Laut merah, napas sesak. Kisah warga Morowali dalam kepungan industri nikel

Laut yang membentang di pesisir Kurisa, di Sulawesi Tenggara, telah berubah warna menjadi merah. Desa di Kabupaten Morowali ini hidup bertetangga dengan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), sebuah kompleks pengolahan nikel raksasa yang terus berekspansi.

Bagi Lukman, seorang tetua desa berusia 54 tahun, laut itu dulunya adalah kehidupan. Kini, ia menggambarkan bagaimana limbah yang panas dan berbau menyengat mengalir dari IMIP ke laut, menjadikannya zona mati yang tak bisa lagi diandalkan untuk mencari ikan.

Enam tahun lalu, Lukman menyerah pada budidaya kerapu yang telah lama ia tekuni. Polusi yang semakin pekat telah membunuh usahanya. “Ikan tidak bisa lagi dibudidayakan di sini [di keramba],” keluhnya seperti dilansir Dialogue Earth.

Perubahan itu merombak tatanan ekonomi lokal. Para nelayan di wilayah itu, yang kehilangan mata pencaharian utama mereka, kini terpaksa memulung botol plastik bekas untuk menyambung hidup. Siapapun yang masih nekat mencari ikan, kata Lukman, harus berlayar sekitar tiga kilometer lebih jauh ke lepas pantai.

Lukman sendiri banting setir. Dari seorang pembudidaya ikan, ia kini mengelola sebuah rumah kos, kemungkinan besar disewa oleh para pekerja yang ironisnya menghidupi industri yang telah merenggut lautnya.

Pesisir yang tercemar hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Kurisa dan desa-desa lain di sekitar IMIP. Kawasan industri ini adalah usaha patungan antara Tsingshan Group dari Tiongkok dan perusahaan Indonesia Bintang Delapan, yang menaungi lebih dari 50 pabrikan penghasil produk berbasis nikel, dari baja hingga material baterai kendaraan listrik.

Di daratan, warga hidup di bawah kepungan polusi udara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang menjadi jantung energi operasi IMIP. Beberapa bulan lalu, pemerintah telah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran lingkungan di IMIP. Namun, bagi warga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memantau situasi, tindakan nyata belum terlihat. Dampak kesehatan dan lingkungan terus mengancam kehidupan mereka.

Udara yang meracuni kelas
Nurman Hidayat, 42 tahun, adalah warga Desa Bahomakmur, yang terletak persis di sebelah barat IMIP. Ia menceritakan bagaimana penduduk setempat didera batuk, pilek, dan demam yang tak kunjung reda. Ia meyakini penyakit ini berkaitan erat dengan emisi sulfur dioksida dan pembakaran batu bara dari kawasan industri.

Kekhawatiran Nurman bukanlah tanpa dasar. Sebuah studi tahun 2024 oleh Asosiasi untuk Transformasi Keadilan (TuK) Indonesia dan Universitas Tadulako menyoroti temuan mengkhawatirkan. Studi tersebut mencatat bahwa konsentrasi rata-rata PM 10, PM 2.5, dan sulfur dioksida dari sampel yang diambil pada tahun 2023 di tiga desa sekitar IMIP, termasuk Bahomakmur, telah melampaui baku mutu standar keamanan pemerintah.

Laporan itu menyimpulkan adanya “risiko kesehatan serius bagi penduduk lokal”. Data survei menguatkan kesaksian Nurman: lebih dari 70% dari 91 responden di tiga desa tersebut mengalami gejala batuk dan bersin.

Polusi ini tidak lagi mengenal batas. Pada Oktober 2024, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengklaim bahwa abu batu bara ditemukan telah mengendap di ruang-ruang kelas dua sekolah di Desa Labota. Lokasi sekolah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari pabrik IMIP. Akibatnya, Walhi mencatat, enam siswa menderita batuk dan sesak napas.

Ancaman polusi udara ini begitu nyata sehingga membuat warga seperti Lukman merasa terpojok. “Udara di sini sungguh tidak layak jika kami harus tetap tinggal,” katanya.

Bencana bernama tailing
Di luar polusi air dan udara, cara pengelolaan limbah tailing di dalam kompleks IMIP telah memicu kritik tajam dan ketakutan akan bencana yang lebih besar. Free Land Foundation (YTM), sebuah LSM yang berbasis di Sulawesi Tengah, telah menyoroti berbagai risiko yang terkait dengan perkiraan 11,5 juta ton tailing yang dihasilkan IMIP setiap tahunnya.

Angka ini, menurut Indonesia Business Post, diproyeksikan akan tumbuh lebih dari empat kali lipat pada tahun 2026, mencapai 47 juta ton per tahun.

Limbah ini bukanlah lumpur biasa. YTM memperingatkan bahwa tailing tersebut mengandung zat-zat berbahaya, termasuk asam sulfat dan hexavalent chromium. Zat kimia yang terakhir diketahui bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan kanker serta penyakit pernapasan.

YTM khawatir jika salah satu fasilitas penyimpanan tailing IMIP runtuh—yang jumlahnya terbatas dibandingkan dengan zona alokasi limbah—jutaan ton limbah beracun dapat tumpah ke Sungai Bahodopi di dekatnya, “mengancam ekosistem lokal dan komunitas di sekitarnya”.

Kekhawatiran itu telah menjadi kenyataan. YTM menyoroti bagaimana banjir besar pada 16 Maret menyebabkan struktur penahan limbah jebol, membuat hampir 1.100 orang di Labota terpapar limbah berbahaya. Hanya beberapa hari kemudian, pada 22 Maret, hujan deras menyebabkan tanggul di salah satu fasilitas penyimpanan tailing IMIP runtuh. Tiga pekerja tewas tertimbun dalam insiden tersebut.

YTM mengklaim bahwa bencana ini disebabkan oleh penggunaan fasilitas penyimpanan tailing di permukaan tanah (ground-level), sebuah metode yang mereka anggap berbahaya dan berisiko di daerah dengan curah hujan tinggi seperti Morowali.

Menanggapi hal ini, Dedy Kurniawan, kepala hubungan media PT IMIP, mengatakan kepada Kompas bahwa tanah longsor terjadi karena hujan deras selama berjam-jam, yang menyebabkan sungai meluap ke dalam kompleks.

Menari di atas Patahan Matano
Ancaman yang ditimbulkan oleh fasilitas tailing ini diperparah oleh fakta geologis yang menakutkan. YTM juga mengangkat isu gempa bumi di masa depan yang berpotensi merusak infrastruktur penyimpanan limbah rapuh ini. Seluruh kompleks IMIP, dengan puluhan juta ton limbah beracunnya, terletak persis di atas Patahan Matano (Matano Fault).

Peringatan ini didukung oleh Science Direct yang dipublikasikan pada tahun 2023 mengindikasikan bahwa gempa bumi yang merobek permukaan (surface-rupturing) dengan kekuatan magnitudo 7.4 di patahan tersebut “sudah waktunya terjadi” (already due).

Ini bukan lagi ancaman teoretis. Wilayah ini telah mengalami beberapa gempa signifikan. Gempa berkekuatan M 5.1 pada Mei 2024, misalnya, dilaporkan telah “merusak akomodasi pekerja dan infrastruktur perusahaan”. Peristiwa itu adalah sebuah “tembakan peringatan” yang membuktikan kerentanan infrastruktur industri terhadap guncangan.

Ancaman bencana berantai pun kini menghantui warga: gempa besar yang memicu kegagalan bendungan tailing, yang akan melepaskan tsunami lumpur karsinogenik ke sungai dan desa-desa di hilir.

“Ketika bencana alam terjadi, lagi-lagi masyarakat dan pekerjalah yang terdampak,” ujar direktur YTM, Richard Labiro.

Tim penyelamat mencari korban pasca ambruknya tanggul penahan limbah pabrik peleburan nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi, pada Maret 2025. Kecelakaan tersebut menewaskan tiga orang (Foto: KPP Palu / Associated Press / Alamy)

Sanksi di atas kertas, derita di dunia nyata
Menurut Lukman, masyarakat setempat telah melaporkan kondisi hidup mereka yang terus memburuk kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan bupati regional, Iksan Baharudin Abdul Rauf, pada Juni 2025. Namun, ia mengatakan tidak ada satu pun dari otoritas tersebut yang menindaklanjuti keluhan mereka.

Harapan sempat muncul ketika pemerintah pusat turun tangan. Pada bulan Juni, Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan bahwa mereka telah menemukan berbagai pelanggaran lingkungan di dalam kompleks IMIP.

Temuan kementerian itu mengonfirmasi apa yang telah lama dirasakan warga. Pelanggaran tersebut termasuk polusi udara, perkiraan 12 juta metrik ton deposit tailing ilegal, dan penggunaan 1.800 hektar lahan yang tidak termasuk dalam pernyataan dampak lingkungan (AMDAL) perusahaan untuk aktivitas yang tidak sah.

Kementerian mengumumkan akan menjatuhkan sanksi administratif pada PT IMIP. Reuters melaporkan bahwa kementerian akan mengenakan denda dan polisi akan menyelidiki pengelolaan tailing berbahaya dan beracun di area tersebut.

Menanggapi temuan pemerintah bahwa perusahaan telah menyerahkan laporan AMDAL untuk lahan 1.800 hektar yang dipersoalkan pada tahun 2023. Ia menambahkan bahwa perusahaan dan para penyewanya memantau kualitas udara secara real-time dan telah memasang teknologi untuk mengurangi emisi dari aktivitas peleburan.

Namun, berbulan-bulan setelah pengumuman sanksi itu, warga dan LSM yang memantau situasi mengatakan mereka belum melihat adanya tindakan nyata. Dampak kesehatan dan lingkungan terus berlanjut.

Dialogue Earth berusaha menghubungi Elyta Gawi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Morowali, Irawan dari Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kurniawan dari PT IMIP untuk memberikan komentar mengenai tindakan lanjutannya. Tidak ada tanggapan yang diterima.

Kebuntuan ini, menurut Makala (seorang narasumber yang dikutip Antara News), hanya bisa dipecahkan jika ada pemantauan publik yang efektif. Ia berpendapat bahwa tim yang melakukan aktivitas pemantauan tidak boleh direkrut hanya dari kementerian pemerintah. Makala mengatakan publik hanya akan percaya pemerintah serius mengambil tindakan jika ada pengawasan publik yang efektif.

Martha Mendrofa, seorang peneliti di Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think-tank, mengamini perlunya transparansi. Ia mendesak pemerintah Indonesia untuk membangun sistem digital yang transparan yang memungkinkan publik mengawasi tindakan hukum yang telah diterapkan, serta mengevaluasi regulasi dan keluhan publik.

Ia mengatakan tindak lanjut harus dilakukan oleh perusahaan yang terkena sanksi—”ini akan memastikan transparansi mengenai keluhan dan tanggapan dari pemangku kepentingan terkait,” katanya.

Lebih jauh, Mendrofa menambahkan bahwa Indonesia perlu mengadopsi standar keberlanjutan yang lebih ketat, seperti yang ditetapkan dalam IRMA. Standar ini akan memastikan aspek-aspek krusial seperti manajemen limbah, kesehatan dan keselamatan pekerja, hak asasi manusia, keterlibatan masyarakat, dan langkah-langkah anti-korupsi dievaluasi dengan benar.

Tanpa standar yang lebih tinggi, Mendrofa memperingatkan bahwa industri nikel Indonesia yang beroperasi seperti biasa dapat menghadapi penurunan permintaan. “Komunitas global pasti tidak akan menyukainya—mereka tidak akan tertarik pada investasi pertambangan di Indonesia,” ujarnya.

Sementara para ahli memperdebatkan standar dan investor global menimbang risiko, warga di desa-desa sekitar IMIP terus menderita dalam kesunyian.

Nurman Hidayat, warga Bahomakmur, menyuarakan perasaan ditinggalkan yang mendalam. “Tidak ada seorang pun dari instansi terkait [atau] dinas kesehatan, termasuk pemerintah pusat, daerah, atau provinsi, yang memperhatikan [kekhawatiran kami]. Kami meminta setidaknya sedikit perhatian pada masalah kesehatan kami. Sama sekali tidak ada… tidak ada apa-apa dari PT IMIP juga, jadi kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Di Kurisa, Lukman, yang lautnya telah direnggut, kini hanya memiliki satu permintaan tragis. Jika perusahaan tidak mau membantu mereka relokasi, katanya, mereka setidaknya harus memberikan kompensasi kepada masyarakat.

“Sehingga kami tahu kami menerima sesuatu setiap bulan,” kata Lukman, “meskipun kami mungkin menghirup udara yang tercemar.” [Johanes Hutabarat]

Artikel ini terbit dalam Bahasa Inggris di Dialogue Earth dengan judul Indonesian coastal villages in the dark over nickel pollution.  

Siapa yang mendanai kerusakan lingkungan atas nama transisi hijau?

Bayangkan sebuah mobil listrik meluncur senyap di jalanan kota yang sibuk, menjadi simbol harapan akan masa depan yang lebih bersih dan bebas emisi. Inilah janji transisi hijau, sebuah narasi global tentang teknologi mutakhir yang akan menyelamatkan planet kita dari krisis iklim. Namun, ribuan kilometer dari gemerlap ruang pamer mobil listrik, di jantung kepulauan Indonesia, sebuah cerita yang sangat berbeda tengah berlangsung.

Di tempat-tempat seperti Bahodopi di Sulawesi Tengah atau Teluk Weda di Halmahera, udara terasa berat dan sesak oleh debu yang beterbangan dari lalu-lalang truk-truk raksasa pengangkut bijih nikel. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini mengalirkan air berwarna cokelat pekat seperti karat, membawa sedimen dari lahan yang dikeruk menuju laut, menimbun terumbu karang dan hutan bakau. 

Para nelayan, yang mewarisi laut sebagai ladang mereka, harus melaut semakin jauh hanya untuk menemukan tangkapan yang kian menyusut, karena ekosistem pesisir mereka telah rusak parah. Ini adalah realitas hitam di balik gemerlapnya “emas hijau” bernama nikel.

Laporan terbaru dari The Prakarsa, berjudul “Melacak Jejak Pembiayaan: Dampak Lingkungan dan Sosial Industri Nikel di Indonesia,” mengajukan sebuah pertanyaan fundamental yang menggugat narasi besar transisi energi global: dapatkah sebuah transisi yang berkeadilan dan berkelanjutan dibangun di atas fondasi perusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial di pusat-pusat ekstraksi bahan bakunya? 

Nikel memang menjadi komponen krusial untuk baterai kendaraan listrik, menjadikannya komoditas strategis dalam ekonomi hijau global. Namun, di Indonesia, jejak penambangannya justru berwarna kelam.

Perjalanan ini akan membawa kita dari ruang-ruang rapat para pemodal global ke lanskap Indonesia yang terluka. Sebuah perjalanan untuk mengungkap keterputusan yang mengkhawatirkan antara komitmen hijau yang digaungkan di panggung dunia dan realitas brutal yang dihadapi oleh masyarakat dan lingkungan di lingkar tambang.

Indonesia kini berada di pusat demam nikel global, dan ini bukanlah sebuah kebetulan. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, pemerintah Indonesia melancarkan strategi ambisius untuk tidak lagi hanya menjadi pengekspor bahan mentah. Melalui kebijakan hilirisasi, Indonesia bertekad untuk menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global, dengan mengolah bijih nikel menjadi produk bernilai tambah tinggi di dalam negeri.

Ambisi ini didukung oleh gelombang investasi dalam skala masif. Laporan The Prakarsa mencatat, aliran investasi yang masuk ke pulau-pulau penghasil nikel seperti Sulawesi dan Maluku Utara mencapai angka fantastis, yaitu sebesar USD 14,2 miliar atau setara dengan Rp213 triliun. Arus modal raksasa ini mengubah wajah ekonomi regional secara drastis. Sulawesi Tengah, misalnya, menjadi tujuan utama investasi antara tahun 2019 dan 2022.

Dampaknya terhadap pendapatan negara pun tak kalah dramatis. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari royalti nikel meroket. Pada Mei 2022 saja, nilainya mencapai Rp 4,18 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan delapan kali lipat dibandingkan dengan penerimaan pada tahun 2015 yang hanya sebesar Rp 531 miliar. Nikel telah menjadi salah satu penyumbang utama pundi-pundi negara, menyumbang lebih dari 13% dari total PNBP Sumber Daya Alam non-migas hingga Mei 2022.

Dari kacamata pemerintah dan industri, angka-angka ini adalah bukti keberhasilan. Narasi yang dibangun adalah narasi kemajuan: pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan negara, dan kontribusi vital Indonesia bagi solusi iklim global. Nikel diposisikan sebagai motor penggerak ekonomi nasional sekaligus pahlawan dalam transisi energi bersih. Namun, narasi gemilang ini menyembunyikan sebuah pertaruhan yang sangat besar, di mana biaya ekologis dan sosial yang harus dibayar seringkali tidak dimasukkan ke dalam neraca keuntungan.

Para bankir di balik kerusakan
Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana yang rumit. Laporan The Prakarsa membongkar mesin finansial yang menggerakkan industri ini, menunjukkan bagaimana modal dari berbagai lembaga keuangan—baik bank internasional, lembaga keuangan domestik, maupun badan investasi multilateral—mengalir deras ke perusahaan-perusahaan yang mengoperasikan tambang dan smelter di Indonesia.

Di sinilah letak kontradiksi paling tajam yang diungkap oleh laporan tersebut. Banyak di antara para penyandang dana utama ini, terutama yang berasal dari Eropa, Jepang, dan bahkan China, memiliki kebijakan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST atau ESG) yang mereka banggakan di hadapan publik. Sebagian besar dari mereka bahkan telah membuat komitmen tegas untuk berhenti mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru, sejalan dengan desakan global untuk memerangi perubahan iklim. 

Namun, ketika uang mereka tiba di Indonesia, komitmen hijau itu seolah menguap. Pendanaan yang mereka berikan justru mengalir ke proyek-proyek nikel yang sangat bergantung pada energi kotor dari PLTU batu bara dan terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif.

Sistem keuangan global saat ini memungkinkan terjadinya sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai “outsourcing keberlanjutan”. Lembaga-lembaga keuangan di London, Tokyo, atau Beijing dapat mempertahankan citra hijau mereka di negara asal, sementara modal yang mereka kucurkan menjadi bahan bakar bagi praktik-praktik industri yang merusak ribuan kilometer jauhnya. Rantai pembiayaan yang kompleks—melibatkan pinjaman sindikasi, anak perusahaan, dan berbagai perantara—secara efektif mengaburkan akuntabilitas. Menjadi sangat sulit untuk menunjuk satu aktor tunggal yang bertanggung jawab atas pencemaran di sebuah teluk atau penggundulan hutan di lereng bukit tertentu.

Keterputusan antara komitmen dan praktik ini menciptakan sebuah bahaya moral. Keuntungan dari industri ekstraktif ini diprivatisasi dan dinikmati oleh para pemodal dan korporasi, sementara biaya lingkungan dan sosialnya justru disosialisasikan dan ditimpakan kepada masyarakat lokal di Indonesia. Untuk memperjelas jurang antara retorika dan realitas ini, tabel berikut menyajikan ringkasan dari temuan laporan The Prakarsa:

Tipe AktorPeran KunciKomitmen Publik Terkait ESG/HijauRealitas Proyek yang Dibiayai (Menurut Laporan)
Bank Internasional (Eropa/Jepang)Penyedia Pinjaman Proyek, Penjamin EmisiKomitmen Net-Zero, Penolakan Pendanaan PLTU Batu Bara Baru, Prinsip Keuangan BerkelanjutanMendanai smelter yang ditenagai PLTU batu bara captive, membiayai perusahaan dengan rekam jejak perusakan lingkungan.
Lembaga Keuangan (China)Investor Utama, Penyedia Pinjaman ProyekKomitmen untuk tidak membangun proyek batu bara baru di luar negeri (Belt and Road Initiative)Menjadi pemodal utama di balik pembangunan kawasan industri nikel yang sangat bergantung pada PLTU batu bara captive.
Bank NasionalPenyedia Kredit Modal Kerja & InvestasiMengadopsi prinsip Keuangan Berkelanjutan sesuai arahan OJKMemberikan pinjaman kepada perusahaan tambang yang operasinya memicu deforestasi dan konflik sosial.
Perusahaan Tambang & SmelterOperator Lapangan, Penerima InvestasiLaporan Keberlanjutan, Komitmen terhadap reklamasi dan pemberdayaan masyarakatMelakukan deforestasi masif, mencemari sungai dan laut, memicu konflik lahan dengan masyarakat adat dan lokal.

Tabel ini menunjukkan sebuah pola yang sistemik: para aktor dalam rantai pembiayaan nikel secara terbuka mengadopsi bahasa keberlanjutan, namun dalam praktiknya, modal mereka justru memungkinkan terjadinya kerusakan yang bertentangan langsung dengan komitmen yang mereka buat.

Transisi hijau yang dipasok energi hitam
Salah satu temuan paling krusial dalam penelusuran jejak pembiayaan ini adalah sebuah paradoks yang fundamental: industri yang digadang-gadang sebagai pilar transisi energi hijau ternyata sangat rakus akan energi hitam. Proses pengolahan bijih nikel laterit—jenis yang melimpah di Indonesia—untuk menjadi bahan baku baterai berkualitas tinggi adalah proses yang luar biasa intensif energi. Untuk mencapai suhu ekstrem yang dibutuhkan dalam tungku-tungku smelter, diperlukan pasokan listrik yang masif dan stabil.

Di sinilah batu bara masuk ke dalam gambaran. Alih-alih mengandalkan sumber energi terbarukan, demam industri nikel di Indonesia justru memicu gelombang pembangunan PLTU baru yang didedikasikan khusus untuk memasok listrik ke kawasan-kawasan industri nikel. PLTU ini dikenal sebagai PLTU captive, karena tidak terhubung ke jaringan listrik publik, melainkan dibangun dan dioperasikan semata-mata untuk kepentingan satu kawasan industri. Ini adalah ironi terbesar: untuk memproduksi komponen mobil listrik yang “ramah lingkungan”, Indonesia justru membangun pabrik-pabrik penghasil karbon baru dalam skala besar.

Fenomena PLTU captive ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “celah karbon” (carbon loophole) dalam sistem keuangan iklim global. Banyak bank dan lembaga keuangan internasional memiliki kebijakan yang melarang mereka mendanai pembangunan PLTU baru yang terhubung ke jaringan listrik publik. Namun, kebijakan ini seringkali memiliki titik buta terhadap PLTU captive yang melayani industri. Akibatnya, sementara mereka dapat mengklaim telah berhenti mendanai “proyek batu bara”, modal mereka secara tidak langsung terus menyuburkan ketergantungan pada batu bara melalui investasi di industri nikel.

Keputusan untuk menenagai industri nikel dengan batu bara tidak hanya mengkhianati semangat transisi hijau, tetapi juga menciptakan bom waktu ekonomi bagi Indonesia. Di masa depan, dunia yang semakin sadar karbon akan menuntut rantai pasok yang benar-benar bersih dari hulu ke hilir. Produk nikel yang dihasilkan dengan jejak karbon yang tinggi dari PLTU batu bara akan kehilangan daya saingnya. Smelter dan PLTU bernilai miliaran dolar yang dibangun hari ini berisiko menjadi “aset telantar” (stranded assets) di masa depan—infrastruktur raksasa yang tidak lagi ekonomis dan tidak ramah lingkungan. Ketika para investor asing telah memulangkan keuntungan mereka, Indonesia akan ditinggalkan dengan infrastruktur usang serta beban kerusakan lingkungan dan ekonomi yang berkepanjangan.

Wajah kerusakan di lingkar tambang
Keputusan-keputusan yang dibuat di ruang rapat di Jakarta, Beijing, atau Zurich memiliki konsekuensi yang sangat nyata dan menyakitkan bagi masyarakat dan ekosistem di lingkar tambang. Harga dari ambisi nikel ini dibayar setiap hari oleh warga di Sulawesi dan Maluku Utara.

Di Sulawesi, pulau yang menjadi pusat industri nikel Indonesia, lanskapnya telah berubah secara dramatis. Hutan-hutan yang menjadi benteng pertahanan ekologis dan sumber kehidupan masyarakat adat ditebang dalam skala masif untuk membuka jalan bagi konsesi tambang, yang total luasnya mencapai lebih dari 510.000 hektar. Citra satelit menunjukkan peringatan deforestasi seluas ratusan hektar bahkan di dalam satu area konsesi saja.

Kerusakan tidak berhenti di darat. Sungai-sungai vital, seperti Sungai Malili di Luwu Timur, yang dulunya jernih kini berubah menjadi saluran lumpur berwarna cokelat pekat. Aktivitas tambang PT Citra Lampia Mandiri, misalnya, telah menyebabkan pencemaran parah, memicu protes warga yang bergantung pada sungai tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Sedimen dari lahan tambang yang terkikis mengalir tanpa henti ke laut, menutupi dan mematikan ekosistem pesisir yang rapuh. Hutan bakau yang menjadi tempat pemijahan ikan rusak, dan terumbu karang yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut mati lemas di bawah lapisan lumpur.

Bagi manusia, dampaknya adalah bencana senyap. Nelayan kehilangan mata pencaharian karena hasil tangkapan ikan anjlok drastis. Petani kehilangan lahan subur mereka, digusur oleh ekspansi tambang. Masyarakat di sekitar lokasi tambang harus hidup dengan debu yang mengancam pernapasan dan air yang tercemar, memicu berbagai masalah kesehatan. Meskipun ada beberapa dampak positif seperti terbukanya lapangan kerja, dampak negatif terhadap lingkungan dan sumber kehidupan tradisional seringkali jauh lebih besar dan bersifat permanen.

Di Kepulauan Maluku Utara, khususnya di sekitar kawasan industri raksasa seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, situasinya tak kalah mengerikan. Kawasan ini menjadi pusat pengolahan nikel yang didanai oleh investor Tiongkok, dan dampaknya terasa di setiap aspek kehidupan.

Pencemaran udara dan air telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sebuah penelitian menemukan adanya senyawa berbahaya kromium heksavalen di perairan sekitar kawasan industri, dengan konsentrasi yang melebihi baku mutu. Senyawa ini, jika terakumulasi dalam rantai makanan, dapat menyebabkan kanker dan kerusakan organ pada manusia. Udara yang dipenuhi debu dari aktivitas industri dan lalu lintas truk telah menyebabkan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Data dari Puskesmas setempat menunjukkan peningkatan kasus ISPA dari sekitar 300 kasus per tahun menjadi 800 hingga 1.000 kasus per tahun sejak IWIP beroperasi.

Di balik data kesehatan yang suram, terdapat tragedi kemanusiaan yang mendalam. Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa, atau yang dikenal sebagai Suku Tobelo Dalam, yang hidup nomaden dan menjaga hutan Halmahera selama berabad-abad, kini terusir dari ruang hidup mereka. Hutan adat mereka digerus oleh konsesi tambang, memaksa mereka keluar dan kehilangan identitas serta tradisi mereka. 

Perlawanan dari masyarakat lokal seringkali dihadapi dengan intimidasi dan kriminalisasi. Sebelas warga Maba Sangaji, misalnya, ditangkap saat menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap perusahaan yang diduga merusak hutan dan sungai mereka. Mereka dituduh mengganggu aktivitas pertambangan, sebuah contoh bagaimana hukum dapat digunakan untuk membungkam mereka yang berjuang mempertahankan lingkungan hidupnya.

Siapa sebenarnya yang sejahtera?
Para pendukung industri nikel seringkali menonjolkan argumen tentang “efek berganda” (multiplier effect)—bagaimana investasi besar akan menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan usaha lokal, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Namun, laporan The Prakarsa memberikan sebuah kesimpulan yang menohok: efek berganda yang dijanjikan dari industri nikel di Indonesia pada kenyataannya bersifat “semu”.

Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana rumit dibungkus transisi hijau

Salah satu alasan utamanya adalah struktur kepemilikan dan aliran keuntungan. Sebagian besar keuntungan yang dihasilkan dari kekayaan alam Indonesia tidak tinggal di dalam negeri. Melalui mekanisme repatriasi laba, keuntungan tersebut mengalir kembali ke negara asal para investor dan lembaga keuangan, terutama China. Sementara Indonesia mendapatkan pemasukan dari royalti dan pajak, porsi terbesar dari nilai tambah yang dihasilkan justru dinikmati oleh pihak asing.

Lebih dari sekadar ilusi, model ekonomi yang dijalankan saat ini secara aktif menciptakan apa yang disebut “utang ekologis”. Indonesia pada dasarnya sedang menukarkan modal alam yang tak tergantikan dan terbatas—seperti air bersih, tanah yang subur, keanekaragaman hayati, dan iklim yang stabil—dengan pendapatan jangka pendek (royalti) dan lapangan kerja yang sebagian besar merupakan buruh kasar dengan upah rendah. 

Biaya jangka panjang untuk memulihkan lingkungan yang rusak, mengatasi krisis kesehatan masyarakat akibat polusi, dan mengganti jasa ekosistem yang hilang (seperti perikanan dan sumber air bersih) kemungkinan besar akan jauh melampaui keuntungan finansial yang diperoleh hari ini. Ini adalah sebuah transaksi yang merugikan, di mana generasi sekarang menikmati sedikit keuntungan sementara generasi mendatang diwarisi tagihan kerusakan yang sangat besar.

Secara teori, Indonesia telah memiliki perangkat regulasi untuk mendorong praktik keuangan yang lebih bertanggung jawab. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, telah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia pada awal 2022. Dokumen ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi industri keuangan untuk mengklasifikasikan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan, dengan tujuan melindungi lingkungan hidup dan mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca.

Namun, temuan dari lapangan menunjukkan adanya jurang yang menganga antara kebijakan di atas kertas dan praktik di dunia nyata. Fakta bahwa proyek-proyek nikel yang secara terang-terangan ditenagai oleh PLTU batu bara baru dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang terdokumentasi dengan baik masih terus menerima aliran dana dari lembaga keuangan yang diatur oleh OJK, mengindikasikan adanya kegagalan fundamental dalam implementasi, pengawasan, dan penegakan aturan.

Di balik setiap truk yang mengangkut bijih nikel dan setiap cerobong asap smelter yang mengepul, ada jejak aliran dana rumit dibungkus transisi hijau

Taksonomi Hijau berisiko menjadi sekadar hiasan jika tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas bagi lembaga keuangan yang melanggarnya. Laporan The Prakarsa secara implisit menyerukan agar badan regulator seperti OJK tidak hanya berhenti pada pembuatan kerangka kerja, tetapi juga secara aktif menagih pertanggungjawaban dari para pelaku industri jasa keuangan. Tanpa penegakan yang kuat, label “keuangan berkelanjutan” hanya akan menjadi alat greenwashing yang menyembunyikan praktik-praktik yang justru merusak masa depan berkelanjutan itu sendiri.

Menagih tanggung jawab di rantai pasok global
Penelusuran jejak uang di balik demam nikel Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh laporan The Prakarsa, membawa kita pada sebuah kesimpulan yang meresahkan. Rantai pasok global untuk transisi energi bersih ternyata dibangun di atas fondasi yang rapuh dan penuh kontradiksi. Sebuah sistem yang memungkinkan lembaga-lembaga keuangan dengan komitmen hijau untuk mendanai perusakan lingkungan; yang mendorong pembangunan PLTU batu bara atas nama produksi komponen “ramah lingkungan”; dan yang memprioritaskan keuntungan jangka pendek dengan mengorbankan kesejahteraan jangka panjang masyarakat dan kelestarian ekosistem Indonesia.

Transisi hijau global tidak boleh menjadi alasan untuk menciptakan zona-zona pengorbanan baru di negara-negara seperti Indonesia. Tanggung jawab untuk memastikan transisi yang benar-benar adil dan berkelanjutan terletak pada semua aktor dalam rantai pasok ini.

Lembaga-lembaga keuangan harus dituntut untuk menerapkan transparansi penuh dan akuntabilitas sejati, memastikan bahwa komitmen ESG mereka bukan sekadar retorika pemasaran. Pemerintah Indonesia harus memperkuat penegakan hukum lingkungan dan sosial, memastikan bahwa regulasi seperti Taksonomi Hijau benar-benar dijalankan dan tidak ada toleransi bagi perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. Perusahaan-perusahaan nikel itu sendiri harus mengadopsi praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab, yang menempatkan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola sebagai inti dari operasi mereka, bukan sebagai pelengkap.

Pada akhirnya, cerita tentang nikel di Indonesia membawa kita kembali pada sebuah pertanyaan fundamental yang harus kita hadapi bersama. Saat kita memimpikan masa depan yang ditenagai oleh teknologi bersih, kita harus bertanya: berapa harga sesungguhnya dari baterai di mobil listrik kita atau baja nirkarat di dapur kita, dan siapa yang sebenarnya dipaksa untuk membayar harga tersebut?

Menjemput fajar digital dan keadilan energi di jantung 3T

Di sebuah desa terpencil di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, aktivitas belajar mengajar di Sekolah Dasar Sokbok 014 seringkali terhenti seiring tenggelamnya matahari. Selama bertahun-tahun, ketiadaan akses listrik membatasi materi pengajaran pada papan tulis dan buku konvensional. Namun, tahun 2025 menjadi penanda perubahan fundamental. Dengan pemasangan SuperSUN—sebuah inovasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)—sekolah itu kini bersinar terang, membawa serta janji pendidikan yang lebih inklusif dan modern.

Bagi Musa, seorang guru di SD Sokbok 014, kedatangan listrik bukan sekadar penerangan, melainkan sebuah lompatan kuantum. “Terima kasih kepada PLN atas bantuan pemasangan SuperSUN, yang sangat bermanfaat bagi proses belajar mengajar,” ungkap Musa dengan nada haru. Ia menambahkan bahwa kini, tenaga pengajar dapat menggunakan media elektronik, membuat proses belajar menjadi “lebih interaktif dan menyenangkan”. Inilah yang disebutnya sebagai “titik balik” bagi pendidikan di Mamasa.

Kisah Mamasa merefleksikan pergeseran fokus dalam pembangunan infrastruktur nasional. Elektrifikasi di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) pada tahun 2025 tidak lagi sekadar menancapkan tiang, melainkan mengintegrasikan teknologi bersih dan digital. Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) seperti SuperSUN di lokasi terpencil menunjukkan bahwa wilayah 3T mampu melompati era infrastruktur lama langsung menuju era digital, secara langsung mengatasi ketimpangan pendidikan struktural yang selama ini menghambat kemajuan lokal.

Keberhasilan di Mamasa adalah bagian dari implementasi program Astacita, yang berlandaskan pada filosofi energi berkeadilan. Program ini semakin diperkuat setelah Darmawan Prasodjo kembali ditunjuk sebagai Direktur Utama PT PLN (Persero) pada pertengahan 2025. Sebagai arsitek transformasi digital dan pendorong Green Transformation, Darmawan memastikan bahwa fokus perusahaan tidak hanya pada modernisasi sistem, tetapi juga pada keadilan akses.

Darmawan menegaskan bahwa upaya ini adalah manifestasi dari mandat mulia yang diterima PLN, terutama dalam menyediakan listrik bagi rakyat di daerah 3T. Konsep “energi berkeadilan” yang dijalankan PLN adalah intervensi sosial yang cermat.

“Seringkali, infrastruktur kelistrikan seperti tiang dan jaringan kabel sudah tersedia di depan rumah warga 3T. Namun, hambatan sebenarnya adalah keterbatasan dana masyarakat prasejahtera untuk membayar biaya penyambungan awal. Melalui inisiatif ini, PLN menjembatani kesenjangan antara ketersediaan infrastruktur dengan keterjangkauan biaya, memastikan bahwa tidak ada satu pun rumah tangga yang tertinggal dari manfaat cahaya,” katanya.

Komitmen ini ditekankan Darmawan Prasodjo dengan nuansa spiritual dan kemanusiaan yang mendalam. “Ini bukan sekadar investasi untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat,” tegasnya. Darmawan. “Dari hati yang terdalam, kami bekerja siang malam agar seluruh rakyat Indonesia dapat merasakan manfaat listrik”. Pernyataan ini menunjukkan pergeseran fokus PLN dari sekadar penyedia jasa energi menjadi agen pembangunan sosial dan etika.

Tiga pilar kesejahteraan
Akses listrik di wilayah 3T, yang didukung oleh program Astacita 2025, secara langsung berfungsi sebagai fondasi bagi pertumbuhan tiga pilar utama kesejahteraan: pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Data menunjukkan bahwa capaian elektrifikasi terbarukan dan konvensional terus digenjot di berbagai pelosok nusantara.

Di sektor Pendidikan, inovasi SuperSUN memungkinkan 503 sekolah di wilayah operasi UID Sulselrabar memperoleh akses listrik hingga September 2025, dari target 1.500 unit SuperSUN. Listrik memfasilitasi program revitalisasi sekolah dan mempercepat pembelajaran digital. Keberadaan akses digital ini sangat krusial, mengingat riset telah menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan di 3T adalah salah satu faktor utama yang menahan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Listrik adalah katalis untuk memecahkan siklus ketimpangan ini.

Pada pilar Ekonomi dan Sosial, dampak elektrifikasi terlihat jelas di Papua. Melalui Program Listrik Desa (Lisdes) pada semester I 2025, sebanyak 1.606 rumah tangga di 36 desa telah menikmati akses listrik. Kepala Daerah Kepulauan Yapen, misalnya, menyoroti bahwa program ini tidak hanya membawa cahaya, tetapi juga “membuka peluang pembangunan ekonomi dan sosial di daerah pedesaan”. Dengan listrik, UMKM dapat beroperasi lebih lama, biaya operasional rumah tangga yang sebelumnya bergantung pada generator berbahan bakar fosil berkurang, dan produktivitas masyarakat meningkat.

Sementara di sektor Kesehatan, meskipun data kuantitatif spesifik 2025 belum tersedia, dampak implisitnya sangat vital. Pasokan listrik yang berkualitas adalah prasyarat dasar bagi layanan kesehatan modern di 3T. Listrik memastikan pendinginan yang stabil untuk penyimpanan vaksin, obat-obatan esensial, dan memungkinkan pengoperasian alat medis diagnostik. Dengan demikian, elektrifikasi secara kausalitas berkontribusi pada penurunan tingkat morbiditas (penyakit) dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di wilayah-wilayah yang rentan.

Menata ulang transisi energi berkeadilan
Meskipun program Astacita 2025 layak mendapat apresiasi atas komitmen sosialnya, para akademisi mengingatkan bahwa keberhasilan di tingkat mikro (desa 3T) harus dilihat dalam konteks sistem energi nasional yang lebih besar.

Riset yang dilakukan The Habibie Center (THC) menyoroti bahwa transisi energi berkeadilan merupakan wicked problem—masalah yang kompleks, dinamis, dan struktural, yang memerlukan komitmen semua pihak. THC mengkritik bahwa praktik tata kelola energi nasional sering memicu “fenomena zero-sum game.” 

Dalam konteks ini, meskipun PLN berhasil melistriki 3T dengan EBT, kebijakan energi yang lebih luas yang masih berfokus pada sumber energi fosil, terutama batu bara, dapat memicu masalah sosio-ekologis. Dampak negatif dari polusi, seperti tingginya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di dekat pembangkit listrik fosil atau gagal panen akibat perubahan iklim, tetap menjadi ancaman serius bagi keadilan lingkungan secara keseluruhan.

Listrik yang dibawa oleh Astacita 2025 ke wilayah 3T merupakan langkah awal yang krusial, namun keberlanjutan program ini sangat bergantung pada kerangka hukum yang kuat.

Para peneliti dari THC menekankan urgensi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan kemauan politik yang solid. Tanpa payung hukum yang memadai, program yang berfokus pada keadilan energi dan EBT, seperti SuperSUN, berisiko terhenti ketika terjadi perubahan kepemimpinan atau prioritas pendanaan. Kerangka hukum yang pasti diperlukan untuk menjamin kepastian investasi, kemanfaatan, dan keadilan energi jangka panjang bagi masyarakat.

Secara fundamental, elektrifikasi Astacita adalah pengungkit untuk pembangunan yang lebih merata. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh riset mengenai ketimpangan di 3T, listrik saja tidak cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Program ini harus dipadukan dengan kebijakan lain yang secara simultan mengatasi masalah kualitas guru, konektivitas digital yang memadai, dan integrasi rantai pasok ekonomi lokal.

Dengan dukungan pemerintah daerah dan komitmen PLN, keadilan energi yang dimanifestasikan dalam Astacita 2025 telah membawa Mamasa dan ribuan desa 3T lainnya ke “titik balik.” Kolaborasi antara PLN dan Pemerintah Daerah adalah kunci utama untuk memperluas akses listrik dan meningkatkan kesejahteraan di seluruh nusantara. Cahaya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar adalah pengakuan bahwa keadilan energi adalah hak asasi, bukan sekadar komoditas.

    Menjawab Krisis Ruang Buang di Sulut, TPA Mamitarang di Ilo-Ilo Solusi Regional

    SEPASANG suami istri, dengan karung jumbo di bahu sudah delapan tahun mengais rezeki dari tumpukan sampah di Kabupaten Minahasa Utara.

    Mereka adalah Am dan Tia, yang sejak pagi hingga petang, bersama puluhan pengepul lain,  menyisir gunungan limbah yang baru diturunkan dari truk-truk pengangkut.

    Di tengah bau busuk dan udara lembap, mereka berlomba menemukan plastik, botol kaca, potongan tembaga, besi tua, atau tumpukan kardus, semua yang bisa dijual.

    Jika hari sedang baik, pasangan ini bisa membawa pulang 4 hingga 5 karung jumbo, masing-masing seberat 30 Kg yang dihargai Rp1.800 per Kg. Itu cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur mereka.

    Bagi pengepul sampah, bau menyengat bukan halangan. Selama ada yang bisa dikumpulkan, ada harapan yang bisa diperjuangkan.

    Namun di balik cerita perjuangan itu, tersembunyi potret lain: fasilitas yang mulai aus, daya tampung yang menipis, dan sistem pengelolaan yang tertinggal dari lajunya produksi sampah.

    Kisah Am dan Tia hanya satu dari banyak suara yang menyuarakan kebutuhan mendesak, bahwa TPA di berbagai daerah di Sulawesi Utara kini berada di ambang batas, dan saatnya dilakukan pembenahan sebelum semuanya benar-benar runtuh.

    Menghitung Mundur Kapasitas  TPA 

    Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq melihat kondisi TPA Sumompo Sabtu, (12/7/2025), didampingi Wali Kota Manado, Andrei Angouw.(Foto: Dok. LHK Manado)

    Pemerintah pusat resmi melayangkan surat teguran kepada 343 kepala daerah di Indonesia yang dinilai lalai memperbaiki pengelolaan sampah.

    Teguran keras ini dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hanif Faisol Nurofiq pada tahun 2025 sebagai lanjutan dari peringatan serupa yang sempat dikirim pada November tahun lalu.

    Surat teguran ini ditujukan kepada para bupati dan wali kota yang masih mengoperasikan TPA dengan sistem open dumping, metode kuno yang telah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 karena membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

    Dalam surat tersebut, KLHK menekankan dua poin penting, yaitu penutupan TPA yang sudah semrawut, serta transisi bertahap menuju pengelolaan modern, seperti sanitary landfill dan pengolahan dari hulu.

    Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), Indonesia menghasilkan 38,4 juta ton sampah pada 2023.

    Namun hanya 61,62 persen dari total tersebut yang berhasil terkelola secara layak.

    Selebihnya, masih menumpuk di TPA terbuka yang mencemari lingkungan dan memperburuk krisis sampah di banyak daerah.

    Minahasa Utara: Di Persimpangan Pertumbuhan dan Krisis Sampah

    TPA Airmadidi, tempat Am dan Tia menggantungkan hidup, sebenarnya adalah fasilitas yang semakin menua.

    Meski memiliki luas lahan sekitar 7,2 hektar (Ha) dan menerapkan sistem controlled landfill, usia pakainya terus dihitung mundur.

    Hasil penelitian tim Teknik Lingkungan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado pada tahun 2023 memperkirakan bahwa sisa daya tampung TPA ini sekitar 866.340 meter kubik atau seluas 12 lapangan sepakbola .

    Dengan tren timbulan sampah saat ini, umur pakai TPA Airmadidi diperkirakan habis pada tahun 2028, atau hanya tersisa sekitar lima tahun sejak proyeksi tersebut dibuat.

    Namun, ada skenario lebih optimistis. Jika dilakukan reduksi timbulan sampah hingga 57,57%, maka usia pakainya bisa diperpanjang menjadi hingga tahun 2035.

    Masalahnya, sebagian sarana dan prasarana di TPA Airmadidi kini dalam kondisi rusak dan belum dikelola secara optimal.

    Ini menimbulkan risiko terjadinya overkapasitas lebih cepat dari perkiraan, apalagi volume sampah dari kecamatan-kecamatan padat seperti Airmadidi, Kalawat, dan Dimembe terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.

    Kota Bitung: Menumpuk di Ruang Terbatas

    Di sisi timur, volume sampah di Bitung meningkat seiring ekspansi ekonomi dan urbanisasi.

    Ini tanda darurat mengingat kapasitas TPA di kota ini sangat terbatas, baik dari sisi luas lahan maupun sistem pengelolaan.

    Beberapa zona penampungan sementara bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda krisis: sampah tak terangkut, tumpukan limbah memanjang di tepi jalan, dan aliran air tercemar lindi saat musim hujan.

    Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bitung, Merianti Dumbela menjelaskan, tempat pembuangan akhir ini sudah menerapkan metode sanitary landfill, sistem yang lebih ramah lingkungan dibandingkan open dumping.

    Ia tak menapik, lahan seluas 7 Ha itu, 6 bulan lagi akan penuh. Saat ini ketinggian tumpukan sudah mencapai 10-15 meter.

    Ini berbanding lurus dengan laporan di lapangan menyebutkan bahwa kondisi lahan yang tersedia sudah sulit untuk diperluas, mengingat posisi geografis kota yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi dan wilayah pesisir.

    Artinya, jika tidak ada perluasan atau pembangunan lokasi baru, Bitung berpotensi mengalami darurat sampah pada awal 2026.

    Kabupaten Minahasa: Diam dalam Bayang-Bayang Krisis

    Sementara itu, Kabupaten Minahasa masih bergelut dengan keterbatasan sistemik dalam penanganan sampah.

    Banyak desa dan kecamatan belum memiliki akses ke TPA yang layak. Sebagian sampah rumah tangga dibakar, ditimbun, atau dibiarkan mencemari lingkungan sekitar. Meski bukan daerah industri besar, pertumbuhan permukiman dan aktivitas pariwisata perlahan meningkatkan volume sampah tanpa dibarengi dengan kapasitas pengelolaan yang memadai.

    Bupati Minahasa Robby Dondokambey berkomitmen dalam menata ulang sistem pengelolaan sampah di TPA Kulo di Kecamatan Tondano Utara.

    “Pemerintah sudah menerbitkan edaran kepada seluruh masyarakat tentang gerakan gaya hidup sadar sampah. Karena masalah kebersihan harus diatasi dari hulu, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan kerja kita, dengan melakukan langkah-langkah sederhana namun berdampak besar terhadap pelestarian lingkungan,” kata Dondokambey.

    Kota Manado: Sisa Waktu Semakin Tipis

    Di Kota Manado, TPA Sumompo kini dalam masa transisi. Pemerintah Kota sedang mengubah pola pengelolaan dari open dumping menjadi sanitary landfill sejak Februari 2025.

    Namun berdasarkan studi yang dilakukan oleh Unsrat Manado, kapasitas sisa lahan hanya mampu menampung sampah selama 4 tahun ke depan dan 8 tahun lagi jika konsisten dengan sanitary landfill.

    Pemerintah Kota Manado terus mencari cara untuk menyiasati persoalan mendesak di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo yang berada tak jauh dari pemukiman warga.

    Salah satu langkah nyata yang kini dijalankan adalah penggunaan eco enzim, cairan ramah lingkungan yang disemprotkan secara rutin di area TPA untuk mengurangi bau busuk sampah yang selama ini dikeluhkan masyarakat sekitar.

    Ini merupakan hasil kolaborasi antara DLH Kota Manado dan berbagai komunitas peduli lingkungan serta relawan warga. DLH juga terus mendorong upaya pemilahan sampah dari hulu, produksi magot dari limbah organik, serta daur ulang botol plastik sebagai solusi ekonomi warga.

    Namun, seiring terus meningkatnya volume sampah—sebanyak 248 ton per hari—penyemprotan eco enzim bukanlah solusi tunggal. Penataan menyeluruh dan percepatan perubahan sistem pengelolaan TPA menjadi semakin mendesak, terlebih dengan lokasi yang bersisian langsung dengan kehidupan masyarakat.

    “Strateginya adalah menata ulang, memperbaiki manajemen, dan menyiapkan solusi jangka panjang. Salah satunya, tentu saja, TPA Ilo-Ilo,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Manado Pontowuisang Kakauhe.

    Jejak Panjang Pembangunan TPA Regional Mamitarang

    TPA Regional di Desa Ilo-Ilo, kini menunggu tahapan pembangunan akhir.

    Di tengah keterbatasan itu, satu nama mengemuka sebagai harapan baru, TPA Regional Mamitarang, sebuah fasilitas modern yang dibangun di Kecamatan Wori, Minahasa Utara, dan digadang sebagai proyek regional masa depan pengelolaan sampah Sulawesi Utara.

    TPA Regional Mamitarang direncanakan melayani Kota Manado, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa dan Kota Bitung.

    TPA ini diperkirakan hanya dapat menampung sampah sampai dengan maksimal selama 5 tahun sehingga, direncanakan pengembangan pengelolaan sampah berupa PSEL.

    Meski di atas kertas telah dirancang sebagai solusi regional sejak 2016, realisasi fisik proyek ini melalui jalan panjang dan berliku.

    Mulai dari penandatanganan nota kesepahaman oleh para kepala daerah, proses penganggaran lintas kementerian, hingga serangkaian kegagalan tender, proyek ini mencerminkan tantangan koordinasi lintas lembaga dan birokrasi teknis di sektor lingkungan.

    Baru pada 2020, proyek ini berhasil masuk ke tahap pelaksanaan dengan ditandatanganinya kontrak pekerjaan dan dilanjutkan peletakan batu pertama.

    Sejak pembangunan dimulai tahun 2020, fasilitas pengelolaan sampah untuk lima daerah itu belum juga dioperasikan.

    TPA Regional Mamitarang dibangun oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk berdasarkan kontrak Rp128,59 miliar dari pagu anggaran Rp152 miliar.

    Kini masih ada satu tahap pekerjaan yang tersisa, yaitu mencakup pengadaan alat berat, hanggar, jalan lingkar, garasi, kantor pengelola, hingga timbangan di pintu masuk dengan anggaran Rp25 miliar.

    Pengoperasian mandek karena persoalan kelembagaan dan belum siapnya Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Persampahan sebagai calon pengelola.

    Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus telah mengusulkan percepatan operasional TPA Regional Mamitarang dalam pertemuan dengan Menteri PPN/Bappenas Rachmat Pambudy.

    “Usulannya sudah diterima langsung Pak Rachmat Pambudy 28 April 2025 lalu,” kata Yulius Selvanus.

    Kepala Seksi Wilayah II Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Sulawesi Utara, Nontje Adil, menyatakan pembangunan lanjutan TPA Iloilo tahun ini sudah disetujui, namun anggarannya masih diblokir akibat realokasi.

    Bila blokir dibuka dan tender untuk pembangunan tahap akhir akan berjalan sesuai rencana dan TPA diperkirakan bisa beroperasi awal 2026.

    Di sisi lain, Kepala UPTD Persampahan Sulut, Murniaty menjelaskan posisi TPA Regional Mamitarang saat ini.

    “Untuk TPA Ilo-ilo masih di BPPW, belum diserahterimakan. BPPW masih sementara akan melanjutkan pembangunan,” ujarnya.

    Pemprov Sulut sendiri telah memiliki Perda Nomor 4 Tahun 2022 tentang pengelolaan TPA Regional yang ditetapkan 22 November 2022, mengatur sistem sanitary landfill, pola kerja sama antar daerah, kompensasi dampak, hingga sanksi.

    Namun, besaran tipping fee atau biaya buang sampah masih diperdebatkan.

    Draf sementara menyebut tipping fee Rp77 ribu per ton, namun ditolak seluruh daerah.

    Sebagai perbandingan, Surabaya mengenakan Rp227 ribu/ton, Jakarta Rp222 ribu/ton, dan Perpres 35/2018 menetapkan batas maksimum Rp500 ribu/ton.

    Menanti Manfaat Megaproyek Pengelolaan Sampah

    Kolam aampungan air berfungsi mengumpulkan lindi agar tidak mencemari tanah dan air tanah.

    TPA Regional Mamitarang memiliki luas sekitar 30 Ha.

    Di lokasi  itu juga akan dibangun PSEL dengan kapasitas pengolahan sampah sebesar 800 ton per hari dengan indikasi kapasitas listrik dihasilkan sebesar 12 Mw.

    Kementerian Pekerjaan Umum lewat situs resminya, menjabarkan proyek PSEL TPA Regional Mamitarang saat ini dalam proses beauty contestteknologi.

    Adapun opsi teknologi masih terbuka, tetapi diharapkan berupa teknologi waste to energy/PLTSa.

    Proyek dilaksanakan dengan skema pembiayaan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) dengan nilai investasi sebesar Rp1,5 Triliun dan tipping fee direncanakan sebesar Rp435.000/ton.

    Periode kerja sama direncanakan selama 30 tahun, dengan rincian 2,5 tahun masa konstruksi, 27,5 tahun masa operasional.

    TPA modern yang dirancang dengan sistem sanitary landfill ini tidak hanya berfungsi sebagai lokasi pemrosesan akhir sampah tetapi juga disiapkan untuk memproduksi energi listrik dari sampah.

    Pengelolaan TPA secara modern memberikan peluang bagi pemanfaatan sampah sebagai sumber energi terbarukan.

    Selain Landfill Gas to Energy, yakni pemanfaatan gas metana yang dihasilkan dari pembusukan sampah organik dalam sistem tertutup, juga akan dikembangkan adalah Refuse-Derived Fuel (RDF), yaitu pemanfaatan sampah non-organik seperti plastik dan tekstil sebagai bahan bakar alternatif.

    Bak penampungan lindi, yaitu cairan berbahaya yang terbentuk dari hasil peresapan air melalui tumpukan sampah.

    Jika seluruh proses berjalan sesuai rencana, awal 2026 nanti TPA Regional Ilo-ilo di Minahasa Utara akan resmi beroperasi penuh sebagai pusat pengelolaan sampah modern pertama di Sulawesi Utara.

    Anggota DPD RI, Stefanus BAN Liow, saat meninjau langsung lokasi TPA Ilo-ilo belum lama ini, menekankan pentingnya percepatan penyelesaian Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan kabupaten/kota sebagai wujud implementasi Perda Provinsi Sulut Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Sampah.

    “Sejak tahun 2022, dalam rapat kerja dengan Menteri PUPR, saya terus mendorong agar proyek ini dituntaskan. Harapan kita, pemerintah pusat segera menyetujui keberlanjutan TPA Ilo-ilo. Apalagi, Gubernur Sulut punya perhatian besar terhadap percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam penanganan sampah serta komitmen Presiden RI Prabowo Subianto dalam menyelesaikan persoalan sampah secara nasional,” ujar Liow. [Findamorina Muhtar]

    Liputan ini didukung Ekuatorial.com pada program Jurnalisme Konstruktif dalam Geojournalism di Indonesia. Terbit pertama kali pada VivaSulut

    Katak pohon dan kadal buta, dua penemuan spesies baru di Indonesia

    Spesies baru katak pohon Rhacophorus boeadii ditemukan peneliti BRIN di Pulau Sulawesi. (Foto: Amir Hamidy/BRIN)
    Spesies baru katak pohon Rhacophorus boeadii ditemukan peneliti BRIN di Pulau Sulawesi. (Foto: Amir Hamidy/BRIN)

    Tim Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengidentifikasi satu spesies baru katak pohon dari genus Rhacophorus. Spesies ini ditemukan di dua lokasi berbeda di Pulau Sulawesi, yaitu Gunung Katopasa (Sulawesi Tengah) dan Gunung Gandang Dewata (Sulawesi Barat), dan diberi nama Rhacophorus boeadii.

    Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada mendiang Drs. Boeadi, ilmuwan dari Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) yang telah berkontribusi besar dalam bidang zoologi dan konservasi satwa herpetofauna Indonesia.

    Peneliti Herpetologi BRIN, Amir Hamidy, menjelaskan bahwa R. boeadii memiliki karakter morfologis yang membedakannya dari spesies Rhacophorus lain di Sulawesi, yakni R. edentulus, R. georgii, dan R. monticola.

    “Katak ini berukuran sedang, dengan panjang tubuh jantan sekitar 40–45 mm dan betina 48–54 mm. Ciri khas lainnya termasuk moncong jantan yang miring, kulit punggung kasar dengan bintik putih, serta pola bercak putih di sisi tubuh,” ujar Amir, diakses dari laman resmi, Rabu, 25 Juni 2025.

    Penemuan ini merupakan hasil survei intensif pada 2016–2019. Tim BRIN melakukan analisis morfologi, genetika, dan suara panggilan jantan untuk mengkonfirmasi status spesies tersebut sebagai takson baru.

    “Kami sangat antusias dengan penemuan ini karena semakin membuka wawasan terhadap kekayaan biodiversitas Sulawesi yang unik. Namun, kami juga khawatir karena habitatnya yang terspesifikasi pada hutan dataran tinggi sangat rentan terhadap ancaman kerusakan habitat dan perubahan iklim,” tambah Amir.

    Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional Zootaxa (5569 (2): 201–230) dan mempertegas pentingnya konservasi biodiversitas kawasan Wallacea, yang dikenal dengan tingkat endemisme amfibi yang sangat tinggi.

    Kadal buta Dibamus oetamai dari Pulau Buton

    Tim peneliti BRIN sebelumnya mengidentifikasi spesies baru kadal buta dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Spesies ini berasal dari genus Dibamus, dan dinamai Dibamus oetamai, sebagai penghormatan kepada almarhum Jakob Oetama, tokoh pers nasional dan pendiri Kompas Gramedia.

    Peneliti Ahli Madya BRIN, Awal Riyanto, menyampaikan bahwa Dibamus oetamai adalah reptil fosorial yang hidup di dalam tanah dan menyerupai cacing, dengan mata terdegenerasi. Betina tidak memiliki kaki, sedangkan jantan memiliki kaki vestigial berbentuk flap.

    Selama ini, populasi kadal buta di Buton dikira merupakan bagian dari Dibamus novaeguineae. Namun, hasil penelitian morfologi dan biogeografi terhadap spesimen museum serta data terpublikasi menunjukkan bahwa populasi Buton memiliki ciri unik.

    Spesies ini memiliki panjang moncong-ke-vent (SVL) maksimum 145,7 mm. Ciri lainnya meliputi pola sisik kepala tanpa sutur rostral medial dan lateral, frontal lebih besar daripada frontonasal, serta dua atau tiga pita terang pada tubuh. Habitat alaminya adalah hutan hujan muson Pulau Buton dengan ketinggian di bawah 400 mdpl.

    Awal Riyanto menyampaikan, “Temuan ini menunjukkan bahwa masih banyak keragaman reptil Indonesia yang belum terungkap, terutama di wilayah Wallacea yang menjadi hotspot keanekaragaman hayati.”

    Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah TAPROBANICA pada 25 April 2025. Tim peneliti menganalisis spesimen dari Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, dan menemukan bahwa karakteristik populasi Buton tidak ditemukan pada Dibamus lain di wilayah sekitarnya.

    Karena endemisitasnya dan keterbatasan sebaran, Dibamus oetamai berpotensi rentan terhadap ancaman deforestasi. Perlindungan kawasan seperti Hutan Lindung Lambusango dinilai penting untuk menjaga kelangsungan spesies ini.

    Kriminalisasi petani, potret suram penyelesaian konflik agraria

    Petani menuntut implementas UU Reforma Agraria. (KPA)
    Petani menuntut implementas UU Reforma Agraria. (KPA)

    Yola Nifta Rompas, petani anggota Serikat Petani Minahasa Selatan (SPMS), ditetapkan sebagai tersangka, Selasa, 20 Mei 2025. Ia dituduh melakukan pencurian di atas lahan yang telah digarap masyarakat selama puluhan tahun. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), penetapan tersangka ini menandai kriminalisasi lanjutan terkait konflik agraria di Pakuweru yang telah berulang sejak 2022.

    Kriminalisasi terhadap petani di Desa Pakuweru, Kecamatan Tengah, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi, telah berlangsung sejak 23 Juni 2022. Saat itu, Yola Nifta Rompas bersama 13 petani lainnya dilaporkan oleh perusahaan. Mereka dituduh mencuri hasil dari tanah yang telah dikuasai dan digarap masyarakat sejak 1970-an, meskipun tidak disertai bukti yang jelas.

    Tanah seluas 94 hektar yang disengketakan merupakan bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang masa berlakunya telah berakhir pada tahun 2008. Setelah ditelantarkan perusahaan sejak dekade 1970-an, masyarakat mulai menggarap lahan tersebut secara lebih luas sejak 1990-an. Tanah ini menjadi sumber penghidupan bagi petani SPMS selama tiga generasi.

    Data kriminalisasi terkait konflik agraria

    Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, tindakan kriminalisasi terhadap petani semakin menunjukkan lemahnya komitmen negara dalam menyelesaikan konflik agraria. KPA mencatat selama periode 2018–2024, terdapat 531 kasus kriminalisasi, 89 penganiayaan, 5 penembakan, dan 9 korban tewas di wilayah konflik agraria, khususnya sektor perkebunan.

    KPA menyoroti bahwa kasus HGU di Minahasa Selatan telah berakhir sejak 2008, sehingga tidak ada dasar hukum bagi klaim perusahaan atau pihak yang mengaku sebagai ahli waris. Selain itu, masyarakat telah menetap dan mengelola lahan tersebut sejak 1970-an, dan lokasi ini telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

    Penetapan tersangka dinilai sebagai bentuk intimidasi, tanpa memeriksa latar belakang konflik secara menyeluruh dan tanpa bukti yang sah. KPA menyebut tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi yang berulang terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah.

    KPA juga menyampaikan bahwa konflik seperti ini dapat dicegah jika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menetapkan lahan bekas HGU sebagai tanah terlantar untuk kemudian diredistribusikan kepada petani. Saat ini, terdapat 7,14 juta hektar tanah terlantar yang belum ditertibkan oleh pemerintah, memberi ruang bagi mantan pemilik HGU untuk terus melakukan intimidasi.

    Pernyataan dan tuntutan KPA

    Konsorsium Pembaruan Agraria menyampaikan pernyataan sikap tertanggal 3 Juni 2025 yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Dewi Kartika. KPA mendesak: bebaskan petani Minahasa dari riminalisasi; menuntut Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan Gubernur Sulawesi Utara mengawal proses penyelesaian konflik agraria di LPRA Pakuweru, dan mendesak Kementerian ATR/BPN segera mempercepat redistribusi tanah dan pengakuan hak atas tanah masyarakat Pakuweru.

    Jejaring perempuan pesisir menjaga laut dari ancaman reklamasi

    Aksi perempuan pesisir menolak reklamasi yang merusak kehidupan dan lingkungan. (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)
    Aksi perempuan pesisir menolak reklamasi yang merusak kehidupan dan lingkungan. (Foto: WALHI Sulawesi Selatan)

    Diskusi Serial: Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara mempertemukan suara-suara perempuan dari berbagai wilayah Indonesia yang selama ini berada di garis depan perjuangan menjaga laut dan ruang hidupnya dari ancaman reklamasi.

    Dalam sambutan diskusi yang berlangsung daring Rabu, 30 April 2025, diakses dari laman Walhi Sulawesi Selatan, Jumat, 16 Mei 2025, Kepala Departemen Riset dan Keterbukaan Publik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Slamet Riadi, menjelaskan bahwa jejaring ini dibentuk di Makassar pada 29 Desember 2023.

    Anggota forum ini terdiri dari kelompok-kelompok perempuan yang tersebar di berbagai daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

    Pembentukan jejaring ini merupakan respons atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat pesisir, terutama perempuan. Slamet mencontohkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut yang kembali membuka izin ekspor pasir laut.

    “Padahal aturan tersebut sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun yang lalu,” ujarnya. Namun, Slamet mengatakan kebijakan tersebut justru dihidupkan kembali di rezim sekarang.

    Dalam diskusi tersebut, hadir dua tokoh perempuan yang dikenal gigih dalam mempertahankan wilayahnya dari proyek reklamasi: Asmania dari Pulau Pari dan Restin Bangsuil dari Manado. Keduanya mewakili wajah nyata dari perjuangan komunitas pesisir yang terancam kehilangan ruang hidup karena ekspansi proyek-proyek pembangunan yang merusak ekosistem laut.

    Asmania, dikenal sebagai Perempuan Pejuang Pulau Pari, telah berjuang sejak tahun 2014. Lebih dari satu dekade ia konsisten menolak reklamasi yang mengubah wajah pulaunya dan merusak lingkungan laut. “Pemerintah tidak hadir, sehingga konflik tidak pernah terselesaikan,” kata ibu tiga anak ini.

    Dampak reklamasi terasa langsung di Pulau Pari. Budidaya rumput laut yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan utama masyarakat kini menurun drastis. Banyak warga kemudian beralih ke sektor pariwisata dan mengelolanya secara swadaya.

    Namun, alih-alih mendapat dukungan, masyarakat justru berhadapan dengan klaim sepihak atas pulau mereka. “Bukannya diapresiasi oleh pemerintah, justru Pulau Pari diklaim oleh korporasi. Sementara masyarakatnya dikriminalisasi,” tegas Asmania.

    Baginya, reklamasi bukan solusi. Ia menegaskan bahwa masyarakat Pulau Pari lebih tahu cara menjaga wilayahnya sendiri. “Kami akan terus berjuang. Yang kami perjuangkan bukan hanya untuk kami, tapi untuk generasi yang akan datang. Kami lebih paham bagaimana menjaga pulau kami, yang pasti bukan dengan reklamasi.”

    Sementara itu, Restin Bangsuil, Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado, membawa cerita dari utara Sulawesi. Manado dikenal luas karena keindahan laut dan terumbu karangnya, terutama kawasan Bunaken. Namun, proyek reklamasi mengancam kelestarian kawasan tersebut.

    “Masyarakat terus mempromosikan keindahan Bunaken. Namun, justru pemerintah ingin merusaknya,” ujarnya.

    Restin menjelaskan bahwa laut selama ini menjadi penopang utama ekonomi masyarakat pesisir. Dari hasil laut, warga bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, bahkan menjadi guru dan pegawai negeri. Maka, ketika laut terancam, seluruh ekosistem sosial ikut terguncang.

    Ia juga menekankan peran penting perempuan dalam menjaga alam. Menurutnya, perempuan memiliki daya tahan dan kesabaran yang kuat dalam perjuangan. Meskipun sering mengalami perundungan dan intimidasi, ia dan rekan-rekannya tetap teguh dalam barisan.

    “Perjuangan tidak akan berhenti. Kita wajib menjaga hal-hal yang dititipkan ibu pertiwi kepada kita. Jangan biarkan ruang hidup kita dirampas. Kita pasti bisa, karena kita memperjuangkan ciptaan Tuhan. Tuhan pasti bersama kita!”

    Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengalaman, tetapi juga menegaskan urgensi solidaritas perempuan pesisir di tengah kebijakan yang semakin berpihak pada kepentingan industri dan kapital besar. Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara lahir dari kebutuhan untuk saling menguatkan, menyuarakan pengalaman langsung dari lapangan, dan menyatukan langkah dalam menjaga laut sebagai sumber kehidupan.

    Bara Juang Baraya: Solidaritas Kampung Kota Melawan Penggusuran

    Solidaritas Bara Baraya. (Enter Nusantara)
    Solidaritas Bara Baraya. (Enter Nusantara)

    Bara-Baraya merupakan entitas warga kampung kota yang tempat tinggalnya diwariskan turun-temurun, menjadi saksi ikatan sosial, budaya, dan perjuangan warga kelas pekerja untuk bertahan hidup di tengah derasnya arus pembangunan kota.

    Kelurahan Bara-Baraya terletak di Kabupaten Makassar, Kota Makassar, mungkin hanya seluas 0,20 KM². Ribuan orang yang bermukim di sana terus menghadapi ancaman. Konflik agraria di Bara-Baraya merupakan cerminan krisis tata ruang yang lebih luas di Indonesia.

    Negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, kerap kali menjadi fasilitator dalam praktik perampasan ruang hidup melalui penggusuran paksa yang dibungkus narasi pembangunan. Warga Bara-Baraya kini menjadi bagian dari daftar panjang masyarakat kota yang menjadi korban kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan kapital daripada keadilan sosial.

    Masyarakat sudah ada sebelum negara, tetapi penggusuran tidak hanya menghilangkan tempat tinggal; penggusuran juga menghilangkan hak atas kehidupan yang layak bagi masyarakat.

    Konflik agraria di Bara-Baraya merupakan cerminan krisis tata ruang yang lebih luas di Indonesia. Negara alih-alih hadir sebagai pelindung, justru kerap kali menjadi fasilitator dalam praktik perampasan ruang hidup melalui penggusuran paksa yang dibungkus narasi pembangunan. Warga Bara-Baraya kini menjadi bagian dari daftar panjang masyarakat perkotaan yang menjadi korban kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan kapital ketimbang keadilan sosial.

    Akan banyak warga yang kehilangan tempat tinggal di tanahnya sendiri, yang akan kehilangan hak atas kehidupan yang layak. Dengan jumlah yang tak lebih dari 7.000 jiwa, warga Bara-Baraya harus menghadapi ancaman eksekusi yang akan dilakukan oleh Pengadilan Negeri Makassar bersama gabungan aparat Kepolisian Kota Makassar. Di antara 196 orang yang akan menjadi korban langsung, sebagian besar merupakan kelompok rentan mulai dari anak-anak, perempuan, balita, hingga lansia.

    Dalam isu ini, kita kembali melihat imparsialitas kepolisian dalam menyelesaikan konflik ini. Lagi-lagi, kepolisian selalu berpihak kepada pemodal dan korporasi besar. Aparat keamanan yang seharusnya menjaga ketertiban umum justru semakin menjadi alat represif terhadap rakyat.

    Dalam kasus warga Bara-Baraya, keterlibatan aparat dalam rencana eksekusi hanyalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa reformasi institusi negara di Indonesia masih berjalan di tempat dan belum berfungsi sebagaimana mestinya.

    Penggusuran tidak hanya menimpa warga kampung kota Bara-Baraya

    Penggusuran tidak hanya terjadi dan menimpa warga kampung kota Bara-Baraya, masih banyak yang berpola sama terkait penggusuran, seperti yang dialami warga Taman Sari (Bandung), Bukit Duri dan Kampung Bayam (Jakarta), warga Pancoran (Jakarta), dan Kulon Progo (Yogyakarta).

    Semua warga dikalahkan dengan dalih tumpukan sertifikat dan dokumen yang kerap kali saling terkait dan menjadi permainan para mafia tanah, aktor negara hingga kepentingan korporasi besar. Dan segala perlawanan warga kerap dicap sebagai penghambat pembangunan, sementara kerusakan sosial yang ditimbulkan dianggap sebagai “harga yang harus dibayar.”

    Yang dilakukan oleh dua warga Bara-Baraya, Ibu Eta dan Ibu Lusia. Pada tanggal 15 Februari 2025, mereka meninggalkan Makassar menuju Jakarta, bukan untuk piknik atau memastikan Pantai Utara Jakarta tenggelam atau tidak akibat krisis iklim. Mereka datang ke Jakarta sebagai bentuk perlawanan dengan membawa suara harapan dari desa ke pusat kekuasaan. Mereka juga turut serta dalam persiapan festival perlawanan di Pancoran, Jakarta Selatan.

    Mereka juga melakukan perlawanan dengan melapor ke Komnas Perempuan dan membuka Festival Perlawanan. Ini bukan sekadar agenda formal, tetapi langkah simbolis bahwa suara perempuan dari desa kota juga punya tempat dalam wacana keadilan agraria nasional.

    Mamah Santi dari Pancoran juga menceritakan bagaimana pada akhir tahun 2019, isu penggusuran muncul tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan resmi. Ketakutan menyebar ketika aparat mulai merobohkan bangunan. Warga mulai membangun bentuk solidaritas, mencari informasi, dan mendapatkan bantuan dari aktivis dan mahasiswa.

    Warga juga memilih berbagai bentuk perlawanan, salah satunya dengan menggelar Festival Perlawanan bertajuk “Bara Juang Baraya”. Acara ini digelar di Jakarta. Acara ini menjadi ruang konsolidasi dan perlawanan kolektif yang diikuti warga kampung kota dari berbagai daerah yang juga tengah menghadapi ancaman penggusuran, seperti warga Kampung Pancoran, Kampung Tongkol, Kampung Bayam, dan Rumpin.

    Solidaritas juga hadir dari berbagai organisasi, kolektif, dan individu di wilayah Jabodetabek. Festival ini bukan sekadar perayaan, melainkan ruang artikulasi: menampilkan wajah warga yang selama ini terpinggirkan oleh pembangunan, memamerkan seni dan budaya yang lahir dari luka dan harapan, serta merajut solidaritas lintas komunitas.

    Melalui festival ini, warga Bara-Baraya menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak akan berhenti di pengadilan atau jalanan. Mereka menggunakan seni, budaya, dan solidaritas sebagai senjata untuk bertahan dan melawan.

    Enter Nusantara turut hadir dan terlibat langsung dalam rangkaian agenda perjuangan warga Bara-Baraya di Jakarta yang berlangsung pada 16 hingga 19 Februari 2025. Keterlibatan ini merupakan wujud nyata komitmen Enter Nusantara untuk berdiri bersama masyarakat akar rumput dalam melawan ketidakadilan struktural, khususnya dalam isu penggusuran dan perampasan ruang hidup yang marak terjadi di berbagai kelurahan di Indonesia.

    Enter Nusantara hadir dan terlibat langsung dalam rangkaian agenda perjuangan warga Bara-Baraya di Jakarta yang berlangsung pada 16 hingga 19 Februari 2025. Keterlibatan ini merupakan wujud nyata komitmen Enter Nusantara untuk berdiri bersama masyarakat akar rumput dalam melawan ketidakadilan struktural, khususnya dalam isu penggusuran dan perampasan ruang hidup yang marak terjadi di berbagai kelurahan di Indonesia.

    Enter Nusantara juga mendokumentasikan jalannya diskusi publik dan pameran arsip perjuangan serta berpartisipasi dalam pertemuan konsolidasi dengan kolektif dan organisasi lain yang merumuskan strategi lebih lanjut, termasuk demonstrasi di Mahkamah Agung dan dengar pendapat warga dengan Kementerian Hak Asasi Manusia. Dalam ruang konsolidasi ini, Enter Nusantara memberikan kontribusi berupa perspektif advokasi media dan menawarkan dukungan dalam bentuk produksi konten visual, kampanye digital, dan distribusi narasi perjuangan ke ruang publik yang lebih luas.

    Keterlibatan Enter Nusantara dalam agenda ini bukan sekadar bentuk solidaritas, tetapi juga bagian dari kerja kolektif membangun gerakan rakyat yang kuat, saling mendukung, dan mampu menghadapi sistem yang terus mengorbankan ruang hidup demi kepentingan kapital. Di tengah maraknya praktik penggusuran paksa dan konflik agraria, kami percaya bahwa cerita rakyat, arsip perjuangan, dan solidaritas antardesa adalah senjata untuk memperluas perlawanan dan membangun keadilan spasial yang sesungguhnya.

    Sekali lagi, kasus Bara-Baraya bukan hanya milik rakyat Makassar atau luka warga yang terdampak. Namun, derita mereka adalah cerminan wajah kota-kota besar di Indonesia yang makin jauh dari rakyatnya. Ketika pembangunan hanya dibatasi pada investasi dan konkretisasi, rakyat, khususnya kaum miskin, akan selalu menjadi korban.

    Maka, bentuk perjuangan dan pembelaan Bara-Baraya bukan hanya soal mempertahankan tempat tinggal, tetapi juga menolak kekerasan struktural yang terus mengulang sejarah kelam penggusuran. Perjuangan ini tentu mengajak kita semua untuk memilih: berpihak kepada warga yang terancam atau membiarkan ketidakadilan terus menang.

    Solidaritas adalah kekuatan kita yang paling dahsyat. Dengan memupuknya, kita tidak hanya menyelamatkan desa, tetapi juga memperjuangkan masa depan kota yang lebih adil, manusiawi, dan pro-rakyat.

    Laut, Identitas yang Terancam Tambang Emas di Sangihe

    Dampak aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe. (Yayasan EcoNusa/Putri Febriantika)
    Dampak aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe. (Yayasan EcoNusa/Putri Febriantika)

    Di ujung utara Sulawesi, Kepulauan Sangihe berdiri sebagai wilayah yang erat kaitannya dengan laut. Bagi masyarakat Sangihe, laut bukan sekadar tempat mencari nafkah—ia adalah bagian dari identitas, budaya, dan cara hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, kini keberlangsungan hidup mereka berada di ujung tanduk. Kehadiran tambang emas mengancam ekosistem laut yang menjadi tumpuan hidup mereka.

    Masyarakat Sangihe dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka melaut menggunakan pumpboat, perahu tradisional yang merupakan adaptasi dari perahu Filipina. Dalam keseharian, para nelayan ini melaut dari pagi hingga sore, melakukan empat hingga enam perjalanan seminggu. Ikan tongkol—dikenal sebagai deho dalam bahasa daerah—kerapu, kakap, dan layang (malalugis) adalah hasil utama tangkapan mereka. Ikan-ikan ini menjadi bahan pangan pokok sekaligus sumber penghasilan.

    Namun sejak beberapa tahun terakhir, pola hidup ini terganggu. Aktivitas tambang emas yang mulai beroperasi di pulau kecil itu perlahan mengubah kehidupan masyarakat.

    “Dulu kami bisa melaut dekat pesisir, dan hasil tangkapan sudah cukup untuk hidup. Sekarang, kami harus pergi lebih jauh ke laut, dan hasil tangkapan semakin sedikit,” ungkap Desmon Sondak, nelayan dari Kampung Bulo, dikutip dari EcoNusa.

    Tambang emas yang beroperasi di Pulau Sangihe membuang limbah tanah ke laut, menyebabkan sedimentasi dan mengubah kondisi perairan secara drastis. Air laut menjadi keruh, terumbu karang rusak, dan ekosistem pesisir seperti mangrove dan lamun terganggu. Akibatnya, populasi ikan menurun drastis.

    “Air laut sekarang semakin keruh, ikan juga susah didapatkan,” ujar Venetsia, nelayan dari Kampung Bowone. Ia menambahkan, “Kami khawatir, jika ini terus berlanjut, ikan yang kami tangkap tidak akan layak konsumsi.”

    Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sudah ada warga yang mengalami keracunan setelah mengonsumsi kerang laut dari wilayah terdampak. “Setelah kejadian itu, kami jadi takut untuk mengonsumsi kerang laut yang ada di sekitar pulau,” lanjut Venetsia dengan nada khawatir.

    Bagi para nelayan, laut bukan hanya sumber pendapatan, tetapi juga penopang kesehatan dan keberlangsungan hidup keluarga mereka. Dampak pencemaran dari tambang emas semakin terasa dari waktu ke waktu. “Kami yang hidupnya bergantung pada laut, kini merasa terancam. Laut yang dulu memberikan kehidupan, kini malah merugikan kami,” keluh Desmon dan Venetsia.

    Penolakan masyarakat terhadap tambang tidak terjadi dalam diam. Mereka telah menempuh berbagai jalur, mulai dari mediasi hingga gugatan hukum. Pada akhirnya, Mahkamah Agung memenangkan gugatan masyarakat Sangihe dan memutuskan mencabut izin usaha PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Putusan ini menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang sebelumnya telah membatalkan Surat Keputusan Menteri ESDM terkait operasi produksi PT TMS.

    Namun ironisnya, tambang emas tetap beroperasi di lapangan. Alih-alih berhenti, aktivitas tambang justru terus berlangsung.

    Situasi ini mendorong kelompok masyarakat sipil dan aktivis lingkungan semakin lantang menyuarakan penolakan. Jull Takaliuang, aktivis dari Koalisi Save Sangihe Island (SSI), menjadi salah satu suara utama dalam perjuangan ini. “Alam sudah sediakan semua yang masyarakat Sangihe butuhkan. Perusahaan tambang ini datang hanya untuk mengeruk dan merusak alam kita,” ujarnya tegas.

    Penolakan terhadap tambang emas bukan semata soal lingkungan, melainkan juga soal martabat dan masa depan. Bagi masyarakat Sangihe, mempertahankan laut berarti menjaga identitas mereka. Ini bukan hanya tentang bertahan hidup hari ini, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang tetap bisa menggantungkan hidup pada laut seperti leluhur mereka.

    “Kami ingin generasi mendatang tetap bisa hidup dari laut yang sama seperti kami. Itu yang kami perjuangkan,” kata Desmon, menggambarkan semangat kolektif masyarakat nelayan di pulau itu.

    Di tengah tekanan industri ekstraktif, masyarakat Sangihe memberi pelajaran penting tentang ketahanan budaya dan keberlanjutan. Ketika laut rusak, maka bukan hanya ekosistem yang hilang, tetapi juga jejak sejarah, kearifan lokal, dan ruang hidup sebuah komunitas yang telah menjadikan laut sebagai pusat kehidupan.

    Harapan mereka sederhana namun dalam: laut yang bersih, ekosistem yang sehat, dan masa depan yang tetap terikat pada alam. Bagi masyarakat Sangihe, keberlanjutan bukan sekadar wacana, tapi sebuah perjuangan nyata demi mempertahankan warisan hidup yang telah menghidupi mereka selama berabad-abad.

    Menguatkan pemenuhan hak atas tanah warga Sulawesi Tenggara melalui pendidikan

    Pendidikan tentang agraria oleh KPA di Kolaka, Sulawesi Utara. (KPA)
    Pendidikan tentang agraria oleh KPA di Kolaka, Sulawesi Tenggara. (KPA)

    Konflik agraria di Sulawesi Tenggara (Sultra) terus menjadi masalah yang belum tuntas. Ketimpangan kepemilikan tanah, perampasan lahan oleh perusahaan tambang, serta lemahnya perlindungan hukum bagi petani, menjadi tantangan besar dalam perjuangan hak atas tanah di daerah ini.

    Dalam upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Forum Solidaritas Daerah (ForSDa) Kolaka menggelar pendidikan kader melalui Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).

    Pendidikan yang berlangsung selama tiga hari, mulai Rabu (12/3) hingga Jumat (14/3) di Kolaka, Sultra, diikuti oleh 32 peserta dari berbagai organisasi rakyat yang tergabung dalam jaringan KPA. Di antaranya adalah Serikat Tani Mekongga, Serikat Tani Mekongga Timur, Lembaga Adat Adati Totongano Wonua Kampo Hukaea-laea, dan ForSDa.

    Tujuan utama dari pendidikan ARAS adalah untuk membekali para kader dengan pemahaman yang mendalam tentang pengorganisasian dan advokasi, serta memperkuat organisasi rakyat dalam perjuangan reforma agraria.

    Menurut Syamsudin Wahid, Kepala Departemen POR KPA dan salah satu narasumber dalam kegiatan tersebut, pendidikan ini bukan hanya soal teori. “Pendidikan ini juga menjadi upaya ideologisasi bagi para kader,” ujarnya. Syamsudin menekankan pentingnya pertukaran pikiran dan pengalaman dalam perjuangan hak atas tanah.

    Selain materi tentang strategi advokasi, para peserta juga berbagi pengalaman tentang konflik agraria yang terjadi di daerah mereka. Salah satu kasus yang mencuat adalah sengketa lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang nikel di Kolaka dan Bombana.

    Di beberapa wilayah Sultra, termasuk Kolaka dan Bombana, masyarakat telah menggarap tanah secara turun-temurun. Namun, ketika konsesi tambang diberikan kepada perusahaan, tanah mereka diklaim sebagai bagian dari wilayah eksploitasi. Akibatnya, banyak petani yang kehilangan hak atas tanah dan menghadapi intimidasi. Beberapa bahkan dijerat dengan kasus hukum karena berusaha mempertahankan hak atas tanah mereka.

    Jabir Lahukui, Direktur ForSDa yang juga menjadi pemateri dalam ARAS, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan tambang yang memperoleh izin eksploitasi tanpa melalui konsultasi yang memadai dengan masyarakat.

    “Selama ini, masyarakat sering kali tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, ini memperparah konflik agraria yang terjadi,” kata Jabir, dalam keterangan resmi. Ia juga menekankan pentingnya memahami siapa kawan dan siapa lawan dalam perjuangan ini, agar langkah-langkah yang diambil bisa lebih terarah.

    Pendidikan ARAS juga memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapi para kader dalam menerapkan strategi pengorganisasian, terutama menghadapi tekanan dari perusahaan dan aparat negara, serta minimnya perlindungan hukum bagi petani dan aktivis agraria. Keterbatasan ini menjadi salah satu fokus dalam pendidikan untuk memberikan pemahaman tentang advokasi dan risiko kriminalisasi yang mungkin dihadapi oleh para pembela hak tanah.

    Iwa Kartiwa, salah satu narasumber, menjelaskan bahwa dalam melakukan advokasi, pengumpulan data dan strategi kampanye adalah hal yang sangat penting.

    “Data adalah kekuatan dalam advokasi. Tanpa data yang kuat, perjuangan kita bisa lemah,” tegasnya. Data yang akurat dan terkini menjadi salah satu kunci untuk memperkuat posisi masyarakat dalam berhadapan dengan perusahaan dan pemerintah.

    Lebih lanjut, pendidikan ini juga berpotensi untuk diikuti dengan langkah-langkah konkret, seperti pendampingan hukum bagi korban konflik agraria, strategi pengorganisasian yang lebih sistematis, serta peningkatan tekanan politik terhadap kebijakan yang merugikan petani. Untuk itu, sinergi antara organisasi rakyat, akademisi, dan media perlu diperkuat agar isu agraria semakin mendapat perhatian publik dan kebijakan politik yang lebih berpihak kepada rakyat.

    Syamsudin Wahid menegaskan, “Reforma agraria sejati bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga bagaimana pengetahuan ini dapat diimplementasikan dalam aksi nyata untuk mengubah ketimpangan struktural yang masih mengakar.” Dalam konteks ini, pendidikan kader tidak hanya menjadi ruang untuk menambah wawasan, tetapi juga sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat gerakan sosial dalam mewujudkan keadilan agraria.

    Pendidikan ARAS yang pertama kali diadakan di Sulawesi Tenggara ini diharapkan menjadi titik awal untuk diskusi dan pendidikan lebih lanjut mengenai reforma agraria. Syamsudin berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan untuk memperkuat perjuangan hak atas tanah di masa depan. “Harapan kita, hasil dari pendidikan ARAS ini akan melahirkan peningkatan kesadaran politik, pemahaman yang lebih kuat tentang hak-hak agraria, serta strategi advokasi yang lebih efektif,” tutupnya.

    Dengan berakhirnya pendidikan ini, perjuangan hak atas tanah di Sulawesi Tenggara terus berlanjut. Para kader ARAS kini diharapkan dapat membawa pengetahuan dan strategi yang mereka peroleh untuk memperjuangkan keadilan agraria di daerah masing-masing.

    Home Maps Network Search