Perempuan Papua berperan menjaga tanah dan hutan adat

perempuan papua Masyarakat adat Suku-Awyu-di-Distrik-Fofi-Kab.-Boven-Digoel
Masyarakat adat Suku Awyu di Distrik Fofi Kab Boven Digoel. (Pustaka Bentala)

Perempuan adat di Tanah Papua memainkan peran krusial dalam menjaga keberlanjutan kehidupan dan kelestarian lingkungan. Mereka bukan hanya pengelola tanah dan hutan adat, tetapi juga penjaga budaya dan generasi yang akan datang.

Masyarakat adat di Papua, yang hidup bersumber dari tanah dan hutan adat, telah lama mengelola lingkungan sekitar mereka dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Pengetahuan ini mencakup cara-cara yang ramah lingkungan dalam bertani, berburu, berkebun, hingga meramu obat-obatan dari tanaman liar.
Praktik ini terintegrasi dengan ritual budaya dan sistem sosial adat yang mengatur kehidupan mereka. Namun, meskipun tanah dan hutan adat merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat adat, hak-hak mereka atas tanah tersebut belum sepenuhnya diakui dan dilindungi oleh negara atau oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam ekonomi dan pembangunan.

Magdalena Kafiar dari KPKC GKI Tanah Papua menekankan bahwa kekayaan alam Papua kini sedang diburu oleh banyak pihak, yang sering kali tidak menghargai hak-hak masyarakat adat. Berbagai investasi dan program pembangunan masuk ke wilayah adat, menggusur masyarakat, dan menghancurkan mata pencaharian mereka.

“Saat ini, kekayaan alam Papua sedang menjadi incaran banyak orang”, ungkap Magda Kafiar, diakses dari pusaka.or.id, Selasa, 14 Oktober 2025.

Magdalena Kafiar berbicara di diskusi dengan tema “Peran Perempuan Adat Memperjuangkan Keberlanjutan Kehidupan dan Lingkungan Hidup” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Asia Justice and Rights (AJAR) dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS).

Selain Magdalena Kafiar, diskusi ini menghadirkan beberapa perempuan adat Papua, seperti Rosita Tecuari dari Organisasi Perempuan Adat Namblong (ORPA), Kabupaten Jayapura, Veronika Manimbu dari Kebar, Kabupaten Tambrauw.

Veronika Manimbu dari Kebar mengatakan, perempuan adat merasakan dampak langsung dari kehadiran perusahaan-perusahaan di Papua. Ia menceritakan pengalamannya berjuang melawan perusahaan yang merusak hutan adat di Kebar.

“Dulu kami bisa berkebun di dekat rumah, tapi sekarang sudah jauh dan sulit dijangkau karena hutan kami sudah digusur,” tambah Veronika.

Perempuan adat di Papua tidak hanya berjuang untuk melindungi tanah mereka, tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat terus bergantung pada sumber daya alam yang telah dikelola dengan bijak selama berabad-abad.

Rosita Tecuari, seorang perempuan adat Namblong, mengungkapkan dengan tegas bahwa perempuan memiliki hak untuk melindungi tanah dan hutan adat.

“Perempuan berperan menjaga tanah dan hutan adat. Saya mempunyai hak melindungi tanah dan hutan adat, karena tanah itu berharga bagi saya sebagai perempuan yang melahirkan generasi yang akan memiliki dan mengelola tanah tersebut”, kata Rosita Tecuari.

Perempuan adat, yang selama ini terlibat langsung dalam menjaga hutan dan tanah adat, merasa perlu untuk berdiri di garis depan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, terutama dalam menghadapi tekanan dari perusahaan-perusahaan besar.

Penelitian AJAR di Papua menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memperluas industri ekstraktif dengan cara yang manipulatif, tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, dan bahkan menyingkirkan perempuan dari konsultasi mengenai penggunaan tanah. Papua sering dianggap sebagai tanah kosong yang bisa dikuasai tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat.

Sornica Ester Lily, dari AJAR, menyatakan bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat sangat penting untuk menghindari pelanggaran hak-hak lainnya.

“Peran masyarakat adat dalam upaya meraih hak atas kebenaran, diperlukan pengakuan masyarakat adat menjadi penting, jika ada penolakan atas pengakuan eksistensi masyarakat adat, hak untuk hidup, maka akan jadi factor sebagai rangkaian pelanggaran hak-hak lainnya, karenanya pengakuan hak itu penting”, ungkap Sornica dari AJAR.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AJAR, dan aktivis perempuan adat dari Papua menyampaikan beberapa rekomendasi penting. Mereka mendesak pemerintah untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah dan hutan adat. Selain itu, mereka menuntut agar pemerintah dan perusahaan menghormati hak masyarakat adat dalam mengelola dan mengembangkan pengetahuan tradisional, budaya, serta sumber daya alam yang mereka miliki.

Perempuan Papua, dengan semangat dan keberanian mereka, terus berjuang di garis depan untuk memastikan keberlanjutan kehidupan dan lingkungan hidup bagi generasi yang akan datang. Dalam perjuangan mereka, perempuan adat tak hanya menjaga tanah dan hutan, tetapi juga melindungi warisan budaya dan pengetahuan yang telah ada sejak leluhur mereka.

Kesaksian, peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan

Pameran “Surga yang Dibisukan” di Kala di Kalijaga, Jakarta, Senin (11/8/2025). © Dhemas Reviyanto/Greenpeace
Pameran “Surga yang Dibisukan” di Kala di Kalijaga, Jakarta, Senin (11/8/2025). © Dhemas Reviyanto/Greenpeace

Greenpeace Indonesia menggelar peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan di KALA di Kalijaga, Jakarta Selatan. Dalam momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang dirayakan setiap 9 Agustus, acara peluncuran buku foto ini menjadi ruang bagi sejumlah Masyarakat Adat Papua dan publik untuk mendiskusikan Papua kini, dulu, dan yang akan datang.

Hadir dalam diskusi ini yakni Maria Amote, perempuan muda adat dari suku Wambon; Enrico Kondologit, antropolog asal Papua; Frengki Albert Saa, Koordinator Bidang Riset dan Inovasi Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Provinsi Papua Barat Daya; dan Widhi Handoyo, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup.

Dalam kesempatan ini, Maria menceritakan kegelisahannya sebagai anak muda adat Papua. Dengan ancaman kerusakan alam yang kian menajam, ia khawatir identitas adat Papua akan perlahan menghilang ditelan waktu.

“Orang tua saya tidak mewariskan harta, mereka hanya mewariskan hutan bagi saya. Kalau sudah tidak ada lagi hutan adat, saya tidak bisa lagi disebut sebagai perempuan adat. Lalu, bagaimana nanti dengan anak cucu saya?” ujar Maria, dalam keterangan resmi, diakses Jumat (5/9/2025).

Dua dekade bekerja di Tanah Papua, Greenpeace menemukan berbagai cerita. Tak hanya kisah tentang keindahan alam yang masih asri terjaga, kerja-kerja Greenpeace di Tanah Papua juga menjadi saksi ketangguhan Masyarakat Adat. Kendati demikian, ancaman kerusakan, terutama dari industri ekstraktif, masih menjadi momok yang menghantui Tanah Papua.

“Kami menyaksikan bagaimana alam Papua yang sebelumnya utuh dan tidak tersentuh, perlahan terancam oleh deforestasi yang semakin nyata dan mengkhawatirkan,” terang Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global Greenpeace untuk Hutan Indonesia.

Di sisi lain, Kiki menyatakan buku ini mendokumentasikan cara hidup Masyarakat Adat di Papua yang telah menjaga kelestarian alam Papua. “Semua yang ada di Tanah Papua, yang disebut surga kecil jatuh ke Bumi itu, bisa hilang jika tidak dijaga betul-betul. Menjaga Tanah Papua menjadi tanggung jawab kolektif berbagai pihak,” lanjut Kiki.

Ajakan untuk memperjuangkan masa depan Tanah Papua sebagai tanggung jawab kolektif juga disampaikan oleh Frengky Albert Saa, Kepala Bidang Riset dan Inovasi Daerah Bapperida Papua Barat Daya.

“Kami akan bergandeng tangan dengan teman-teman mitra pembangunan dan organisasi masyarakat sipil, seperti Greenpeace. Janganlah kita alergi berkolaborasi,” ujar Frengky.

Mewakili Kementerian Lingkungan Hidup, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor, Widhi Handoyo, menyampaikan pentingnya kolaborasi untuk mencari solusi bagaimana melindungi lingkungan hidup sembari mengembangkan potensi yang menjadi kekuatan utama di Tanah Papua.

Ia mencontohkan kawasan Raja Ampat yang secara tata ruang memiliki fungsi lindung hingga lebih dari 70 persen.

“Bayangkan jika satu wilayah saja memiliki fungsi lindung sedemikian besar, artinya prioritas pengembangan wilayahnya harus berbasis kondisi di lapangan, misalnya dengan sektor perikanan dan pariwisata yang menjadi fokusnya sesuai dengan potensi utama yang dimiliki,” ujar Widhi.

Buku foto Surga yang Dibisukan memuat empat segmen yang merangkum aspek kehidupan Masyarakat Adat dan komunitas lokal di Tanah Papua. Mulai dari cerita tentang budaya dan keseharian Masyarakat Adat, visual kekayaan biodiversitas yang khas, hingga ancaman kerusakan lingkungan yang mengintai Tanah Papua dan dokumentasi praktik baik dari upaya membangun solusi untuk masa depan Tanah Papua. Beberapa foto pilihan dipamerkan di area peluncuran.

Sebagai seorang antropolog, Enrico menyatakan bahwa keragaman perspektif yang ditampilkan dalam buku Surga yang Dibisukan ini tidak hanya penting untuk orang yang ada di luar Papua, tapi juga penting bagi orang Papua.
“Antropologi visual, seperti yang coba dilakukan dalam buku foto ini, adalah salah satu jawaban untuk memberikan informasi pada Masyarakat Papua agar kami bisa mengambil langkah kongkrit untuk masa depan Papua,” kata Enrico.

Tak hanya pameran, penampilan musik dari grup musisi asal Papua, Sunrise West Papua, dan grup musik Navicula turut meramaikan semarak peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan. Sore itu, Navicula membawakan lagu baru mereka bertajuk “Papua” yang diciptakan sebagai persembahan bagi tanah serta masyarakat Papua.

Peluncuran buku foto Surga yang Dibisukan diharapkan dapat menjadi gerbang awal untuk membuka ruang-ruang baru diskusi tentang masa depan Papua. Terkait aspirasinya untuk masa depan Papua, Maria berharap:

“Menteri Lingkungan Hidup mungkin bisa melihat apa yang menjadi hak dan harapan dari Masyarakat Adat. Bagi kami, hutan adalah ibu. Jati diri kami adalah kami lahir dan tumbuh di tanah kami. Kami minta dari pemerintah untuk melihat dan membantu kami masyarakat.”

Kesadaran kolektif bisa jadi kunci atasi masalah sampah di Kota Sorong

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan Kota Sorong sebagai salah satu dari lima kota terkotor di Indonesia untuk kategori kota sedang. Predikat ini sebagian besar disebabkan oleh kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sorong yang saat itu dinilai tidak memadai dalam pengelolaan sampah secara komprehensif.

TPA Kota Sorong yang terletak di Jalan Sorong-Makbon, Kelurahan Matalamagi, Distrik Sorong Utara, Kota Sorong Papua Barat Daya, menampung lebih dari 60 ton sampah setiap harinya. Aroma menyengat dan pemandangan sampah yang bertebaran di sepanjang jalan menuju lokasi menjadi gambaran nyata masalah sampah di kota ini.

Berjarak sekitar 10 kilometer dari Bandara DEO Sorong, tempat ini menjadi tujuan akhir dari puluhan ton sampah yang diproduksi warga kota setiap harinya.

Tumpukan sampah di TPA Kota Sorong. (Foto:Mega/TN)

Perjalanan menuju TPA sudah bisa ditebak hanya dari ciri khas aroma menyengat yang terbawa angin, bersamaan dengan lalu-lalang truk-truk sampah yang penuh sesak membawa “muatan kotor” dari seluruh penjuru kota.

Sepanjang jalan nasional menuju lokasi, sampah berceceran di sisi kiri dan kanan jalan, menjadi penanda tak resmi bahwa TPA sudah dekat.

Dahulu, sistem pembuangan di TPA Sorong tergolong seadanya. Sampah hanya ditumpuk di pinggir jalan, mencemari pemandangan sekaligus berpotensi merusak kualitas udara dan tanah di sekitarnya. Situasi ini menjadi salah satu indikator utama yang membuat Sorong mendapat sorotan dari KLHK.

Awal 2024 membawa angin perubahan. Pada 2 Februari 2024, Pj. Wali Kota Sorong saat itu, Septinus Lobat (kini Wali Kota definitif), meresmikan TPA baru yang dibangun lebih jauh dari badan jalan dengan sistem yang lebih terkelola. TPA ini berdiri di atas lahan seluas 10 hektare dan dilengkapi satu sel landfill aktif.

Pembangunan TPA ini merupakan hasil kolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah Papua Barat dengan anggaran tahun 2023. Sistem pembuangan di TPA kini lebih teratur. Setiap lapisan sampah setinggi satu meter langsung dipadatkan dengan alat berat, kemudian air lindi dialirkan ke kolam instalasi pengolahan untuk menetralkan pH agar tidak mencemari lingkungan.

Air lindi, atau leachate, adalah limbah cair yang terbentuk ketika air hujan atau cairan lain merembes melalui timbunan sampah padat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pantauan media ini menunjukkan aktivitas di TPA Sorong sangat padat. Truk-truk sampah dari berbagai penjuru kota, termasuk dari hotel dan sektor usaha, datang silih berganti. Proses pembuangan dilakukan dengan pengawasan ketat petugas dan bantuan operator alat berat untuk mengarahkan sampah ke kolam pembuangan utama.

Meski TPA Sorong kini lebih modern, masalah utama tetap ada, volume sampah yang terus meningkat. Setiap hari lebih dari 60 ton sampah masuk, sebagian besar merupakan sampah rumah tangga yang bercampur tanpa dipilah.

Sejumlah warga sejak pagi memulung sampah yang masih bisa dimanfaatkan. (Foto:Mega/TN)Paket liburan keluarga

TPA Makbon tak hanya menjadi tempat akhir limbah kota, tetapi juga menjadi ladang pencarian nafkah bagi sejumlah warga. Sejak pagi hingga sore, terlihat warga yang memulung kaleng, botol plastik, hingga sisa makanan dari pasar untuk pakan ternak seperti babi.

Predikat sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia menjadi cambuk sekaligus tantangan serius bagi Kota Sorong. Namun menurut Plt. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Sorong, Ahmad Yani, hal ini bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Seluruh lapisan masyarakat, katanya, harus ikut andil mengembalikan citra Sorong sebagai kota yang bersih dan tertib.

“Jangan sampai kita terbawa persepsi bahwa Sorong itu kota kotor. Mari kita koreksi diri kita masing-masing. Bisa jadi, kebiasaan buruk kita sendiri yang menyumbang masalah ini,” tegas Ahmad Yani.

Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan pengelolaan sampah di Kota Sorong belum optimal. Yang paling mendasar adalah soal mindset dan kesadaran masyarakat.

“Masyarakat masih terbiasa membuang sampah sembarangan. Bahkan menganggap tempat sampah itu tempat kotor. Padahal, tempat sampah justru harus dijaga kebersihannya,” jelasnya.

Dari data DLH, jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Sorong saat ini mencapai sekitar 60 ton per hari, dengan limbah rumah tangga sebagai penyumbang terbesar.

Pemerintah Kota Sorong, katanya, sudah mendapat sejumlah tawaran untuk membangun TPS terpadu, namun masih dalam tahap pertimbangan. Fokus utama saat ini adalah membangun kesadaran dari lingkup terkecil, yaitu keluarga.

“Kita akan programkan agar setiap rumah memiliki tempat sampah terpilah, untuk organik dan non-organik. Tujuannya agar dari hulu, sampah sudah bisa dikelola dengan benar,” ungkap Ahmad Yani.

Sebagai pejabat baru yang diangkat sejak Juni 2025, Ahmad Yani menargetkan akan aktif turun ke masyarakat, sekolah, dan kelurahan untuk melakukan sosialisasi langsung.

“Setidaknya, kita mulai dari lingkungan terdekat. Misalnya, RT bisa menggelar lomba kebersihan lingkungan agar semangat gotong royong tumbuh,” usulnya.

Sistem Operasional TPA

Setiap hari, ratusan petugas kebersihan sudah bersiap. Mereka mengoperasikan 18 dump truck dan 4 arm roll, membagi kota ke dalam tiga zona kerja: Kampung Baru, tengah kota, dan daerah kilo.

Menurut Yehezkiel Adi, Pengawas Kebersihan DLH Sorong, sistem ini sudah berjalan bertahun-tahun dengan disiplin tinggi. Armada pengangkut bisa melakukan 2–4 kali ritase per hari, tergantung kondisi lapangan. Tercatat ada 21 kontainer yang tersebar di berbagai titik kota

“Kalau hari raya atau banjir, kita bisa angkut empat kali. Kami juga patroli setelah jam kerja karena banyak TPS penuh kembali dalam hitungan jam,” katanya.

Yehezkiel mengungkapkan, tidak semua TPS memiliki frekuensi pengangkutan yang sama. Kontainer di tempat seperti rumah sakit, toko-toko, dan hotel biasanya hanya penuh dalam waktu satu hingga dua hari. Tapi kondisi berbeda ditemukan di TPS yang terletak di titik-titik padat aktivitas penduduk.

“TPS di Klabala, Arteri, Pal Putih, dan area Mangrove, itu harus diangkat tiap hari. Kadang baru saja diangkut pagi, sore sudah penuh lagi,” tutur Yehezkiel.

Meski beroperasi dalam tekanan waktu dan volume sampah yang kadang tak menentu, Yehezkiel menyebut tidak ada tantangan berat yang menghambat kerja lapangan. Semua berjalan karena kekompakan tim dan kesiapan teknis yang baik.

“Kalau ada sopir yang absen atau kendaraan rusak, kami cepat atasi. Kami nggak nunggu lama. Intinya semua petugas tahu peran dan tanggung jawabnya,” tegasnya.

Jam kerja resmi dimulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 15.00 sore. Namun, sebagian besar jalur biasanya rampung hingga pukul 12.00. Setelah itu, petugas diberi waktu istirahat dan makan siang, lalu dilanjutkan dengan patroli ke titik-titik rawan tumpukan sampah.

“Kami tidak hanya angkut lalu selesai. Ada pengawasan setelahnya. Apalagi titik rawan itu kadang muncul lagi sampah hanya dalam hitungan jam,” imbuh Yehezkiel.

Sayangnya, tantangan terbesar justru datang bukan dari teknis atau cuaca ekstrem. Tantangan yang paling sulit diatasi justru adalah perilaku masyarakat itu sendiri.

“Kami sudah pasang papan informasi soal jam buang sampah di TPS. Tapi banyak masyarakat yang buang di luar jam, bahkan sembarangan. Sampai kami angkut pun masih ada warga datang buang seenaknya,” kata Yehezkiel, lirih.

Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan, menurutnya, masih belum merata di kalangan warga. Padahal, jika masyarakat mengikuti aturan waktu dan tempat buang sampah, pekerjaan para petugas akan lebih efisien dan lingkungan kota bisa lebih tertata.

Yehezkiel menambahkan, hingga saat ini belum ada alat timbang khusus yang digunakan untuk mengukur volume sampah yang diangkut tiap truk. Karena itu, penghitungan hanya menggunakan satuan ritase, yakni satu rit dianggap sebagai satu kali pengangkutan penuh truk.

Di balik semua itu, ada 141 orang yang menjalankan sistem ini, mulai dari sopir, helper, operator, mekanik, petugas jaga hingga staf pendukung. Merekalah garda terdepan yang memastikan kota tidak tenggelam dalam tumpukan sampah.

Dari Lorong-lorong Permukiman, Gerakan Warga Dimulai

Di tengah hiruk-pikuk Kota Sorong yang terus berkembang, suara perubahan diam-diam datang dari lorong-lorong permukiman. Bukan dari gedung pemerintahan, tapi dari seorang pegiat lingkungan yang lebih dikenal warga dengan sapaan hangat: Mas Lingkungan. 

Nama aslinya Eko Rianto. Dari rumah sederhananya di Komplek Melati Raya, Eko memulai langkah kecil yang kini telah menggerakkan ribuan warga untuk lebih peduli terhadap lingkungan, khususnya persoalan sampah.

Dari Forum ke Yayasan

Perjalanan ini dimulai pada tahun 2010, ketika Eko bersama sejumlah relawan membentuk Forum Komunikasi Gerakan Aksi Lingkungan. Awalnya digagas oleh Pemerintah Kota Sorong, namun sejak 2013 mereka memutuskan untuk berdiri secara mandiri dan menamakan diri Komunitas Peduli Lingkungan.

“Kami ingin bergerak lebih bebas. Lebih leluasa menyampaikan dan mengeksekusi ide-ide,” tutur Eko.

Tahun 2019, komunitas ini resmi berbadan hukum sebagai Yayasan Sorong Peduli Lingkungan dengan SK dari Kemenkumham RI, dan kini tercatat di Kesbangpol Kota Sorong.

Yayasan ini bekerja di lima bidang utama, yakni sampah, air, penghijauan, pengawasan, serta konservasi tumbuhan dan satwa liar. Namun, isu sampah menjadi prioritas utama.

“Masalah sampah ini bukan cuma soal tumpukan. Ini tentang kesadaran. Tentang perubahan budaya,” tegas Eko.

Motivasi Eko sederhana, menjadi jembatan solusi bagi masyarakat. Mulai dari edukasi, pembentukan dan penataan TPS, hingga pengolahan sampah berbasis rumah tangga.

Salah satu pendekatan yayasan adalah edukasi lingkungan yang menyasar berbagai lapisan masyarakat dari anak usia dini, pelajar, mahasiswa, hingga warga umum. Mereka mengajarkan praktik pemilahan sampah, membuat ecobrick, dan mendaur ulang sampah plastik menjadi barang bermanfaat.

anak-anak diajarkan membuat ecobrick menjadi barang bermanfaat. Doc: Yayasan Sorong Peduli Lingkungan

“Di TPQ Al-Fatah, adik-adik kami ajarkan membuat ecobrick. Di Malasom dan Malawei kami edukasi warga soal pengelolaan sampah rumah tangga. Semua dilakukan bertahap dan konsisten,” ujar Eko.

Untuk sekolah, program sudah berjalan di MAN Insan Cendekia Kabupaten Sorong, SD di dekat Tugu Pawbili, Al-Izzah, dan SMP Alam Inspirasi. Bahkan, mereka mendorong sekolah binaannya mengikuti Proklim—Program Kampung Iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selain edukasi, Eko juga menjalankan Bank Sampah Unit Melati Raya, di rumahnya sendiri. Di tempat ini, masyarakat bisa menabung sampah seperti botol plastik, kardus, dan kertas, yang kemudian dikumpulkan dan dijual ke pengepul. Hasilnya, warga tidak hanya membantu menjaga lingkungan, tetapi juga mendapatkan penghasilan tambahan.

“Kami tidak punya armada angkut atau gudang, semua serba terbatas. Tapi kami yakin, selama semangat ada, jalan akan terbuka,” katanya dengan senyum.

Perubahan nyata mulai tampak. TPS di Kelurahan Klasabi dan Kladufuk yang dulu kotor dan tidak terurus kini sudah rapi, tidak bau, dan bahkan membuka lapangan kerja. Di Melati Raya, jumlah penjaga TPS bertambah dari satu menjadi empat orang, dengan pendapatan harian sekitar Rp150 ribu.

Namun Eko tak mau cepat puas. “Tantangan kami sekarang adalah bagaimana sistem seperti ini bisa diterapkan di seluruh Kota Sorong. Tapi kami sadar, semua itu proses dan butuh kolaborasi,”katanya.

Di balik semua pencapaian, tantangan terbesar tetap sama, yakni minimnya pendanaan dan kesadaran masyarakat. Hingga kini, yayasan belum memiliki donor tetap. Semua kegiatan berjalan secara swadaya.

Menurutnya, kesadaran warga pun belum sepenuhnya tumbuh. Ajakan tidak membuang sampah sembarangan, kadang tidak diindahkan. Bahkan di bantaran kali, masih ada warga yang membuang sampah meski sudah diberi himbauan.

“Bukan tidak peduli. Kadang mereka hanya belum terbiasa. Di sinilah kami hadir, bukan untuk menggurui, tapi mendampingi,” tegas Eko.

Di tengah segala keterbatasan, Eko dan tim tidak kehilangan harapan. Ia bermimpi Sorong punya sistem persampahan yang rapi, TPS-TPS yang bersih dan produktif, serta warga yang sadar memilah sampah dari rumah.

“Kami ingin, tak perlu jauh-jauh. Dari rumah saja warga sudah bisa memilah. Jangan buang sampah ke kali. Jangan bakar sampah di pekarangan. Kalau punya mobil bagus, masa buang sampah di jalan? Bawa saja ke TPS.”

Ia juga berharap lebih banyak pihak ikut mendukung, dari masyarakat, komunitas, hingga stakeholder yang bisa memberikan dukungan nyata.

“Bagi kami, semangat harus jalan dulu. Kalau sudah bergerak, Tuhan pasti bukakan jalan dan mempertemukan dengan orang-orang baik yang punya visi yang sama,”tutupnya.

Akademisi dan Aksi Nyata: Saat Kampus Turun Tangan

Kaprodi Teknik Lingkungan Universitas Al-Amin (Unamin) Sorong, Nurbiah, mengungkapkan kondisi pengelolaan sampah di Kota Sorong yang dinilainya masih belum terpadu dan jauh dari prinsip pengelolaan berkelanjutan.

Ia menyampaikan bahwa data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sorong tahun 2023 menunjukkan bahwa mayoritas sampah yang dihasilkan adalah sampah organik.

“Sampah organik mendominasi dengan persentase sekitar 55 persen dari total timbulan sampah,” ungkap Nurbiah.

“Setelah itu diikuti oleh sampah plastik sebanyak 28 persen, kertas 5 persen, logam 5 persen, dan sampah B3 rumah tangga sekitar 3 persen,”tambahnya.

Tumpukan sampah di TPA Kota Sorong . (Foto:Mega/TN)

Sumber utama sampah pun disebut berasal dari rumah tangga, yang menyumbang hingga 60 persen dari total timbulan sampah. Disusul oleh pasar dan pusat perbelanjaan (20 persen), sekolah dan perkantoran (10 persen), serta kawasan wisata dan pelabuhan (5 persen) dan industri kecil (5 persen).

Menurut Nurbiah, permasalahan terbesar dalam pengelolaan sampah di Kota Sorong adalah tidaknya adanya sistem yang terpadu dan terstruktur. Ia menyoroti beberapa isu utama yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah maupun masyarakat, di mana masih banyak pembakaran sampah secara sembarangan, rendahnya tingkat daur ulang di rumah tangga, minimnya edukasi dan kampanye pengelolaan sampah kepada masyarakat, banyaknya TPS liar yang tidak ditangani serius.

“Di rumah-rumah pun, belum tentu ada kemauan untuk memilah sampah. Banyak warga belum sadar pentingnya pemilahan dan daur ulang,” tambahnya.

Sebagai akademisi, pihaknya juga telah melakukan riset terhadap pengelolaan sampah di Pasar Remu, menggunakan acuan SNI 192454:2022. Hasilnya menunjukkan bahwa pasar tersebut belum memenuhi standar nasional dalam pengelolaan sampah.

“Temuan kami menunjukkan bahwa sistem di Pasar Remu masih jauh dari standar nasional. Hal ini harus menjadi perhatian serius, mengingat pasar adalah salah satu penghasil sampah terbesar setelah rumah tangga,” ujarnya.

Dalam pandangan Nurbiah, pengelolaan sampah yang efektif bisa dimulai dari langkah-langkah yang sederhana namun strategis. Adapun beberapa solusi yang ia tawarkan yakni pemetaan dan Penertiban TPS Liar. Di mana Lokasi TPS ilegal harus diidentifikasi dan segera ditertibkan. Pemerintah perlu melegalkan dan memperkuat keberadaan TPS resmi, disertai sanksi tegas bagi pelanggar.

Selanjutnya kampanye edukasi lingkungan berupa sosialisasi intensif perlu dilakukan ke sekolah, kampus, serta RT/RW guna membangun kesadaran kolektif masyarakat sejak dini.
Kemudian program satu rumah, satu tempat sampah terpilah, dengan mendorong setiap rumah tangga untuk memilah sampah sejak dari sumbernya.

Menurutnya, program ini dapat mengurangi timbulan sampah sembarangan dan mendorong budaya daur ulang.

Sebagai bagian dari tanggung jawab akademik, Fakultas Teknik Unamin telah menjalankan program Work Clean Day. Kegiatan ini melibatkan mahasiswa dalam pelatihan, sosialisasi, dan aksi bersih-bersih lingkungan langsung di tengah masyarakat.

“Kami bekali mahasiswa dengan pemahaman dan keterampilan, lalu mereka terjun langsung mengedukasi masyarakat serta melakukan aksi nyata,” jelasnya.

Menurut Nurbiah, kondisi pengelolaan sampah saat ini masih belum memungkinkan Kota Sorong untuk menerapkan konsep zero waste secara penuh. Ia menilai bahwa praktik dasar seperti pemilahan sampah di rumah bahkan belum dijalankan secara konsisten.

“Kalau kita lihat, bahkan di pusat perbelanjaan masih menggunakan kantong plastik. Padahal, upaya menuju zero waste bisa dimulai dari hal sederhana seperti membawa tas belanja sendiri dan menghindari plastik sekali pakai,” tutupnya.

Ketika Warga Memilih Tidak Menunggu Pemerintah

Tepat di belakang taman kota tua yang menjadi saksi sejarah berdirinya Kota Sorong, berdiri sebuah tumpukan sampah yang perlahan menjadi simbol ironi. Taman Moses, tugu yang dibangun sejak tahun 1960-an bersebelahan langsung dengan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang kini menjadi titik krisis lingkungan di Kelurahan Klabala, Distrik Sorong Kota.

Di tengah keterbatasan pengawasan, seorang warga seperti Elisa Urath memilih untuk bertindak. Elisa Urath, adalah seorang pemuda asli kelurahan Klabala, telah lebih dari dua tahun menjadi penjaga tak resmi TPS tersebut.

Tanpa digaji, tanpa seragam, tanpa jabatan formal. Namun tekadnya satu, yakni menjaga lingkungan tempat ia dilahirkan agar tak terus tercemar oleh ketidakpedulian baik dari warga maupun dari pemerintah.

Elisa kerap berdiri di sekitar TPS untuk menegur setiap warga yang membuang sampah sembarangan. (Foto:Mega/TN)

“Kami ini anak-anak muda yang peduli lingkungan, bukan karena ada anggaran, tapi karena ini kelurahan kami. Saya sudah dari tahun 2022 di sini. Ini taman kota pertama di Sorong, tapi kondisinya sangat menyedihkan,” ujar Elisa kepada Teropong News, saat ditemui di sekitar area TPS yang kini dipalang sebagian oleh warga.

Ironisnya, hanya beberapa meter dari taman yang harusnya menjadi ruang publik yang nyaman, tumpukan sampah menggunung, berserakan bahkan ke badan jalan.

TPS tersebut, menurut Elisa, bukan hanya menampung sampah dari warga Klabala, tetapi juga dari kelurahan sekitar. Ditambah lagi, kawasan tersebut termasuk zona komersial berjejer hotel, rumah makan, tempat hiburan malam yang sampahnya dibuang secara masif terutama saat malam hari, setelah aktivitas usaha berakhir.

“Paling banyak dibuang larut malam. Sampah dari warung, tempat hiburan, rumah makan, semua larinya ke sini. Apalagi kalau hujan, baunya menyengat, dan sampah mengalir sampai ke depan jalan,” keluh Elisa.

Penempatan kontainer oleh dinas juga dianggap tidak strategis. Bahkan, armada pengangkut sampah kerap terkendala karena adanya pemalangan dari warga yang menurut Elisa justru dilakukan untuk mengatur lalu lintas pembuangan.

Aktivitas warga membuang sampah di TPS Klabala. (Foto:Mega/TN)

“Kalau akses jalan ke TPS dibuka, maka warga yang lewat hanya lempar sampah begitu saja. Kadang tidak masuk ke kontainer, akhirnya berserakan ke jalan. Jadi kami palang agar kendaraan tidak sembarangan buang,” ujarnya.

Namun di sisi lain, pemalangan tersebut justru membuat truk pengangkut sulit masuk. Akibatnya, sampah menumpuk dan tak diangkut selama berhari-hari. Sebuah lingkaran setan yang tak kunjung diputus. Elisa juga menyayangkan sikap kelurahan yang menurutnya sangat dekat secara geografis, namun sangat jauh dari segi tanggung jawab.

“Padahal jaraknya dari kelurahan ke TPS tidak sampai satu kilometer, tapi tidak ada pengawasan. Tidak ada tanggapan. Padahal ini wajah kota,”ungkapnya.

Ia menekankan bahwa sebagai pintu masuk ke Papua, Sorong seharusnya tampil bersih dan rapi, bukan justru menyuguhkan pemandangan gunungan sampah kepada para tamu yang datang dari luar kota.

“Coba bayangkan, ini dekat hotel. Kalau pejabat atau tamu luar kota datang, mereka pasti lihat. Bagaimana nama baik kita? Ini TPS paling brutal dan terburuk,” katanya tegas.

Elisa bersama rekan-rekannya memilih bertindak. Ia kerap berdiri di tepi jalan, menegur setiap warga yang membuang sampah sembarangan. “Om, maju sedikit. Jangan buang di situ,” katanya menirukan suaranya saat menegur.

Di akhir wawancara, Elisa menyerukan satu hal yakni pemerintah harus datang langsung melihat.

“Tinjau langsung ke lapangan, jangan cuma duduk di belakang meja. Kita butuh sistem pengelolaan sampah yang teratur. Kontainer harus diletakkan di tempat yang bisa dijangkau truk. Akses jalan harus disesuaikan agar warga tidak buang sembarangan,” pungkasnya. [Mega Wati]

Reportase ini didukung oleh Ekuatorial.Com bersama Earth Journalism Network – Internews. Pertama kali terbit di TeropongNews.Com

7 wilayah di Papua desak pengesahan RUU Masyarakat Adat

Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Papua di Sorong. (Foto: Aldo Rio / Greenpeace)
Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Papua di Sorong. (Foto: Aldo Rio / Greenpeace)

Desakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat kembali bergaung. Kali ini dari Kota Sorong, Papua Barat Daya. Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Region Papua menyelenggarakan konsultasi publik pada tanggal 31 Juli 2025. Acara yang digelar untuk membuka ruang partisipasi publik dalam proses legislasi RUU Masyarakat Adat ini melahirkan Deklarasi 7 Wilayah Adat Tanah Papua di Sorong.

Melalui deklarasi ini, masyarakat adat di 7 wilayah adat di Tanah Papua yang hadir dalam konsultasi publik ini mendeklarasikan dua poin pernyataan sikap.

Pertama, bahwa mereka mendesak Badan Legislasi DPR RI untuk mengakomodasi hasil-hasil konsultasi publik RUU Masyarakat Adat Region Papua sebagaimana yang terlampir pada deklarasi ini.

Kedua, mereka juga mendesak Presiden RI, Prabowo Subianto beserta pimpinan DPR RI untuk segera mengesahkan UU Masyarakat Adat dalam masa sidang tahun 2025.

“Berbagai peraturan yang ada selalu dibenturkan mengenai keberadaan masyarakat adat dan ruang hidupnya. RUU MA diharapkan bisa menganulir kompleksitas pengkauan masyarakat adat yang selama ini menemui banyak hambatan,” kata Erasmus Cahyadi, Sekretaris Jendral AMAN, Sorong, 31 Juli 2025.

Hampir dua dekade sejak pertama kali diusulkan tahun 2009, RUU Masyarakat Adat masih belum juga disahkan. Sepanjang itu pula, masyarakat adat tak kunjung mendapatkan pelindungan hukum. Padahal, RUU Masyarakat Adat sudah tiga kali masuk ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) pada 2014, 2024, dan 2025.

Menurut Frida Klassin, perwakilan komunitas masyarakat adat, keterlibatan masyarakat adat dalam perancangan RUU Masyarakat Adat sangat krusial, karena regulasi ini akan sangat berpengaruh pada ruang hidup masyarakat adat yang makin tergerus habis.

“Apa jadinya masyarakat adat kalau tidak ada RUU Masyarakat Adat? Khususnya di Papua, bahasa, marga, dusun, kampung, laut, hingga hutan, itu melekat dengan masyarakat adat. Saya mencatat setiap aspirasi kami yang hidup, kami yang tinggal, kami yang punya. Tanah Papua bukan tanah kosong. Tanah Papua adalah tanah marga,” tegas Frida.

Mengundang pemerintah daerah setempat, akademisi, serta komunitas masyarakat adat di Tanah Papua, konsultasi ini dirancang untuk mewadahi aspirasi dari berbagai sektor. Greenpeace Indonesia ikut mengawal proses konsultasi publik ini sebagai fasilitator.

“Secara khusus, Papua merupakan wilayah dengan keragaman masyarakat adat yang sangat tinggi dan struktur sosial-budaya yang khas. Di tengah ancaman ekspansi industri ekstraktif, pembangunan infrastruktur, dan perubahan tata ruang, kebutuhan akan pelindungan hukum bagi masyarakat adat Papua menjadi sangat mendesak. RUU Masyarakat Adat harus mampu mengakomodasi hak kolektif masyarakat adat Papua dalam kerangka otonomi khusus, pluralisme hukum, serta pengakuan terhadap sistem nilai lokal yang hidup dan dinamis,” ujar Rossy You, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dalam sambutannya, Wakil Gubernur Papua Barat Daya, Ahmad Nausrau, menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat bukan sekadar produk hukum formal, tetapi adalah sarana transformasi keadilan sosial, keadilan ekologis, dan penguatan identitas bangsa.

“Negara harus menjamin bahwa masyarakat adat mendapatkan pelindungan atas tanah dan wilayahnya, atas budayanya, dan atas sistem nilai yang mereka junjung tinggi. Saya mengajak semua pihak untuk menjadikan proses ini sebagai bagian dari gerakan bersama membangun masa depan Papua dan Indonesia yang menghormati keberagaman, menjunjung tinggi keadilan, dan menjaga keberlanjutan hidup di atas tanah leluhur kita bersama,” ujarnya.

Perlawanan masyarakat adat Papua terhadap perampasan tanah dan hutan leluhur

perlawanan ekologis dan spiritual masyarakat adat Suku Awyu di Papua memajang salib merah—yang tampaknya memiliki makna religius dan perlawanan kultural - Dok Walhi Papua
Perlawanan ekologis dan spiritual masyarakat adat Suku Awyu di Papua. (Dok Walhi Papua)

Masyarakat adat Suku Awyu di Papua terus memperlihatkan perlawanan terhadap ekspansi perusahaan sawit yang dinilai merampas tanah adat dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup mereka. Dalam aksi terbaru, masyarakat memasang salib merah di berbagai titik wilayah adat sebagai bentuk perlindungan spiritual atas tanah warisan leluhur.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua, Maikel Peuki, menyebut bahwa aksi ini merupakan pernyataan mendalam yang bersumber dari nilai budaya dan keyakinan masyarakat adat.

“Ini bukan hanya tentang tanah. Ini tentang masa depan anak cucu, tentang warisan moyang, dan tentang ciptaan Tuhan yang harus dijaga. Aksi memasang salib merah adalah bentuk perlawanan ekologis dan spiritual yang sangat bermakna bagi masyarakat Awyu,” ujar Maikel dalam keterangannya kepada media, Minggu (6/7/2025).

WALHI Papua menyatakan bahwa perluasan konsesi perusahaan sawit di wilayah adat Awyu dilakukan tanpa persetujuan penuh masyarakat. Hutan-hutan yang menjadi sumber pangan, obat-obatan alami, serta pengetahuan leluhur kini dalam ancaman serius akibat pembukaan lahan berskala besar.

“Mereka (perusahaan) masuk dengan alat berat, membabat hutan, mengeruk tanah, dan membawa kayu seperti pencuri di siang hari. Semua ini terjadi terang-terangan, dan sayangnya negara belum cukup berpihak kepada masyarakat adat,” kata Maikel.

Masyarakat Suku Awyu yang tersebar di wilayah Boven Digoel dan Mappi terus menggelar aksi damai serta menggugat izin perusahaan melalui jalur hukum. Dukungan datang dari sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, Yayasan Pusaka, dan Greenpeace.

“Perlawanan ini akan terus berjalan, selama hak atas tanah adat tidak diakui dan hutan mereka terus dihancurkan. Ini bukan soal investasi atau pembangunan semata, ini tentang keberlanjutan kehidupan dan keadilan ekologis,” ujar Maikel.

Masyarakat Adat Papua: Moi Sigin tolak perkebunan sawit

Di Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, masyarakat hukum adat Moi Sub Suku Moi Sigin juga menolak kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Penolakan ini disampaikan dalam musyawarah adat yang difasilitasi Dewan Adat Suku Moi dan dihadiri oleh tokoh masyarakat, termasuk Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas Kalami.

Tokoh pemuda adat Moi Sigin, Raymon Klagilit, menyatakan bahwa masyarakat tidak pernah memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan sawit sebelumnya.

“Kami tidak pernah merasakan kesejahteraan. Sebaliknya, masyarakat malah dibebani dengan utang ratusan juta hingga miliaran rupiah akibat pengelolaan plasma yang tidak transparan dan tidak bertanggung jawab,” tegas Raymon, dikutip dari WALHI Papua.

Yakub Klagilit, pemuda adat lainnya, menyampaikan bahwa perusahaan telah menggusur dusun sagu yang menjadi sumber pangan utama masyarakat, tanpa persetujuan masyarakat adat.

“Dusun sagu kami digusur pada Desember 2023, saat kami sedang merayakan Natal. Sampai hari ini, tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk melakukan pemulihan terhadap wilayah tersebut,” ujarnya.

Sadrak Klawen, Sekretaris Dewan Adat Distrik Moi Segen, menekankan pentingnya ketaatan terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi.

“Kami mendesak agar perusahaan yang beroperasi tunduk dan patuh pada regulasi daerah yang menjamin hak masyarakat adat. Terutama soal hak atas 20 persen lahan plasma yang hingga kini tidak jelas pengelolaannya,” kata Sadrak.

Musyawarah adat ini ditutup dengan pembacaan pernyataan sikap masyarakat adat Moi Sigin yang menegaskan penolakan penuh terhadap proyek PSN, serta mendesak pemerintah untuk tidak menerbitkan izin usaha di atas tanah adat tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara layak (FPIC).

Absennya penerapan otonomi khusus Papua membuat hak masyarakat adat terus terpinggirkan

Pegiat lingkungan hidup asli Papua dari Suku Awyu Hendrikus ‘Franky’ Woro (kiri) dan Kasimilus Awe (kanan), mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua kepada perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). (Gusti Tanati/Greenpeace)
Pegiat lingkungan hidup asli Papua dari Suku Awyu Hendrikus ‘Franky’ Woro (kiri) dan Kasimilus Awe (kanan), mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua kepada perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). (Gusti Tanati/Greenpeace)

Keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara kasasi Nomor 458 K/TUN/LH/2024 menjadi penanda terbaru dari ketidakhadiran implementasi nyata Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dalam putusan tertanggal 18 September 2024 itu, majelis hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh perwakilan masyarakat adat Suku Awyu, Hendrikus Woro dari Marga Woro, bersama organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Mereka menggugat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua serta PT Indo Asiana Lestari, atas pemberian izin kelayakan lingkungan hidup untuk rencana pembangunan perkebunan dan pabrik kelapa sawit di atas lahan seluas 36.094 hektar di Distrik Mandobo dan Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan.

Putusan ini bertumpu pada pertimbangan prosedural, bahwa gugatan dinilai diajukan melewati batas waktu yang ditentukan oleh hukum. Gugatan dianggap kedaluwarsa.

Namun, dalam dokumen putusan tersebut tercatat adanya dissenting opinion dari salah satu anggota majelis hakim, Yudi Martono Wahyunadi, yang menyoroti pentingnya menempatkan keadilan substantif di atas keadilan formal.

Proses perizinan, kata Yudi, seharusnya melibatkan masyarakat adat sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, khususnya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (4).

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi dasar izin tersebut juga dipertanyakan. Selain aspek lingkungan, AMDAL seharusnya mencakup dampak sosial, yang dalam kasus ini belum mengakui kerugian yang dialami oleh masyarakat adat Suku Awyu.

Selama ini Suku Awyu telah mengelola dan memanfaatkan wilayah tersebut secara turun-temurun, namun hak-hak mereka untuk berpartisipasi secara bermakna dalam pengambilan keputusan diabaikan.

Implementasi otonomi khusus

Rikardo Simarmata, pengajar dan Kepala Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai kasus ini sebagai gambaran nyata dari absennya implementasi peraturan perundang-undangan tentang otonomi khusus di Papua.

“Disebut absen karena kejadian-kejadian lapangan justru berlangsung sebaliknya, hak-hak masyarakat adat tidak punya legitimasi,” kata Rikardo, dalam diskusi eksaminasi publik atas putusan kasasi tersebut yang digelar di Fakultas Hukum UGM, diakses 7 Juli 2025.

Menurut Rikardo, substansi keadilan dalam konteks Papua seharusnya menjamin pembangunan ekonomi tidak justru mengorbankan masyarakat adat. Padahal, Undang-Undang Otsus Papua memberikan pengakuan yang relatif lengkap terhadap hak-hak masyarakat hukum adat—meliputi hak atas sumber daya alam, pengetahuan lokal, serta sistem peradilan adat.

Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat bahkan telah menetapkan beberapa Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur peradilan adat, pengelolaan hutan berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam, serta hak ulayat masyarakat hukum adat. Namun, menurut Rikardo, semua pengaturan tersebut belum terimplementasi secara konkret.

“Di atas kertas, eksistensi dan validitas hak-hak adat semakin kuat dengan pemberlakuan perdasus tersebut. Dibayangkan tidak ada lagi atau berkurang penguasaan dan penggunaan hak ulayat atau petuanan adat oleh pihak luar tanpa diketahui, disetujui oleh masyarakat hukum adat,” ungkapnya.

Kenyataannya, tanah dan hutan adat masih dengan mudah diklaim sebagai milik negara dan dialihfungsikan untuk kepentingan korporasi.

“Mengapa tanah dan hutan adat masih diabaikan dalam pemberian izin atau hak sementara sesudah ada regulasi otsus Papua?” katanya, retoris.

Ia melanjutkan, gamblangnya karena pengakuan oleh teks-teks hukum itu belum dilanjutkan atau mewujud dalam pembuatan keputusan administratif dalam bentuk surat keputusan penetapan tanah ulayat atau pemberian perizinan di bidang kehutanan.

Situasi ini menempatkan advokasi hak masyarakat adat Papua di persimpangan jalan. Upaya perlindungan bisa ditempuh melalui jalur otonomi khusus dan perdasus, atau melalui kerangka legislasi nasional seperti program perhutanan sosial yang mencakup hutan adat.

Namun, sejak ditetapkannya perdasus pertama pada 2008, belum ada satu pun pengakuan formal terhadap tanah ulayat dan hutan adat di Papua berdasarkan perdasus. Bahkan sebaliknya, belakangan muncul kebijakan pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di atas tanah ulayat.

“Semakin efektif pelaksanaan regulasi semakin berkurang pengabaian hak-hak adat. Kasus gugatan Suku Awyu tidak akan terjadi apabila tanah dan hutan adat sudah diakui sebelum objek sengketa diterbitkan. Orang Awyu menjadi korban dari inefektivitas pelaksanaan undang-undang otsus dan perdasus,” kata Rikardo.

Ia juga menggarisbawahi bahwa putusan kasasi ini tidak menyentuh akar persoalan, yaitu aspek institusional yang memungkinkan izin itu diterbitkan, dan aspek sosial yang membuat masyarakat menolaknya.

Maka, ia merekomendasikan agar pemerintah mempercepat implementasi regulasi otonomi khusus, khususnya dalam bentuk pengakuan administratif dari pemerintah daerah terhadap tanah ulayat.

Di sisi lain, ia meminta pemerintah pusat menyelaraskan kebijakan nasional dengan kerangka otsus. Ia menilai, posisi regulasi nasional saat ini cenderung meniadakan atau mengabaikan otsus.

Tujuh spesies baru lobster air tawar di Papua Barat ditemukan tim peneliti UGM

Lobster spesies yang baru ditemukan tim peneliti UGM. (Foto: Dok.Christian Lukhaup)
Lobster spesies yang baru ditemukan tim peneliti UGM. (Foto: Dok.Christian Lukhaup)

Tujuh spesies baru lobster air tawar genus Cherax dari wilayah Papua Barat ditemukan tim peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Temuan ini semakin memperkaya keanekaragaman hayati Indonesia.

Dalam artikel berjudul “Seven New Species of Crayfish of the Genus Cherax (Crustacea, Decapoda, Parastacidae) from Western New Guinea, Indonesia” yang diterbitkan di jurnal Quartil 2 (Q2) Arthropoda, tim peneliti berhasil mengidentifikasi tujuh spesies baru lobster air tawar genus Cherax dari wilayah Papua Barat. Penelitian ini dipublikasikan secara terbuka pada 6 Juni 2025 dan melibatkan kolaborasi antara UGM, peneliti independen dari Jerman, serta lembaga riset di Berlin.

“Papua adalah hotspot keanekaragaman hayati yang masih menyimpan banyak misteri. Penemuan ini hanya sebagian kecil dari potensi luar biasa yang belum tereksplorasi,” ungkap Rury Eprilurahman, dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus penulis kedua dalam publikasi ini, diakses Minggu (29/6/2025).

Rury menyebutkan ketujuh spesies tersebut, yakni Cherax veritas, Cherax arguni, Cherax kaimana, Cherax nigli, Cherax bomberai, Cherax farhadii, dan Cherax doberai, ditemukan di sejumlah lokasi terpencil di Misool, Kaimana, Fakfak, dan Teluk Bintuni. Semua wilayah ini dikenal sebagai daerah dengan ekosistem air tawar yang masih relatif alami dan belum banyak terjamah aktivitas eksploitasi.
Proses identifikasinya dilakukan secara integratif, menggabungkan pendekatan morfologi dan filogeni molekuler berbasis gen mitokondria 16S dan COI. Pendekatan ini memastikan hasil yang kuat secara ilmiah dan akurat dari sisi taksonomi.

“Kami tidak hanya melihat bentuk tubuh dan warna, tetapi juga membandingkan DNA-nya untuk memastikan bahwa ini benar-benar spesies yang berbeda,” jelas Rury.

Menariknya, sebagian besar spesimen yang diteliti awalnya berasal dari perdagangan akuarium hias internasional. Spesies-spesies ini muncul dengan nama dagang seperti Cherax sp. “Red Cheek”, Cherax sp. “Amethyst”, dan Cherax sp. “Peacock” sebelum diidentifikasi secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan spesies eksotik juga bisa membuka peluang riset keanekaragaman jika dikelola secara kolaboratif dan etis.
Rury menegaskan pentingnya kerja sama antara peneliti dan penghobi hewan air dalam mengungkap keanekaragaman spesies. Beberapa kolektor lokal bahkan terlibat dalam pencarian spesimen di lapangan. “Komunitas pecinta lobster hias justru sering menjadi sumber awal informasi kami, yang kemudian kami tindak lanjuti dengan riset sistematis,” ujarnya.

Dari hasil analisis DNA dan morfologi, ketujuh spesies tersebut tergolong dalam kelompok Cherax bagian utara (northern lineage), yang sebelumnya telah mencakup 28 spesies dan kini bertambah menjadi 35. Klasifikasi ini penting karena menunjukkan bahwa wilayah Papua Barat merupakan pusat evolusi bagi kelompok ini, berbeda dari spesies yang ada di Australia atau Papua Nugini. Masing-masing spesies memiliki ciri khas, baik dari warna tubuh, bentuk capit (chelae), maupun struktur rostrumnya. Ciri morfologis ini menjadi petunjuk penting dalam membedakan spesies baru dari kerabat dekatnya.

“Misalnya Cherax arguni memiliki tubuh dominan biru gelap dengan belang krem, serta capit dengan patch putih transparan yang khas,” kata Rury sambil menunjukkan foto spesimen.

Hasil filogeni molekuler menunjukkan bahwa Cherax arguni merupakan kerabat dekat Cherax bomberai, dengan jarak genetik yang cukup signifikan untuk diklasifikasikan sebagai spesies tersendiri. Analisis ini dilakukan dengan metode Bayesian dan Maximum Likelihood menggunakan data DNA mitokondria. Penanda genetik ini menjadi landasan utama dalam menentukan batas antarspesies secara objektif. Temuan ini memperkuat pentingnya pendekatan genetik dalam taksonomi modern, terutama di wilayah tropis yang biodiversitasnya sangat tinggi.

“Perbedaan pada sekuens DNA mitokondria bisa mencapai 11%, yang menunjukkan adanya isolasi evolusioner yang cukup lama,” ujar Rury.

Penemuan ini sekaligus menunjukkan urgensi konservasi spesies air tawar di Papua yang rentan terhadap eksploitasi dan degradasi habitat. Menurut Rury, banyak dari spesies ini hidup di sungai kecil dan anak-anak sungai yang belum banyak terpetakan secara ekologis. Beberapa di antaranya bahkan baru diketahui dari satu titik lokasi, membuatnya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sekecil apapun. Lokasi asal spesimen tidak sepenuhnya diungkap dalam publikasi demi menjaga kelestarian populasi alami. Ke depan, riset lanjutan dan pemetaan sebaran spesies akan sangat diperlukan untuk mendukung kebijakan konservasi yang berbasis data.

“Kami harus menjaga keseimbangan antara eksplorasi ilmiah dan perlindungan habitat, apalagi banyak dari spesies ini hidup di wilayah yang mulai terjamah aktivitas manusia,” tambah Rury.

Publikasi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan ilmiah tentang keanekaragaman fauna Indonesia, tetapi juga mempertegas posisi UGM sebagai pusat unggulan riset hayati tropis. Terlibatnya Fakultas Biologi UGM dalam proyek lintas negara ini menunjukkan kapasitas akademik yang berdaya saing global.

Dengan publikasi di jurnal bereputasi tinggi, UGM memperlihatkan komitmen terhadap riset yang berpihak pada pelestarian lingkungan dan penguatan basis data biodiversitas nasional. Semangat ini sejalan dengan misi UGM sebagai universitas kerakyatan yang menjunjung tinggi nilai keberlanjutan.

“Kami percaya bahwa sains yang kuat harus berakar pada pemahaman lokal, demi masa depan yang lebih lestari,” pungkas Rury.

Polemik tambang di Pulau Gag, Raja Ampat: ketika konservasi berbenturan dengan ekonomi

Pulau Gag Raja Ampat. (Sumber: WALHI)
Pulau Gag Raja Ampat. (Sumber: WALHI)

Pulau Gag, yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, kembali menjadi sorotan publik setelah pemerintah hanya mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang beroperasi di wilayah tersebut. Satu perusahaan, PT Gag Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk—masih diizinkan beroperasi di lahan seluas 13.136 hektar.

Keputusan ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), karena dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan ekosistem pulau kecil dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI, aktivitas pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. “Operasi pertambangan tidak hanya menghancurkan ekosistem darat tetapi juga mengancam kehidupan bawah laut yang menjadi sumber ekonomi dan pangan bagi masyarakat setempat,” demikian siaran pers WALHI, diakses Rabu, 11 Juni 2025.

WALHI menyatakan, aktivitas tambang di pulau kecil seharusnya tidak diperbolehkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui dengan UU Nomor 1 Tahun 2014. Dalam regulasi tersebut, kegiatan pertambangan di pulau kecil seperti Pulau Gag termasuk dalam kategori kegiatan yang dilarang karena daya dukung lingkungannya yang terbatas.

Preseden hukum juga memperkuat larangan tersebut. Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil adalah bentuk kegiatan yang menimbulkan ancaman sangat berbahaya dan berdampak serius, dengan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.

Maikel Peuki, Direktur WALHI Papua, menyatakan bahwa jika aktivitas tambang terus berlanjut, pembongkaran gunung dan penggalian lubang tambang akan semakin masif. “Masyarakat adat Papua pemilik Hak Ulayat akan dipaksa mengungsi ke tanah besar. Anak cucu generasi selanjutnya akan kehilangan identitas, kampung halaman, budaya lokal dan keindahan kekayaan alam Papua,” tegasnya.

Kerusakan ekosistem dan ancaman terhadap sumber pangan laut

Pulau Gag merupakan bagian dari Kepulauan Raja Ampat, kawasan yang diakui secara internasional sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Menurut studi McKenna et al. (2002) yang dikutip oleh Baharinawati W. Hastanti dan R. Gatot Nugroho Triantoro—peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari—wilayah laut Raja Ampat menyimpan 64% kekayaan terumbu karang dunia dan termasuk dalam usulan UNESCO sebagai warisan dunia.

Namun, aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan dengan metode pembuangan tailing ke laut (Submarine Tailings Disposal/STD) dikhawatirkan dapat memusnahkan biota laut. Limbah tailing diketahui mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) seperti merkuri dan sianida, yang mencemari laut dan mengancam keselamatan manusia yang mengonsumsi ikan tercemar (MinergyNews, 2001; JATAM, 2006).

Warga yang tinggal di sekitar Pulau Gag, sebagaimana disampaikan WALHI, melaporkan berkurangnya jumlah ikan di wilayah pesisir yang sebelumnya dikenal sebagai “sarang ikan.” Wilayah tersebut kini berubah menjadi area bongkar muat material tambang. Debu dari aktivitas pertambangan juga menimbulkan gangguan pernapasan dan kekhawatiran terhadap penyakit kulit akibat pencemaran air laut.

Keberadaan Pulau Gag sebagai bagian dari Suaka Margasatwa Laut (berdasarkan SK Menhut No. 81/Kpts-II/1993) dan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan seharusnya menjadikan wilayah ini bebas dari eksplorasi dan eksploitasi tambang. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Profil Pulau Gag, antara tradisi, sejarah, dan ketimpangan

Pulau Gag memiliki luas 7.727 hektarE dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah, yakni 0,08 orang per hektar. Berdasarkan data tahun 2009 dari penelitian Baharinawati dan Gatot Nugroho, jumlah penduduk Kampung Gambir mencapai 633 jiwa dalam 133 kepala keluarga. Komposisi gender menunjukkan jumlah pria (345 orang) lebih banyak daripada wanita (288 orang).

Masyarakat Pulau Gag memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah, dengan 46,29% hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar dan 25,12% tidak bersekolah. Keterbatasan akses pendidikan menjadi faktor utama, karena tidak tersedia jenjang pendidikan menengah di pulau tersebut.

Secara ekonomi, masyarakat setempat menggantungkan hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pegawai, dengan kegiatan sampingan seperti berkebun, meramu sagu, membuat kopra, dan berdagang. Ketergantungan pada hasil laut membuat mereka sangat rentan terhadap dampak kerusakan ekosistem laut.

Pulau Gag memiliki sejarah yang panjang. Menurut mitologi masyarakat setempat, nama Gag berasal dari kata dalam Bahasa Weda yang berarti “teripang,” merujuk pada banyaknya teripang di perairan pulau tersebut. Penduduk pertama berasal dari Pulau Gebe dan awalnya datang untuk berkebun. Pemukiman di Kampung Gambir mulai berkembang pada tahun 1963 setelah kedatangan pasukan Trikora dan pendatang yang bekerja di sektor pertambangan.

Sejak era kolonial Belanda, potensi tambang nikel di pulau ini sudah dieksplorasi. Setelah nasionalisasi perusahaan pada 1972, perusahaan dalam negeri melanjutkan kegiatan tambang.

Greenpeace mengingatkan masalah tambang di Raja Ampat belum selesai

Pulau Raja Ampat. (ESDM)
Pulau Raja Ampat. (ESDM)

Setelah kampanye #SaveRajaAmpat yang mendapat dukungan publik luas, Greenpeace Indonesia meluncurkan sebuah laporan yang mengungkap rencana penambangan nikel di Raja Ampat secara utuh. Laporan ini menguak bagaimana ancaman tambang nikel masih mengintai kawasan konservasi penting di dunia tersebut, kendati pemerintah baru-baru ini menyatakan mencabut empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) aktif di Raja Ampat.

Dalam laporan berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia”, Greenpeace membeberkan bagaimana perizinan tambang di kawasan Geopark Global UNESCO itu.

Menurut Greenpeace, pencabutan empat IUP di Raja Ampat tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan yang telah berlangsung. Preseden tentang pengaktifan kembali IUP yang telah dicabut sudah pernah terjadi di Raja Ampat. Hal ini menandakan bahwa ancaman kerusakan lingkungan akibat tambang nikel di Raja Ampat belum sepenuhnya hilang dengan pencabutan izin.

“Kami khawatir pernyataan pemerintah tentang pencabutan izin itu hanya untuk meredam kehebohan dan tuntutan publik. Maka dari itu, Greenpeace bersama 60 ribu orang yang sudah menandatangani petisi akan terus memantau supaya Raja Ampat betul-betul dilindungi. Pemerintah harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana penambangan nikel serta rencana pembangunan smelter di Sorong,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Arie juga menyebut pemerintah semestinya mencabut pula izin PT Gag Nikel, demi pelindungan Raja Ampat secara menyeluruh.

Acara media briefing dan diskusi peluncuran laporan Surga yang Hilang juga turut menghadirkan narasumber dari berbagai sektor yakni, Dwi Januanto Nugroho (Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan), Dian Patria (Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi), Angela Gilsha (aktor), dan Ahmad Aris (Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan), yang bergabung secara daring.

Bersama dengan Greenpeace Indonesia, Angela Gilsha ikut menyaksikan kerusakan akibat tambang nikel yang terjadi di Raja Ampat di awal bulan Mei ini. Sebagai pecinta wisata bawah laut, Angela dikagetkan dengan keberadaan tambang nikel di wilayah Global Geopark UNESCO. Angela juga menceritakan pengalamannya yang dikejar oleh petugas keamanan tambang nikel di Pulau Kawe saat sedang mengambil gambar.

“Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.

Ahmad Aris menegaskan bahwa semua pulau yang dilaporkan dalam laporan Greenpeace Indonesia bukan hanya masuk kategori pulau kecil, tetapi pulau sangat kecil (tiny island). Pulau-pulau ini dilindungi oleh peraturan dari kegiatan yang sifatnya eksploitatif.
Menurut Aris, pulau-pulau kecil bentang alamnya sebagian besar diisi oleh laut, sehingga kegiatan eksploitatif, seperti tambang nikel, berpotensi mengubah hingga merusak bentang alam yang ada di pulau tersebut.

Dalam paparannya, Dian Patria juga menyoroti berbagai tantangan tata kelola pertambangan di Indonesia. Terkait dengan indikasi temuan kerugian negara yang dirasakan akibat ekspansi tambang nikel, Dian menekankan tentang besarnya kerugian tak kasat mata dibandingkan kerugian materiil.

“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin nggak seberapa. Bagi saya, rasanya (kerugian materiil) mungkin tidak sebanding dengan kalau kita bicara tentang dampak lingkungan, dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian.
Pernyataan ini menegaskan kembali pentingnya mempertanyakan harga sebenarnya dari industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai keran investasi.

Sementara itu, Januanto mengapresiasi aksi Greenpeace Indonesia yang telah menggugah publik untuk ikut mendesak pemerintah Indonesia untuk membenahi sektor penegakan hukum lingkungan.

“Yang perlu kita benahi adalah proses terkait pengawasan terutama terkait izin-izin yang dikeluarkan. Ini adalah momen yang bagus. Ketika kontrol sosial dari kawan-kawan sangat kuat,” katanya. “Ini adalah langkah-langkah korektif yang dapat kami ambil ke depannya.”

“Keadilan Viral” Bagi Raja Ampat Belum Cukup, Perlindungan Seluruh Pulau Kecil Mendesak Dilakukan

Pulau Raja Ampat. (ESDM)
Pulau Raja Ampat. (ESDM)

Pemerintah resmi mencabut empat dari lima Izin Usaha Pertambangan atau IUP nikel di Raja Ampat, Selasa, 10 Juni 2025. Namun, masih ada perusahaan yang tetap diizinkan beroperasi dan melanjutkan perusakan. Pencabutan izin yang diumumkan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia ini adalah respons terhadap desakan kuat masyarakat.

Keputusan ini muncul setelah viralnya kekhawatiran dan penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak lebih jauh keindahan alam dan sumber kehidupan di salah satu surga bahari Indonesia ini. Berbagai organisasi masyarakat sipil juga telah mendesak pemerintah untuk mengevaluasi izin tambang di wilayah konservasi.

Meskipun demikian, langkah ini masih luput terhadap perlindungan pulau-pulau kecil lain. “Reaksi cepat pemerintah lebih disebabkan oleh ramainya perhatian publik setelah isu ini viral,” demikian pernyataan resmi organisasi lingkungan Trend Asia.

Padahal, Trend Asia menyatakan, bukan hanya Raja Ampat yang sedang di ambang kehancuran, tetapi juga banyak wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rusak akibat hilirisasi pemerintah. Saat ini, data JATAM menunjukkan bahwa ada 35 pulau kecil yang dieksploitasi dengan 195 izin pertambangan.

Hukum Indonesia jelas melindungi pulau-pulau kecil yang termuat dalam UU no 27 Tahun 2007 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU W3PK) [1]. Pulau kecil dilindungi karena ia memiliki daya tampung yang lebih kecil, daya pulih yang rendah, dan rentan terhadap segala aktivitas yang mengubah lansekap ekologis. Masalahnya, berbagai celah hukum dimanfaatkan untuk mengizinkan perusahaan tetap menambang pulau kecil.

“Banyak pulau-pulau kecil yang dilumat akibat penegakan hukum yang lemah. Apakah semua izin tambang di pulau kecil harus viral dulu? Ketegasan pemerintah ini harusnya tidak sekadar aksi kosmetik,” tutur Arko Tarigan, Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia.

“Pulau kecil seharusnya mutlak tidak boleh ditambang, apalagi atas nama investasi yang menyengsarakan masyarakat lokal. Presiden Prabowo harus hadir memberikan kepastian atas keberlangsungan semua ekosistem di pulau-pulau kecil,” pungkas Arko.

Kekhawatiran juga muncul apakah pencabutan izin ini bersifat permanen atau hanya “akal-akalan” semata. Sejarah menunjukkan, kasus serupa seringkali berujung pada dihidupkannya kembali izin-izin tambang atau tetap beroperasinya tambang secara ilegal, termasuk di Pulau Wawonii. Tanpa komitmen dan regulasi yang kuat, nasib Raja Ampat dan pulau-pulau kecil lainnya tetap terancam.

Melihat kondisi tersebut, Trend Asia mendesak Presiden Prabowo untuk segera mengambil langkah lebih fundamental guna menjamin perlindungan mutlak bagi pulau-pulau kecil dan ekosistem vitalnya.

“Semua izin tambang seharusnya dihapus dari pulau-pulau kecil di Indonesia, bukan hanya Raja Ampat. Begitu juga dengan Perda RT/RW(Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dan segala instrumen perizinan lain. Regulasi UU WP3K juga harus diperkuat untuk mencegah kembalinya izin tambang,” tutup Arko.

Home Maps Network Search