Lima petani tumbang ditembak dalam tragedi berdarah di Pino Raya, Bengkulu

Siang itu, Senin (24/11/2025), langit di atas lahan perkebunan Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, tidak lagi menaungi aktivitas tani yang damai. Suara gesekan daun sawit dan deru alat berat seketika berganti dengan letusan senjata api yang memecah ketegangan. Di tengah hamparan tanah yang disengketakan selama lebih dari satu dekade itu, darah petani kembali tumpah.

Lima orang petani—Buyung, Linsurman, Edi Hermanto, Santo, dan Suhardin—terkapar setelah timah panas diduga ditembakkan oleh aparat keamanan perusahaan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS). Peristiwa ini menjadi puncak dari konflik agraria berkepanjangan yang tak kunjung menemukan titik terang, mengubah ladang penghidupan menjadi arena pertaruhan nyawa.

Detik-detik mencekam

Ketegangan bermula sekitar pukul 10.00 WIB. Para petani mendapati alat berat milik PT ABS tengah meratakan tanaman di lahan yang mereka klaim dan garap. Upaya mempertahankan hak memicu adu mulut antara warga dan pihak keamanan perusahaan. Namun, situasi memanas dengan cepat.

Puncaknya terjadi pada pukul 12.45 WIB. Buyung, salah satu petani, ditembak tepat di bagian dada. Menurut laporan yang dihimpun, pelaku yang diduga berinisial R, seorang anggota keamanan perusahaan, tidak berhenti di situ. Ia berlari sambil melepaskan tembakan secara membabi buta. Peluru-peluru itu menemukan sasarannya: Linsurman terluka di lutut, Edi Hermanto di paha, Santo di rusuk bawah ketiak, dan Suhardin di betis.

Warga yang marah sempat mengejar dan menangkap terduga pelaku, sementara kelima korban yang bersimbah darah segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif.

Konflik panjang yang diabaikan

Insiden ini bukanlah kejadian yang berdiri sendiri, melainkan letusan dari bara api yang telah lama tersimpan. Konflik antara warga Pino Raya dan PT ABS telah berlangsung sejak terbitnya Izin Lokasi perkebunan seluas 2.950 hektare pada tahun 2012. Selama bertahun-tahun, petani hidup dalam bayang-bayang intimidasi, perusakan pondok, hingga kriminalisasi, namun mereka tetap bertahan demi sejengkal tanah leluhur.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang mendampingi warga, mengecam keras tindakan brutal ini. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa kekerasan ini adalah akumulasi dari pembiaran negara terhadap sengketa lahan.

“Hari ini lima orang petani Pino Raya ditembak oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan. Akibat penembakan tersebut lima orang petani mengalami luka berat,” ujar Uli dalam keterangannya.

Reaksi keras juga datang dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bengkulu. Mereka menilai insiden ini telah melampaui batas konflik lahan biasa dan masuk dalam kategori pelanggaran kemanusiaan serius.

Luthfi, dari Bidang HAM dan Lingkungan Hidup HMI Cabang Bengkulu, menyoroti kegagalan negara dalam melindungi warganya.

“Kejadian seperti ini sudah terlalu sering menimpa masyarakat kita. Ini bukan lagi sekadar konflik agraria, tetapi sudah menjadi tragedi kemanusiaan. Sudah selayaknya negara hadir secara tegas dalam penyelesaian konflik tersebut agar tidak ada lagi darah masyarakat yang tertumpah di tanah kelahirannya sendiri,” tegas Luthfi.

Senada dengan itu, Ridho dari HMI UINFAS Bengkulu menambahkan seruan moral agar hukum tidak tumpul di hadapan korporasi.

“Darah petani tidak boleh tumpah sia-sia. Kemanusiaan harus lebih tinggi daripada kepentingan perusahaan mana pun. Dan negara harus hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung hak-hak rakyatnya,” ungkap Ridho.

Kini, desakan mengalir deras kepada Kapolda Bengkulu untuk mengusut tuntas kepemilikan senjata api oleh pihak keamanan perusahaan dan memproses hukum pelaku penembakan. Lebih jauh, koalisi masyarakat sipil menuntut pemerintah pusat mencabut izin PT ABS yang dinilai menjadi sumber malapetaka di Pino Raya.

Bagi para petani Pino Raya, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas dan ruang hidup. Namun hari ini, harga yang harus mereka bayar untuk mempertahankan ruang hidup itu adalah darah dan nyawa yang terancam melayang.

Senyum petani perempuan Bengkulu di kebun kopi tangguh iklim

Senyum itu nyaris tak pernah lepas dari wajah Mercy Fitry Yana sore itu. Sembari jemarinya menyentuh dompolan buah kopi yang padat di kebunnya di Desa Tebat Tenong Luar, Rejang Lebong, Bengkulu, ia menceritakan perubahan besar yang membuatnya begitu bahagia.

Mercy adalah salah satu dari banyak perempuan petani yang kini merasakan langsung dampak positif dari apa yang mereka sebut “Kebun Kopi Tangguh Iklim”. Ia adalah anggota sekaligus Sekretaris Koalisi Perempuan Petani Kopi Desa Kopi Tangguh Iklim (Koppi Sakti) Bengkulu.

Sambil mengajak kami berkeliling kebunnya yang kini tampak lebih hijau dan subur, Mercy menunjuk ke arah buah kopi selang (buah di luar musim panen).

“Seperti inilah penampakan buah selangnya. Jauh berbeda dengan tahun lalu,” ujar Mercy, didampingi suaminya, Alto Kahirjat. Buahnya begitu lebat dan sehat, pemandangan yang tak biasa untuk buah di luar musim.

“Bahkan, beberapa petani kopi yang sempat mampir ke sini (kebun kopinya) mengatakan mirip dengan buah musim. Mudah-mudahan kondisi buahnya tetap bagus sampai waktu siap dipanen,” katanya penuh harap.

Harapan Mercy bukan tanpa alasan. Perubahan di kebunnya bukan sekadar ilusi. Angka-angka panen musim ini berbicara jelas.

Tahun lalu, Mercy hanya bisa mengumpulkan 25 karung kopi (ukuran 50 kg) dari kebunnya. Tahun ini, hasil panennya melonjak signifikan menjadi 43 karung. Peningkatan hasil juga terasa hingga panen “buah ujung” atau petik ketiga.

“Baru sekitar seminggu selesai panen buah ujung. Hasil yang diperoleh 7 karung. Kalau hasil panen buah ujung tahun lalu, hanya 4 karung,” jelasnya. “Namun, isi karung hasil panen tahun lalu tidak sebanyak isi karung hasil panen buah ujung pada tahun ini.”

Jawaban atas krisis iklim

Perubahan drastis ini adalah buah dari kerja kolektif para perempuan di Koppi Sakti. Mereka bersepakat untuk kembali ke praktik-praktik kearifan lokal yang sempat ditinggalkan, sebuah jawaban nyata untuk beradaptasi sekaligus memitigasi dampak perubahan iklim yang kian terasa.

Mercy menjelaskan, Kebun Kopi Tangguh Iklim yang mereka bangun berarti mengucapkan selamat tinggal pada herbisida kimia untuk mengendalikan rumput. Mereka juga berhenti membakar sisa-sisa tanaman.

Sebagai gantinya, para perempuan ini menghidupkan kembali tanah mereka. Rerumputan, ranting, dan dedaunan kopi yang gugur kini diolah menjadi mulsa organik. Sekam (kulit kering) kopi yang dulu terbuang, kini disulap menjadi pupuk organik yang kaya nutrisi.

Mereka juga membuat “lubang angin” atau rorak mini di sekujur kebun. Lubang-lubang ini berfungsi sebagai penampung air hujan sekaligus ‘pabrik’ kompos alami, mengurai bahan organik langsung di tempat.

Hasilnya, kesehatan kebun pulih. Mercy bercerita, kini buah kopinya tidak lagi banyak yang busuk sebelah atau berlubang. Kulit buahnya tampak lebih mengkilap, dan buahnya terasa lebih padat dan berat.

Mercy Fitry Yana membuat pupuk organik di lubang angin dengan memanfaatkan rerumputan, dedaunan dan reranting pohon kopi dan pohon lainnya yang sebelumnya diimanfaatkan sebagai mulsa organik. Foto: Dedek Hendry

Perubahan itu tak hanya terjadi pada buah. “Perubahan lainnya, batang menjadi kokoh, batang dan cabang tidak mudah patah, akar tidak mudah tercerabut, dan dedaunan menjadi rimbun dan berwarna hijau pekat,” tutur Mercy.

Ia mengenang kondisi kebunnya sebelum berubah. “Sebelumnya, kalau batang digoyang, pangkal batang ikut bergoyang, dan akar di sekitar pangkal batang ikut bergoyang seperti mau tercerabut,” katanya.

Inisiatif para perempuan ini tidak berhenti di situ. Di bawah bendera Koppi Sakti, yang juga digawangi oleh Ketua Nurlela Wati dan Bendahara Julian Novianti, mereka bersepakat menerapkan kembali pola polikultur.

“Untuk mengembangkan pola polikultur, Koppi Sakti Desa Tebat Tenong Luar bersepakat menanam nangka, durian, alpukat, jengkol, petai, kabau atau pohon lainnya yang menjadi pohon pelindung pohon kopi,” terang Mercy.

Pohon-pohon pelindung ini tak hanya menjaga kelembapan tanah dan melindungi kopi dari terik matahari, tetapi juga akan menjadi sumber pendapatan tambahan di masa depan.

Tak hanya pohon besar, lahan di sela-sela kopi pun kini produktif. “Selain sudah menanam pohon durian, alpukat, nangka, jengkol dan kabau, saya juga sudah menanam cabai rawit dan jahe, dan akan menanam terong, lengkuas dan serai di kebun kopi,” tambah Mercy.

Bagi Mercy dan perempuan petani kopi lainnya, kebun kini bukan lagi sekadar tempat menanam satu komoditas. Kebun telah menjadi ekosistem yang hidup, lumbung pangan keluarga, sekaligus benteng pertahanan mereka menghadapi ketidakpastian iklim.

“Optimis dengan Kebun Kopi Tangguh Iklim yang dibangun,” kata Mercy, senyumnya kembali merekah. Sebuah senyuman yang mewakili optimisme baru para perempuan penjaga bumi di Rejang Lebong.

Reportase kolaboratif Ekuatorial dengan LiveBengkulu

Gajah Sumatera di ujung tanduk. Mampukah koeksistensi menjawab konflik di lanskap industri?

Populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) berada di titik kritis. Angka-angka statistik melukiskan gambaran suram. Dari perkiraan 2.800 hingga 4.800 individu di era 1980-an, data terakhir pada 2019 menunjukkan jumlahnya di alam liar mungkin hanya tersisa 928 hingga 1.379 individu.

Mereka kini terdesak, tersebar di 23 “kantong” populasi yang terisolasi satu sama lain di Pulau Andalas.

Di balik penurunan drastis ini, ada tiga pemicu utama: kehilangan habitat akibat alih fungsi hutan, perburuan liar, dan konflik yang tak kunjung usai dengan manusia. Interaksi negatif antara manusia dan gajah, yang semakin intens dalam satu dekade terakhir, menjadi ganjalan serius bagi upaya konservasi.

Namun, di tengah tantangan itu, sebuah gagasan didorong kuat di panggung global: koeksistensi. Pada forum internasional IUCN World Conservation Congress di Abu Dhabi, UEA, 11 Oktober 2025, Belantara Foundation bersama Universitas Pakuan menyuarakan pendekatan ini.

Dalam panel diskusi yang diinisiasi oleh Conservation Allies, mereka mempresentasikan paparan bertajuk “Mengupayakan Koeksistensi: Dari Konflik Gajah menuju Sebuah Harmoni di Lanskap Industri”.

Fokus utama presentasi itu tertuju pada Lanskap Sugihan-Simpang Heran di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kawasan ini adalah rumah bagi salah satu kantong populasi terpenting, dengan sekitar 100-120 individu gajah liar yang bertahan hidup. Tantangannya masif. 

Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation yang juga dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, menjelaskan bahwa lanskap ini adalah sebuah “kawasan mosaik”.

“Dari total luas 600.000 hingga 700.000 hektar, hanya sekitar 75.000 hektar (sekitar 10-12%) yang berstatus Suaka Margasatwa Padang Sugihan. Sisanya adalah bentang alam yang didominasi oleh hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, sawah-ladang, dan pemukiman masyarakat,” paparnya.

Di lanskap yang terfragmentasi inilah gajah-gajah hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah. Konflik pun nyaris tak terhindarkan. “Saat gajah memasuki lahan masyarakat untuk mencari makan, kerugian ekonomi yang ditimbulkan dapat menurunkan level toleransi warga terhadap kehadiran satwa bongsor tersebut,” imbuh Dolly.

Merajut solusi harmoni
Di sinilah konsep koeksistensi ditawarkan sebagai solusi inovatif. Ini bukan sekadar upaya memisahkan, tetapi mencari cara agar manusia dan gajah dapat hidup berdampingan secara harmonis.

“Selain mengoptimalkan fungsi koridor ekologis yang telah disepakati para pemangku kepentingan untuk mengakomodasi terjadinya interaksi gajah antar kelompok, diperlukan upaya jitu untuk solusi terbaik atas semakin seringnya rombongan gajah liar masuk desa dan memakan tanaman padi masyarakat,” ujar Dolly.

Dolly percaya, meski tidak mudah, harmoni bisa dicapai. Kuncinya adalah sinergi semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, para pelaku usaha, lembaga konservasi, akademisi, hingga media, untuk bahu-membahu membangun strategi bersama.

“Diperlukan adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak agar hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan gajah sumatra yang kita impikan bersama dapat terwujud,” lanjutnya.

Upaya konkret pun telah dirintis di lapangan. Menurut Dolly, untuk mendukung upaya tersebut, sejauh ini upaya yang kami lakukan bersama para mitra berfokus pada beberapa aspek prioritas, antara lain peningkatan kapasitas bagi kelompok mitigasi konflik manusia-gajah. Mendukung infrastruktur mitigasi konflik seperti menyediakan menara pemantauan, kegiatan penyadartahuan dan edukasi bagi anak-anak usia dini, serta pengayaan pakan gajah. 

“Dan menyediakan “artificial saltlicks” (tempat menggaram buatan) di dalam kawasan hutan produksi untuk memenuhi kebutuhan mineral yang menjadi nutrisi tambahan bagi gajah,” pungkas Dolly.

Dukungan lintas batas
Inisiatif untuk mencari jalan tengah ini mendapat dukungan kuat dari mitra internasional. Dr. Paul Salaman, President of Conservation Allies, menegaskan komitmen mereka untuk menggalang dukungan global.

“Kami berkomitmen kuat untuk mendukung program konservasi gajah sumatra yang dijalankan Belantara Foundation di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan melalui hibah, penggalangan dana publik, serta peningkatan kapasitas yang dibutuhkan. Dana yang terkumpul akan dikelola secara transparan dan dialokasikan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan di lapangan,” tegas Paul.

Dukungan serupa datang dari Pemerintah Indonesia. Dirjen KSDAE Kemenhut RI, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Agr.Sc., yang turut mengikuti panel diskusi, mengapresiasi kemitraan tersebut.

Prof. Satyawan menekankan status gajah sumatra yang sangat dilindungi, baik oleh Peraturan Menteri LHK P.106/2018, status Critically Endangered (Kritis) di IUCN Red List, maupun larangan perdagangan internasional melalui CITES Appendix 1.

“Inisiatif ini sangat bagus. Kami berharap bahwa program ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meminimalkan interaksi negatif manusia-gajah. Dapat mengubahnya menjadi sebuah koeksistensi yang harmonis antara masyarakat dengan gajah sumatra di Lanskap Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan,” pungkas Satyawan.

Jalan menuju harmoni di lanskap yang kian terdesak ini masih panjang. Namun, kolaborasi multi-pihak yang didorong di forum global ini setidaknya menyalakan asa baru bagi masa depan sang raksasa Andalas.

APINDO Sumsel bersama petani kopi meretas jalan investasi hijau

Sumatera Selatan (Sumsel) tengah memosisikan diri sebagai episentrum baru investasi hijau dan inklusif di Indonesia. Di tengah himpitan tantangan domestik dan tekanan global, dunia usaha di Bumi Sriwijaya didorong untuk bertransformasi, beralih dari sekadar penghasil bahan mentah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sumatera Selatan, Sumarjono Saragih, menegaskan bahwa langkah kolaboratif lintas sektor adalah kunci untuk mewujudkan ambisi ini.

Menurut Sumarjono, dunia usaha di Sumsel saat ini menghadapi tantangan di dua front. “Secara internal, mereka bergulat dengan ketidakpastian hukum di sektor perkebunan, keterbatasan infrastruktur, dan kesenjangan kualitas sumber daya manusia,” katanya pada 2nd Sriwijaya Economic Forum 2025 di Palembang, Selasa (21/10/2025).

Sementara dari luar, tekanan datang dari isu sertifikasi keberlanjutan, kampanye hitam terhadap komoditas ekspor andalan, serta dinamika geopolitik global yang kian tak menentu.

Meski demikian, Sumarjono meyakini bahwa tantangan tersebut justru membuka momentum untuk membangun fondasi ekonomi daerah yang lebih tangguh dan berkeadilan.

“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan. Dunia usaha harus mengambil peran nyata dalam perubahan,” ujarnya.

Salah satu fokus utama untuk mewujudkan transisi ini adalah sektor kopi. Sumarjono melihat potensi luar biasa kopi Sumsel untuk kembali merebut panggung dunia, namun dengan pendekatan yang berbeda: menempatkan petani sebagai pusatnya.

Melalui South Sumatera Sustainable Coffee Initiative (SoCOFI), APINDO bersama pemerintah daerah, lembaga internasional, dan pelaku usaha berupaya membangun ekosistem kopi berkelanjutan dari hulu ke hilir.

Tujuannya jelas, yakni memastikan petani tidak lagi terpinggirkan dalam rantai pasok. “Petani kopi tidak boleh hanya menjadi penonton. Mereka harus menjadi pelaku utama yang menikmati hasil dari jerih payahnya sendiri,” tegasnya.

Langkah ini diperkuat dengan inisiatif yang lebih luas. Sumarjono mengungkapkan bahwa APINDO telah menjalin kerja sama dengan lembaga global seperti GIZ (Jerman) dan ILO (Organisasi Buruh Internasional) dalam program Just Transition (Transisi Berkeadilan).

Program ini berfokus pada transisi ekonomi hijau yang berbasis masyarakat, dengan target menciptakan lapangan kerja baru sekaligus memperkuat daya saing komoditas lokal Sumsel di pasar global yang kian menuntut aspek keberlanjutan.

Membangun merek kolektif

Untuk mendobrak pasar, APINDO juga menyiapkan forum tahunan multipihak bertajuk InaCOF 2026. Forum ini dirancang untuk mempertemukan petani, pelaku industri, eksportir, pemilik kafe, LSM, hingga pembeli internasional.

InaCOF 2026 diharapkan menjadi momentum kebangkitan kopi Sumsel, yang selama ini pamornya kerap tertinggal jika dibanding provinsi tetangga seperti Lampung.

“Sumatera Selatan punya kopi, tapi belum punya nama besar. Ini saatnya kita bangkit bersama. Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus bersatu membangun merek kopi Sumsel di kancah dunia,” kata Sumarjono.

Gerakan ini juga ditopang dengan upaya peningkatan kapasitas UMKM agar naik kelas. Ia menilai UMKM adalah motor penggerak utama penciptaan lapangan kerja, terutama di sektor pertanian dan industri olahan.

Peluang besar, menurutnya, hadir dari program pembibitan kopi nasional yang akan digulirkan Kementerian Pertanian pada 2026, dengan alokasi Rp3 triliun dari total anggaran Rp40 triliun, yang harus bisa dimanfaatkan oleh pelaku UMKM di Sumsel.

Bagi Sumarjono, paradigma investasi di era baru ini harus bergeser. Investasi tidak lagi hanya soal angka dan modal besar, tetapi harus mampu menciptakan nilai tambah dan kesejahteraan sosial yang nyata bagi masyarakat.

“Investasi yang baik bukan hanya menumbuhkan pabrik, tapi juga menumbuhkan manusia di sekitarnya,” ujarnya.

Ia pun mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja kolaboratif di bawah kepemimpinan pemerintah daerah, bergerak cepat menangkap peluang ekonomi hijau ini.

“Mari kita menyalakan lilin perubahan bersama. Sumatera Selatan punya semua modal: sumber daya alam, potensi manusia, dan semangat gotong royong. Tinggal bagaimana kita bergerak cepat dan kompak,” pungkasnya.

Kemitraan global menjawab konflik gajah dan manusia di Sumatera Selatan

Fajar baru saja menyingsing di atas lanskap Sugihan-Simpang Heran di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Namun, bagi masyarakat di sini, pagi hari sering kali diwarnai ketegangan. Di satu sisi, ada harapan akan hasil panen yang menopang hidup. Di sisi lain, ada kecemasan akan kehadiran kawanan gajah sumatra yang mungkin telah melintasi kebun mereka di malam hari. Inilah realitas sehari-hari di salah satu benteng terakhir bagi sekitar 100-120 individu gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus), spesies yang kini berada di ambang kepunahan.  

Kisah di lanskap ini bukanlah cerita sederhana tentang manusia melawan satwa liar. Ini adalah warisan dari sejarah panjang transformasi lahan. Sebelum tahun 1980-an, wilayah Air Sugihan adalah hamparan hutan rawa gambut yang luas, rumah ideal bagi ratusan gajah. Namun, pada awal 1980-an, kebijakan transmigrasi pemerintah membawa ribuan keluarga dari Jawa untuk menetap dan membuka lahan pertanian. Mereka tiba di sebuah ekosistem yang asing, berhadapan langsung dengan satwa liar raksasa yang ruang hidupnya semakin menyempit akibat tumpang-tindih dengan kawasan industri berbasis lahan dan permukiman. Konflik pun menjadi tak terelakkan.  

Kini, sebuah harapan baru untuk meredakan konflik puluhan tahun itu lahir dari panggung global. Ribuan kilometer dari rawa-rawa OKI, di tengah perhelatan akbar IUCN World Conservation Congress di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sebuah komitmen penting telah ditandatangani. Pada 11 Oktober 2025, Belantara Foundation, sebuah lembaga nirlaba anggota IUCN, secara resmi menjalin kerja sama dengan Conservation Allies, organisasi yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat.  

Penandatanganan piagam kerja sama ini, yang disaksikan langsung oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, M.Agr.Sc., menjadi tonggak sejarah bagi program “Living in Harmony” (Manusia-Gajah Liar Hidup Harmonis). Program ini bukanlah sekadar wacana, melainkan sebuah upaya nyata yang telah diinisiasi Belantara Foundation selama tiga tahun terakhir untuk menciptakan koeksistensi antara manusia dan gajah di Sugihan-Simpang Heran.  

Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, menjelaskan bahwa kemitraan ini adalah langkah strategis untuk memperkuat upaya yang sudah berjalan. “Lanskap Sugihan-Simpang Heran bukan hanya penting bagi konservasi gajah sumatra, tapi juga krusial dalam pembangunan ekonomi nasional, serta penting bagi penghidupan masyarakat desa,” ujarnya. “Penandatanganan ini merupakan bentuk komitmen serius Conservation Allies untuk membantu kami melalui dana hibah serta penggalangan dana publik selama dua tahun di Amerika Serikat”.  

Kelompok gajah di lanskap ini dianggap istimewa karena menjadi salah satu dari sedikit populasi di Sumatra yang memiliki potensi untuk bertahan hidup dalam jangka panjang. Namun, tantangannya pun luar biasa besar. Oleh karena itu, pendekatan inovatif dan kolaboratif menjadi kunci. “Upaya kami bersama para mitra berfokus pada peningkatan kapasitas tim mitigasi konflik, mendukung infrastruktur seperti menara pemantauan, penyadartahuan bagi anak-anak usia dini, serta pengayaan pakan dan penyediaan artificial saltlicks (tempat menggaram buatan) untuk memenuhi nutrisi gajah,” tambah Dolly.  

Di sisi lain, Dr. Paul Salaman, Presiden Conservation Allies, menegaskan bahwa program yang dijalankan Belantara Foundation adalah model konservasi yang sangat relevan di era ini, di mana koeksistensi manusia dan satwa liar adalah sebuah keniscayaan. “Melalui kerja sama ini, kami berkomitmen kuat untuk membantu Belantara Foundation. Dana yang terkumpul akan dikelola secara transparan dan dialokasikan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan di lapangan,” tegas Paul. Ia juga mengajak masyarakat global untuk berpartisipasi melalui donasi untuk memastikan dampak positif dan berkelanjutan bagi keanekaragaman hayati Indonesia.  

Dukungan penuh juga datang dari pemerintah Indonesia. Prof. Satyawan Pudyatmoko menyambut baik inisiatif ini dan menekankan status gajah sumatra yang dilindungi oleh hukum melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Statusnya di daftar merah IUCN pun sangat mengkhawatirkan: Kritis (Critically Endangered), hanya satu langkah dari kepunahan di alam liar.  

“Inisiatif ini sangat bagus dan kami berharap program ini dapat mendukung upaya pemerintah dalam meminimalkan interaksi negatif manusia-gajah, dan dapat mengubahnya menjadi sebuah koeksistensi yang harmonis,” pungkas Prof. Satyawan.  

Kemitraan yang lahir di Abu Dhabi ini lebih dari sekadar kesepakatan finansial. Ia adalah jembatan yang menghubungkan kepedulian global dengan aksi nyata di tingkat tapak. Bagi masyarakat dan kawanan gajah di Sugihan-Simpang Heran, ini adalah secercah harapan bahwa harmoni bukan lagi sekadar impian, melainkan sebuah masa depan yang sedang dibangun bersama.

Warga di Kepulauan Riau terancam relokasi karena proyek ‘berkelanjutan’

Rempang Eco City, proyek pembangunan skala besar di Kepulauan Riau bagian barat Indonesia, telah disebut-sebut oleh pemerintah provinsi sebagai ” mesin ekonomi baru bagi Indonesia “. Proyek ini akan mencakup kawasan industri, perumahan, pariwisata, dan suaka margasatwa, semuanya dengan fokus pada keberlanjutan lingkungan, dan bertujuan untuk menciptakan 35.000 lapangan kerja .

Bagi ribuan penduduk Pulau Rempang, lokasi proyek, proyek ambisius ini menjadi sumber kekhawatiran. Proyek ini akan melibatkan penggusuran permukiman yang ada di pulau tersebut, termasuk desa-desa tradisional yang sebagian besar telah dihuni oleh keluarga-keluarga dari beberapa kelompok pelaut Pribumi selama beberapa generasi. Mereka khawatir hal ini akan mengakibatkan hilangnya warisan dan mata pencaharian mereka.

Pemerintah Indonesia mengumumkan Rempang Eco City pada bulan Agustus 2023 dan mewajibkan 7.500 orang yang tinggal di 16 Kampung Tua (desa tua) di pulau itu untuk meninggalkan rumah mereka pada akhir bulan berikutnya. Banyak di antara mereka yang menolak dipindahkan, bentrok dengan pihak berwenang Indonesia saat mereka datang untuk melakukan survei tanah untuk proyek tersebut.

Menyusul kritik terhadap respons polisi selama bentrokan tersebut, pemerintah mencabut batas waktu penggusuran. Pihak berwenang akhirnya meluncurkan program “transmigrasi lokal” untuk memindahkan penduduk ke perumahan baru di Tanjung Banon, di bagian selatan Pulau Rempang, alih-alih memaksa penduduk desa keluar dari pulau sepenuhnya.

Dasar pemerintah untuk relokasi ini adalah karena penduduk desa tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah resmi, mereka bukanlah pemilik sah atas tanah tersebut, meskipun beberapa keluarga telah tinggal di sana sejak abad ke-19. Kritikus seperti Rina Mardiana, pakar sosial-agraria di Universitas IPB, menyebut istilah “transmigrasi lokal” sebagai eufemisme untuk “pemindahan paksa yang menghilangkan hak-hak masyarakat adat”.

Mereka menyebutnya kota ramah lingkungan, tapi hal pertama yang mereka lakukan adalah mengambil tanah yang diwariskan oleh nenek moyang kita, mengambil ruang di mana anak-anak kita seharusnya tumbuh dan berkembang.

Ishaka, resident of Pasir Panjang and coordinator of the Rempang Galang United Community Alliance

Hingga Juni, 106 dari 961 rumah tangga terdampak dilaporkan telah dipindahkan. Namun, perlawanan lokal tetap kuat. Pada pertengahan Agustus, penduduk desa mengintensifkan perlawanan mereka, termasuk menggelar protes terhadap program transmigrasi.

“Mereka menyebutnya kota ramah lingkungan, tetapi hal pertama yang mereka lakukan adalah merampas tanah warisan leluhur kami, merampas ruang tempat anak-anak kami seharusnya tumbuh dan berkembang,” kata Ishaka. Ia adalah warga Pasir Panjang, salah satu desa terdampak, dan koordinator Aliansi Masyarakat Bersatu Rempang Galang (AMAR-GB), sebuah koalisi yang dibentuk oleh warga desa untuk menentang relokasi tersebut.

Awal yang goyah

Dalam kunjungannya ke Tiongkok pada Juli 2023, Menteri Investasi Indonesia saat itu, Bahlil Lahadia, mengumumkan bahwa Indonesia telah mendapatkan komitmen sebesar USD 11,5 miliar dari Xinyi Group Tiongkok untuk pembangunan fasilitas manufaktur panel surya di Pulau Rempang. Ia mengklaim bahwa fasilitas tersebut akan menjadi yang terbesar kedua di dunia.

Papan nama Otoritas Zona Bebas Batam Indonesia di depan lokasi relokasi yang mencantumkan “manfaat relokasi bagi warga Rempang” (Gambar: Bagus Pradana / Transparansi Internasional Indonesia)

Namun, pada Februari tahun ini, Xinyi membantah terlibat dalam Rempang Eco City. Dalam pernyataan kepada Pusat Sumber Daya Bisnis & Hak Asasi Manusia, perusahaan menyatakan bahwa “perusahaan belum memulai proyek eco-city apa pun dan belum mencapai kesepakatan atau kontrak apa pun”. Perusahaan juga menyatakan bahwa otoritas terkait “hanya memberikan informasi awal tentang harga dan ketentuan proyek pembangunan kepada perusahaan kami”.

Bulan berikutnya, proyek tersebut mengalami kemunduran lebih lanjut setelah terungkapnya bahwa proyek tersebut dikeluarkan dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia, yang menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan kelayakannya. Namun, para pejabat dari Badan Pengelola Kawasan Bebas Batam (BPKB), badan pemerintah yang mengawasi proyek tersebut, secara terbuka menepati komitmen mereka.

Kepala BPKB sekaligus Wali Kota Batam, Amsakar Achmad, menyatakan pada bulan Maret bahwa dikeluarkannya BPKB dari daftar PSN “tidak berarti proyek tersebut tidak berlaku lagi atau telah dibatalkan”. Upaya relokasi masih berlangsung hingga bulan Juli. Warga Tanjung Banon digusur , dan perkebunan mereka diratakan untuk pembangunan rumah bagi program transmigrasi setempat.

Sementara pemerintah melihat peluang ekonomi, warga melihat proyek tersebut sebagai ancaman terhadap keberadaan mereka.

“Masyarakat Rempang memiliki ikatan emosional dan spiritual yang kuat dengan tanah air mereka,” ujar Suraya A. Afiff, seorang ahli ekologi politik di Universitas Indonesia.

Ia mencatat bahwa bagi kelompok-kelompok seperti masyarakat adat Melayu Rempang di pulau tersebut, misalnya, “memaksa mereka meninggalkan [desa mereka] berarti menghapus keberadaan mereka”.

Hilangnya 16 desa adat mereka berarti penduduk, yang keluarganya telah tinggal di sana selama beberapa generasi, akan kehilangan aspek-aspek penting dalam kehidupan mereka. Ini termasuk tanah leluhur yang memiliki nilai spiritual dan budaya yang signifikan, serta tanah pemakaman leluhur .

Hilangnya lahan pertanian dan perkebunan di pulau ini juga dapat berdampak buruk bagi daerah sekitarnya. Sektor pertaniannya merupakan kontributor penting bagi ketahanan pangan dan ekonomi kawasan ini. Pertanian di Pulau Rempang dapat memenuhi sekitar 40-50% permintaan pasar di Batam dan pulau-pulau sekitarnya, ujar Gunawan Satary, Ketua Gabungan Petani Indonesia Kota Batam, kepada The IDN Times .

Gabungan tersebut menekankan bahwa para petani di pulau ini memainkan peran penting dalam mendukung ketahanan pangan lokal dan membantu pemerintah daerah Batam mengendalikan inflasi.

Pulau Rempang juga merupakan surga bagi kehidupan laut dan keanekaragaman hayati. Para peneliti dari Universitas Riau Kepulauan menemukan keberadaan tiga spesies bintang laut dan lima spesies teripang di dua pantai pulau tersebut. Kedua hewan ini sangat berharga karena peran ekologisnya dalam menjaga kesehatan ekosistem laut setempat.

Hutan bakau di pulau ini juga sama pentingnya. Membentang lebih dari 2.800 hektar, hutan bakau menghasilkan nilai Rp75 miliar (USD 4,5 juta) per tahun, menurut studi Universitas Maritim Raja Ali Haji . Sebagian besar nilai ini berasal dari perannya sebagai pelindung pantai melalui pemecah gelombang dan pencegahan intrusi air laut, serta jasa ekologis seperti tempat pembibitan dan tempat mencari makan serta bertelur bagi biota laut.

Kerusakan apa pun pada ekosistem ini akan berdampak langsung pada masyarakat. Pada bulan September, Susan Herawati, sekretaris jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), mempresentasikan penelitian yang belum dipublikasikan yang menunjukkan bahwa potensi kerugian lingkungan akibat proyek Rempang Eco City yang dipaksakan akan mencapai Rp1,3 miliar (USD 78.000) per rumah tangga per tahun bagi penduduk yang tetap tinggal di pulau tersebut, angka yang tiga kali lebih besar dari pendapatan mereka.

Di Tanjung Banon, sejak pembangunan perumahan relokasi dimulai, warga setempat dikabarkan mengeluhkan kerusakan hutan bakau dan kematian ikan di keramba akibat lumpur yang dihasilkan pembangunan, menurut laporan RiauPos.

Miswadi, seorang warga desa Sembulang Hulu di Pulau Rempang dan juru bicara AMAR-GB, mendefinisikan “kota ramah lingkungan” sebagai tempat di mana manusia dan alam hidup berdampingan secara simbiosis. “Namun, yang kita lihat dan dengar justru sebaliknya. Bagaimana ini bisa disebut kota ramah lingkungan jika awalnya justru menghilangkan komunitas yang telah hidup seimbang dengan lingkungan ini selama beberapa generasi?”

Banyak warga tetap bertahan di desa mereka dengan tuntutan sederhana. Mereka menuntut pemerintah untuk mengakui legalitas permukiman yang telah mereka tinggali selama beberapa generasi ini, dan mengupayakan keberlanjutan kehidupan yang damai serta pelestarian budaya mereka.

“Jangan hanya membangun ‘kota ramah lingkungan’,” pinta Ishaka. “Bangunlah masa depan di mana anak-anak kita masih bisa memancing di perairan ini, bercocok tanam di tanah ini, dan menjadikan [ Kampung Tua ] Rempang sebagai rumah mereka. Jika masa depan itu hilang, investasi sebesar apa pun tidak akan bisa mengembalikannya.” [Mohammad Yunus]

Artikel ini terbit pertama kali dengan judul “Indonesian island’s traditional residents face relocation for ‘sustainable’ project” di Dialogue.Earth

Sampah di Mentawai merusak keindahan dan budaya

RULLY Puja Santiago menenteng sekantong sampah ketika meloncat dari perahu mesin ke dermaga kecil di belakang Penginapan Kristine di Tuapeijat pada Selasa, 29 Juli 2025.

“Sampah mulai banyak, karena pengunjung ke pulau-pulau kecil juga mulai banyak, ada yang meninggalkan sampahnya, terpaksa kami angkut agar tak mencemari pulau kecil di sana,” kata Puja.

Rully Puja Santiago bersama Ben Sakoikoi membuka paket wisata untuk turis asing dan turis domestik menikmati perairan di pulau-pulau kecil di depan Tuapeijat, ibu kota Kepulauan Mentawai yang terletak di Pulau Sipora.

Di pulau-pulau kecil itu wisatawan bisa berjemur, melakukan snorkeling, atau stand up paddling di sela hutan mangrove dari pagi hingga sore.

Hari itu, kedua pemuda Mentawai tersebut baru saja pulang membawa sejumlah turis asing dan seperti biasa mengantarkan tamu mereka ke dermaga kecil di belakang Penginapan Kristine. Penginapan itu terletak tak jauh dari Dermaga Tuapeijat.

Begitu perahu merapat, satu keluarga turis asing keluar dari perahu dan melompat ke dermaga. Kulit mereka terlihat kecokelatan terbakar matahari dan butiran halus pasir pantai terlihat masih menempel pada kaki mereka.

Lampiran Gambar
RULLY Puja Santiago memungut sampah di akar mangrove di Pulau Putoutogat, pulau kecil di depan Tuapeijat, ibu Kabupaten Kepulauan Mentawai. (Foto: Rully Puja Santiago)

Wajah mereka gembira dan dari dalam perahu, Puja dan Ben melambaikan tangan dan mengucapkan selamat berpisah. Begitu tamunya pergi, Ben meloncat ke dermaga untuk mengikatkan tali tambatan perahu. Sedangkan Puja membawa sekantong sampah itu.

“Kami tidak ingin gambaran Mentawai sebagai surga tropis hilang karena dikotori sampah,” kata Puja.

Kepulauan Mentawai memang salah satu lokasi favorit di Indonesia sebagai tujuan surfing bagi turis mancanegara.

Di kepulauan yang terletak di pantai barat Provinsi Sumatera Barat yang menghadap Samudera Hindia itu tersedia aneka jenis ombak surfing, mulai dari mereka yang ingin belajar surfing dari nol hingga para peselancar profesional.

Karena itu, setiap tahun Mentawai menjadi tujuan surfing. Sedikitnya 7.000 peselancar dari berbagai negara datang ke spot-spot ombak di Kepulauan Mentawai. Termasuk keluarga yang membawa anak-anak mereka. Tak terkecuali ke Pulau Sipora.

Selain itu, wisatawan yang menikmati keindahan pantai dan laut Mentawai juga meningkat. Mereka tak hanya wisatawan asing, tetapi juga wisatawan dalam negeri, terutama dari Jakarta. Mereka datang untuk menikmati alam Mentawai dengan menyelam, menombak ikan, dan main kayak di sela hutan bakau seperti paket yang dikelola Ben Sakoikoi.

Lampiran Gambar
Lokasi snorkeling dan stand up paddle di hutan mangrove Pulau Putoutogat. (Foto: Ben Sakoikoi)

Sambil mengantar tamunya menyelam di perairan Pulau Putoutogat, Puja juga menyelam mengambil sampah plastik yang mengendap di dasar hutan mangrove. Ia juga menyelam mengambil sampah yang tersangkut pada terumbu karang.

“Sampah terbanyak itu di kawasan perairan yang dekat dengan bibir pantai yang banyak didatangi wisatawan, kalau di sela-sela gugusan mangrove tempat tamu snorkling atau main paddle, masih bebas sampah,” ujarnya.

Jika Puja memungut sampah di laut, Ben memungut sampah di pantai yang ditinggalkan pengunjung. Mereka memasukkan sampah ke tong sampah yang mereka sediakan di atas perahu.

“Kadang ada tamu yang abai dengan sampahnya, habis makan tisunya berceceran, itu yang sengaja saya pungut di depan tamu, setelah itu mereka jadi sadar dan mulai mengemasi sampahnya sendiri,” kata Ben.

Menyuruh Turis Brasil Mengambil Botol yang Dibuang

Semakin banyaknya wisatawan yang datang, maka semakin banyak pula sampah bertebaran. Itulah fenomena yang tak bisa dihindari. Namun untuk objek wisata pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Mentawai, sampah itu langsung memenuhi perairan dan sangat sulit memungutnya. Jika itu terjadi, dampaknya juga kepada masa depan objek wisata tersebut.

Hal inilah yang disadari Puja dan Ben. Karena itu, mereka berdua langsung turun tangan memungut sampah yang mereka temui di lokasi dan membawanya ke Pelabuhan Tuapeijat. Di pusat Kabupaten Kepulauan Metawai itu mereka membuangnya ke bak kontainer sampah yang disediakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemkab Mentawai.

Lampiran Gambar
Kapal membawa wisatawan di perairan Pulau Putoutogat, pulau kecil di depan Tuapeijat, ibu Kabupaten Kepulauan Mentawai. (Foto: Ben Sakoikoi)

“Persoalan sampah plastik ini harus cepat ditangani sebelum Mentawai seperti Bali,” ujar Ben.

Selasa itu, hasil pungutan sampah Puja dan Ben di Pulau Putotojat beragam. Puja mendapat beberapa sampah kemasan makanan ringan yang terbenam pada akar mangrove.

Sedangkan Ben memungut botol bekas oli mesin motor perahu, botol air kemasan, kaleng bir, dan beberapa sandal. Juga sampah kemasan makanan dan minuman dari enam tamu yang mereka bawa.

Menurut Ben, wisatawan asing paling sensitif dengan masalah sampah.

“Semua sampah mereka, mulai dari kemasan makanan hingga puntung rokok dimasukkan ke plastik dan dikantongi hingga ketemu tong sampah untuk dibuang,” ujarnya.

Namun, tambah Puja yang juga sudah empat tahun menjadi pemandu wisata surfing dan bawah laut di Mentawai, orang-orang Mentawai yang terlibat dalam bisnis wisata seperti ia dan Ben jauh lebih peduli.

“Saya pernah punya pengalaman membawa tamu asal Brazil berselancar di spot ombak Pulau Sipora, tamu dari Brazil itu setelah meminum Aqua langsung membuang botolnya ke laut, mungkin karena dia lelah habis surfing, teman saya operator boat langsung memarahi dia dan meminta tamu itu mengambil lagi botol itu. Ia akhirnya berenang mengambil botol itu dan kemudian meminta maaf,” kata Puja.

Tapi, lanjut Puja, kejadian seperti itu sangat jarang terjadi, karena turis asing sangat peduli dengan kebersihan lingkungan.

Lampiran Gambar
Pelabuhan Tuapeijat, Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Bangunan bertingkat dua dengan atap berwarna merah di kanan adalah Penginapan Kristine. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Ada juga tamu asing saya yang komplain saat mau menombak ikan, ternyata ada botol plastik yang mengapung, ia protes mengatakan kenapa ada yang buang sampah di tengah  keindahan alam Mentawai,” ujar Puja.

Kru Kapal Menganggap Laut Adalah Tong Sampah

Menurut Ben, sumber sampah lainnya di perairan Tuapeijat adalah dari kapal yang langsung dibuang krunya ke laut.

Putra pemilik Penginapan Kristine yang hanya berjarak 100 meter dan berhadapan dengan Pelabuhan Tuapeijat itu mengaku kerap melihat kru kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan membuang sampah kapalnya ke laut.

“Terutama kapal yang membawa BBM (Bahan Bakar Minyak), itu krunya setiap sandar selalu membuang sampahnya langsung ke laut, kapal antar pulau juga pernah saya lihat membuang sampahnya ke laut, laut dianggapnya tong sampah,” ujarnya.

Selain itu, kata Ben, pedagang makanan di pelabuhan umumnya juga langsung membuang sampah mereka ke laut.

Karena itu, Ben berharap Pemkab Mentawai menyediakan banyak tong sampah di pelabuhan agar sampah dari kapal tidak dibuang ke laut.

Lampiran Gambar
Sampah plastik di saluran air Pelabuhan Tuapeijat. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Saat ini tak satupun ada tong sampah di Pelabuhan Tuapeijat, hanya ada satu kontainer untuk menampung seluruh sampah, baik dari perumahan dan penginapan maupun sampah dari resor-resor yang dikelola warga negara asing di pulau-pulau kecil,” katanya.

Pagi itu, di selokan yang berada di Pelabuhan Tuapeijat terlihat sejumlah sampah botol minuman dan bungkus makanan ringan mengapung. Selokan itu terhubung ke laut di depan pelabuhan. Sampah-sampah plastik itu, jika tidak dihanyutkan arus dari teluk di Pelabuhan, tentu langsung dibuang orang ke selokan itu.

Petugas Kewalahan

Hasim dan Nelson terlihat pagi itu mengangkut sampah dari bak sampah becak motor Viar ke kontainer sampah di Pelabuhan Tuapeijat. Mereka adalah petugas sampah dari Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Mentawai.

Setiap hari keduanya bertugas mengangkut sampah dari rumah-rumah penduduk dan warga negara asing di kawasan pantai Tuapeijat ke kontainer di Pelabuhan. Mereka bertugas pagi dari pukul 6 hingga pukul 10 dan sore dari pukul 4 hingga menjelang Magrib.

Sampah yang mereka bawa tidak hanya sisa makanan rumah tangga dan sisa kemasan plastik, tapi juga potongan kayu. Dalam sehari mereka membawa sekitar 4 ton sampah.

Lampiran Gambar
Petugas kebersihan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemkab Mentawai Hasim dan Nelson memindahkan sampah dari betor ke kontainer di Pelabuhan Tuapeijat. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Kami kewalahan, karena untuk melayani lebih enam ribu warga kota di Tuapeijat ini hanya empat betor dan delapan petugas kebersihan. Harusnya ditambah,” kata Nelson.

Menurut Nelson, di permukaan masalah sampah sepertinya tidak terlihat oleh banyak orang, padahal sebenarnya sampah di Tuapeijat sangat banyak.

“Sehari saja tidak diambil, langsung jadi masalah besar bagi warga di Tuapeijat,” ujarnya.

Pada Juni lalu (2025) Pemkab Mentawai merumahkan Nelson dan rekan-rekannya yang sehari-hari mengoperasionalkan empat betor sampah karena tidak adanya anggaran untuk gaji mereka yang berstatus honorer.

“Begitu kami berhenti, dalam sehari sampah bertumpukan, masyarakat ribut minta sampah mereka diambil, dan kami dipekerjakan kembali, hanya sehari kami dirumahkan,” ujarnya.

Nelson dan Hasim juga memilah sampah yang akan dimasukkan ke kontainer. Pagi itu dari mengambil sampah di rumah-rumah warga negara asing (WNA) yang umumnya pengusaha resor yang tinggal di Pantai Jati, mereka mendapati ada belasan kaleng bekas bir di dalam plastik yang terpisah dari sampah lain.

“Kaleng bir ini kami pipihkan dan bisa dijual lagi ke penampung, harganya Rp10.000 per kilogram, lumayan untuk beli sarapan,” kata Hasim.

Selain kaleng bir, mereka juga menyisihkan botol air kemasan dan botol plastik lainnya untuk dijual ke pengepul.

“Jadi tidak terlalu banyak sampah yang dibawa truk ke TPS,” ujarnya.

Sekolah yang Berinisiatif Memanfaatkan Sampah

Menariknya, di Tuapeijat juga ada sekolah yang berinisiatif melakukan inovasi dalam memanfaatkan sampah. Inovasi yang dilakukan dalam kegiatan kerajinanan siswa itu ada di SMA Negeri 2 Sipora dan SMA Swasta Penabur Berkat.

Lampiran Gambar
Guru-guru di SMA Negeri 2 Sipora memperlihatkan aneka kerajinan siswa dari pengolahan sampah dengan duduk di kursi ekobrik yang di dalamnya terbuat dari susunan botol plastik bekas. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Ketika Uggla.id berkunjung ke SMA Negeri 2 Sipora, di di ruang guru sudah ada dua set kursi sofa empuk tanpa sandaran berwarna merah dan hitam hasil kerajinan siswa dari sampah plastik.

“Ini kursi ekobrik buatan siswa, di dalamnya dari susunan botol plastik ukuran 1,5 liter yang diisi penuh dengan potongan sampah plastik hingga padat,” kata Amos Pasaribu, guru yang juga pembina OSIS SMA Negeri 2 Sipora.

Pembuatan kursi dari ekobrik tersebut, kata Amos, sudah berlangsung dua tahun melalui salah satu mata pelajaran yang diikui siswa dalam Kurikulum Merdeka, yaitu P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Semua bahan pembuatan kurssi disediakan di sekolah, seperti triplek, busa, dan pembungkus kursi.

“Siswa hanya membawa sampah plastik dan botol air kemasan ukuran 1,5 liter saja, diutamakan sampah plastik yang ada di sekolah dan membuatnya juga di sekolah,” ujarnya.

Menurut Amos kegiatan kerajinan ekobrik yang telah membuat tiga set kursi ini mampu mengurangi jumlah sampah plastik di sekolah.

Selain membuat kursi, siswa juga mengolah sampah organik seperti kulit buah menghasilkan ekoenzim yang bisa dijadikan sabun pencuci piring.

“Minyak jelantah juga dimanfaatkan menjadi lilin aromaterapi, ini dari campuran minyak jelantah dan parafin dan dicampur dengan krayon bekas yang dihaluskan dan dicampur sebagai pewarna,” kata Porsian, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 2 Sipora yang mengajarkan siswa membuat lilin aromaterapi.

Masih dalam semangat Go Green di sekolah, tiap siswa juga dilarang membawa minuman kemasan. Sekolah selalu menyediakan air minum galon dan siswa tinggal membawa tumbler dari rumah.

“Ini juga berdampak pada pengurangan sampah botol minuman sekali pakai,” kata Amos.

Pengelolaan Sampah di Mentawai Seperti ‘Zaman Purba’

Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki 10 kecamatan. Kecamatan-kecamatan itu terletak di empat pulau yang terpisah. Tuapeijat yang merupakan ibu kabupaten terletak di Pulau Sipora dan di pulau ini terdapat dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sipora Utara (tempat Tuapeijat berada) dan Kecamatan Sipora Selatan.

Lampiran Gambar
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kepulauan Mentawai Yanti Oktavia Hutapea. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Kabupaten Kepulauan Mentawai berdiri pada 4 Oktober 1999. Meski hampir 26 tahun berdiri, kabupaten ini belum memiliki Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah, apalagi TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu).

Jangankan di tiga pulau lainnya (Siberut, Pagai Utara dan Pagai Selatan), di Pulau Sipora saja sebagai lokasi ibu kabupaten belum ada fasilitas ini.

Hingga kini sampah dari Tuapeijat hanya diangkut ke Desa Sido Makmur, sekitar 12 kilometer dari Pelabuhan Tuapeijat. Sampah-sampah itu ditumpuk di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang berada di perladangan warga yang bersebelahan dengan hutan.

Status lokasi TPS ini pun masih menumpang di lahan perladangan milik warga yang berjarak 700 meter dari permukiman.

Di sana sebagian sampah itu dibakar, sedangkan sebagian lain, kebanyak sampah plasstik, dibuang begitu saja ke dalam jurang yag terletak di pinggir jalan yang berbatasan dengan hutan.

Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kepulauan Mentawai Yanti Oktavia Hutapea mengakui layanan pengelolaan sampah di Kabupaten Kepulauan Mentawai masih sangat minim.

Ia menyebutkan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah saat ini hanya dilakukan di kota Tuapeijat yang melayani tiga desa, yatu Desa Tuapeijat, Desa Sipora Jaya, dan Desa Bukit Pamewa dengan jumlah penduduk 9.855 jiwa.

“Sarana dan prasarana juga sangat minim,” katanya.

Yanti menjelaskan, hanya ada enam becak motor (betor) yang mengambil sampah masyarakat dari titik tertentu ke kontainer. Itupun dua di antaranya rusak sehingga yang beroperasi hanya empat betor.

Lampiran Gambar
Tempat pembuangan sampah dari kota Tuapeijat di Desa Sido Makmur, sekitar 12 kilometer dari Pelabuhan Tuapeijat. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Kemudian satu unit truk akan menjemput sampah ke kontainer dan  membawanya ke tempat penampungan sampah sementara di satu kawasan di Desa Sido Makmur, karena belum ada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu.

“Jadi kita hanya memindahkan sampah saja tanpa melakukan pengolahan, dipindahkan dan dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara, jadi mungkin masih seperti pengelolaan sampah zaman purba,” ujarnya kepada Uggla.id pada Jumat, 11 Juli 2025.

Ia sangat berharap segera ada TPST Tuapeijat. “Agar kami bisa melakukan pengelolaan sampah,” katanya.

Yanti memperkirakan sampah dari kota Tuapeijat yang dibawa setiap hari ke TPS sebanyak enam  kontainer. Ia tidak bisa memperkirakan berapa ton sampah per hari.

“Berat sampahnya kan beda-beda, kami tidak ada alat penimbang sampah, jadi tidak bisa diperkirakan berapa ton sampah yang dihasilkan setiap hari di kota Tuapeijat,” ujarnya.

Bupati Berjanji Bangun TPST

Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa mengatakan tahun ini akan membangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Dusun Berkat, Desa Tuapeijat pada lahan seluas 5 hektare.

“Sudah dalam proses tender dan akan mulai dikerjakan, tetapi baru bisa difungsikan tahun depan,” kata Rinto yang ditemui di Tuapeijat pada Rabu, 16 Juli 2025.

Selain itu, katanya, juga akan dibangun tempat-tempat sampah di kota-kota pesisir pada keempat pulau di Kepulauan Mentawai.

Lampiran Gambar
Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Tetapi anggaran masih terbatas,” ujarnya.

Selain di Tuapeijat, ia berencana membangun TPST di Kecamatan Sikakap di Pulau Pagai Utara. Di sana sudah ada lahan milik Pemkab Mentawai seluas 2 hektare untuk TPST.

“Sedangkan di Pulau Siberut belum ada lahan, kami harapkan ada lahan hibah, karena dalam kondisi efisiensi sepert sekarang tidak ada anggaran untuk membeli lahan,” kata Rinto.

Rinto Wardana juga menyayangkan kebiasaan masyarakat Mentawai yang masih membuang sampah ke laut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dari dulu karena rumah mereka berada di pinggir laut.

“Laut di sekitar permukiman sudah tercemar, karena rumah warga, karena pantai itu milik mereka, dapur mereka juga menghadap laut, air mandi, limbah dapur, juga dibuang ke laut, padahal lautnya sebagus itu,” ujarnya.

Untuk mengubah kebiasaan itu, kata Rinto, tidak bisa dalam waktu sekejap.

“Minimal untuk awal kita minta mereka untuk tidak membuang sampahnya ke laut,” katanya.

Bupati berencana dalam waktu dekat mulai mengkampanyekan pembersihan laut di kota Tuapeijat dari sampah.

“Saya mau ajak tim penyelam untuk menarik sampah yang ada di dalam laut dan itu diumumkan dulu ke masyarakat bahwa akan dilakukan penyelaman, pembersihan laut, supaya mereka melihat, kalian buang kami akan menyelam mengambil itu,” ujarnya.

Rinto berencana membentuk satgas khusus yang terdiri dari penyelam untuk mengambil sampah di laut di sekitar Tuapeijat, sekaligus sebagai kampanye kepada warga agar tidak membuang sampah mereka ke laut.

“Kita punya laut sebagus ini, harus dijaga,” katanya. 

Liputan ini didukung Ekuatorial.com pada program Jurnalisme Konstruktif dalam Geojournalism di Indonesia. Terbit pertama kali pada Uggla.ID

Hutan Sipora yang semakin sunyi

Di atas bubungan atap gazebo dari daun sagu, seekor Siteut, beruk endemik Mentawai, menatap kami di bawahnya. Ia segera turun dari puncak atap yang sebagian berlubang karena aktivitasnya itu. Di lehernya terkalung rantai yang diikat dengan tali panjang yang ujungnya tertambat ke tiang gazebo.

Kini beruk Mentawai itu sejajar dengan kami. Matanya yang cokelat terang memandang dengan ramah. Ia terlihat terpelihara, karena bulunya bersih. Jambul di kepalanya berwarna cokelat pirang, bulu tubuhnya cokelat gelap, dan ekornya pendek lurus. Ia kembali melompat dan berayun dengan tangannya, lalu bertengger di tonggak gazebo.

“Namanya Boby, ini punya kenalan saya Carlos, seorang peselancar di Katiet, setahun lalu dia sudah pulang ke Australia sehingga Siteut ini dititipkan pada saya,” kata Mateus Sakaliu.

Mateus pemandu wisata alam minat khusus yang tinggal di Desa Goisooinan, Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai. Selain menjadi pemandu turis, Mateus juga aktif di Malinggai Uma, lembaga koservasi lokal yang berpusat di Siberut Selatan. Ia kerap mengantar turis asing dan peneliti yang mengamati primata, burung, katak, ular, dan pohon ke hutan Mentawai.

Etty, istri Mateus telah menyediakan sepiring makanan untuk Siteut. Piring itu berisi beberapa potong apel yang sudah dikupas kulitnya, pisang, dan tebu yang baru dikupas.

Melihat makan siangnya sudah datang, Siteut meluncur dari tonggak gazebo dari atas atap. Tangannya terjulur mengambil potongan apel yang disodorkan Etty, lalu berayun memanjat ke atas dan memakannya.

“Siteut ini bisa melepaskan tali di lehernya, sudah dua kali ia melepaskan diri karena pernah diganggu anak-anak, tapi pada malam hari dia kembali lagi ke sini, sepertinya ia sudah tidak bisa lagi hidup di alam liar, kalau bisa sudah saya lepasliarkan, karena saya tidak tahan melihat binatang yang diikat,” kata Mateus.

Siteut itu didapat Carlos dari warga lokal di Katiet. Carlos melihat di jalan ada warga yang membawa seekor anak beruk Mentawai, yaitu siteut. Juga seekor lutung yang dalam bahasa Mentawai disebut Atapaipai dan seekor Bilou atau Owa. Ketiganya primata endemik Mentawai.

“Saat itu Carlos melihat Bilou itu berhasil melarikan diri ke pohon, tetapi oleh orang yang membawanya dikejar dan ditembak dengan senapan, dan mati. Akhirnya Carlos meminta anak Siteut itu ia pelihara, mungkin juga ia terpaksa membelinya kepada orang itu,” kata Mateus.

Mateus menduga ketiga anak primata endemik Mentawai itu didapat orang yang membawannya dengan diburu. “Sudah pasti dari perburuan, dan pemburu itu telah membunuh induknya untuk mendapatkan anaknya,” katanya dengan wajah muram.

Siteut itu sempat tinggal tiga bulan bersama Carlos di homestay yang disewanya di Katiet. Setelah itu ia menyerahkannya kepada Mateus.

“Dia berpesan tidak boleh dilepaskan ke hutan, karena pasti akan diburu, jadi saya merencanakan akan membawanya ke Siberut, Malinggai Uma saat ini sedang membuat tempat rehabilitasi primata di Siberut dan saya akan membawa Siteut itu ke sana, Carlos sudah setuju,” kata Mateus.

Simakobu-Simias concolar- salah satu primata endemik Mentawai di hutan Berkat Sipora Utara pada September 2021. (Foto: Mateus Sakaliau)

Enam primata endemik
Kepulauan Mentawai memiliki enam jenis primata endemik. Selain Siteut, lima primata lainnya adalah Bokkoi, Simakobu, Joja, Atapaipai, dan Bilou.

Banyaknya prima endemik di Kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yang termasuk kecil, terkait dengan sejarah geologisnya. Selama masa Pleistocen atau pada Zaman Es, kira-kira satu juta sampai 10.000 tahun yang lalu, ketika permukaan laut di daerah Asia Tenggara 200 meter lebih rendah dari sekarang, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Benua Asia saling terhubung.

Hal ini menyebabkan adanya pertukaran bebas aneka jenis binatang yang menyebabkan persamaan umum fauna di antara ketiga pulau besar tersebut. Namun Kepulauan Mentawai, karena dipisahkan oleh selat yang lebih dalam, tetap terpisah dari daratan sekurang-kurangnya sejak masa Pleistocen Tengah.

Hal inilah yang membuat Kepulauan Mentawai menjadi pulau-pulau asli yang diperkirakan semenjak 500 ribu tahun lalu, serta membuat fauna dan floranya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada daerah di bagian Paparan Sunda lainnya.

Yang paling menarik dari fauna Mentawai, sebanyak 65 persen mamalianya endemik, di antaranya adalah primata. Sebelumnya di Kepulauan Mentawai disebut hanya memiliki empat spesies primata, yaitu Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca pagensis), Joja (Presbytis potenziani), dan Simakobu (Simias concolor).

Namun dalam perkembangan taksanomi terbaru, Macaca pagensis dipisah menjadi dua speies, yaitu Macaca siberu untuk yang tersebar di Pulau Siberut dan Macaca pagensis untuk yang penyebarannya yang ada di Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora. Penyebutan kedua Macaca ini disesuaikan dengan nama lokal, yaitu Bokoi di Siberut dan Siteuit di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora.

Kemudian Lutung Mentawai (Presbytis Potenziani) menjadi dua spesies, yaitu Presbytis potenziani dengan nama lokal Atapaipai untuk lutung yang ada di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora dan Presbytis potenziani potenziani atau Joja untuk lutung yang ada di Siberut.

Dengan pembagian itu, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan memiliki empat spesies primate endemik. Sedangkan Pulau Siberut juga memiliki empat primata endemik dengan dua spesies yang berbeda dari tiga pulau lainnya. Meski endemik dan dilindungi, namun status konservasi keenam primata ini terancam punah. Bahkan Simakobu sudah masuk kategori kritis dan tahun ini tercantum dalam daftar 25 primata paling terancam di dunia. Mateus mengatakan, kini keempat primata endemik itu semakin sulit dijumpai, kecuali jika masuk lebih jauh ke dalam hutan dan menunggunya beberapa hari.

“Kalau dulu masih sering turun dari hutan ke pantai, terutama Siteut, Atapaipai, dan Simakobu, kecuali bilou yang tidak mau turun ke tanah, tapi sekarang sudah jarang sekali terlihat, ini sangat mengkhawatirkan,” kata Mateus.

Nasib primata endemik di Hutan Berkat
Dua tahun lalu, pertengahan Juni 2022, saya juga diantar Mateus melihat habitat primata endemik Sipora di Hutan Berkat yang terletak di Dusun Berkat, Desa Tuapeijat, Sipora Utara.

Saya dan dua jurnalis rekan saya ingin mereportase empat primate endemik yang banyak terdapat di Hutan Berkat yang menurut Mateus salah satu kantong habitat penting primata di Pulau Sipora.

Saat perahu kami mendarat di pantai Pukakarayat yang merupakan jalan masuk ke Hutan Berkat, ternyata di tempat itu sedang ada aktivitas penebangan hutan besar-besaran. Ada kegiatan loading kayu di sana. Ratusan pohon telah ditebang, bersusun tinggi di logpond di pantai ittu. Dua kapal ponton terlihat sedang memuat sebagian kayu gelondongan.
Ketika kami memasuki hutan, alat berat terlihat sedang bekerja menebang pohon kruing, meranti, dan katuka yang besar dan tinggi.

“Pohon-pohon itulah yang menjadi rumah primata endemik,” kata Mateus.

Hanya seekor Simakobu yang terlihat di sebuah pohon meranti yang belum ditebang. Saat melihat kedatangan kami, ia segera melompat dan menghilang dengan berayun ke pohon lain yang tersisa.

“Kini primata di Hutan Berkat sudah tidak ada lagi karena rumahnya sudah digusur, mereka pindah ke hutan yang lebih jauh,” kata Mateus mengenang perjalanan kami.

Penebangan hutan yang sedang dilakukan saat itu adalah penebangan di kawasan Arel Penggunaan Lain (APL) milik masyarakat melalui hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Hutan Lestarii (BPHL) Wilayah III di Pekanbaru.

Masyarakat pemilik lahan sebagai PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) dimodali investor untuk mengajukan hak akses penebangan hutan alam kepada BPHL Wilayah III Pekanbaru. Kayu bulat hasil tebangan dijual investor ke Semarang dan Surabaya.

Modus pengambilan kayu dengan memanfaatkan akses SIPUHH ini dalam tiga tahun terakhir telah menghabiskan ribuan pohon yang menjadi target penebangan, yaitu pohon-pohon besar seperti pohon Keruing, Meranti, dan Katuka.

Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat pohon yang sudah ditebang sejak 2022 hingga Juli 2025 di Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora mencapai 62.049 ribu batang pohon atau 181.683 kubik kayu. Pada 2 Juli 2025 Kementerian Kehutanan mengevaluasi PHAT dan menutup layanan pemberian hak akses SIPUHH yang baru. Salah satu alasannya karena PHAT diduga melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan pemanfaatna kayu.

“Sudah ditutup Menteri Kehutanan, kami di Dinas Kehutanan juga sejak awal tidak terlibat dalam pemberian akses SIPPUH ini, semua prosesnya oleh Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah 3,” Kata Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat, 1 September 2025.

Namun ancaman lain bagi primata endemik Mentawai di Pulau Sipora kembali mengintai. Kali ini jauh lebih besar. Pemerintah telah memberikan izin persetujuan komitmen untuk Perizinan Berusaha Pemanfataan Hutan (PBPH) seluas 20.706 hektare atau sepertiga luas Pulau Sipora kepada PT Sumber Permata Sipora. Saat ini perusahaan tersebut sedang memperbaiki Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk mendapatkan izin beroperasi menebang hutan Sipora.

Ahli primata khawatir
Dr. Rizaldi, ahli primata di Departemen Biologi Universitas Andalas, sangat khawatir dengan maraknya pembukaan hutan di Pulau Sipora dalam tiga tahun terakhir. Apalagi ditambah dengan izin baru untuk PBPH PT Sumber Permata Sipora yang sedang diproses.

Rizaldi mengatakan kondisi primata di Mentawai saat ini sangat mendesak untuk diperhatikan karena primata itu telah kehilangan habitat yang begitu parah.

“Yang paling urgent sekarang adalah primata-primata yang ada di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan, karena tidak ada kawasan perlindungan seperti di Siberut yang ada taman nasional, sepanjang tidak ada hutan konservasi habitat primata di Sipoa ini akan hilang,” katanya.

Apalagi, tambahnya, IUNC saat ini sudah memisahkan jenis spesies Joja dan Bokoi yang ada di Pulau Siberut berbeda dengan yang ada di Pulau Pagai dan Sipora.

“Ditambah lagi tahun ini ahli primata di dunia juga memasukkan Simakobu sebagai 25 primata paling terancam di dunia, seharusnya pemerintah Indonesia malu dan membuat upaya agar Simakobu keluar dari daftar itu,” ujarnya.

Menurut Rizaldi, dua spesies utama yang paling terdampak penebangan hutan di Sipora adalah Bilou dan Simakobu. Selanjutnya berurutan Atapaipai dan Siteut.

Bilou paling terdampak karena sangat tergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi, karena ia tidak pernah turun ke lantai hutan, seperti tiga primata lainnya.

“Bilou hanya memakan buah, terutama buah ara. Kalau tegakan hutan dibuka akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain mencari makanan,” katanya.

Simakobu juga tinggal di pohon yang tinggi, memakan buah dan daun. Tidak seperti Atapaipai dan Siteut yang pilihan makanannya lebih banyak dan bisa turun ke lantai hutan.

“Siteut lebih opurtunis, karena bisa hidup dekat dengan aktivitas manusia seperti di ladang, tetapi itu menjadikannya berkonflik dengan manusia karena dianggap hama,” katanya.

Rizaldi mengingatkan, ketika alat berat mulai beroperasi dan masuk ke kawasan primata-primata tersebut, kemudian menebangi pohon-pohon yang besar dan kecil dengan melakukan ‘land clearing’, dalam kurun yang singkat primata tersebut akan kehilangan potensi makanan.

“Jangan lagi ada logging, sudah terlalu banyak eksploitasi hutan di Mentawai sejak 1970 sampai sekarang, pohon ditebang menjadi kayu log dan dibawa keluar Mentawai, harusnya itu tidak lagi dilakukan, karena Sipora termasuk pulau kecil yang rentan dan rapuh, bisa kekurangan air tawar,” ujarnya.

Menurut Rizaldi, jika penebangan hutan di Pulau Sipora tetap berlanjut, Sipora akan kehilangan biodiversiti hutannya. Ekosisitemnya akan terganggu, karena banyak satwa besar seperti rusa, babi hutan, dan primata akan lenyap.

“Kalau ditebang lagi, hutan bisa saja recovery untuk lima puluh tahun ke depannya, tapi faunanya bagaimana mau recovery kalau sudah hilang,” katanya.

Kalau serangga kecil, jelasnya, mungkin masih akan kembali. Namun hewan besar tidak akan kembali.

“Padahal suatu ekosistem itu butuh hewan besar, butuh predator, satu saja ada yang hilang, jelas akan ada yang terganggu, bisa menjadi hutan yang ada pohon tapi lahannya kering seperti gurun, seperti di kebun sawit,” katanya.

Ia berharap eksploitasi hutan di Kepulauan Mentawai sudah harus dihentikan sekarang.

Bupati Mentawai menolak PBPHPT SPS
Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa menyatakan dengan tegas menolak masuknya PBPH PT Sumber Permata Sipora karena menurutnya pembabatan hutan akan merugikan masyarakat adat.

“Saya sudah menyampaikan langsung kepada Menteri Kehutanan dan Gubenur Sumatera Barat untuk tidak meloloskan izin ini, karena banyak penolakan dari masyarakat,” kata Rinto.

Untuk penyelamatan primata Mentawai Bupati sudah memiliki rencana untuk membuat ekowisata di hutan Siberut dan Sipora untuk tempat pengamatan satwa Mentawai bagi turis asing yang banyak datang ke Mentawai. Kawasan itu akan dilengkapi dengan jalur treking masu ke dalam hutan.

“Tidak saja tempat pengamatan primata endemik Mentawai, tetapi juga satwa Mentawai lainnya seperti tupai terbang endemik, buung hantu endemik, burung beo, dan rangkong,” katanya di Tuapeijat pada 2 Agustus 2025. Rinto juga ingin mendorong masyarakat adat untuk membuat ekowisata di hutan adat.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat Tasliatul Fuadi yang diberi mandat membahas ANDAL (Analisa Dampak Lingkungan) PT.Sumber Permata Sipora mengatakan untuk perlindungan satwa dalam konsesi kawasan PBPH PT Sumber Permata Sipora, selain ada hutan lindung seluas 661 hektare, juga akan ditambah minimal 100 hektare untuk areal satwa dan plasma nutfah.

“Akan ada tambahan 100 hektare di dekat hutan lindung di sekitar Saureinuk, selain itu kami juga mengusulkan agar ada penebangan selektif, minimal kayu yang diameternya 50 sentimeter ke atas, tidak 40 up seperti sekarang,” katanya.

Saat ditanya tentang kemungkinan membuat koridor satwa dari utara hingga selatan, ia mengatakan itu akan menghabiskan areal.

“Kalau di semua tempat ya habis, atau kita jadikan hutan lindung ,atau dijadikan taman nasional, harus di-SK-kan oleh Menteri, apa mau begitu, saya setuju saja, kalau mau dijadikan hutan adat itu bertahap dan prosesnya lama,” katanya pada 19 Agustus 2025 usai pertemuan dengan Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat yang menolak masuknya PBPH PT Sumbar Permata Sipora di DPRD Sumatera Barat.

Saya kembali mengunjungi Hutan Berkat pada 22 Agustus 2025 untuk melihat kembali hutan yang saya saksikan sedang ditebang tiga tahun silam.

Kami masuk hutan pagi hari, melewati jalan tanah merah berlumpur dan tergenang air. Jalan bekas loading di tengah hutan menuju pantai Pukarayat masih diperkeras dengan batu dan jembatan dari balok-balok pohon. Di beberapa tempat bekas tebangan sudah berubah menjadi kebun pisang dan ladang masyarakat. Sebagian besar masih hutan dengan sisa pohon yang tidak ditebang.

Seekor ular king kobra melintas cepat, masuk ke semak begitu mengetahui kami lewat. Di dekat sungai telihat seekor biawak. Beberapa burung melintas. Seekor rangkong dan seekor elang terlihat di pohon. Sedangkan burung sriguntung kelabu terbang melintas.

Sedangkan bajing terbang endemik Mentawai dan burung hantu endemik Mentawai yang dulu pernah terlihat di tempat itu, kini tak terlihat lagi.

Hutan telah menjadi sunyi. Tidak terdengar suara seekor pun primata Mentawai di tempat itu. Siteut, simakobu, Atapaipai, atau pekikan bilou tak lagi terlihat atau bersuara dari kejauhan. Pohon-pohon yang dulu menutupi hutan dengan rapat kini sudah jarang dan tempat itu semakin terang.

“Saya rasa semua primata yang ada di sini dulu sudah pindah ke hutan yang terlindungi dari tebing batu ke arah selatan sana,” kata Mateus.

Mateus menceritakan sudah pernah melihat ke lokasi itu dan menyaksikan ada primata di sana. “Di sana penebangan hutan akan sulit dilakukan, semoga primata itu bisa aman,” kata Mateus yang kembali mendampingi saya ke Hutan Berkat,

Dia tetap mencoba optimistis dengan ancaman penebangan hutan yang mengintai habitat terakhir primata di Sipora. “Tidak semua orang mau menyerahkan tanahnya untuk digarap, ada juga yang masih memikirkan dampak lingkungannya, mereka akan kesulitan air dan dapat bencana, semoga perusahaan tidak jadi beroperasi di sini,” ujar Mateus.

Modul bergambar untuk lawan stunting di Pulau Nias

Modul tentang penelitian stunting yang dirancang para peneliti kampus USU.
Modul tentang penelitian stunting yang dirancang para peneliti kampus USU. (USU)

Penelitian dari UISU dan USU mengembangkan modul edukasi dwibahasa bergambar yang efektif meningkatkan kesadaran stunting di kalangan ibu-ibu pedesaan Pulau Nias. Modul ini menggunakan pendekatan berbasis budaya lokal, visual, dan bahasa ibu untuk menyampaikan pesan kesehatan dengan empati.

Di tengah bentang perbukitan dan ladang hijau yang menghampar di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada sebuah persoalan besar yang diam-diam menggerogoti masa depan anak-anak. Tubuh-tubuh kecil yang pendek tak sesuai usianya, mata yang lesu meski hari baru dimulai, dan prestasi sekolah yang tertingga. Semuanya hanyalah permukaan dari satu kata: stunting.

Bagi sebagian masyarakat Nias, anak bertubuh pendek dianggap sebagai warisan dari orang tua, bukan sebagai sinyal darurat kesehatan yang perlu segera ditangani.

Namun pemahaman seperti itu kini mulai bergeser, bukan karena kedatangan alat canggih dari kota besar, tetapi berkat sebuah benda sederhana: modul bergambar dalam bahasa Nias.

Modul ini bukan buku biasa. Ia adalah jembatan antara pengetahuan medis dan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Ia lahir dari observasi tajam, diskusi hangat bersama ibu-ibu desa, dan hasrat kuat untuk menjangkau yang selama ini terabaikan.

Cashtri Meher dan Fotarisman Zaluchu dalam jurnal berjudul “Methods for Stunting Education in Impoverished Rural Areas Using Illustrated Modules in Local Languages”, membagikan kisah di balik layar penelitian yang kini dipublikasikan di jurnal MethodsX.

“Kami tidak bisa datang dengan bahasa formal dan ekspektasi bahwa semua orang akan mengerti. Di sini, edukasi harus dimulai dari yang paling dasar: bahasa ibu, visual, dan empati,” ujar Cashtri Meher, diakses dari laman USU, Kamis, 4 September 2025.

Langkah pertama mereka bukanlah menyusun teori, tapi datang dan mendengar langsung. Melalui enam Focus Group Discussion (FGD) di tiga wilayah Nias bagian Utara, Selatan, dan Gunungsitoli, tim mendengarkan cerita, mitos, dan kebingungan para ibu tentang stunting. Banyak dari mereka percaya stunting adalah bawaan genetik, tak ada kaitan dengan pola makan atau sanitasi.

“Itu bukan salah mereka,” ujar Fotarisman Zaluchu, penulis kedua yang juga seorang antropolog. “Informasi yang sampai ke mereka selama ini tidak pernah memakai bahasa mereka, tidak pernah memakai cara mereka memahami dunia.”

Dari hasil FGD dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat serta tenaga kesehatan, terungkap satu kebutuhan mendesak: media edukasi yang berakar dari konteks lokal. Maka lahirlah ide untuk membuat modul ilustrasi dwibahasa, dengan narasi dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan cermat ke dalam bahasa Nias, dilengkapi gambar-gambar yang menggambarkan suasana dan karakter lokal: ibu yang sedang menumbuk padi, ayah yang mencangkul di ladang, balita yang digendong dengan kain tradisional.

Proses penerjemahan bukan sekadar alih bahasa, tapi alih makna budaya. Setiap kalimat dibahas secara saksama bersama penerjemah dan warga lokal, memastikan bahwa setiap pesan tentang gizi, air bersih, dan pola asuh tidak hanya terdengar akrab, tapi juga bisa diterima dengan hati. Sementara itu, sang ilustrator diberi pengarahan agar setiap gambar menampilkan pakaian adat, lingkungan rumah khas Nias, dan ekspresi wajah yang ramah dan komunikatif.

“Kami ingin ibu-ibu melihat gambar itu dan berkata ini seperti saya,” ujar Cashtri sambil memperlihatkan halaman modul yang penuh warna.

Modul ini terdiri dari 29 halaman narasi, yang mencakup definisi stunting, tanda-tandanya seperti keterlambatan bicara atau malas bergerak, dampak jangka panjang seperti penyakit kronis dan putus sekolah, hingga anjuran praktis tentang pentingnya ASI eksklusif, makanan bergizi, keterlibatan ayah dalam merawat anak, dan pentingnya tidak membeda-bedakan anak perempuan dan laki-laki.

Hal paling menyentuh adalah bagaimana narasi-narasi ini tidak sekadar memberi tahu, tapi mengajak berdialog. Salah satu halaman misalnya menunjukkan seorang ayah yang sedang membantu istrinya memasak, dengan pesan yang berbunyi: “Suami yang membantu pekerjaan rumah bisa membuat istri lebih sehat selama hamil.” Di halaman lain, ditampilkan anak-anak yang sedang menimbang berat badan di Posyandu, menggambarkan pentingnya pemantauan tumbuh kembang.

Sebelum modul ini dicetak massal dan dibagikan di pertemuan komunitas dan gereja, tim melakukan pilot test dengan 30 ibu-ibu di tiga lokasi berbeda dari target program. Mereka diminta menilai modul berdasarkan delapan pertanyaan, mulai dari apakah bahasanya mudah dipahami, apakah gambarnya menarik, hingga apakah mereka akan mengikuti rekomendasi dalam modul.

Hasilnya luar biasa: nilai rata-rata mencapai 9,06 dari 10. Skor tertinggi diberikan pada aspek “modul bermanfaat” dan “modul penting dibaca orang lain”. Reaksi spontan peserta pun positif. Mereka tidak hanya membaca, tapi juga berdiskusi, bertanya, bahkan mulai mengingatkan sesama ibu tentang pentingnya makanan bergizi dan pemeriksaan kehamilan.

“Hal yang paling mengejutkan kami adalah bagaimana satu modul kecil ini bisa menyalakan percakapan di komunitas yang sebelumnya sunyi soal stunting. Bahasa mereka, cerita mereka, gambar yang seperti kehidupan mereka. Semuanya membuat modul ini hidup,” jelas Cashtri Meher.

Dari Pulau Nias menjadi arus utama

Namun keberhasilan ini tidak datang tanpa tantangan. Modul ini dirancang khusus untuk masyarakat berbahasa Nias, dan penerapannya sulit jika tidak melibatkan tim lokal yang memahami budaya dan bahasa daerah. Ini sekaligus menjadi kekuatan dan keterbatasannya. Tapi tim peneliti melihat ini sebagai prototipe. Sebuah model yang bisa diadaptasi untuk daerah lain dengan pendekatan yang serupa: berbasis budaya, visual, dan partisipasi warga lokal.

“Kami ingin modul seperti ini menjadi arus utama dalam pendidikan kesehatan masyarakat. Bukan hanya soal isi, tapi soal cara menyampaikan. Masyarakat berhak mendapatkan informasi dengan cara yang menghormati identitas mereka,” tutup Cashtri Meher.

Dalam dunia yang sering menyamakan pendidikan dengan ceramah atau poster formal, modul ini mengajarkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa pengetahuan harus dibungkus dengan empati, dihantar dalam bahasa ibu, dan disampaikan dengan gambar yang bisa membuat siapa pun tersenyum, lalu berpikir.

Di pedalaman Nias, satu modul kecil telah menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai bukan dari layar komputer atau pidato pejabat, tapi dari lembar demi lembar buku yang dibaca seorang ibu sambil menggendong anaknya.

Mengurai masalah sampah Kota Medan: Potret dari TPA Terjun

Cuaca sangat panas pada Rabu (23/7/2025) siang. Puluhan truk sampah datang dan pergi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun di Kecamatan Medan Marelan. Ada tiga gunung sampah di tempat ini. Ratusan pemulung tak peduli sengatan matahari demi rezeki yang bersembunyi di antara sampah berbau busuk menusuk hidung. Di dekat mereka, burung-burung bangau berebut sisa makanan yang terburai dari sampah yang baru dituang dari truk.  

Namanya Parsiah (65), dia baru saja selesai makan siang ketika ditemui di bawah gubuk sederhana yang dibuat sekedar menghindari panas. Saat itu dia bersama suaminya dan tiga rekannya. Dia lahir di Banyuwangi dan merantau bersama orangtuanya naik kapal pada tahun 1980.  Situasi yang sulit membuatnya tak bisa memilih pekerjaan. Dia tak punya uang untuk pulang ke Jawa. Di tanah andalas ini, saat itu dia tinggal di daerah Pancur Batu, Deli Serdang. 

Sekitar 5 km dari rumahnya beroperasi TPA Namo Bintang. Dia diajak oleh teman-temannya untuk datang ke tempat itu untuk mencari barang-barang tertentu yang dibuang orang untuk dikumpulkan dan dijual kembali. Dia mengaku tidak pernah menyangka perantauannya ke Sumatera membuatnya menjadi pemulung bersama suaminya pada tahun 1989. Saat itu harga barang rongsokan berbahan plastik dan besi masih bernilai tinggi. Tidak seperti sekarang.  

“Dulu barang banyak. Kalau sama (saat) ini, jauh kali. Dulu plastik dihargai Rp500 per kilogram. Dulu harga segitu nilainya masih besar,” katanya. 

Saat ini, lanjut Parsiah, meskipun sampah melimpah tetapi barang yang bisa dijual kembali justru semakin sedikit dan harganya murah. Di saat yang sama, harga kebutuhan hidup semakin tinggi. 

Parsiah dan suaminya sempat bingung mencari penghidupan ketika TPA Namo Bintang ditutup pada 2013.  Namun harapannya muncul lagi ketika mengetahui TPA berpindah ke Kelurahan Terjun, di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan. 

Dia lahir di Banyuwangi dan merantau bersama orangtuanya naik kapal pada tahun 1980. Situasi yang sulit membuatnya tak bisa memilih pekerjaan. Dia tak punya uang untuk pulang ke Jawa. Di tanah andalas ini, saat itu dia tinggal di daerah Pancur Batu, Deli Serdang.

Parsiah (65), memulung sejak tahun 1989 di TPA Namo Bintang. Sejak ditutupnya TPA di Pancur Batu itu dia kini memulung di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan.

Puluhan Tahun Memulung 

Jarak dari tempat tinggalnya di Pancur Batu ke TPA Terjun lebih dari 30 km. Dia dan suaminya memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke daerah Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan. Dua anaknya juga ikut menjadi pemulung di TPA Terjun, hingga sekarang. Seperti halnya pekerja di gedung-gedung ber-AC, Parsiah, suaminya dan ratusan pemulung lainnya bekerja dari jam 8 hingga jam 4 sore. 

Sepulangnya, akan digantikan ratusan pemulung lain yang bekerja untuk shift sore hingga tengah menjelang tengah malam. Bicara pendapatan, menurut Parsiah tidak pernah bisa dipatok. Selain tergantung dengan kekuatan fisiknya, juga banyaknya plastik, kaca dan kaleng atau besi yang berhasil dikumpulkannya. “Namanya rejeki, ya kan, Pak? Rejeki satu, kondisi kita, badan kita. Kalau kita lagi fit, barang banyak, ya lumayan. Kalau barangnya nggak ada, ya seret juga,” ujarnya.

Di usia senjanya, dia tak tahu kapan akan berhenti memulung. Namun jika ada bantuan dari pemerintah atau pihak lain, dia akan memilih berdagang di rumahnya. Jika tidak, dia akan tetap memulung bersama lebih dari 500 pemulung lainnya. “Ya, memulung ini lebih baik daripada (meminta-minta) di lampu-lampu. Yang penting halal. Kemarin dengar-dengar katanya TPA ini mau ditutup atau dipindah, jangan lah. Saya menyuarakan atas semua pemulung di sini. Minta lahannya jangan pindah, Pak. Saya minta penambahan lahan di sini,” ujarnya. 

Pemulung lainnya bernama Ika (42). Dia sudah sepuluh tahun memulung di TPA Terjun. Bagi Ika, TPA Terjun tidak hanya sebagai tempat sampah, tetapi sebagai sumber utama penghidupan pemulung. Banyak barang buangan yang masih bisa dijual kembali sebagai penyambung nyawa ribuan orang. Dia sendiri dalam sehari dari menjual barang bekas bisa menghasilkan rata-rata Rp 50 ribu. Penghasilan itu cukup untuk membantu dapur tetap ngebul. 

Pekerjaan memulung tidak membuat Ika kehilangan keramahtamahannya. Baginya, yang penting kebutuhan hidup bisa terpenuhi dari sumber yang halal sekaligus untuk sekolah anak-anaknya yang kini duduk di bangku SMA, SMK dan SMP.

Bagi Ika, TPA Terjun tidak hanya sebagai tempat sampah, tetapi sebagai sumber utama penghidupan pemulung. Banyak barang buangan yang masih bisa dijual kembali sebagai penyambung nyawa ribuan orang. Dia sendiri dalam sehari dari menjual barang bekas bisa menghasilkan rata-rata Rp 50 ribu. Penghasilan itu cukup untuk membantu dapur tetap ngebul.

Pekerjaan memulung tidak membuat Ika kehilangan keramahtamahannya. Baginya, yang penting kebutuhan hidup bisa terpenuhi dari sumber yang halal sekaligus untuk sekolah anak-anaknya yang kini duduk di bangku SMA, SMK dan SMP. “Anak saya tiga orang, masih sekolah. Harapan saya, anak-anak jangan kayak mamaknya. Kalau bisa lebih maju, jangan ikut-ikut mulung,” ujarnya lirih sambil menyusun barangnya di dalam karung.

Tak beda dengan Parsiah dan Ika. Mulyono (39) pun menganggap TPA Terjun sebagai sumber penghidupan bagi keluarga. Dia tak tahu apa jadinya jika TPA Terjun ditutup seperti wacana yang didengarnya dari obrolan antar pemulung. Mulyono dulunya seorang buruh bangunan. Dia memutuskan menjadi pemulung karena bekerja di bangunan tidak menentu uangnya. Kadang ada, kadang tidak. Walaupun hasilnya pas-pasan, masih cukup untuk makan istri dan anak. 

Menurutnya, dari sekian banyak barang rongsokan, yang paling pas adalah ketika mendapatkan tembaga karena harganya bisa mencapai Rp 100 ribu per kg. Namun untuk mengumpulkan sebanyak itu, sebulan belum tentu dapat. Mulyono bekerja dari Senin hingga Sabtu. Panas dan hujan menurutnya tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja. “Selagi negara membuang sampah di sini, kami di sini lah. Kami sebenarnya tergantung negara sekarang,” ungkapnya.

dari atas taman bisa melihat gedung-gedung tinggi di kejauhan, tambak ikan dan persawahan, gunung sampah aktiv dengan ekskavator tak henti memindahkan tumpukan sampah dan tentu saja ratusan ‘pendaki’ yang sibuk dengan karung di punggung dan gancu di tangan.

Kepala Tim Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Azman berjalan menuju sepeda motornya dengan latar depannya gunung sampah.

Gunung Sampah Kota Medan Setinggi 40 Meter

Ditemui di  Taman Edukasi TPA Terjun, Kepala Tim Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Azman mengatakan, taman ini dulunya adalah gunung sampah yang dinonaktifkan. Gunung sampah ini sudah dibangun selayaknya taman dengan beberapa spot yang menarik untuk foto. Dengan ketinggian di atas 30 meter, taman ini memberikan pemandangan sekeliling yang cantik. Ya, ternyata sampah tak melulu tampil dengan wajah buruk rupa. 

Benar saja, dari atas taman bisa melihat gedung-gedung tinggi di kejauhan, tambak ikan dan persawahan, gunung sampah aktiv dengan ekskavator tak henti memindahkan tumpukan sampah dan tentu saja ratusan ‘pendaki’ yang sibuk dengan karung di punggung dan gancu di tangan. Angin sepoi-sepoi dan cuaca panas membuat kantuk datang lebih cepat. Tenda-tenda pemulung dan asap tipis yang keluar dari tumpukan sampah, tak ubahnya  di Gunung Sibayak, katakan lah. 

Hanya saja, aroma tak sedap yang terbang dibawa angin selalu berhasil membuat mata kembali terbelalak. Hilang kantuk. Azman sudah 14 tahun bekerja di TPA Terjun. Suasana seperti itu sudah menjadi bagian dari dirinya, setidaknya setelah kembali ditugaskan Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan di tempat itu. Awal menjadi PNS, dia ditugaskan di TPA Terjun. Sempat pindah ke kantor, namun keputusan membawanya kembali ke TPA Terjun.

Menurutnya, selalu ada pengalaman pertama di setiap kesempatan. Hal itu sangat mengejutkannya, membuatnya goncang ingin pergi, tapi tampaknya pilihan pengabdian lebih kuat. Dia mulai menata tempat yang amburadul, becek dan sangat bau, menjadi lebih baik dan tertata. Kotor dan bau, menurutnya tentu saja tidak bisa dihilangkan, namanya juga tempat sampah. Namun menurutnya, yang dilakukannya sangat berdampak. 

Para pemulung bekerja tanpa alat pelindung diri dan penuh resiko di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan.

Lebih dari 300 pemulung bekerja mencari barang-barang bernilai ekonomi di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan.

Dia melakukan penataan tanpa belajar dari misalnya studi banding ke TPA lainnya. Dia menatanya dengan berdiskusi bersama operator di lapangan, membuat jalur pengangkutan sampah, parit untuk pembuangan, dan lain sebagainya sehingga menjadi seperti yang sekarang ini. Menurutnya, ini jauh lebih baik dari awal dia masuk. Setiap tumpukan sampah setinggi 5 meter akan ditimpa dengan tanah dengan ukuran tertentu. Namun harga tanah timbun tidaklah murah. 

Hal ini menjadi tantangan apalagi saat ini ada efisiensi. Dikatakannya, TPA Terjun adalah tempat penampungan sampah dari 21 kecamatan di Kota Medan. “Kondisi TPA Terjun ini pertama kali disini ada tahun 1993, mulai diresmikan dibuka untuk penampungan sampah Kota Medan. Jadi saat ini kondisi TPA Terjun ini menampung sampah yang terdiri daripada 21 kecamatan yang melakukan pembuangan di lokasi TPA Terjun,” jelasnya. 

Dijelaskan Azman, luas TPA Terjun mencapai 14 hektare, dibagi menjadi zona A, B dan C. Zona A sudah dinonaktifkan dan kini dioperasikan sebagai taman. Dua zona lainnya, kini tingginya mencapai 40 meter. Betapa tidak, setiap harinya ada 200 truk sampah yang datang dan pergi. Prosesnya dimulai dengan penimbangan di pintu masuk sebelum sampah dibuang ke zona yang sudah ditentukan. “Untuk timbulan sampah yang masuk, yang ditimbang, yang diangkut daripada truk-truk pengangkut sampah ini, sampah kita itu lebih kurang mencapai di angka 1.200 ton, lebih kurang per harinya yang masuk,” jelas Azman.

Dengan jumlah itu, menurut Azman, TPA ini sudah benar-benar tidak mampu menampung sampah dalam waktu lama. Jika tidak ada penambahan luasan lahan, dia memperkirakan tahun depan tidak akan cukup lagi. “Ini sudah kebingungan kita ini. Ini aja kita sudah berupaya yang di mana mencari celah-celah lagi bisa buang, tapi tahun depan agak sulit kalau hanya mengharapkan kondisinya ini aja,” tambahnya.

luas TPA Terjun mencapai 14 hektare, dibagi menjadi zona A, B dan C. Zona A sudah dinonaktifkan dan kini dioperasikan sebagai taman. Dua zona lainnya, kini tingginya mencapai 40 meter. Betapa tidak, setiap harinya ada 200 truk sampah yang datang dan pergi. Prosesnya dimulai dengan penimbangan di pintu masuk sebelum sampah dibuang ke zona yang sudah ditentukan

Kepala Tim Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Azman mengatakan setiap hari sekitar 1200 ton sampah dari 21 kecamatan di Kota Medan masuk ke TPA Terjun.

TPA Terjun Harus Diperluas

Hal itu karena kapasitas yang dimiliki TPA Terjun saat ini hampir habis karenanya harus ada perluasan lahan.  Menurutnya, dulu ada wacana menambah sekitar 6 hektare dengan bantuan pihak luar negeri, namun belum ada kelanjutan. Selain perluasan lahan, lanjut Azman, yang dibutuhkan saat ini adalah penerapan teknologi untuk mengelola sampahagar tidak hanya ditumpuk tetapi diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. 

Azman mengakui keberadaan pemulung di TPA Terjun ini tidak sedikit. Menurutnya, ada sekitar 300 pemulung yang bekerja dari pagi hingga malam secara bergantian. Mereka mencari barang-barang bernilai jual seperti plastik, logam, dan karton. Namun, pekerjaan ini penuh risiko. Pihaknya sering mengimbau dan mengingatkan resiko yang bisa terjadi saat mereka bekerja. Misalnya tidak membakar sampah. 

Resiko lainnya adalah posisi mereka yang kerap kali berdekatan dengan alat berat yang mengangkut dan memindahkan tumpukan sampah.Selain pemulung, ada 40 petugas Dinas Lingkungan Hidup yang bekerja mengelola kawasan ini. Namun, Azman mengakui banyak dari mereka belum dilengkapi Alat Pelindung Diri (APD) secara memadai. Dikataannya, sudah semestinya pemerintah memperhatikan pengelolaan sampah. 

“Kalau lah sampah ini, satu hari nggak diangkut, sudah tidak bisa, kan kacau kita pak, Kota Medan ini. Jadi mohonlah perhatiannya, kita lebih serius untuk masalah perluasan lahan TPA ini, supaya Medan ini tetap tidak terkendala dalam hal sampahnya masyarakat juga,” katanya. 

Aksi bersih di Danau Siombak digalakkan Camat Medan Marelan, Zulkifli Pulungan.

Seorang nelayan membersihkan sampah di Danau Siombak menggunakan sampan.

Stigma Medan Kota Terjorok

Pengamat lingkungan, Jaya Arjuna ketika ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya mengatakan bahwa Kota Medan pernah mendapatkan julukan sebagai salah satu kota terjorok di Indonesia karena banyaknya sampah di mana-mana. Kota Medan sebenarnya pernah mendapatkan Penghargaan Adipura namun menurutnya itu tidak serta merta mencerminkan adanya perbaikan besar dalam pengelolaan lingkungan. 

Jaya menilai, meskipun mendapatkan Penghargaan Adipura, Kota Medan belum mengalami peningkatan peringkat dalam kategori kota layak huni. “Ada kota layak huni, ada kota terjorok, ada Adipura. Itu harusnya selaras. Kalau naik (perbaikan sistem), ya semuanya naik. Tapi kalau satu naik, yang lain stagnan, itu patut dipertanyakan,” jelasnya.

Di rumahnya di ujung Jalan Utama Medan, Jaya meyebutkan salah satu indikator utama sebuah kota dianggap jorok adalah terjadinya banjir setiap kali hujan deras. Hal itu menurutnya menjadi bukti langsung dari sistem pengelolaan sampah yang buruk. “Kota yang terjorok itu bisa dilihat, kalau hujan pasti banjir. Kenapa banjir? Karena paritnya penuh. Kenapa penuh? Karena sampah-sampah masuk ke parit. Sampahnya bukan besar-besar, tapi yang kecil-kecil itu justru menyumbat,” jelasnya.

Meskipun berdampak, bank sampah belum signifikan mengurangi volume sampah. “Berapa meter kubik yang ditangani bank sampah? Bisa dihitung. Tidak sebanding dengan volume total sampah harian kota. Sampah yang terangkut paling 70 persen, sisanya 30 persen kemana? Ya, masuk ke parit,” katanya.

Inisiatif itu berupa Main ke Danau Siombak. Camat Medan Marelan, Zulkifli Syahputra Pulungan menyebut main tak sekedar main, tetapi aksi bersih sampah. Ya, dari Danau Siombak, gunung sampah TPA Terjun terlihat menjulang. Gunung sampah dan danau penuh sampah bukanlah pemandangan indah, karenanya harus ditangani dengan serius. Setiap hari Kamis pagi, Zulkifli menggerakkan perangkat kecamatan, kelurahan, lingkungan dan neayan untuk aksi bersih itu.

Camat Medan Marelan, Zulkifli Syahputra Pulungan (kaos biru) bersama sejumlah lurah dan tokoh di Kecamatan Medan Marelan apel sebelum aksi bersih Danau Siombak bernama Main ke Danau Siombak.

Cara Main ke Danau Siombak Ala Camat Medan Marelan

Dalam kesempatan yang lain, tepatnya di Danau Siombak ada inisiatif penanggulangan sampah Kota Medan. Danau satu-satunya milik Kota Medan itu, tak pernah luput dari permasalahan sampah. Di saat air pasang, tak jarang membawa serta sampah yang mengalir di Sungai Bedera, merasuk ke danau sehingga kawasan yang memiliki pesona tersendiri saat senja itu dipenuhi sampah. Kadang saat surut, berbagai sampah dibawa ke laut, kadang tertinggal di danau, mengapung atau tenggelam. 

Inisiatif itu berupa Main ke Danau Siombak. Camat Medan Marelan, Zulkifli Syahputra Pulungan menyebut main tak sekedar main, tetapi aksi bersih sampah. Ya, dari Danau Siombak, gunung sampah TPA Terjun terlihat menjulang. Gunung sampah dan danau penuh sampah bukanlah pemandangan indah, karenanya harus ditangani dengan serius. Setiap hari Kamis pagi, Zulkifli menggerakkan perangkat kecamatan, kelurahan, lingkungan dan neayan untuk aksi bersih itu.  

Zulkifli memang baru dua minggu menjabat camat di wilayah utara Kota Medan ini. Tapi perhatiannya kepada Danau Siombak ini adalah nilai lebih. Dikatakannya, wilayah kerjanya memiliki dua keunikan yang tak dimiliki kecamatan lain, yakni Danau Siombak dan TPA Terjun. Danau seluas belasan hektare itu berada di KelurahanTerjun dan aksesnya melalui Kelurahan Paya Pasir. Danau ini berperan seperti muara aliran Sungai Bedera yang membawa sampah dari pusat Kota Medan terus masuk ke danau.

“Kita mengetahui kondisi Danau Siombak itu cukup banyak sampah yang merupakan sampah kiriman bukan sampah masyarakat sekitar. Sampah kiriman yang asalnya dari Sungai Bederah. Kita ketahui sendiri Sungai Bederah ini merupakan aliran sungai yang melintasi pusat kota Medan dan ujungnya itu mengarah ke Danau Syombak,” jelas Zulkifli.

Dikatakannya, Main ke Danau Siombak ini adalah aksi bersih sampah menggunakan cara manual dengan tanggok jaring, maupun perahu motor bantuan BPBD Medan, sampan, hingga kano pinjaman warga untuk mengitari danau. Sampah yang mengapung di permukaan dan mengotori tepian danau diangkut dan dikumpulkan. Dengan perahu, sampan atau kano memutari danau sambil menjaring sampah yang bisa dijaring, menurutnya sedikit demi sedikit akan memberi dampak. 

Pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hiodup, aktivis lingkungan dan masyarakat sekitar untuk menangani sampah di Danau Siombak. Salah satunya adalah memasang jaring di pintu masuk antara Sungai Bedera dan Danau Siombak untuk menghalau sampah masuk ke danau. Tetapi tidak akan menutup akses bagi nelayan yang melintas untuk mencari ikan. 

Di saat air pasang, tak jarang membawa serta sampah yang mengalir di Sungai Bedera, merasuk ke danau sehingga kawasan yang memiliki pesona tersendiri saat senja itu dipenuhi sampah. Kadang saat surut, berbagai sampah dibawa ke laut, kadang tertinggal di danau, mengapung atau tenggelam.

Seorang petugas mengangkut sampah yang diangkat dari Danau Siombak saat aksi Main ke Danau Siombak.

Selain Danau Siombak, perhatiannya juga pada TPA Terjun. Lokasi ini menampung sampah dari seluruh kecamatan di Kota Medan.  Dikatakannya, ada 3 tumpukan sampah atau yang disebutnya sebagai gunung sampah di tempat itu. Dari tiga gunung itu, ada 1 yang dibuat menjadi taman. 

“Jadi, TPA yang ada di Medan Marelan ini, seperti yang saya bilang, ini merupakan ikon unik salah satu ikon unik dari kecamatan Medan Marelan selain Danau Siombak yaitu tempat pembuangan akhir sampah sekota Medan,” katanya. 

Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah terobosan dalam pengelolaan sampah. Bisa dimulai drngan studi banding ke daerah lain atau bahkan ke luar negeri tentang penanganan sampah yang efisien dan efektif. Hal itu penting karena sampah adalah persoalan vital di kota-kota besar, termasuk Medan. Menurutnya, jika sekedar menampung, maka sampah akan menggunung. Dia menegaskan, pengelolaan sampah ini harus melibatkan banyak pihak. Tidak hanya pemerintah. 

“Jangan hanya berharap 100% dari pemerintah. Pemerintah nggak akan bisa berbuat apa-apa kalau masyarakatnya tidak merubah pola pikir dan pola hidup. Saya rasa DLH juga sudah bekerja maksimal. Insya Allah, mudah-mudahan mendapatkan jalan terbaik untuk pengelolaan sampah,” katanya. 

Kiprah Sang Putra Daerah 

Anak muda itu bernama Yudha Lesmana Pohan. Seorang pecinta alam yang ingin berkiprah serius untuk memperbaiki kampung halamannya. Sebagai putra daerah, dia ingin Marelan menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Danau Siombak yang asri, bersih dari sampah, dan kepedulian yang tinggi untuk menjaganya dari kerusakan dan kotor. Pada Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2025, dia adalah Koordinator Aksi bersih Danau Siombak. Banyak pihak yang terlibat. Walikota Medan,  Rico Tri Putra Bayu Waas. 

Dia menyebut aksi tersebut bukanlah seremonial melainkan seruan untuk menyelamatkan ekosistem yang kian terancam. “Danau Siombak ini sedang tidak baik-baik saja, sedang sakit, yang penyakitnya itu adalah sampah plastik dan sampah dari rumah warga di sekitar yang terbawa arus Sungai Berdera. Pada saat air pasang, sungai itu masuk, airnya dan sampahnya masuk ke Danau Siombak. Ini sebenarnya danau estuaria atau danau pasang surut, yang berada di pinggiran terujung Kota Medan dekat kawasan hutan mangrove,” katanya.

Dijelaskannya, Danau Siombak memiliki peran strategis bagi masyarakat Medan Utara, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan. Namun, kondisi lingkungan yang tercemar menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Banyaknya sampah dan aroa tidak sedap, menurutnya sangat tidak baik bagi kesehatan masyarakat sekitar. Dia meyebut sampah-sampah ini juga menjadi sebuah ekosistem baru yang dihinggapi ikan-ikan yang setiap harinya masyarakat konsumsi bahkan dijual ke Kota Medan. 

Dia mengapresiasi langkah Kecamatan Medan Marelan yang melakukan aksi Main ke Danau Siombak. Namun langkah itu harus diseriusi dan diperbesar jangkauannya agar dampaknya juga semakin signifikan. “Hari ini negara hadir, mulai dari pimpinan kecamatan melakukan aksi walaupun kecil. Apakah ini berdampak? Berdampak secara besar mungkin tidak, tapi secara emosional ini membangun ekosistem peduli terhadap Danau Siombak,” ujarnya.

Pada Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2025, dia adalah Koordinator Aksi bersih Danau Siombak. Banyak pihak yang terlibat. Walikota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas.

Yudha Lesmana Pohan, seorang pecinta alam yang ingin berkiprah serius untuk memperbaiki kampung halamannya. Sebagai putra daerah, dia ingin Marelan menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Danau Siombak yang asri, bersih dari sampah, dan kepedulian yang tinggi untuk menjaganya dari kerusakan.

Yudha mendorong agar penanganan sampah Kota Medan dilakukan secara terintegrasi melalui pembangunan infrastruktur penahan sampah di pintu masuk danau. Dikatakannya, jika dikelola dengan baik, Danau Siombak dapat menjadi destinasi ekowisata baru di Kota Medan yang menggabungkan aspek lingkungan, ekonomi, dan edukasi. Dia mengajak semua pihak – pemerintah, akademisi, pengusaha, hingga masyarakat – untuk bersama-sama melakukan pembenahan menyeluruh terhadap Danau Siombak. Ia menekankan perlunya pengadaan kapal pengangkut sampah (trash collector) dan teknologi pengelolaan yang tepat. 

Danau Siombak Sakit, Medan juga Sakit

“Kita ingin kota Medan memiliki itu. Ini solusi nyata bahwa peran pemerintah ada di sini. Jangan hanya menjadikan Danau Siombak sebagai tempat main-main atau sekadar topeng, tapi ayo kita bergerak. Kalau orang tidak peduli dengan Danau Siombak, artinya Kota Medan sakit. Kalau Kota Medan sakit, Sumatera Utara sakit, Indonesia sakit, planet bumi ini sakit,” katanya. 

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (WALHI Sumut), Ryanda Purba mengatakan, persoalan sampah Kota Medan dinilai semakin mengkhawatirkan. Angka 1.200 ton sampah setiap hari dari 21 kecamatan di Kota Medan ditumpuk di satu titik yakni TPA Terjun adalah sesuatu yang mengkhawatirkan. Kota Medan saat ini sebenarnya sudah mendekati darurat lingkungan.

“Persoalan sampah Kota Medan ini kan semakin tahun semakin payah ya, jadi udah tambah satu gunung dan masih butuh gunung yang lain lagi untuk membuat gunung sampah di Kota Medan dengan jumlah sampai 1.200 ton per hari,” ujarnya.

Dari ‘Gunung ke Gunung’

Persoalan krusialnya terletak pada tidak maksimalnya tata kelola sampah yang dilakukan Pemerintah Kota Medan. Sistem yang diterapkan masih sebatas menumpuk sampah di satu tempat dengan metode open dumping atau pembuangan terbuka yang berisiko terhadap pencemaran. “Untuk tata kelola persampahannya di Kota Medan, bagi WALHI Sumut, pemerintah Kota Medan itu belum memaksimalkan ya tata kelola sampahnya,” jelasnya.

Menurutnya, kondisi ini mencerminkan lemahnya perencanaan dan minimnya infrastruktur pengelolaan untuk sebuah kota metropolitan yang belum memiliki sarana pengolahan sampah berbasis teknologi modern yang memadai. Dijelaskannya, salah satu pendekatan penting yang disarankan WALHI Sumut adalah pemilahan sampah dari sumbernya, yakni dari rumah tangga. Pihaknya bersama kelurahan dan kecamatan pernah melakukan riset selama masa pandemi COVID-19, dan hasilnya menunjukkan sistem pemilahan dari rumah sangat mungkin dilakukan.

“WALHI Sumut melakukan riset ya, di beberapa kelurahan di Kota Medan, bekerjasama dengan lurah dan kecamatan, untuk misalnya, bagaimana penerapan dari sosialisasi, kemudian praktik pemilahan sampah dari rumah,” jelasnya.

Tantangannya adalah saat sampah yang telah dipilah justru dicampur kembali oleh petugas pengangkut, dan pada akhirnya dibuang secara bersamaan ke TPA. Hal ini membuat upaya pemilahan menjadi tidak efektif dan justru merusak semangat warga yang sudah berpartisipasi.

Terdapat lebih dari 300 pemulung yang bekerja di TPA Terjun.

Sejumlah pemulung di TPA Terjun, Kecamatan Medan Marelan mengais barang-barang bernilai ekonomi untuk dijual kembali

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Bukan Solusi 

Mantan Direktur WALHI Sumut, Dana Prima Tarigan menegaskan, sampah masih menjadi persoalan besar di Indonesia, termasuk di Kota Medan. Masalahnya ini tidak hanya pada volume sampah yang terus meningkat, tetapi juga pada pola pikir dan strategi pengelolaan yang stagnan. Menurutnya, mindset pemerintah masih  berkutat pada kumpul, angkut, buang. Menurutnya, pendekatan konvensional itu tidak lagi cukup. “Kalau ini tidak diselesaikan, kota ini akan tetap menjadi kota sampah ke depannya,” katanya.

Dana menyinggung tentang pembangkit listrik tenaga sampah yang belakangan sering dikemukakan sebagai solusi. Menurutnya, langkah tersebut justru bisa menimbulkan persoalan baru karena berpotensi mendorong produksi sampah lebih besar hanya demi memenuhi kuota pembangkit.

“Karena kita harus mengimpor sampah lain dari luar negeri atau memproduksi sampah yang lebih banyak lagi untuk memenuhi kuota dari pembangkit listrik itu sendiri. Dan harga untuk membuat pemangkit listrik itu sendiri sangat mahal. Dan hasil dari yang dihasilkan itu sangat kecil sekali listriknya. Jadi itu bukan, sama sekali bukan solusi,” ujarnya.

Bahaya lain dari penggunaan insinerator yang membakar sampah dan menghasilkan zat kimia berbahaya yang merusak unsur hara tanah serta mencemari lingkungan. Dalam pandangannya, solusi nyata justru terletak pada perubahan sistem pengelolaan dari hulu ke hilir. “Harus ada pemilahan sampah mulai dari rumah tangga, minimal ada tiga. Itu terkait sampah yang organik, anorganik, dan residu seperti popok, pembalut, dan lain-lainnya,” jelasnya. 

Brand Audit dan Tanggung Jawab Produsen

Selain pemerintah dan masyarakat, pihak lain yang harus bertanggung jawab atas produksi sampah adalah perusahaan atau produsen yang memproduksi barang dengan kemasan. Produsen, menurutnya juga harus bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. Dia mendorong  dilakukannya brand audit untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang paling banyak menyumbang sampah, dan menuntut mereka untuk bertanggung jawab, baik melalui daur ulang langsung, kompensasi, atau kerja sama dengan pemerintah.

“Tidak hanya pemerintah dan tidak hanya masyarakat yang dipersalahkan. Tapi juga produsen yang menghasilkan sampah itu sendiri juga harus diminta pertanggung jawaban,” ujarnya.

Dana menambahkan, isu ini juga perlu disuarakan dalam forum internasional seperti Konferensi Perubahan Iklim COP30 yang akan digelar di Brazil. Namun, Danaprima mengingatkan agar publik tak terlalu berharap pada forum tersebut tanpa ada komitmen nyata di tingkat nasional. “COP30 itu tidak bisa, kita tidak bisa menggantungkan harapan pada COP30, karena itu lebih kepada kampanye dan desakan politik. Tapi bagaimana paska COP30 itu, pemerintah kita itu mengambil alih atau menindaklanjutinya di tingkat lokal atau di tingkat nasional,” ungkapnya. [Dewantoro]

Reportase ini didukung oleh Ekuatorial.Com bersama Earth Journalism Network – Internews. Pertama kali terbit di ForestEarth.ID

Home Maps Network Search