan negara yang belum memiliki keuskupan). Apostolik Vikariat mengembalikan sebagian tanah kepada pemerintah karena tidak produktif. Lantas Vikariat Apostolik Ende melalui Surat No. 981/V/56, tertanggal 16 Desember 1956, mengajukan permohonan kepada Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian Hak Erpacht di Nangahale seluas ± 783 Ha. Permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Swapraja Sikka dengan Surat Keputusan tanggal 18 Desember 1956, No. 63/DPDS. Alasan pengembalian ialah karena bagian tersebut diperuntukan bagi pemukiman masyarakat dan diusahakan oleh masyarakat yakni dari batas sekarang di sebelah timur sampe dengan Kantor Camat Talibura. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Kampung Baru Watubaing Talibura.

Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah pada saat itu sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Dimana dalam Pasal 4, diatur bahwa: Tanah- tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh Rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada Rakyat yang mendudukinya.

Dari fakta hukum di atas, sesungguhnya Kementerian ATR/BPN tidak cermat ketika menerbitkan (Hak Guna Usaha) pada tahun 1989 seluas 879 hektar yang habis masa berlakunya pada Desember 2013 silam. Karena sejak tahun 2011 hingga 2019 Kementerian ATR/BPN sendiri sudah memasukannya ke dalam database tanah terlantar. Seharusnya segera ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai tanah yang akan dikembalikan kepada Masyarakat Adat.

“Bahkan penerbitan HGU pada tahun 2023 lalu pun sengaja dilakukan dengan melanggar pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri. Penguasaan tanah adalah salah satu syarat memperoleh HGU, meski PT. Krisrama tidak menguasai tanah BPN tetap mengeluarkan HGU. Lebih parahnya BPN sendiri tidak pernah berhasil melakukan pengukuran ulang atas bekas HGU PT. Krisrama. Sehingga sepuluh bidang HGU PT. Krisrama sebenarnya dapat dicabut oleh Kementerian ATR/BPN,“ Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, Kami Konsorsium Pembaruan Agraria dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mendesak agar:

Kapolda NTT untuk tidak menindaklanjuti laporan No.STPL/B/64/III/2025/SPKT/POLDA NTT yang dilaporkan Ephivanus Markus Nale Rimo dan Kuasa Hukum PT. Krisrama;

Kapolda NTT beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut;
Bupati Kabupaten Sikka untuk tegas memimpin penyelesaian konflik agraria dan menjaga keamanan para masyarakat adat di Desa Nangahale;

Menteri ATR/BPN RI untuk segera membatalkan pemberian HGU PT. Krisrama yang diterbitkan dengan cara-cara yang melanggar hukum sekaligus mengembalikan tanah kepada Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge; dan
Menteri ATR/BPN segera meredistribusikan tanah-tanah terlantar yang mencapai 7 juta hektar untuk petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Vonis penjara terhadap 8 orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut adalah kriminalisasi

Aksi Masyarakat Masyarakat Adat Suku Soge di depan Kantor Polsek Sikka, Rabu, 7 Februari 2024 lalu. [Foto: Istimewa]
Aksi Masyarakat Masyarakat Adat Suku Soge di depan Kantor Polsek Sikka, Rabu, 7 Februari 2024 lalu. [Foto: Istimewa]

Konsorsium Pembaruan Agraria mengecam keras vonis penjara terhadap 8 (delapan) orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut. Pengadilan Negeri (PN) Maumere dengan nomor perkara 1/pid.b/2025/PN menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada warga. Warga merupakan korban kriminalisasi dengan tuduhan mencabut dan merusak plang milik perusahaan yang berada di bawah Keuskupan Maumere tersebut.

“Vonis penjara ini merupakan tindak kriminalisasi dan teror negara terhadap masyarakat yang sedang mempertahankan tanah dan wilayah adat mereka dari upaya perampasan. Faktanya, masyarakat merupakan korban perampasan tanah,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, dalam pernyataan sikap, diakses Rabu, 2 April 2025.

Pada 24 Juli 2024, perusahaan melakukan penggusuran paksa di Pedan Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Sebanyak 142 pohon dan tanaman warga yang merupakan sumber penghidupannya selama ini rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Pada peristiwa itu, masyarakat melakukan upaya perlawanan untuk mempertahankan tanah mereka. Salah satunya dengan merusak plang milik perusahaan yang menjadi alasan perusahaan mengkriminalisasi 8 warga. Mereka ditahan sejak Oktober 2024 hingga menerima putusan saat ini.

Putusan ini menciderai rasa keadilan dan hukum bagi Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut dalam mempertanahkan hak hidup, hak atas tanah, hak perlindungan keamanan serta hak memperoleh penghidupan dari sumber-sumber agraria. Terlebih putusan tersebut melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kewenangan hukum majelis hakim.

Putusan ini juga menandakan ketidakpahaman JPU dan Hakim PN Maumere dalam mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim abai terhadap UUD 1945 tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Pokok Agraria 1950 tentang Hak atas Tanah, serta Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

Ini adalah penyimpangan dari asas hukum yang berlaku, serta berpotensi memperburuk ketimpangan akses keadilan bagi masyarakat adat yang sering kali menjadi korban konflik agraria dengan korporasi. Putusan ini juga mengabaikan fakta-fakta hukum yang menunjukkan bahwa masyarakat adat dalam perkara ini hanya berusaha mempertahankan tanah leluhur mereka dari perampasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh pihak Korporasi.

Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut mencerminkan gagalnya negara dalam menyelesaikan konflik agraria. Dalam catatan KPA, sebanyak 2.964 petani, masyarakat adat dan aktivis agraria dikriminalisasi karena mempertahankan konstitusionalitasnya atas tanah. Tingginya konflik agraria dan kekerasan yang mengikutinya menandakan bahwa kementerian/lembaga ibarat mesin mogok dalam menuntaskan masalah konflik agraria dan wilayah adat hingga ke akarnya.

Penyelesaian konflik kerap menggunakan cara-cara represif melalui aparat keamanan tanpa mengedepankan dialog damai. Negara seharusnya membuka ruang negoisasi yang adil dan solutif, hadir sebagai fasilitator pendekatan kemanusiaan dan memastikan bahwa hak masyarakat adat tidak dikorbankan demi kepentingan perusahaan.

Atas dasar itu maka kami Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dengan tegas;

  1. Menolak hasil Putusan Pengadilan Negeri Maumere dengan Nomor Perkara 1/Pid.B/2025/PN.Mme yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap 8 (delapam) orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut, sebab;
  2. Mendesak Mahkamah Agung atau lembaga peradilan terkait untuk membatalkan dan membebaskan 8 (delapan) orang Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut demi keadilan bagi masyarakat adat sesuai dengan hukum yang berlaku;
  3. Menuntut Mahkamah Agung atau lembaga peradilan terkait untuk melakukan evaluasi menyeuruh terhadap proses-proses peradilan terhadap konflik agraria yang tidak independen dan imparsial, serta menjamin keadilan dan perlindungan bagi petani, masyarakat adat dan nelayan sesuai mandat UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1950;
  4. Menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas tindakannya yang telah menyebabkan konflik agrarian berkepanjangan dengan masyarakat adat, termasuk penguasaan tanah tanpa persetujuan, perusakan lingkungan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat;
  5. Menyerukan solidaritas kepada seluruh elemen masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi masyarakat adat di Nangahale.

Hentikan penggusuran wilayah adat Nanghale!

Penggusuran wilayah adat Nanghale! dilakukan menggunakan ekskavator yang tanpa ampun menghancurkan rumah dan kebun warga.
Penggusuran wilayah adat Nanghale!. (KPA)

Rabu, 22 Januari 2025, kembali terjadi kekerasan dan ledakan konflik agraria di Wilayah Adat Nanghale, Sikka. Perusahaan melakukan penggusuran rumah warga dan merusak tanah serta kebun warga, Hingga sore ini, 50 rumah telah dirubuhkan pihak perusahaan.

Penggusuran tersebut dilakukan dengan menggunakan beberapa ekskavator yang tanpa ampun menghancurkan rumah dan kebun warga. Akibatnya sekitar 200 orang terpaksa tinggal di sekitar bekas reruntuhan rumah mereka untuk bermalam.

“Kami mengutuk keras aksi penggusuran yang dilakukan oleh PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) di wilayah adat Suku Goban Runut dan Suku Soge Natarmage di Nanghale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur,” demikian pernyataan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), diakses Selasa, 28 Januari 2025.

Koalisi menyatakan, peristiwa biadab ini terjadi di saat tengah berlangsung sidang 8 orang warga di PN Maumere, yang merupakan korban kriminalisasi oleh perusahaan. Kriminalisasi ini terkait konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan yang dimiliki keuskupan tersebut. Sebelum kejadian penggusuran hari ini, upaya penggusuran dan tindak kekerasan telah dilakukan beberapa kali oleh pihak perusahaan.

Aksi sepihak perusahaan adalah bentuk kejahatan agraria dan perampasan tanah rakyat. Patut dicatat, bahwa sejak awal penerbitan pembaruan HGU PT Krisama melalui SK HGU Nomor 01/BPN.53/7/2023 cacat administratif, tidak clear and clean sebab tengah menjadi prioritas penyelesaian, dan telah melanggar konstitusionalitas Masyarakat Adat Nanghale.
“Sehingga tindakan perusahaan menggusur masyarakat merupakan operasi ilegal. Terlebih, wilayah yang diklaim secara sepihak oleh perusahaan tersebut merupakan wilayah adat yang diwariskan dan ditempati secara turun-temurun oleh warga,” kata koalisi.

Tindakan perusahaan yang secara brutal terus melakukan penggusuran di tengah proses persidangan merupakan bentuk arogansi pihak perusahaan. Langkah ini sungguh ironis, sebab perusahaan yang dimiliki oleh Keuskupan Maumere yang seharusnya melindungi masyarakat, dan mengedepakan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah sikap pemerintah, yang seolah tutup mata atas tindakan kejahatan agraria yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Padahal, tidak sekali dua kali pihak perusahaan melakukan aksi sepihak menggusur masyarakat, termasuk tindakan-tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat.

Sebab, penggusuran yang dilakukan oleh kelompok sewaan pihak perusahaan, turut disaksikan oleh perwakilan Pemda Sikka, kepolisian, TNI dan Satpol PP, dengan tanpa ada upaya berarti melakukan pencegahan. Sikap ini menandakan keberpihakan pemerintah dan aparat kepada pihak perusahaan, alih-alih melindungi masyarakat. Patut diduga kuat ada praktek-praktek korup, kolutif dan manipulatif diantara pihak perusahaan dengan pemerintah.

Berkaca dari konflik agraria ini, permasalahan HGU perkebunan di Indonesia sudah saatnya dievalusi secara menyeluruh, sebab HGU-HGU tersebut banyak yang diperoleh dari hasil perampasan tanah masyarakat.

KPA mencatat sepanjang tahun 2024, ada 111 letusan konflik agraria akibat konsesi perkebunan. Parahnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2015-2014), konflik agraria perkebunan selalu menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi di seluruh sektor, dengan total 1.242 letusan konflik agraria. Hal ini mendakan ada masalah fundamental dan akut terkait dengan penerbitan, perpanjangan dan pembaruan HGU di Indonesia.

Atas situasi di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria bersama seluruh organisasi anggota mendesak Presiden, Menteri ATR/BPN RI, Menteri HAM, POLRI, TNI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Gubernur, Bupati dan DPRD, sesuai kewenangannya masing-masing untuk:

Segera menghentikan aksi penggusuran dan tindak kekerasan yang dilakukan PT Krisrama terhadap masyarakat;

Mengusut tuntas dan tangkap pelaku tindak pidana penggusuran dan penganiayaan, serta operasi illegal yang dilakukan PT Krisrama di atas wilayah adat;

Membebaskan 8 orang masyarakat adat Nanghale yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah adatnya, sekaligus lakukan pemulihan nama baik korban;

Membatalkan dan cabut SK pembaruan HGU PT. Kisrama, dan segera lakukan pemulihan hak atas tanah dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria bagi Masyarakat Adat Naghale;

Mendorong pemulihan pasca penggusuran berupa pembangunan rumah kembali dan penggantian kerugian materi dan non-materil, termasuk pemulihan dari rasa trauma khususnya bagi orang tua, perempuan dan anak korban penggusuran, intimidasi dan kekerasan;

Secara umum, jajaran Polri dan TNI di daerah ditarik dari wilayah konflik agraria, baik di Nanghale Sikka maupun di daerah lainnya di NTT, dan segera menghentikan cara-cara represif dan intimidatif kepada rakyat yang sedang membela dan mempertahankan tanahnya, sebaliknya aparat harus memiliki keberpihakan dan penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan serta keadilan sosial bagi rakyat;

Moratorium proses penerbitan, perpanjangan dan pembaruan HGU/HGB di NTT, lakukan penyelesaian konflik agraria dan pulihkan hak-hak rakat atas tanah dalam bingkai Reforma Agraria sesuai mandat Konstitusi, UUPA 1960, TAP IX/2001 tentang PA-PSDA dan Perpres 62/2023 tentang Reforma Agraria;

Kami juga menyampaikan pesan solidaritas dan dukungan sepenuhnya kepada seluruh Pejuang Agraria dan Masyarakat Adat Suku Goban Runut dan Suku Soge Natarmage atas perjuangannya mempertahankan hak atas tanah dan wilayah adatnya.

Home Maps Network Search